Senin, 30 Maret 2009

4. Sastra Jawa Baru

Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
//
Daftar Cuplikan Karya Sastra Jawa Baru
Masa Islam
Kidung Rumeksa ing Wengi
Kitab Sunan Bonang
Primbon Islam
Suluk Sukarsa
Serat Koja Jajahan
Suluk Wujil
Suluk Malang Sumirang
Serat Nitisruti
Serat Nitipraja
Serat Sewaka
Serat Menak
Serat Yusup
Serat Rengganis
Serat Manik Maya
Serat Ambiya
Serat Kandha
Masa Renaisans dan sesudahnya
Serat Rama Kawi
Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura
Serat Panitisastra
Serat Arjunasasra
Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III
Serat Darmasunya
Serat Dewaruci
Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura
Serat Tajusalatin
Serat Cebolek
Serat Sasanasunu
Serat Wicara Keras
Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita
Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita
Serat Jitapsara
Serat Pustaka Raja
Serat Cemporet
Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871
Serat Darmagandhul
Babad-Babad
Babad Giyanti
Babad Prayut
Babad Pakepung
Babad Tanah Jawi

66 komentar:

  1. DIAH PUSPANITA UTAMI2 April 2009 pukul 03.08

    DIAH PUSPANITA UTAMI (2102408014)

    Rabu, 2009 Februari 25
    book report jawa kuna , interpolasi dan penanggalan uttarakanda

    The Dating of the Old Javanese Uttarakanda
    s.supomo, Australian National University

    Untuk waktu yang lama, sisipan dianggap sebagai semacam penyakit dalam literatur jawa kuno. Sekecil apapun gejalanya, penyunting selalu diharapkan berhati-hati dalam mendekati -sebuah kakawin dan harus cepat memutuskan: bagian-bagian yang dicurigai diletakkan didalam kurung kotak. Bagian yang sakit ini pada umumnya tidak tersentuh karena itu sudah diterima sebagai kebiasaan umum diantara generasi awal peneliti jawa kuno, seperti Kern, Juynboll dan Poerbatjaraka. Itu mungkin disebabkan oleh prasangka buruk terhadap apapun yang dianggap sebagai sisipan bagi murid jawa kuno (yang juga mendapat sanskrit dalam pendidikan mereka dan familiar dengan teori bahwa Uttarakanda adalah edisi terakhir dari teks asli Ramayana Valmiki. Hanya sedikit perhatian pada kerja salinan jawa kuna. Demikianlah meskipun keberadaanya telah diktahui setidaknya dari waktu pengumuman dari laporan Friederich’s di tahun 1849-50. Uttarakanda jawa kuna belum diterbitkan secara menyeluruh. Di lain pihak, sebagian besar adaptasi dari parwa epos Mahabharata yang sampai kepada kita, beberapa bagian dari mereka telah dipublikasikan, dan beberapa bagian dari mereka telah diterjemahkan dan didiskusikan.

    Didalam konteks literatur jawa kuno, pengertian atau paham bahwa uttarakanda adalah sisipan adalah tentu salah. Sanskrit Uttarakanda adalah edisi terakhir dalam Ramayana Valmiki, adalah benar. Karena ketika Uttarakanda diterjemahkan kedalam jawa kuna. Kepada seluruh maksud dan tujuan itu telah menjadi bagian dari epos Valmiki untuk hampir sepuluh abad. Jadi seorang penulis berkata dalam “exordium” Uttarakanda jawa kuna:

    Setelah Lengkapura diceritakan oleh bhagawan Valmiki, kemudian dia menggubah akhir dari Ramayana disebut Uttarakanda.

    Kenyataanya bahwa penyuntingan dan studi pembelajaran dari Uttarakanda jawa kuno telah diabaikan sangatlah disesalkan jika kita tidak menyadari bahwa pekerjaan itu adalah sumber primer dari cerita Arjunasasrabahu, satu dai empat siklus dari lakon wayang jawa baru. Itu adalah tujuan dari tulisan tersebut untuk memberi beberapa keterangan dalam satu aspek dai Uttarakanda jawa kuno, dengan harapan itu dapat membangkitkan minat pada pekerjaan ini.

    1. Didalam manggala atau exordium dari Uttarakanda jawa kuno, kami baca:

    Adalah sang pendeta yang sangat unggul…dialah bhagawan Valmiki namanya yang dijadikan sebagai dewa dari segala pujangga, hormatlah sebagai orang yang memberi berkah dalam menggubah cerita Uttarakanda… dan adalah seorang penguasa dunia di pulau jawa…dialah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama namanya, akan memberi berrkah perlindungan pertolongan dalam penulisan cerita Ramayana.

    Dari kutipan diatas , jelaslah bahwa penulis tanpa nama Uttarakanda jawa kuna memilih Balmiki, itu untuk menyebut Valmiki, penulis cerita kuno epos Ramayana dan Dharmawangsa Teguh Anantawikrama, seorang penguasa dari kerajaan jawa di jawa timur, sebagai pelindungnya.

    Seperti dimohon menjadi petunjuk dalam Uttarakanda jawa kuna, nama Dharmawangsa Teguh Anantawikrama juga dimohon sebagai pelindung dalam terjemahan dari tiga terjemahan jawa kuna dari epos Sanskrit lainya, yaitu Adiparwa , Wirataparwa dan Bhismaparwa. Padahal Uttarakanda adalah bagian dari epos Ramayana, parwa ini adalah bagian dari epos Sanskrit terkenal lainya, Mahabharata. Bagian dari tiga parwa ini, enam atau mungkin tujuh parwa jawa kuna juga sampai pada kita (Sabhaparwa, Udyogaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa), tetapi tidak ada nama raja yang disebutkan didalamnya.

    Sebelumnya satu dari tujuh kanda dari Ramayana dan Sembilan atau sepuluh dari delapan belas parwa dari Mahabharata telah sampai pada kita. Pertanyaan yang muncul apakah hanya mereka bagian dari epos yang telah diterjemahkan atau disalin kedalam jawa kuna atau apakah hanya mereka yang mampu bertahan dari seluruh terjemahan dari kedua epos?

    Sehubungan dengan Mahabharata , Berg berpendapat bahwa seluruh epos telah diterjemahkan kedalam jawa kuna tetapi beberapa parwa dari epos tersebut telah hilang. Pigeaud di lain pihak dengan pendek menjelaskan bahwa idak semua dari delapanbelas buku Mahabharata telah diterjemahkan kedalam prosa jawa. Sayangnya kita tidak mempunyai dokumen sejaman yang digunakan untuk mendebat atau melawan dua pendapat berbeda itu. Dukomen tertua berisi data yang dapat digunakan sebagai titik awal untuk menghasilkan diskusi dalam hal Korawasrama, sebuah risalah atau acuan bertanggal dari abad ke-16, sekitar enam abad setelah terjemahan epos itu sendiri.

    Berdasarkan Korawasrama, risalah itu adalah lanjutan dari Dwidasa parwa, yang terdiri dari delapan belas parwa, yaitu : Adhiparwa, Sabhaparwa, Udyogaparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Uttarakanda, Aswamedhaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa dan Agastyaparwa.

    Seperti catatan Swellenggrebel, nama Dwidasaparwa dalam risalah itu nampaknya digunakan untuk menunjuk Mahabharara. Dia juga membenarkan bahwa wanaparwa dan Asramawasika parwa hilang dari daftar-daftar dan untuk membuat daftar turun temurun dari delapan belas parwa yang mengangkat Mahabharata lengkap. Uttarakanda dan Agastyaparwa ditambahkan.

    Seperti naskah dari dua parwa tambahan telah ditemukan dalam korpus dari naskah jawa kuno yang sampai pada kita, disana rupanya terdapat sedikit keraguan bahwa dua karya tersebut masuk dalam daftar sebab pengarang dari Korawasrama kenal akan keduanya. Itu diikuti sebuah perdebatan selanjutnya, bahwa 16 parwa lain yang disebutkan didalam daftar juga bagian dari literature yang masih ada hingga hari itu. Jika dalil itu benar, pendapat pigeaud bahwa tidak semua dari delapan belas buku Mahabharata telah diterjemahkan kedalam prosa jawa nampaknya benar.

    Situasinya bagaimanapun juga itu agak rumit, karena sementara tujuh dari tujuhbelas parwa hilang dari koleksi naskah jawa kuno di bermacam-macam perpus. Kedua parwa yang hilang dari daftar adalah bagian dari naskah yang masih ada dalam koleksi. Ini dapat diterjemahkan bahwa parwa-parwa yang masih ada pada saat itu.

    Mengingat fakta-fakta ini, yaitu bahwa pengarang dari daftar koramasrama emnambelas dari delapanbelas parwa dari Mahabharata dalam perjalananya dua naskah yang hilang adalah bagian dari naskah yang sampai pada kita, itu artinya bagi saya lebih masuk akal bahwa seluruh epos Mahabharata diterjemahkan kedalam jawa kuno. Tetapi beberapa dari parwa-parwa tersebut hilang seiring berjalanya waktu. Hal itu mungkin patut diperhatikan bahwa beberapa dari parwa yang hilang ini adalah bagian yang menceritakan perang besar dari keluarga Bharata. Mpu sedah dan panuluh, dua pujangga besar selama duabelas abad telah menyusun atau mengarang kakawin yang paling terkenal, Bharatayuddha, yang didasarkan pada perang keluarga Bharata. Hal itu mungkin yang popularitasnya luar biasa besar dan penghargaan yang tinggi kakawin ini dinikmati diantara orang Jawa dan Bali yang mungkin terhapus, membutuhkan untuk menulis kembali beberapa parwa-parwa menjadi subjek yang sama seperti kakawin.

    Pada akhirnya, kenyatan bahwa bagian pertama dan terakhir dari parwa-parwa yaitu Adiparwa dan Swargarohanaparwa berturut-turut diterjemahkan kedalam jawa kuna memperkuat argument diatas. Meskipun kita tidak dapat menyatakan dengan pasti parwa mana dalam Mahabharata yang diterjemahkan, karena hanya satu dari mereka yang diberi tanggal, ini lebih mungkin bahwa parwa-parwa diurutkan secara teratur, dari pertama hingga selanjutnya lebih baik daripada dengan acak. Ini selanjutnya meguatkan fakta bahwa Adiparwa, Wirataparwa dan Bhismaparwa semuanya menyebut nama Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang menandakan bahwa parwa tersebut diterjemahkan selama masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Di lain pihak, tidak disebutkan nama Dharmawangsa Teguh atau raja lain dalam Asramawasikaparwa atau Mausalaparwa atau Prasthanika parwa (Swargarohanaparwa, parwa terakhir tidak diumumkan begitu jauh). Apakah tidak disebutkan nama menandakan bahwa parwa-parwa terakhir dalam Mahabharata diterjemahkan selama masa peralihan yang kacau di Jawa Timur (yaitu setelah kematian Teguh th1017 tetapi sebelum Ailangga naik tahta th1035 )adalah pertanyaan yang sangat beresiko untuk dijawab.

    Dan saya berpendapat bahwa seluruh Mahabharata diterjemahkan kedalam jawa kuna dan oleh karena itu daftar parwa-parwa dari Mahabharata berdasarkan Korawasrama tidak lengkap. Di lain pihak, menyinggung Uttarakanda dalam daftar dari Dwidasaparwa berdasarkan Korawasrama rupanya untuk menunjukkan bahwa hanya satu kanda jawa kuna dari Ramayana yang diketahui oleh penulis dari Korawasrama. Karena ini cocok dengan fakta bahwa naskah yang ada hanya Uttarakanda adalah satu-satunya bagian Ramayana yang diterjemahkan kedalam bahasa jawa kuna. Dan faktanya adalah dalam jawa kuna kata parwa digunakan untuk menunjukkan prosa secara umum nampaknya menguatkan argument diatas. Seperti pemakaian tidak akan mungkin timbul banyak kanda yang ada sisi demi sisi dengan parwa-parwa baik dari awal.

    Karena Uttarakanda adalah terakhir dari tujuh tanda yang terdapat dalam epos Ramayana Valmiki, sedangkan dalam kasus Mahabharata , kita berpendapat bahwa parwa-parwa diterjemahkan dari parwa pertama dan seterusnya. Pertanyaan yang secara alami timbul mengapa bagian akhir dari epos Ramayana terjadi hanya satu-satunya itu dapat dikatakan merupakan pertama dan terakhir, diterjemahkan kedalam jawa kuna.

    Bagaimanapun ini tidak akan menjadi masalah, jika membutuhkan muncul untuk menterjemahkan Uttarakanda kedalam jawa kuna, ada sebuah buku yang berhadapan dengan pengembaraan Rama diceritakan dalam enam bagian pertama dari Ramayana Valmiki dengan demikian sesungguhnya dalam keadaan, seperti kakawin, yaitu Ramayana sudah ada lebih dari satu abad ketika salinan dari Uttarakanda dibuat.

    Ramayana jawa kuna sebagian besar adaptasi dari Ravanavadha (pembunuhan Ravana). Tujuh abad puisi Sanskrit ditulis oleh Bhatti (disini biasanya ditujukkan untuk Bhattikavya) dan walaupun bagian akhir dari kakawin berbeda dengan Bhattikawya. Berakhir seperti dalam karya Bhattikawya, yakni kembalinya Rama ke Ayodhya setelah kematian Ravana. Mengapa penulis tanpa nama dari Ramayana jawa kuna mengambil model dari karya Bhattikavya dan tidak Ramayana Valmiki, ini tidak jelas dan pertanyaanya mungkin tidak relevan bagi kita mengenai ini.

    Satu hal yang jelas bagaimanapun yaitu bahwa adaptasi Bhattikavya menunjukkan bahwa cerita Rama sangat popular di Jawa pada zaman dahulu. Ini juga bukti dari fakta bahwa beberapa bagian dari cerita dilukiskan di candi prambanan , yang dibangun sebelum penulisan Ramayana jawa kuna. Dan dari tulisan dikeluarkan oleh Dyah Balitung ,yang dipublikasikan oleh van Naerssen ini jelas bahwa pertunjukan Ramayana menunjukkan satu dari cirri-ciri favorit dalam peristiwa jawa pada zaman dahulu.

    Perkataan yang digunaan dalam tulisan macarita Ramayana. Van Naerssen berdebat bahwa dalam literatur jawa kuna macarita digunakan dalam merasakan penceritaan karya prosa. Jika argument ini benar, kita dapat menarik kesimpulan bahwa versi prosa cerita Rama sudah ada didalam zaman Balitung.

    Bagaimanapun, pendapat ini nampaknya tidak didukung adanya bukti. Seperti yang saya katakana sebelumnya, dalam jawa kuna kata parwa yang biasanya digunakan untuk menunjuk karya prosa, terutama dengan isi epos secara umum. Kata carita, dilain pihak, digunakan untuk menunjukkan cerita secara umum. Didalam kutipan diatas dari terjemahan Uttarakanda jawa kuna , untuk contoh, kami membaca ri telas ning Lengkapurakanda cinaritaken de bhagawan Balmiki. Sebagaimana karya valmiki yaitu bukanlah karya prosa, faktanya dimana penulis Uttarakanda jawa kuna harus disadar, cinaritaken dalam kutipan diatas tidak dapat diartikan “diceritakan dalam bentuk prosa”. Kata dasarnya carita ,karena itu dapat digunakan untuk menunjuk Sutasoma dan Arjunawijaya untuk mendukung saya.

    Dalam jawa kuna itu nampaknya tidak ada perbedaan dalam penggunaan antara cerita dan katha. Keduanya dapat digunakan untuk menunjuk prosa dan puisi. Dalam bait-bait dari Arjunawijaya, penulis dari Bali faktanya disebut Arjunawijaya, kakawin Arjunawijaya (naskah A) Arjunawijaya katha (naskah D). Dan satu naskah (F) sungguh menyebut cerita.

    Apapun kasusnya mungkin frase macarita Ramayana terjadi dalam tulisan diatas menunjukkan polpularitas dari kisah itu diantara orang jawa pada hari itu. Satu dari versi paling terkenal dari cerita Rama adalah Ramayana Valmiki. Epos ini juga mempertimbangkan buku suci dari umat Hindu. Kita boleh beranggapan bahwa orang pada jaman itu harus paham dengan versi dari cerita Rama. Ini menunjukkan bahwa mereka harus tahu cerita Rama setelah ia kembali ke Ayodhya (yang diceritakan kembali dalam Uttarakanda tapi tidak memaksakan tak hadir dari Ramayana kakawin). Ini dapat dimengerti pada saat itu, permintaan untuk sesuatu seperti tambahan untuk kakawin Ramayana timbul, mungkin suatu hari setelah kakawi asli dilupakan. Jadi Uttarakanda jawa kuna hadir untuk membuaat kakawin Ramayana lebih lengkap. Agaknya ini kemudian seperti pengulangan dari asal epos Ramayana disebutkan oleh Valmiki: orang merasa bahwa cerita tidak berakhir dengan pantas tanpa pahlawan kembali ke surga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perkenalkan Kami salah satu Penerbit Berita Info Menarik , dan info ini sengaja kami terbitkan Khusus bagi yang Pecinta togel / toggeller., dan disini Kami Telah menemukan eyang yang Benar Benar bisa Meramal Nomor yang akan Tembus atau JP Dan bukan itu saja bahkan dia bisa melakukan santet secara jarak jauh, juga Pelet . Beliau adalah : EYANG SADEWO. Nomor TLP: 0853-3126-5535
      Beliau Tidak Punya Blog / Web, Hanya saya Sebagai Pelanggang Eyang yang pernah melihat bukti nyata ( MITOS ) Sehingga saya memperkenalkan dia di Dunia maya, Jujur saya Merasa Berat Hati Kepada eyang, Mungkin Dengan Jalan Seperti inilah saya Membalas Budi kepada eyang , Memperkenalkan EYANG SADEWO Ke DUNIA MAYA, Karena siapa tahu ada yang Butuh Bantuan dari EYANG SADEWO. Nomor TLP: 0853-3126-5535. Beliau Pernah Berpesan Kepada saya ” Tolong disampaikan kepada semua Para Pelanggang saya Atas Kesuksesannya , Hanya satu Pintaku jangan Lupa Berbagi Kepada Orang Miskin atau Kepada Masjid atau gereja yang sangat Memerulkan bantuan .
      Dan EYANG SADEWO Juga mengucapkan Selamat & Sukses kepada Bapak/Ibu yang namanya tercantum dalam kolom dibawah , yang telah berhasil tembus / jp/ jebol / menang Angka Jitu SGP pemberian dari eyang . Semoga Hasil kemenangan anda yang diterima bisa untuk menyelesaikan semua urusan & dapat dimanfaatkan untuk hal yang berguna untuk masa depan, eyang hanya coba membantu sesuai dengan kemampuan yang eyang miliki, selebihnya hanya kekuasaan tuhan yg membagikan rizki nya kepada bapak/ibu sekalian. diberitahukan juga kepada para togeller diseluruh indonesia, bahwa EYANG SADEWO. Prediksi Nomor togel yang akan Keluar masih menerima pendaftaran member sampai batas Yg Telah di Tentukan.

      Hapus
    2. Perkenalkan Kami salah satu Penerbit Berita Info Menarik , dan info ini sengaja kami terbitkan Khusus bagi yang Pecinta togel / toggeller., dan disini Kami Telah menemukan eyang yang Benar Benar bisa Meramal Nomor yang akan Tembus atau JP Dan bukan itu saja bahkan dia bisa melakukan santet secara jarak jauh, juga Pelet . Beliau adalah : EYANG SADEWO. Nomor TLP: 0853-3126-5535
      Beliau Tidak Punya Blog / Web, Hanya saya Sebagai Pelanggang Eyang yang pernah melihat bukti nyata ( MITOS ) Sehingga saya memperkenalkan dia di Dunia maya, Jujur saya Merasa Berat Hati Kepada eyang, Mungkin Dengan Jalan Seperti inilah saya Membalas Budi kepada eyang , Memperkenalkan EYANG SADEWO Ke DUNIA MAYA, Karena siapa tahu ada yang Butuh Bantuan dari EYANG SADEWO. Nomor TLP: 0853-3126-5535. Beliau Pernah Berpesan Kepada saya ” Tolong disampaikan kepada semua Para Pelanggang saya Atas Kesuksesannya , Hanya satu Pintaku jangan Lupa Berbagi Kepada Orang Miskin atau Kepada Masjid atau gereja yang sangat Memerulkan bantuan .
      Dan EYANG SADEWO Juga mengucapkan Selamat & Sukses kepada Bapak/Ibu yang namanya tercantum dalam kolom dibawah , yang telah berhasil tembus / jp/ jebol / menang Angka Jitu SGP pemberian dari eyang . Semoga Hasil kemenangan anda yang diterima bisa untuk menyelesaikan semua urusan & dapat dimanfaatkan untuk hal yang berguna untuk masa depan, eyang hanya coba membantu sesuai dengan kemampuan yang eyang miliki, selebihnya hanya kekuasaan tuhan yg membagikan rizki nya kepada bapak/ibu sekalian. diberitahukan juga kepada para togeller diseluruh indonesia, bahwa EYANG SADEWO. Prediksi Nomor togel yang akan Keluar masih menerima pendaftaran member sampai batas Yg Telah di Tentukan.

      Hapus
    3. Kami sekeluarga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada MBAH RIJI atas bantuannya saya menang togel yang pertama kalinya,pekerjaan saya sehari-harinya cuma seorang supir angkot yang pendapatannya tidak seberapa,buat biaya anak sekolah aja tidak cukup apalagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-harinya….suatu hari saya tidak sengaja mendengar pembicaraan teman saya mengenai prediksa MBAH RIJI yang katanya bisa mengeluarkan angka sgp/hk yang di jamin tembus,akhirnya saya bertanya dan teman saya memberikan nomor MBAH RIJI dan saya pun menghubunginya..?? Berkat bantuan MBAH yang telah memberikan anka “GHOIB” nya 3D yaitu 275 dan alhamdulillah itu ternyata terbukti….sekaran anak saya bisa lanjut sekolah lagi itu semua atas bantuan MBAH RIJI ,bagi anda yang penggemar togel ingin meruban nasib melalui angka2 goip yang di jamin 100% kemenangan hbg MBAH RIJI di nmr;_082344440428,ini bukti nyata bukan rekayasa,mana ada kemenangan tanpa keberanian dan kejujuran,saanya kita perlu bukti bukan sekedar janji2,hanya MBAH RIJI yang bisa menjamin 100% kesuksesan,anda perlu bukti hbg sekaran MBAH RIJI nya,terima kasih

      Hapus
    4. kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
      dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
      berikan 4 angka 9259 alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
      dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
      ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
      allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
      kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
      sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
      .
      yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI SOLEH,,di
      0823 1333 6747,, insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 275
      juta, wassalam.


      dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







      Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


      1"Dikejar-kejar hutang

      2"Selaluh kalah dalam bermain togel

      3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


      4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


      5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
      tapi tidak ada satupun yang berhasil..







      Solusi yang tepat jangan anda putus aza....AKI SOLEH akan membantu
      anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
      butuh angka togel 2D3D4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
      100% jebol
      Apabila ada waktu
      silahkan Hub: AKI SOLEH DI NO: (((082313336747))) ATAU KLIK DISINI



      angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/



      angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/



      angka GHOIB; malaysia



      angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/



      angka GHOIB; laos




      Hapus
    5. INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT




      INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT




      INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL JAMIN 100% TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH TERBUKTI 9X TRIM’S ROO,MX SOBAT

      Hapus
    6. Perkenalkan saya Mas Asep jayadi. Mengucapkan Banyak Terimah Kasih Atas Kepada Mbah Wonten Keramat Atas Bantuan Angka Ritualnya Saya Bisa Menang Togel 4D 200Lembar Kurang Lebih 500jt Rupiah, Ini Pertama Kalinya Saya Menang Bayak, Uang Ini Akan Saya Gunakan Untuk Bayar Hutang Dan sisanya untuk Modal Usaha saya.. Trima Kasuh Mbah Wonten
      Untuk Saudara/i Saya Yang Hobi Togel Seperti saya, Dari Pada anda Masang Togel Tidak Jelas, Mending Hubungi Mbah Wonten Kramat Di No Telpon: 0821 9226 4552 Atau KLIK DISINI











      Perkenalkan saya Mas Asep jayadi. Mengucapkan Banyak Terimah Kasih Atas Kepada Mbah Wonten Keramat Atas Bantuan Angka Ritualnya Saya Bisa Menang Togel 4D 200Lembar Kurang Lebih 500jt Rupiah, Ini Pertama Kalinya Saya Menang Bayak, Uang Ini Akan Saya Gunakan Untuk Bayar Hutang Dan sisanya untuk Modal Usaha saya.. Trima Kasuh Mbah Wonten
      Untuk Saudara/i Saya Yang Hobi Togel Seperti saya, Dari Pada anda Masang Togel Tidak Jelas, Mending Hubungi Mbah Wonten Kramat Di No Telpon: 0821 9226 4552 Atau KLIK DISINI









      Perkenalkan saya Mas Asep jayadi. Mengucapkan Banyak Terimah Kasih Atas Kepada Mbah Wonten Keramat Atas Bantuan Angka Ritualnya Saya Bisa Menang Togel 4D 200Lembar Kurang Lebih 500jt Rupiah, Ini Pertama Kalinya Saya Menang Bayak, Uang Ini Akan Saya Gunakan Untuk Bayar Hutang Dan sisanya untuk Modal Usaha saya.. Trima Kasuh Mbah Wonten
      Untuk Saudara/i Saya Yang Hobi Togel Seperti saya, Dari Pada anda Masang Togel Tidak Jelas, Mending Hubungi Mbah Wonten Kramat Di No Telpon: 0821 9226 4552 Atau KLIK DISINI









      Perkenalkan saya Mas Asep jayadi. Mengucapkan Banyak Terimah Kasih Atas Kepada Mbah Wonten Keramat Atas Bantuan Angka Ritualnya Saya Bisa Menang Togel 4D 200Lembar Kurang Lebih 500jt Rupiah, Ini Pertama Kalinya Saya Menang Bayak, Uang Ini Akan Saya Gunakan Untuk Bayar Hutang Dan sisanya untuk Modal Usaha saya.. Trima Kasuh Mbah Wonten
      Untuk Saudara/i Saya Yang Hobi Togel Seperti saya, Dari Pada anda Masang Togel Tidak Jelas, Mending Hubungi Mbah Wonten Kramat Di No Telpon: 0821 9226 4552 Atau KLIK DISINI

      Hapus
  2. Nama ; Yohana Anjar Lestari
    NIM ; 2102408099
    Rmbl ; 4
    BABAD GIYANTI
    Babad Giyanti membahas peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di pulau Jawa antara tahun 1741 dan 1757. Peristiwa-peristiwa ini ditulis menurut sudut pandang atau opini Yasadipura.
    Tahun 1746 merupakan sebuah lembaran hitam dalam sejarah Jawa. Sampai tahun 1746 wilayah Kasunanan Mataram mencakup seluruh bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun tersebut Mataram secara sekaligus kehilangan seluruh pesisir utara, dan bahkan di antara Pasuruan dan Banyuwangi semuanya hilang. Pada waktu yang sama muncul perang baru lagi di mana Mataram kehilangan separuh daerah yang masih ada. Lalu ketika perjanjian perdamaian ditanda tangani sembilan tahun kemudian, pada tahun 1755, paling tidak separuh penduduk Jawa tewas.
    Alasan langsung bencana-bencana ini ialah kunjungan audiensi kepada Susuhunan yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Van Imhoff pada tahun 1746. Beberapa tahun sebelumnya pesisir utara dan Jawa bagian timur dijanjikan kepada VOC, karena VOC telah membantu Sunan menumpas pemberontakan. Sekarang ini Van Imhoff menuntut janji sang Sunan. Sunan Pakubuwana II yang kala itu menjabat memang pernah menjanjikan daerah-daerah ini ketika ia sedang terjepit. Kala itu beliau harus melarikan diri dari keraton sementara dikawal oleh para serdadu VOC.
    Sunan Pakubuwana II memang tidak banyak mengenal damai dalam masa pemerintahannnya (1726-1749). Warga Tionghoa yang memberontak dan mengacau, karena alasan yang sangat berbeda dan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Sunan yaitu karena ada pembantaian warga Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan sebuah pemberontakan di Madura yang menjalar ke Jawa Timur. Selain itu di ibu kota sendiri, banyak pangeran-pangeran, “warisan” ayahnya yang memberontak meminta kekuasaan serta intrik-intrik keraton. Salah seorang pangeran yang banyak menganggu sunan Pakubuwana II adalah adiknya sendiri, pangeran Mangkunagara. Untungnya Pakubuwana II bisa membuangnya ke Sri Lanka berkat bantuan VOC. Namun bagi putranya, Raden Mas Said, hal ini menjadikan alasan untuk membangkang dan membalas dendam terhadap pamannya, Sunan Pakubuwana II. Karena Pakubuwana II tidak kuat melawan Raden Mas Said, maka beliau menjanjikan imbalan bagi yang bisa mengusirnya. Seorang adik Pakubuwana II yang lain, pangeran Mangkubumi berhasil mengusir Raden Mas Said. Namun kemudian patih Sunan Pakubuwana II berpendapat bahwa imbalannya terlalu besar, padahal Sunan Pakubuwana II sebenarnya tidak apa-apa.
    Masalah dengan Mangkubumi ini justru terjadi ketika Van Imhoff sedang meminta audiensi di keraton pada tahun 1746. Van Imhoff sebenarnya bersedia untuk membantu Sunan Pakubuwana II, maka beliaupun menegur Mangkubumi mengenai tuntutannya yang keterlaluan di tempat umum. Lalu Sunan Pakubuwana II memotong imbalannya sampai dua pertiga. Mangkubumi kehilangan mukanya dan tidak bisa tetap tinggal di keraton. Beliaupun pergi dan mencari kontak dengan Raden Mas Said, keponakannya yang telah diusirnya. Kehilangan muka Mangkubumi sebenarnya bukan satu-satunya alasan, meski alasan utama, menjauhnya Pakubuwana II dengan Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi sebenarnya juga kurang setuju terhadap keputusan kakaknya menyerahkan daerah pesisir dan akan kompensasi VOC yang telah diberikan untuk pendapatan yang hilang.
    Perang awalnya berlangsung buruk bagi sunan Pakubuwana II dan sekutunya, VOC. Mereka hanya bisa mempertahankan posisi mereka saja. Musuh mereka menyerang di seluruh pulau Jawa. Bahkan kota Surakartapun tidak aman. Mangkubumi menerapkan taktik perang gerilya.
    Sementara ini Mangkubumi tujuannya tidak hanya membalas dendam saja, namun beliaupun ingin menjadi Sunan. Ketika Sunan Pakubuwana II pada saat berlangsungnya perang jatuh sakit dan mangkat pada tahun 1749, maka Mangkubumi memproklamasikan dirinya sebagai Susuhunan yang baru dan mendirikan keraton di Yogyakarta. Karena Surakarta dan VOC tidak mengakuinya, namun menobatkan putra Sunan Pakubuwana II menjadi Sunan Pakubuwana II, maka kala itu terdapat dua Susuhunan di Jawa.
    Kala itu terlihat jelas bahwa kedua kubu tidak ada yang lebih kuat untuk mengalahkan yang lain. Maka kedua kubupun sadar dengan hal ini. Selain itu Gubernur-Jenderal Van Imhoff meninggal pada tahun 1750 dan digantikan oleh Jacob Mossel. Lalu Pangeran Mangkubumi sudah tidak akrab lagi dengan Raden Mas Said sehingga situasipun berubah. Raden Mas Said sendiri memiliki aspirasi untuk menjadi raja. Pada tahun 1754 mulailah rundingan antara Mangkubumi dengan VOC (tanpa melibatkan Raden Mas Said dan Sunan Pakubuwana III). Tawaran Mangkubumi untuk melawan Raden Mas Said, diterima oleh VOC. Imbalannya ialah separuh wilayah kekuasaan Mataram yang masih ada. Tawarannya diterima oleh VOC. Pada tanggal 13 Februari 1755 perjanjian ini ditanda tangani di desa Giyanti, beberapa kilometer di sebelah timur Surakarta. Mangkubumi akhirnya mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sunan Pakubuwana III tidak bisa berbuat lain daripada menerima kenyataan. Sementara itu Raden Mas Said dua tahun kemudian pada tahun 1757 memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan syarat beliau boleh menjadi raja. Tuntutannya dituluskan dan beliau mendapat wilayah yang diambil dari wilayah Surakarta dan diperbolehkan menyebut dirinya Pangeran Adipati.

    BalasHapus
  3. Diah Tutut Sukmawardani
    2102408065
    Rombel 2


    Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)

    Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.

    Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).

    PENDAHULUAN
    Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).

    Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).

    Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
    Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44;
    Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.

    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
    Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

    Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
    Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.

    Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru

    Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.

    Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru

    Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.

    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat

    Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.

    Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.

    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat

    Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.

    Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).

    Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
    Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).

    Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya

    Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.

    Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).

    Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

    Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong

    Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
    tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
    Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
    Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.

    Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya

    Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya

    Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
    Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.

    Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya

    Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
    Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.
    Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

    Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan

    Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.

    Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar

    Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).

    Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat

    Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.

    Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).

    Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.

    Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak

    Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
    Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
    Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).

    Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat

    Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

    Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai

    Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
    Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).

    Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya

    Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.

    Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar

    Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

    Kesimpulan

    Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
    Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).

    search

    *
    Categories
    o Al-Mahdi akan mumcul di bulan Muharram
    o Antara Syariat dan Tasawuf
    o Buku Putih Islamisasi Tanah Jawa
    o Cara melihat Tuhan
    o Dari Zuhud Ke Tasawuf
    o Dimana ALLAH Berada?
    o FANA - Segalanya adalah bayangan
    o Gerbang Dambaan Umat
    o Hakekat Manunggaling Kawulo Gusti
    o Hari Akhir dari berbagai Literatur
    o Iman Dalam Pandangan Tasawuf
    o Islam dan Kejawen
    o Kesesatan Tasawuf
    o Kesucian Yesus dan Peranannya
    o Kisah Abu Yazid al Bustami
    o KISAH NABI ISA
    o KISAH NABI KHIDIR AS
    o Makna Kafir dan Syuhada
    o Mencari Allah
    o Mencari Keabadian
    o Menetralisir Ketegangan Karena Perbedaan
    o Mengapa Syariat kontra Hakekat
    o Mengenal Mursyid
    o Menyuap Malaikat-Membeli Surga!
    o OpenBSD
    o Perang Armageddon
    o Pesankan saya tempat di neraka !!!
    o Raden Makdum Ibrahim
    o Raden Mas Said
    o Raden Paku
    o Raden Rachmat
    o Ragam Para Wali
    o Rahasia dibalik Materi
    o Renungan Tentang Rizki ALLAH
    o Salah Satu Tanda Kiamat
    o Sedikit Tentang ‘Ana Al-Haqq’
    o Sejarah OpenBSD
    o Sekilas Al Mahdi
    o Sekilas Walisanga
    o Serat Dewo Ruci
    o Siapa Dajjal Itu ?
    o Sindroma Salib
    o Sosok Yesus Di Mata Santri Jawa
    o Suluk Wujil
    o Sunan Ampel
    o Sunan Bonang
    o Sunan Drajat
    o Sunan Giri
    o Sunan Kalijaga
    o Syarif Hidayatullah
    o Syarifuddin or Raden Qosim
    o Syekh Lemah Abang
    o Syekh Maghribi
    o Syekh Maulana Maghribi
    o Syekh Siti Jenar
    o Tanda-tanda Kemunculan Al Mahdi
    o Tanda-tanda Kiamat
    o Tasawuf dan Realitas Historis
    o Tokoh : Pengelana Sufi dari Iraq
    o Tujuh golongan yg akan dinaungi oleh Allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
      dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
      berikan 4 angka 9666 alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
      dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
      ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
      allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
      kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
      sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
      yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI SOLEH,,di no (((082-313-336-747)))
      insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 275
      juta, wassalam.


      dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







      Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


      1"Dikejar-kejar hutang

      2"Selaluh kalah dalam bermain togel

      3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


      4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


      5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
      tapi tidak ada satupun yang berhasil..







      Solusi yang tepat jangan anda putus asah....AKI SOLEH akan membantu
      anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
      butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
      100% jebol
      Apabila ada waktu
      silahkan Hub: AKI SOLEH DI NO: (((082-313-336-747)))




      atau klik langsung di KLIK DSINI BOCORAN TOGEL




      angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/



      angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/



      angka GHOIB; malaysia



      angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/



      angka GHOIB; laos

      Hapus
  4. Ramadhania Andaniwarih
    2102408064
    rombel 2



    Serat Sanasunu atau Sasanasunu


    Serat Sanasunu adalah puisi dedaktik yang ditulis dalam Tembang Macapat yang merupakan salah satu bentuk dari Piwulang Yasadipura II sebagai ayah kepada anak-anaknya dalam menghadapi zaman yang mulai berubah, di mana banyak sekali iming-iming untuk hidup memuja harta dan jabatan serta kesenangan, tetapi mengorbankan banyak nilai-nilai agama dan budaya jawa yang luhur. Di dalam Piwulang tersebut terdapat bagaimana harapan Yasadipura II agar anak-anaknya tidak terjerumus ke jalan yang sesat. Serat Sasanasunu terbagi dalam 12 bab dan salah satu bab tersebut berisi tentang agar orang menjadi Islam dan bertauladan kepada Nabi Muhamad serta bab tentang tata cara tidur, makan, berjalan, dan bepergian. Naskah-naskah lain yang senafas dengan Serat Sanasunu adalah Serat Brata Sunu dan Sewaka yang juga dianggap sebagai karya dari Yasadipura II.
    Yasadipura II memiliki banyak anak tetapi hanya dua diantaranya yang mempunyai keahlian sebagai pujangga. Dua anaknya tersebut memiliki karir yang baik sebagai satrawan istana dengan mengikuti jejak ayahnya, Yasadipura II untuk menjadi seorang pujangga istana kerajaan. Tapi sayangnya, karir yang sangat menjanjikan itu hilang begitu saja dan terlalu pendek untuk dapat dirasakan oleh R.Ng.Ranggawarsita II, sebagai anak sulung dari Yasadipura II. Ketika ia sudah mencapai posisi sebagai Lurah Carik di Kraton, tiba-tiba ia harus ditangkap, disiksa, dituduh subversif dan dibuang oleh penguasa Belanda pada tahun 1828. Meskipun dimikian anak dari Yasadipura II itu sangat dikagumi oleh para penangkapnya karena R.Ng.Ranggawarsita II memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi seperti ayahnya. Dahulu, Ranggawarsita II merupakan seorang pengarang yang brilian, tetapi sayang sekali semua karya-karyanya kemudian hilang dan tidak pernah ditemukan kembali.
    Salah satu anak Yasadipura II yang yang lain adalah Mas Haji Ranggasasmita. Sekitar tahun 1815, Ranggasasmita yang pernah belajar dari disuatu tarekat shattariah, menunaikan ibadah haji bersama seorang pamannya Ranggasasmita adalah penulis Serat Walisanga (sejarah para wali di Jawa), dan beberapa Suluk. Nasib Ranggasasmita rupanya tidak jauh berbeda dari kakaknya R.Ng.Ranggawarsita II. Ia juga dituduh subversif dan kemudian dibuang bersama-sama dengan kakaknya. Mereka harus berhadapan dengan Belanda, dan harus di perlakukan tidak adil sepeti disiksa, dibuang dan akhirnya di bunuh. Dan penangkapan itu dilakukan di rumah muridnya sendiri, yaitu C.F.Winter yang juga memiliki andil besar dalam merekayasa proses penangkapan tersebut. Tetapi setelah melihat kejadian-kejadian tersebut, Yasadipura II merasa keinginannya telah tercapai. Hal ini dikarenakan ketiga putranya telah menjadi orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, meskipun mereka memperhatikan dan mempertahankan idealismenya tersebut dapat dikatakan hanya untuk melindungi ayahnya.
    Sesungguhnya, apakah tujuan Belanda menangkap Ranggawarsita II dan Ranggasasmita ? Di dalam pengantar Serat Sanasunu dikatakan bahwa sebenarnya alasan ditangkapnya Ranggawarsita II dan Ranggasasmita adalah karena mereka merupakan orang yang diberi tugas oleh Pakubuwana VI untuk menulis surat-surat yang ditujukan kepada pangeran Diponegoro yang memberontak kepada Belanda. Padahal, surat tersebut merupakan tulisan yang ditulis oleh ayah mereka sendiri, Yasadipura II sebagai pujangga istana. Dan demi melindungi ayahnya, Ranggawarsita II mengakui surat-surat tersebut sebagai tulisannya.

    BalasHapus
  5. AGI KUSTRI JUNIAWAN
    2102408050
    ROMBEL 2




    Serat Darmagandhul adalah suatu karya Sastra Jawa Baru berbentuk puisi tembang macapat yang menceritakan jatuhnya Majapahit karena serbuan tentara Demak yang dibantu oleh Walisongo.

    Darmagandhul ditulis oleh Ki Kalamwadi, dengan waktu penulisan hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (atau sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata). Sebagian ada yang berpendapat bahwa pengarang sesungguhnya adalah Ronggowarsito dengan pseudonim Kalamwadi, yang dalam bahasa Jawa dapat pula berarti kabar (kalam) yang dirahasiakan (wadi). Karya ini ditulis dalam bentuk dialog yang terjadi antara Ki Kalamwadi dan muridnya Darmagandhul.

    Dialog diawali dari pertanyaan Darmagandhul kepada gurunya mengenai kapan terjadinya perubahan agama di Jawa. Disebutkan bahwa Ki Kalamwadi kemudian memberikan keterangan-keterangan berdasarkan penjelasan dari gurunya, yang bernama Raden Budi. Cerita dan ajaran yang diuraikan oleh Ki Kalamwadi memuat berbagai hal; antara lain jatuhnya kerajaan Majapahit, berbagai peranan Walisongo dan tokoh-tokoh lainnya pada awal masa peralihan Majapahit-Demak, topik-topik dalam ajaran agama Islam, serta terjadinya benturan berbagai budaya baru dengan kepercayaan lokal masyarakat Jawa saat itu.


    [sunting] Pembagian isi
    Menurut versi KRT Tandhanagara[1], Suluk Darmagandhul memiliki 17 pupuh dalam 133 halaman, dengan perincian sebagai berikut:

    Pupuh I
    Pupuh II
    Pupuh III
    Pupuh IV
    Pupuh V
    Pupuh VI
    Pupuh VII
    Pupuh VIII
    Pupuh IX
    Pupuh X
    Pupuh XI
    Pupuh XII
    Pupuh XIII
    Pupuh XIV
    Pupuh XV
    Pupuh XVI
    Pupuh XVII Dhandhanggula : 58 bait
    Asmaradana : 88 bait
    Dhandhanggula : 52 bait
    Pangkur : 86 bait
    Sinom : 43 bait
    Dhandhanggula : 42 bait
    Sinom : 63 bait
    Pangkur : 176 bait
    Asmaradana : 33 bait
    Dhandhanggula : 58 bait
    Mijil : 74 bait
    Kinanthi : 33 bait
    Megatruh : 37 bait
    Pocung : 25 bait
    Asmaradana : 21 bait
    Girisa : 15 bait
    Kinanthi : 41 bait

    BalasHapus
  6. Yuni Kurniasih (2102408101)
    Rombel : 4


    Serat Kalatida

    Kalatida adalah salah satu karangan, dari pujangga besar Ronggowarsito.
    Arti kata kala adalah waktu, dan tida - samar-samar.
    Lalu bila diterjemahkan secara bebas akan berarti jaman samar-samar atau jamantransisi.
    Antara siang ke malam, malam ke siang, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain, selalu ada masa transisi, dimana sendi-sendi tata laksana lama menjadi usang, sementara yang baru belum juga mapan.

    Tak terkecuali keadaan sekarang ini, tatanan orde baru masih kuat
    tertanam, sementara orde reformasi tak kunjung mendapatkan bentuknya.
    Indonesia yang kita cintai ini, sedang berada dalam masa samar-samar,
    laksana air sungai yang tiba dimuara, sudah tak tawar lagi tapi belum
    juga terasa asin, tak ada panutan, tak ada pegangan hukum.
    Ditambah lagi budi pekerti yang seakan dikesampingkan, wanita telah hilang kewanitaan, tiada rasa malu, membuka rahasia tempat tidur, mengejar popularitas.
    Adakah obat penawar untuk masyarakat sakit seperti ini ?

    ===K.A.L.A.T.I.D.A===
    Jaman edan seperti sekarang ini, budi pekerti memang telah dipinggirkan,
    pemuka agama melempar sorbannya, kaum ningrat susah hati dikejar kejar
    karena korupsi, pedagang berteriak berkeluh kesah karena untungnya makin
    berkurang, rakyat jelata makin menderita. Edannya lagi, seluruh anak
    bangsa disuguhi tontonan perusak budaya … artis mesum, kawin cerai,
    bunting tanpa ayah, selingkuh, begitu bangga penuh dosa.

    Rusak moral bangsa ini, legislatif buka mulut tanpa hormat, yudikatif
    benteng keadilan jadi sarang calo perkara, eksekutif hanya wacana tanpa
    karya, kata bijak hanya menjebak, habis sudah rakyat jelata, tak putus
    dilanda derita. Orang kecil tak tahan lagi dengan rasa lapar, berebut
    hanya untuk mencari makan, konglomerat jahat, pat gulipat, milyaran
    diembat, dibantu oleh pejabat.

    Memang jaman sudah edan, tidak ikut edan, jadi nggak kebagian, bahkan
    jadi melarat, jujur jadi hancur, sang licik menepuk dada, laksana tak
    terkena hukum karma. Alam laksana kalah dengan angkara murka manusia.
    Rasanya, kalau ikut berbuat papa nista, tidak tahan karena masih ada
    setitik nurani, masih percaya akan kuasa Sang Pencipta, yang sudah
    berkali-kali memberi peringatan berupa rangkaian bencana. Terserah
    pasrah pada kehendak Hyang Widhi, hanya bisa berdoa secara pasif, dengan
    memujaNya, dan secara aktif dengan melakukan apa yang diperintahkanNya.
    Allah tetap akan mengasihi umatNya yang sadar, karena
    sebahagia-bahagianya orang yang lupa, akan lebih bahagia orang yang
    tetap eling dan waspada.

    Nanti akan tiba saatnya, Nusantara akan berubah, setelah bencana tanpa
    henti, tsunami, pagebluk flu burung, pagi sakit sore sudah mati, sampai
    pada puncaknya nanti, gunung merapi meletus, laharnya berbau amis.
    Inilah saat yang kita tunggu… krisis ekonomi, krisis politik, krisis
    legitimasi dan akhirnya krisis motivasi … terpuruk ketitik nol ...
    ke dalam kegelapan yang sangat dalam... sampai nanti tiba saat transisi
    berikutnya, fajar menyingsing di ufuk timur, kita songsong agama budhi.

    Kalatida = Saat Samar-Samar=Senjakala=SandhyaKala=Waktu yang tepat untuk
    Berdoa

    BalasHapus
  7. Ari Fitriyani
    2102408066
    Rombel 02

    Sunan Paku Buwana IV dan Syariat Islam

    Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jum’at, mengharamkan minuman keras dan candu, sudah terlihat semenjak muda dan masih berstatus sebagai Putra Mahkota. Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam. Keluasan pengetahuan islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari Serat-Serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan Paku Buwana IV disesuaikan dengan ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Bahkan tidak jarang dalam serat piwulang karyanya, dia mengutip langsung ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist demi memperkuat nasehat yang disampaikannya. Kegemaran Sunan Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Ada kalanya kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa pakepung yang terjadi di awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya.

    Peristiwa Pakepung

    Peristiwa pakepung terjadi pada tahun 1790, ketika Sunan Paku Buwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja mempunyai latar belakang politis yaitu adanya persaingan antara kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan. Kuatnya latar belakang keagamaan dalam peristiwa pakepung karena tokoh-tokoh utamanya yang menggerakkan kejadian ini mempunyai sikap dan semangat keagamaan yang tinggi, khususnya agama Islam. Adanya latar belakang semangat keagamaan yang kuat dari peristiwa ini menyebabkan banyak penulis menyebutnya sebagai peristiwa gerakan keagamaan. H.J. de Graaf misalnya, menyebut peristiwa pakepung memiliki beberapa kesamaan dengan gerakan Wahabiyah di tanah Arab[1].

    Peristiwa pakepung meskipun hanya berlangsung dalam waktu singkat (Oktober-Desember 1790), namun kondisi-kondisi yang melatar belakanginya dapatlah dirunut hingga tahun-tahun sebelumnya. Peristiwa pakepung sebagaimana diceritakan dalam babad pakepung[2], berawal dari pengangkatan empat kyai dan santri, yaitu Kyai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh sebagai abdi dalem. Kyai ini mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Sunan Paku Buwana IV, sehingga menjadi abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya).

    Pengaruh keempat abdi dalem kyai ini ternyata begitu besar pada Sunan, sehingga banyak keputusan-keputusan politik didasarkan pada nasehatnya. Sunan Paku Buwana IV kemudian mulai mengadakan perubahan - perubahan, seperti :

    1. Abdi dalem yang tidak patuh pada syari’at agama ditindak, digeser dan bahkan ada yang dipecat seperti yang dialami oleh Tumenggung Pringgalaya dan Tumenggung Mangkuyuda.
    2. Sunan Paku Buana IV juga mengharamkan minuman keras dan opium, sebagaimana ajaran agama Islam. Disamping itu setiap hari Jum’at, Sunan ini pergi ke Masjid besar untuk melaksanakan Shalat Jum’at. Bahkan Sunan Paku Buwana IV sering bertindak sebagai Khatib atau pemberi kutbah pada shalat tersebut.

    Peristiwa yang terjadi di keraton Surakarta ini dengan sendirinya menimbulkan kekhawatiran pihak Kumpeni dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk memperoleh kejelasan tentang perubahan dan situasi yang ada di keraton Kasunanan Surakarta, Kumpeni kemudian mengirim utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve[3]. Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan Surakarta harus menyerahkan keempat orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa.

    Setelah terjadi negosiasi, namun buntu akhirnya pasukan Kumpeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan Mangkunegaran, dan Pasisiran melakukan mengepung Keraton Surakarta dari segala penjuru. Di sebelah timur, pasukan pasisiran telah melakukan persiapan di desa Grompol, sedangkan pasukan Kumpeni telah siap di sebelah barat yaitu di Boyolali. Disebelah utara pasukan Mangkunegaran dan Kumpeni juga mempersiapkan diri di benteng masing-masing. Adapun pasukan Kasultanan Yogyakarta telah ditempatkan di Gondang untuk mengepung arah selatan.

    Sunan Paku Buana IV melihat kuatnya pengepungan terhadap Keratonnya merasa gentar juga. Akhirnya atas bujukan dan usaha Kyai Yasadipura I, Sunan bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai biang keladi kekacauan. Dengan ditangkap dan dibuangnya kelima abdi dalem kepercayaan Sunan, maka pengepungan terhadap Keraton Surakarta dihentikan.

    Apabila dilihat kembali latar belakang terjadinya peristiwa pakepung, maka tidak saja berkaitan dengan persoalan politik melainkan semangat keagamaan. Sumber Kolonial menyebut Wiradigda, Bahman, Kandhuruhan, Panengah dan Nur Saleh sebagai panepen yang berarti alim ulama[4]. Sedangkan dari tradisional Jawa, seperti babad pakepung dan serat wicara keras menyebutnya dengan istilah abdi dalem santri. Di samping itu salah satu tuntutan Sunan Paku Buwana IV kepada Kumpeni juga bermuatan kepentingan agama karena menuntut semua penghulu yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran untuk tunduk dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta. Berdasarkan kenyataan ini sudah menunjukkan bahwa kebijakan politik Sunan pada waktu itu memang banyak dipengaruhi oleh gerakan keagamaan.

    Sunan Paku Buwana IV ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaannya banyak terpengaruh oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yang mempunyai kecenderungan anti Kumpeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, pada masa itu menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang dominasi Kumpeni. Salah satu tokoh perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari, seorang ulama besar sekaligus sebagai guru Tarekat Naqsabandiyah[5]. Wiryakusumah yang hidup di komunitas orang-orang buangan dari nusantara mengenal dengan nama dan ajaran tokoh ini, meskipun Syaikh Yusuf sendiri telah meninggal dunia dan dimakamkan disana. Sikap keagamaan Wiryakusumah sendiri yang mengamalkan dzikir dan wirid, telah memperkuat adanya indikasi adanya pengaruh ajaran Tarekat Naqsyabandiyah dalam dirinya.

    BalasHapus
  8. Nur Fajarwati Halimah3 April 2009 pukul 18.03

    NAMA :Nur Fajarwati Halimah
    NIM :2102408019
    ROMBEL:1
    SERAT AMBIYA

    Kapustakan Djawi
    Saka Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas ing basa Jawa / Saking Wikipédia, Bauwarna Mardika mawi basa Jawi
    Langsung menyang: pandhu arah, golèk
    Kapustakan Djawi
    Pangarang R.M.Ng. Poerbatjaraka
    Negara Indonesia
    Basa Basa Jawi
    Tipe Sastra Jawi
    Penerbit Djambatan
    Tanggal terbit 1952
    Cacahing kaca XII, 172 kaca

    Kapustakan Djawi punika buku pratélan sastra Jawi anggitanipun R. M. Ng. Prof. Dr. Poerbatjaraka. Buku puniki kacithak wonten ing warsa 1952. Ladjeng salinan ing basa Indonesia dipunyasakaken déning Tardjan Hadidjaja ing warsa 1952. Buku punika ringkes dados cocog kanggé introdhuksi sejarah sastra Jawi saha saé basanipun.
    Bab lan Paragraf


    * 1 Isi
    * 2 Basa saha pasang aksara (éjaan)
    * 3 Resènsi
    * 4 Referensi
    * 5 Daftar kapustakan

    [sunting] Isi

    Ing buku punika pak Poerbatjaraka ngwedharaken sajarah sastra Jawi. Sajarah sastra Jawi kapérang wonten ing pitung jinis ingkang ugi saged dipunanggep pitung jaman:

    1. Serat-serat Jawi Kina ingkang golongan sepuh mawi sekar ageng utawi kakawin saha gancaran
    2. Serat-serat Jawi Kina ingkang mawi sekar kakawin
    3. Serat-serat Jawi Kina ingkang kagolong enèm, ugi taksih mawi sekar kakawin
    4. Serat-serat mawi basa Jawi Tengahan gancaran
    5. Kidung utawi serat mawi sekar tengahan
    6. Serat-serat jaman Islam awal
    7. Serat-serat saking jaman Surakarta

    Sedayanipun kirang langkung wonten 80 (wolung dasa) serat-serat Jawi ingkang kawedhar wonten ing buku punika. Ing andhap inggih serat-serat ingkang dipunamot ing buku puniki:

    * Serat-serat Jawi Kina ingkang golongan sepuh mawi sekar ageng utawi kakawin saha gancaran

    1. Serat Canda-karana
    2. Kakawin Ramayana
    3. Sang Hyang Kamahâyanikan
    4. Brahman.d.puran.a
    5. Agastyaparwa
    6. Uttarakand.a
    7. Mahabharata ing basa Jawi kina
    8. Kunjarakarna
    9. Kakawin Arjunawiwaha
    10. Kakawin Kresnayana
    11. Kakawin Sumanasantaka
    12. Smaradahana
    13. Bhomakawya
    14. Bharatayuddha
    15. Hariwangsa
    16. Gatotkacasraya
    17. Wretasancaya
    18. Lubdhaka

    * Serat-serat Jawi Kina ingkang mawi sekar kakawin

    1. Kakawin Brahmandapurana
    2. Kakawin Kunjarakarna
    3. Kakawin Nagarakretagama
    4. Kakawin Arjunawijaya
    5. Kakawin Sutasoma
    6. Kakawin Parthayajña
    7. Kakawin Nitisastra
    8. Kakawin Nirarthaprakreta
    9. Kakawin Dharmasunya
    10. Kakawin Harisraya

    * Serat-serat Jawi Kina ingkang kagolong enèm, ugi taksih mawi sekar kakawin:

    1. Tantu Panggelaran
    2. Calon Arang
    3. Tantri Kamandaka
    4. Korawasrama
    5. Pararaton

    * Kidung mawi basa Jawai Tengahan

    1. Nawaruci (Dewa Ruci)
    2. Kidung Sudamala
    3. Kidung Subrata
    4. Panji Angrèni
    5. Kidung Sri Tanjung

    * Serat-serat jaman Islam awal

    1. Het boek van Bonang
    2. Een Javaans Geschrift uit de 16e eeuw
    3. Suluk Sukarsa
    4. Koja Jajahan
    5. Suluk Wujil
    6. Suluk Malang Sumirang
    7. Nitisruti
    8. Nitipraja
    9. Serat Séwaka
    10. Serat Ménak
    11. Serat Rengganis
    12. Serat Manik Maya
    13. Serat Ambiya
    14. Serat Kandha

    * Serat-serat saking jaman Surakarta

    1. Serat Bratayuda
    2. Serat Panitisastra
    3. Serat Arjunasastra utawi Lokapala
    4. Serat Darmasunya
    5. Serat Dewaruci
    6. Serat Ménak
    7. Serat Ambiya Yasadipuran
    8. Serat Tajusalatin
    9. Serat Cebolèk
    10. Serat Babad Giyanti
    11. Serat Sasasanasunu
    12. Serat Wicara Keras
    13. Serat Paramayoga
    14. Serat Jitapsara
    15. Serat Pustakaraja
    16. Serat Cemporèt
    17. Babad Prayut
    18. Babad Pakepung

    Basa saha pasang aksara (éjaan)

    Kapustakan Djawi dipunserat déning pak Poerbatjaraka mawi basa Jawi krama. Anggitanipun sarta leléwanipun basa saé sanget. Anggènipun nyerat kathah ngagem tetembungan Walandi ingkang sampun dipunserap ing basa Jawi kados ta tembung 'pretal'[1] kaliyan ugi tetembungan Walandi ingkang dèrèng dipunserap kados ta Inleiding (1952:158)[2].

    Buku punika seratanipun mawi pasang aksara utawi éjaan Jawi lawas ingkang mèmper kaliyan Ejaan Soewandi kanggé basa Indonesia. Dados /u/ dipunserat [u], /c/ dipunserat [tj] saha /j/ dipunserat [dj]. Aksara 'dha' saha 'tha' dipunserat d. saha t. (d lan t mawi titik saandhapipun). Swanten pepet kaliyan taling dipunbèntenaken. Pepet dipun serat ĕ (e mawi caping) lan taling dipun serat e nglegena.

    Resènsi

    Buku punika saé kanggé introdhuksi ing sajarah sastra Jawi. Pak Poerbatjaraka sampun maos saha ndamel ringkesan padhet wolung dasa (80) serat-serat mawi basa Jawi. Nanging isinipun ringkesan radi cekak-cekak. Lajeng ing pepintenan bagéyan pak Poerbatjaraka ugi mlebetaken opini pribadhi, kados ta kritikipun marang Ki Ranggawars
    Referensi

    1. Pertal punika saking basa Walandi vertaal utawi vertalen. Tegesipun punika jarwa utawi alih basa
    2. Inleiding punika tegesipun panganter utawi pengantar ing basa

    Daftar kapustakan

    * R. M. Ng. Prof. Dr. Poerbatjaraka - 1952 – Kapustakan Djawi. Djakarta/Amsterdam: Djambatan.

    BalasHapus
  9. DWI RETNO AYU WIDYASTUTI4 April 2009 pukul 21.13

    NAMA : DWI RETNO AYU WIDYASTUTI
    NIM : 2102408088
    ROMBEL : 03


    KAJIAN SUFI : SERAT DEWA RUCI

    Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun'.

    Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).

    PENDAHULUAN

    Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).

    Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’.



    Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada Pupuh V Dhandhanggula bait 49 : Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewaruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).

    Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima

    Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44; Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.

    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat

    Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

    Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.

    Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut :

    Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru

    Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.

    Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru

    Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.

    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat

    Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

    Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.

    Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada Pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.

    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat

    Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.

    Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).

    Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderang gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).

    Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).

    Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya

    Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.

    Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut Hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).

    Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115).

    Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133).

    Pengenalan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

    Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasana Alam Kosong

    Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata.

    Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312).

    Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311),

    Bima telah sampai pada tataran Hakikat.

    Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.


    Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya

    Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya

    Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.


    Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.

    Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya

    Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.

    Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39)

    Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.

    Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

    Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan

    Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.

    Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar

    Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).

    Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat

    Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67).

    Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya.

    Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148)

    (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89).

    Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.

    Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25).

    Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubungi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70).

    Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).

    Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.

    Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak

    Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001).

    Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.

    Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159).

    Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).

    Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).

    Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat

    Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

    Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai

    Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.


    Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132).

    Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).

    Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya

    Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.

    Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar

    Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

    Kesimpulan

    Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti.

    Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.

    Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.

    Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).

    BalasHapus
  10. IKA ROIKHATUL JANAH4 April 2009 pukul 21.30

    NAMA : IKA ROIKHATUL JANAH
    NIM : 2102408068
    ROMBEL : 03

    Rengganis bisa terbang bukan hanya karena ia doyan sari kembang, tapi juga tubuhnya demikian ringan. Putri mantan raja Jamineran itu tak ubahnya seekor kupu-kupu; cantik dan rapuh dalam satu waktu. Tapi juga sakti; ia bisa masuk ke taman Banjaran Sari tanpa seorang pengawal pun menyadari.

    Dari gunung Argapura ia terbang seorang diri, tiap hari, memetik kembang Banjaran Sari sesukanya sendiri. Hingga taman itu berantakan, kehilangan kembang dan keindahan. Dan suatu sore, Pangeran Kelan sang empunya taman, memergokinya.

    Maling Sakti, berhenti!

    Rengganis tertangkap basah dengan beberapa tangkai kembang di tangannya. Tapi wajahnya tak nampak bersalah. Ia malah tersipu malu seperti perempuan yang tengah dirayu. Tapi memang demikianlah yang kemudian terjadi. Pangeran Kelan bukannya marah tapi malah jatuh cinta kepada si pencuri.

    Pangeran, kata Rengganis di sesela tembang cinta sang Pangeran, aku mau jadi istrimu, jika kau juga bisa meminang putri Mukadam jadi istrimu. Tak enak rasanya aku bahagia seorang diri dan meninggalkan sahabatku itu dalam kesendiriannya. Selesai mengucapkan permintaannya Rengganis terbang kembali ke Argapura. Tinggallah Pangeran Kelan seperti seseorang yang baru bangun dari mimpinya. Lalu malam turun dengan cepat, menghadirkan bulan pucat dan perasaan yang berlarat-larat. Dan para setan mulai menabuh gendang-gendang kegilaan. Pangeran Kelan kehilangan ingatannya. Ia menyanyi dan menari. Berteriak-teriak memanggil nama Rengganis di sela tawa dan tangisnya. Para emban dan pengawal tak bisa menyadarkannya. Nama Rengganis terus dilafalkannya seperti mantra. Seperti doa. Seperti puja.

    Dewi Julusul-asikin keluar dari kamarnya dan mendapati suami yang tak dicintainya telah gila. Rambutnya berantakan dan penuh dengan selipan kembang mirip taman berantakan yang berjalan. Putri Jamintoran itu memeluknya dan menangis untuk pertama kalinya. Ia bisa saja tak mencintainya, tapi ia tetap tak rela jika lelaki yang telah menjadi suaminya itu jadi tontonan yang menyedihkan.

    ***

    Kabar tak enak itu sampai di telinga Wong Agung. Kakang, tak puas-puasnya penderitaan mengikuti ke mana pun aku pergi, katanya kepada Umarmaya dengan putus asa. Si Tukang Copet berwajah jenaka itu tak berani mengumbar ketawanya. Ia tahu adiknya sedang bersedih.

    Aku pergi dulu, Yayi. Akan kucari jawaban yang membuat anakmu itu gila. Setelah menepuk-nepuk bahu Wong Agung, Umarmaya menjadi angin, melesat menemui Seh Dul Kures, sang Petapa. Petapa sakti itu menunjuk Argapura sebagai asal bencana. Tapi Umarmaya malah melesat menuju Mukadam. Aku tak mencari asal, Kyai. Aku mencari jawaban, katanya.

    Dan Mukadam, Saudara-saudara, adalah negeri yang mengerikan. Dijaga oleh ribuan prajurit dari tembaga yang digerakkan oleh tukang sihir bernama Majusi. Tak siapa pun bisa masuk ke sana tanpa membangunkan tidurnya. Jika Majusi terbangun, ribuan prajurit tembaga yang semula menyerupa arca itu akan bergerak seperti punya nyawa dan tenaga yang tak ada habisnya. Demikianlah yang terjadi ketika angin yang tak lain adalah Umarmaya nekat masuk ke wilayah Mukadam.

    Umarmaya terkepung. Ia tak punya celah untuk lari, keahliannya yang paling utama. Juga ilmu sirepnya, yang mampu menidurkan seluruh mahluk di muka bumi, tak berguna apa-apa. Ia tetap tak bisa menidurkan tembaga. Malahan rapalan itu berbalik menidurkannya. Tanpa perlawanan yang berarti, Umarmaya berhasil diringkus dan dimasukkan ke sumur berbisa, dan dibiarkan sendiri menanti mati.

    Seluruh Mukadam berpesta, terlebih Prabu Nusirwan dari Medayin yang kebetulan tengah bertamu. Dengan kematian yang akan segera menjemput Umarmaya ia akan kehilangan musuh-musuhnya. Tinggal Wong Agung, batinnya. Ia memeluk Raja Mukadam mengucapkan terima kasih dan berniat mengabadikan persekutuan itu dengan menjodohkan Raden Hirman, anaknya, dengan putri Mukadam, Dewi Kadarmanik. Raja Mukadam menyambutnya. Tanggal pernikahan segera diumumkan. Pesta dilanjutkan. Prajurit-prajurit tembaga menabuh dirinya, membentur-benturkan tubuh satu sama lain, menjadi bebunyian yang meriah dan mengerikan.

    Di dalam kamarnya, Dewi Kadarmanik, penyair perempuan yang begitu mengagumi Neruda, mengunci diri. Keputusan ayahnya betul-betul memukulnya. Ia sama sekali tak memimpikan perkawinan, apalagi dengan Raden Hirman, pemabuk yang sering teler di emperan pasar Medayin. Ia hanya menginginkan kesendirian. Dan satu-satunya yang paling menghibur adalah membaca syair Neruda, atau menerbitkan antologi puisinya seorang diri. Tak ada yang lain. Ia begitu mencintai dirinya. Dan sedikit mencintai Mukadam yang hanya dihuni logam-logam.

    Lalu di tengah kesedihan yang mendalam itu, Rengganis menyentuhnya seperti puisi. Kadarmanik mau tak mau tersenyum menyadari kehadiran sahabatnya itu. Kau seperti malaikat, Rengganis, bisiknya di telinga Rengganis. Begitulah seorang sahabat bagi sahabatnya, sahut Rengganis. Aku akan membawamu pergi dari kesedihan ini. Aku akan membawamu terbang ke tanah Arab. Kita akan menemui kebahagiaan di sana. Aku akan mengajakmu memasuki agama baru, Islam namanya. Aku juga akan mengajakmu mengenal seorang lelaki, Iman Sumantri namanya, si Pangeran Kelan. Mungkin semua itu akan membuatmu sedikit bahagia.

    Bisakah kita keluar dari sini? Kadarmanik mendadak ketakutan mengingat kesaktian sang Majusi. Tenanglah, aku bisa masuk ke sini, maka aku juga akan bisa keluar dari sini. Majusi dan prajurit-prajurit tembaganya sedang berpesta. Mereka akan lena dan tak menyadari kepergian kita. Untuk Raden Hirman, biarlah guling tidurmu yang menggantikanmu. Selesai menyulap guling tidur menjadi sosok Kadarmanik, Rengganis membawa terbang sahabatnya itu menuju tanah Arab, menemui Pangeran Kelan.

    ***

    Wong Agung belum beranjak dari situasinya semula. Malah bertambah-tambah karena kabar Umarmaya yang menjadi tawanan Mukadam. Dengan kesedihan yang bercampur dengan kemarahan ia memerintahkan Maktal untuk menggempur Mukadam. Maktal segera berangkat membawa ribuan tentara Arab. Di perbatasan, perang besar pun tak terhindarkan. Prajurit logam Mukadam bersama prajurit Medayin bahu-membahu menghadang gerak laju pasukan Arab. Raden Hirman mengamuk mencari calon istrinya yang hilang. Ia beradu sakti dengan Maktal.

    Sementara itu Rengganis dan Kadarmanik telah sampai di taman Banjaran Sari. Pangeran Kelan yang kehilangan ingatannya mendadak sembuh begitu diusap wajahnya oleh Rengganis. Mereka bertiga segera bergerak menuju Mukadam untuk menyelamatkan Umarmaya.

    Singkatnya, Umarmaya selamat, tapi pasukan Arab menderita kekalahan hebat. Hampir separo pasukan binasa tak kuasa menghadapi pasukan logam yang kebal dan tak mengenal kematian. Mereka mundur kembali ke kota. Maktal yang terluka berat berusaha diselamatkan.

    Di tengah jerit tangis kekalahan itulah Kadarmanik membuka rahasia kesaktian sang Majusi. Ia memiliki air abadi, Tirta Perwitasari. Di sanalah nyawa pasukan tembaga itu berada. Rengganis dan Umarmaya segera berangkat. Umarmaya mengenakan kopiah wasiat yang membuatnya tak bisa terlihat. Mereka segera menuju kediaman sang Majusi.

    ***

    Mukadam tengah berpesta kemenangan. Raden Hirman berusaha menghilangkan kepedihannya dengan meminum air keras sebanyak-banyaknya. Prabu Nusirwan sama sekali tak peduli dengan luka anaknya. Ia sibuk merayakan kekalahan Arab. Wong Agung, kematianmu semakin dekat. Ucapnya berkali-kali dalam hati. Ia bersulang dengan Raja Mukadam, mengikat hubungan sehidup semati.

    Dan sang Majusi pun makin jumawa dengan kemenangan yang telah diraihnya. Pujian demi pujian yang dialamatkan kepadanya membuatnya lupa daratan dan tak menyadari bahaya yang tengah mengancam.

    Rengganis mengetuk pintu rumahnya. Sedang Umarmaya yang tak kasat mata berada di belakang Rengganis. Meski tahu Majusi tak akan melihatnya, pendekar jenaka itu tetap ngumpet di belakang gadis sakti itu. Majusi yang lupa diri menyambut kedatangan Rengganis bagai kekasihnya. Lebih-lebih Rengganis mengaku sebagai putri yang dihadiahkan Nusirwan kepadanya. Majusi segera menggendong Rengganis, sementara Umarmaya, begitu persembunyian diambil, menyelinap ke balik pintu.

    Majusi membawa gadis impiannya masuk ke kamar. Keadaan itu tak disia-siakan oleh Umarmaya. Segera ia mencari-cari di mana letak Tirta Perwitasari. Ia bergerak dengan cepat sebelum Majusi tersadar akan bahaya yang masuk ke dalam rumahnya. Di dalam kamar Rengganis menembang membuat sang Majusi makin mabuk kepayang. Menembang sambil berdebar-debar menunggu kabar dari Umarmaya. Ah, jika saja Majusi tahu bahwa tembang itu adalah tembang kematiannya.

    Saudara, sepuluh lagu telah berlalu tapi Umarmaya belum juga berhasil menemukan di mana air abadi itu disimpan. Rengganis mulai dibasahi keringat dingin. Majusi sudah mulai tak sabar kepingin segera meniduri kekasihnya. Ia mulai menaiki tubuh Rengganis yang tak punya alasan lagi untuk menunda persetubuhan. Dan di saat Majusi membuka satu per satu pakain yang dikenakan Rengganis, mendadak terdengar suara tempayan pecah. Keras. Dari arah ruang belakang. Majusi tersentak. Tanpa menghiraukan Rengganis yang tergolek di ranjang ia melesat ke kamar belakang di mana ia menyimpan air pusakanya. Dan terlambat. Tempayan wadah air itu telah dipecah oleh Umarmaya. Dan tanpa bisa diselamatkan lagi air abadi segera lenyap meresap ke dalam tanah. Kembali ke muasalnya. Majusi menjerit panjang meneriakkan kekalahannya. Di saat itu Umarmaya dan Rengganis telah melayang terbang kembali ke Arab.

    ***

    Pasukan Arab menyambut kedatangan kedua pahlawannya. Kemenangan seperti sudah berada di tangan mereka. Tanpa berpikir panjang lagi mereka segera berbaris berangkat ke perbatasan untuk memukul mundur pasukan Mukadam dan Medayin. Tanpa air pusaka pasukan tembaga dengan mudah dihancurkan. Pasukan Medayin yang telah berulang kali menderita kekalahan melawan pasukan Arab bubar tidak karuan begitu melihat sekutu mereka ringsek dan meleleh terbakar. Prabu Nusirwan dan Raja Mukadam berlari ke ruang persembunyian di bawah tanah. Mereka mengutuk Majusi yang tak lagi sakti.

    Pasukan Arab pulang membawa kemenangan. Pesta kemenangan pun berlanjut dengan pesta perkawinan sang Pangeran Kelan dengan Rengganis dan Dewi Kadarmanik. Tapi belum lagi hidangan pesta perkawinan disuguhkan, sirene tanda bahaya meraung mengabarkan bahaya yang mengancam kota Mekah. Pesta bubar berubah menjadi jerit kepanikan warga kota.

    Wong Agung keluar dari istananya, dan di langit ia menyaksikan 40 kuda terbang menyerang kotanya dengan menjatuhkan bola-bola api. Mekah terbakar. Begitu cepat kehancuran itu terjadi. Tanpa sempat tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Wong Agung diam. Ia seperti mendengar kembali jerit kematian Adaninggar, 25 tahun yang lalu.

    ***

    Adaninggar, Wong Agung meremang mengenangnya. Putri Cina, anak raja Hong Te Te, pendekar perempuan yang luar biasa, pecinta yang tak mengenal menyerah. Konon, suatu malam, putri itu bermimpi bertemu dengan seorang lelaki. Paginya ia bangun dan wajah lelaki dalam mimpinya tetap berada dalam kepalanya. Berhari-hari ia demikian terganggu. Wajah lelaki yang sama sekali belum pernah dilihatnya itu melayang-layang dalam benaknya. Seperti berdiam, berumah dalam kepala perawan itu. Lalu dengan kebulatan hati Adaninggar meninggalkan daratan Cina, untuk memburu mimpinya. Ia yakin, wajah lelaki itu adalah wajah jodohnya. Wajah Wong Agung Jayengrana. Dengan Talikentular, selendang saktinya, Adaninggar terbang.

    Sampai di jazirah Arab Adaninggar menempel gambar wajah kekasihnya di mana-mana. Setiap lorong-lorong kota penuh dengan poster Wong Agung. Hingga sampailah poster cinta itu ke Medayin. Wong Agung yang waktu itu masih tinggal bersama Prabu Nusirwan, mertuanya, terganggu dengan kejadian itu. Ia perintahkan para prajurit untuk melepas poster bergambar wajahnya itu. Tapi tiap kali pagi dilepas, malam harinya poster itu telah kembali terpasang di tempatnya semula. Hingga akhir Wong Agung sendiri yang turun untuk menurunkan gambar-gambar wajahnya. Di saat itulah mereka bertemu untuk pertama kalinya. Adaninggar benar-benar jatuh cinta kepadanya. Tapi Wong Agung menolaknya mentah-mentah. Ia sudah punya beberapa istri yang luar biasa, untuk apa menambah satu lagi.

    Adaninggar tak kurang akal. Ia merayu Prabu Nusirwan dan akhirnya bisa menjadi selir. Mau tidak mau Adaninggar dan Wong Agung setiap hari ketemu. Dan Adaninggar bisa memberi perintah sesuka hati kepada menantunya. Sebagai anak, Wong Agung menuruti semua perintah ibunya. Kecuali bercinta dengannya. Saking gemesnya Wong Agung pernah diikat dan dicambukinya supaya mau menerima cintanya. Tapi Wong Agung tetap memanggilnya ibu.

    Adaninggar juga bersekutu dengan istri-istri Wong Agung, Sudarawreti dan Rabingu Sirtupaleli. Persekutuan mereka menjadi-jadi ketika Wong Agung berniat memperistri Kelaswara, prajurit perempuan, putri Raja Kelanjali. Adaninggar melabrak pesaingnya dan pertempuran dua prajurit perempuan itu pun terjadi. Kelaswara yang tak siap menghadapi serangan mendadak itu terdesak. Maklumlah, saat Adaninggar melabraknya, ia sedang tertidur pulas di kamar pengantin. Tubuh Adaninggar yang kebal dari beragam senjata hampir-hampir membuatnya putus asa. Kelaswara lalu berlari mengambil tombak Lusaka dan melemparkannya. Tombak kecil itu menembus dada kiri Adaninggar dan membuatnya tewas seketika. Sudarawreti dan Rabingu Sirtupaleli berniat membalas kematian sahabatnya, tapi buru-buru Wong Agung menengahinya.

    ***

    Sesungguhnya yang terjadi di langit Mekah adalah 40 kuda terbang dengan penunggang prajurit perempuan dari Cina datang menuntut balas kematian Adaninggar. Widaninggar, adik kandung Adaninggar, memimpin sendiri serangan itu. Dengan bantuan gurunya, Widaningrum, putri tunggal sang Ijajil alias si Begejil, 40 prajurit itu menjadi sakti luar biasa. Mereka mampu membakar kota Wong Agung dalam waktu yang singkat. Wong Agung tak salah, bencana itu datang dari kematian Adaninggar.

    Rengganis tak tinggal diam, dengan bantuan Dewi Kuraisin dari Ajrak, ia menghadang laju Widaninggar dan Widaningrum. Di tengah kemelut pertarungan itu, Prabu Nusirwan keluar dari persembunyian lalu lari mengungsi ke tanah Jawa. Meminta perlindungan kepada Kendit Birayung.

    Sampai di sinilah kisah Rengganis berakhir. Tapi perseteruan Wong Agung dan Nusirwan masih terus berlanjut.***

    BalasHapus
  11. IKA ROIKHATUL JANAH4 April 2009 pukul 21.37

    NAMA : IKA ROIKHATUL JANAH
    NIM : 2102408068
    ROMBEL : 03

    SERAT RENGGANIS

    Rengganis bisa terbang bukan hanya karena ia doyan sari kembang, tapi juga tubuhnya demikian ringan. Putri mantan raja Jamineran itu tak ubahnya seekor kupu-kupu; cantik dan rapuh dalam satu waktu. Tapi juga sakti; ia bisa masuk ke taman Banjaran Sari tanpa seorang pengawal pun menyadari.

    Dari gunung Argapura ia terbang seorang diri, tiap hari, memetik kembang Banjaran Sari sesukanya sendiri. Hingga taman itu berantakan, kehilangan kembang dan keindahan. Dan suatu sore, Pangeran Kelan sang empunya taman, memergokinya.

    Maling Sakti, berhenti!

    Rengganis tertangkap basah dengan beberapa tangkai kembang di tangannya. Tapi wajahnya tak nampak bersalah. Ia malah tersipu malu seperti perempuan yang tengah dirayu. Tapi memang demikianlah yang kemudian terjadi. Pangeran Kelan bukannya marah tapi malah jatuh cinta kepada si pencuri.

    Pangeran, kata Rengganis di sesela tembang cinta sang Pangeran, aku mau jadi istrimu, jika kau juga bisa meminang putri Mukadam jadi istrimu. Tak enak rasanya aku bahagia seorang diri dan meninggalkan sahabatku itu dalam kesendiriannya. Selesai mengucapkan permintaannya Rengganis terbang kembali ke Argapura. Tinggallah Pangeran Kelan seperti seseorang yang baru bangun dari mimpinya. Lalu malam turun dengan cepat, menghadirkan bulan pucat dan perasaan yang berlarat-larat. Dan para setan mulai menabuh gendang-gendang kegilaan. Pangeran Kelan kehilangan ingatannya. Ia menyanyi dan menari. Berteriak-teriak memanggil nama Rengganis di sela tawa dan tangisnya. Para emban dan pengawal tak bisa menyadarkannya. Nama Rengganis terus dilafalkannya seperti mantra. Seperti doa. Seperti puja.

    Dewi Julusul-asikin keluar dari kamarnya dan mendapati suami yang tak dicintainya telah gila. Rambutnya berantakan dan penuh dengan selipan kembang mirip taman berantakan yang berjalan. Putri Jamintoran itu memeluknya dan menangis untuk pertama kalinya. Ia bisa saja tak mencintainya, tapi ia tetap tak rela jika lelaki yang telah menjadi suaminya itu jadi tontonan yang menyedihkan.

    ***

    Kabar tak enak itu sampai di telinga Wong Agung. Kakang, tak puas-puasnya penderitaan mengikuti ke mana pun aku pergi, katanya kepada Umarmaya dengan putus asa. Si Tukang Copet berwajah jenaka itu tak berani mengumbar ketawanya. Ia tahu adiknya sedang bersedih.

    Aku pergi dulu, Yayi. Akan kucari jawaban yang membuat anakmu itu gila. Setelah menepuk-nepuk bahu Wong Agung, Umarmaya menjadi angin, melesat menemui Seh Dul Kures, sang Petapa. Petapa sakti itu menunjuk Argapura sebagai asal bencana. Tapi Umarmaya malah melesat menuju Mukadam. Aku tak mencari asal, Kyai. Aku mencari jawaban, katanya.

    Dan Mukadam, Saudara-saudara, adalah negeri yang mengerikan. Dijaga oleh ribuan prajurit dari tembaga yang digerakkan oleh tukang sihir bernama Majusi. Tak siapa pun bisa masuk ke sana tanpa membangunkan tidurnya. Jika Majusi terbangun, ribuan prajurit tembaga yang semula menyerupa arca itu akan bergerak seperti punya nyawa dan tenaga yang tak ada habisnya. Demikianlah yang terjadi ketika angin yang tak lain adalah Umarmaya nekat masuk ke wilayah Mukadam.

    Umarmaya terkepung. Ia tak punya celah untuk lari, keahliannya yang paling utama. Juga ilmu sirepnya, yang mampu menidurkan seluruh mahluk di muka bumi, tak berguna apa-apa. Ia tetap tak bisa menidurkan tembaga. Malahan rapalan itu berbalik menidurkannya. Tanpa perlawanan yang berarti, Umarmaya berhasil diringkus dan dimasukkan ke sumur berbisa, dan dibiarkan sendiri menanti mati.

    Seluruh Mukadam berpesta, terlebih Prabu Nusirwan dari Medayin yang kebetulan tengah bertamu. Dengan kematian yang akan segera menjemput Umarmaya ia akan kehilangan musuh-musuhnya. Tinggal Wong Agung, batinnya. Ia memeluk Raja Mukadam mengucapkan terima kasih dan berniat mengabadikan persekutuan itu dengan menjodohkan Raden Hirman, anaknya, dengan putri Mukadam, Dewi Kadarmanik. Raja Mukadam menyambutnya. Tanggal pernikahan segera diumumkan. Pesta dilanjutkan. Prajurit-prajurit tembaga menabuh dirinya, membentur-benturkan tubuh satu sama lain, menjadi bebunyian yang meriah dan mengerikan.

    Di dalam kamarnya, Dewi Kadarmanik, penyair perempuan yang begitu mengagumi Neruda, mengunci diri. Keputusan ayahnya betul-betul memukulnya. Ia sama sekali tak memimpikan perkawinan, apalagi dengan Raden Hirman, pemabuk yang sering teler di emperan pasar Medayin. Ia hanya menginginkan kesendirian. Dan satu-satunya yang paling menghibur adalah membaca syair Neruda, atau menerbitkan antologi puisinya seorang diri. Tak ada yang lain. Ia begitu mencintai dirinya. Dan sedikit mencintai Mukadam yang hanya dihuni logam-logam.

    Lalu di tengah kesedihan yang mendalam itu, Rengganis menyentuhnya seperti puisi. Kadarmanik mau tak mau tersenyum menyadari kehadiran sahabatnya itu. Kau seperti malaikat, Rengganis, bisiknya di telinga Rengganis. Begitulah seorang sahabat bagi sahabatnya, sahut Rengganis. Aku akan membawamu pergi dari kesedihan ini. Aku akan membawamu terbang ke tanah Arab. Kita akan menemui kebahagiaan di sana. Aku akan mengajakmu memasuki agama baru, Islam namanya. Aku juga akan mengajakmu mengenal seorang lelaki, Iman Sumantri namanya, si Pangeran Kelan. Mungkin semua itu akan membuatmu sedikit bahagia.

    Bisakah kita keluar dari sini? Kadarmanik mendadak ketakutan mengingat kesaktian sang Majusi. Tenanglah, aku bisa masuk ke sini, maka aku juga akan bisa keluar dari sini. Majusi dan prajurit-prajurit tembaganya sedang berpesta. Mereka akan lena dan tak menyadari kepergian kita. Untuk Raden Hirman, biarlah guling tidurmu yang menggantikanmu. Selesai menyulap guling tidur menjadi sosok Kadarmanik, Rengganis membawa terbang sahabatnya itu menuju tanah Arab, menemui Pangeran Kelan.

    ***

    Wong Agung belum beranjak dari situasinya semula. Malah bertambah-tambah karena kabar Umarmaya yang menjadi tawanan Mukadam. Dengan kesedihan yang bercampur dengan kemarahan ia memerintahkan Maktal untuk menggempur Mukadam. Maktal segera berangkat membawa ribuan tentara Arab. Di perbatasan, perang besar pun tak terhindarkan. Prajurit logam Mukadam bersama prajurit Medayin bahu-membahu menghadang gerak laju pasukan Arab. Raden Hirman mengamuk mencari calon istrinya yang hilang. Ia beradu sakti dengan Maktal.

    Sementara itu Rengganis dan Kadarmanik telah sampai di taman Banjaran Sari. Pangeran Kelan yang kehilangan ingatannya mendadak sembuh begitu diusap wajahnya oleh Rengganis. Mereka bertiga segera bergerak menuju Mukadam untuk menyelamatkan Umarmaya.

    Singkatnya, Umarmaya selamat, tapi pasukan Arab menderita kekalahan hebat. Hampir separo pasukan binasa tak kuasa menghadapi pasukan logam yang kebal dan tak mengenal kematian. Mereka mundur kembali ke kota. Maktal yang terluka berat berusaha diselamatkan.

    Di tengah jerit tangis kekalahan itulah Kadarmanik membuka rahasia kesaktian sang Majusi. Ia memiliki air abadi, Tirta Perwitasari. Di sanalah nyawa pasukan tembaga itu berada. Rengganis dan Umarmaya segera berangkat. Umarmaya mengenakan kopiah wasiat yang membuatnya tak bisa terlihat. Mereka segera menuju kediaman sang Majusi.

    ***

    Mukadam tengah berpesta kemenangan. Raden Hirman berusaha menghilangkan kepedihannya dengan meminum air keras sebanyak-banyaknya. Prabu Nusirwan sama sekali tak peduli dengan luka anaknya. Ia sibuk merayakan kekalahan Arab. Wong Agung, kematianmu semakin dekat. Ucapnya berkali-kali dalam hati. Ia bersulang dengan Raja Mukadam, mengikat hubungan sehidup semati.

    Dan sang Majusi pun makin jumawa dengan kemenangan yang telah diraihnya. Pujian demi pujian yang dialamatkan kepadanya membuatnya lupa daratan dan tak menyadari bahaya yang tengah mengancam.

    Rengganis mengetuk pintu rumahnya. Sedang Umarmaya yang tak kasat mata berada di belakang Rengganis. Meski tahu Majusi tak akan melihatnya, pendekar jenaka itu tetap ngumpet di belakang gadis sakti itu. Majusi yang lupa diri menyambut kedatangan Rengganis bagai kekasihnya. Lebih-lebih Rengganis mengaku sebagai putri yang dihadiahkan Nusirwan kepadanya. Majusi segera menggendong Rengganis, sementara Umarmaya, begitu persembunyian diambil, menyelinap ke balik pintu.

    Majusi membawa gadis impiannya masuk ke kamar. Keadaan itu tak disia-siakan oleh Umarmaya. Segera ia mencari-cari di mana letak Tirta Perwitasari. Ia bergerak dengan cepat sebelum Majusi tersadar akan bahaya yang masuk ke dalam rumahnya. Di dalam kamar Rengganis menembang membuat sang Majusi makin mabuk kepayang. Menembang sambil berdebar-debar menunggu kabar dari Umarmaya. Ah, jika saja Majusi tahu bahwa tembang itu adalah tembang kematiannya.

    Saudara, sepuluh lagu telah berlalu tapi Umarmaya belum juga berhasil menemukan di mana air abadi itu disimpan. Rengganis mulai dibasahi keringat dingin. Majusi sudah mulai tak sabar kepingin segera meniduri kekasihnya. Ia mulai menaiki tubuh Rengganis yang tak punya alasan lagi untuk menunda persetubuhan. Dan di saat Majusi membuka satu per satu pakain yang dikenakan Rengganis, mendadak terdengar suara tempayan pecah. Keras. Dari arah ruang belakang. Majusi tersentak. Tanpa menghiraukan Rengganis yang tergolek di ranjang ia melesat ke kamar belakang di mana ia menyimpan air pusakanya. Dan terlambat. Tempayan wadah air itu telah dipecah oleh Umarmaya. Dan tanpa bisa diselamatkan lagi air abadi segera lenyap meresap ke dalam tanah. Kembali ke muasalnya. Majusi menjerit panjang meneriakkan kekalahannya. Di saat itu Umarmaya dan Rengganis telah melayang terbang kembali ke Arab.

    ***

    Pasukan Arab menyambut kedatangan kedua pahlawannya. Kemenangan seperti sudah berada di tangan mereka. Tanpa berpikir panjang lagi mereka segera berbaris berangkat ke perbatasan untuk memukul mundur pasukan Mukadam dan Medayin. Tanpa air pusaka pasukan tembaga dengan mudah dihancurkan. Pasukan Medayin yang telah berulang kali menderita kekalahan melawan pasukan Arab bubar tidak karuan begitu melihat sekutu mereka ringsek dan meleleh terbakar. Prabu Nusirwan dan Raja Mukadam berlari ke ruang persembunyian di bawah tanah. Mereka mengutuk Majusi yang tak lagi sakti.

    Pasukan Arab pulang membawa kemenangan. Pesta kemenangan pun berlanjut dengan pesta perkawinan sang Pangeran Kelan dengan Rengganis dan Dewi Kadarmanik. Tapi belum lagi hidangan pesta perkawinan disuguhkan, sirene tanda bahaya meraung mengabarkan bahaya yang mengancam kota Mekah. Pesta bubar berubah menjadi jerit kepanikan warga kota.

    Wong Agung keluar dari istananya, dan di langit ia menyaksikan 40 kuda terbang menyerang kotanya dengan menjatuhkan bola-bola api. Mekah terbakar. Begitu cepat kehancuran itu terjadi. Tanpa sempat tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Wong Agung diam. Ia seperti mendengar kembali jerit kematian Adaninggar, 25 tahun yang lalu.

    ***

    Adaninggar, Wong Agung meremang mengenangnya. Putri Cina, anak raja Hong Te Te, pendekar perempuan yang luar biasa, pecinta yang tak mengenal menyerah. Konon, suatu malam, putri itu bermimpi bertemu dengan seorang lelaki. Paginya ia bangun dan wajah lelaki dalam mimpinya tetap berada dalam kepalanya. Berhari-hari ia demikian terganggu. Wajah lelaki yang sama sekali belum pernah dilihatnya itu melayang-layang dalam benaknya. Seperti berdiam, berumah dalam kepala perawan itu. Lalu dengan kebulatan hati Adaninggar meninggalkan daratan Cina, untuk memburu mimpinya. Ia yakin, wajah lelaki itu adalah wajah jodohnya. Wajah Wong Agung Jayengrana. Dengan Talikentular, selendang saktinya, Adaninggar terbang.

    Sampai di jazirah Arab Adaninggar menempel gambar wajah kekasihnya di mana-mana. Setiap lorong-lorong kota penuh dengan poster Wong Agung. Hingga sampailah poster cinta itu ke Medayin. Wong Agung yang waktu itu masih tinggal bersama Prabu Nusirwan, mertuanya, terganggu dengan kejadian itu. Ia perintahkan para prajurit untuk melepas poster bergambar wajahnya itu. Tapi tiap kali pagi dilepas, malam harinya poster itu telah kembali terpasang di tempatnya semula. Hingga akhir Wong Agung sendiri yang turun untuk menurunkan gambar-gambar wajahnya. Di saat itulah mereka bertemu untuk pertama kalinya. Adaninggar benar-benar jatuh cinta kepadanya. Tapi Wong Agung menolaknya mentah-mentah. Ia sudah punya beberapa istri yang luar biasa, untuk apa menambah satu lagi.

    Adaninggar tak kurang akal. Ia merayu Prabu Nusirwan dan akhirnya bisa menjadi selir. Mau tidak mau Adaninggar dan Wong Agung setiap hari ketemu. Dan Adaninggar bisa memberi perintah sesuka hati kepada menantunya. Sebagai anak, Wong Agung menuruti semua perintah ibunya. Kecuali bercinta dengannya. Saking gemesnya Wong Agung pernah diikat dan dicambukinya supaya mau menerima cintanya. Tapi Wong Agung tetap memanggilnya ibu.

    Adaninggar juga bersekutu dengan istri-istri Wong Agung, Sudarawreti dan Rabingu Sirtupaleli. Persekutuan mereka menjadi-jadi ketika Wong Agung berniat memperistri Kelaswara, prajurit perempuan, putri Raja Kelanjali. Adaninggar melabrak pesaingnya dan pertempuran dua prajurit perempuan itu pun terjadi. Kelaswara yang tak siap menghadapi serangan mendadak itu terdesak. Maklumlah, saat Adaninggar melabraknya, ia sedang tertidur pulas di kamar pengantin. Tubuh Adaninggar yang kebal dari beragam senjata hampir-hampir membuatnya putus asa. Kelaswara lalu berlari mengambil tombak Lusaka dan melemparkannya. Tombak kecil itu menembus dada kiri Adaninggar dan membuatnya tewas seketika. Sudarawreti dan Rabingu Sirtupaleli berniat membalas kematian sahabatnya, tapi buru-buru Wong Agung menengahinya.

    ***

    Sesungguhnya yang terjadi di langit Mekah adalah 40 kuda terbang dengan penunggang prajurit perempuan dari Cina datang menuntut balas kematian Adaninggar. Widaninggar, adik kandung Adaninggar, memimpin sendiri serangan itu. Dengan bantuan gurunya, Widaningrum, putri tunggal sang Ijajil alias si Begejil, 40 prajurit itu menjadi sakti luar biasa. Mereka mampu membakar kota Wong Agung dalam waktu yang singkat. Wong Agung tak salah, bencana itu datang dari kematian Adaninggar.

    Rengganis tak tinggal diam, dengan bantuan Dewi Kuraisin dari Ajrak, ia menghadang laju Widaninggar dan Widaningrum. Di tengah kemelut pertarungan itu, Prabu Nusirwan keluar dari persembunyian lalu lari mengungsi ke tanah Jawa. Meminta perlindungan kepada Kendit Birayung.

    Sampai di sinilah kisah Rengganis berakhir. Tapi perseteruan Wong Agung dan Nusirwan masih terus berlanjut.***

    BalasHapus
  12. Nama : Yohana Anjar Lestari
    NIM : 2102408099
    Rombel: 4

    SERAT RAMA KAWI

    Kakawin Rāmāyaṇa punika kakawin ingkang isinipun wiracarita Ramayana. Kakawin punika dipunserat mawi basa Jawa Kina, dipunidhep para pakar dipundamel ing Jawa Tengah pungkasan abad kaping 9 M, kirang langkung kiwa tengenipun taun 870. Kakawin punika dipunwastani adikakawin amargi kaanggep ingkang kapisan, panjang piyambak kaliyan saking saénipun basanipun saking mangsa Hindhu-Jawi.

    Sekar rupa kakawin puniki salah satunggiling vèrsi Indhia ingkang kathah prakawis cariyos sang Rama kaliyan sang Sita, wiracarita agung ingkang vèrsi pratamanipun sanjangipun para pandhita dipunanggit déning Walmiki ing basa Sansekreta.

    Ringkesan Cariyos

    Prabu Dasaratha saking negari Ngayodya kagungan putra sekawan; Rama, Bharata, Laksmana saha Satrughna. Satunggaling dinten wonten resi anami Wiswamitra ingkang nuwun tulung Sri Paduka Dasarata mbébasaken patapanipun saking para raksasa. Lajeng Rama saha Laksamana tindhak.

    Ing patapan mrika, Rama kaliyan Laksmana mejahi sedaya raksasa lajeng nuju negari Mithila amargi wonten mriku wonten sayembara. Sok sintena ingkang menang saged angsal putri raja anami Dèwi Sita. Lajeng para pasarta dipunkèn ngrentangaken gandhéwa panah ingkang nyertani wiyosanipun sang Sita. Mboten wonten ingkang saged kajawi Rama, lajeng kakalihipun krama lajeng wangsul dhateng Ngayodya.

    Ing Ngayodya Rama bakal dipunangkat dados ratu, amargi piyambakipun laré mbarep. Anging Kaikeyi, salah satunggiling garwa prabu Dasarata ingkang sanès ibu Rama sanjang menawi sri paduka naté ngandika menawi Barata ingkang bakal dados raja. Lajeng mawi abot manahipun raja Dasarata nulusaken panyuwunipun awit pancèn naté janji mekaten. Lajeng Rama, Sita kaliyan Laksmana tindhak nilar kedhaton. Sasampun pinten wanci, prabu Dasarata séda lajeng Barata madosi. Piyambakipun rumaos mboten pantes dados raja lajeng nuwun supados Rama kersa wangsul. Anging Rama nampik lajeng nyukani sandhalipun (basa Sansekreta: pāduka) marang Barata kados lambang kakuwasanipun.

    Lajeng Rama, Sita saha Laksmana wonten alas Dandaka. Ing mriku wonten raksasi anami Surpanakha ingkang kasengsem remen kaliyan Laksmana lajeng mindha dados wanodya ayu. Anging Laksmana mboten saged dipunrayu, malahan wusananipun pucuk irungipun keiris. Surpanakha nepsu lajeng pradul kaliyan kangmasipun sang Rawana. Piyambakipun saged mbujuki saha ngekèn Rawana nyulik Sita kaliyan ngepèk dados sèmahipun.

    Lajeng sang Rawana ndhawuhi Marica, satunggiling raksasa kanggé nyulik Sita. Marica pados upaya mindha dados kidang emas ingkang éndhah. Sita katarik lajeng nyuwun garwanipun supados mbedhog kidang punika. Rama nilar Sita kalih Laksmana, tindhak piyambak ngoyak si kidang emas. Si kidang emas gesit sanget, mboten saged dipuntangkep. Wusananipun Sri Rama anyel lajeng dipunpanah. Si kidang emas njerit kesakitan lan éwah malih dados raksasa, lajeng pejah. Sita ingkang wonten tebih nginten ingkang njerit punika Rama lajeng ngekèn Laksamana madosi. Laksmana mboten purun anging wusananipun purun sasampunipun dipunlèhaken kaliyan dipuntedhah Sita ajeng ngepèk piyambakipun. Wusananipun Sita dipuntilar piyambakan lajeng saged dipunculik Rawana.

    Jeritanipun sang Sita karungu déning peksi sang Jatayu ingkang naté dados réncangipun prabu Dasarata, lajeng usaha nulungi Sita. Anging Rawana langkung kiyat, saged ngalahaken Jatayu. Jatayu ingkang sekarat taksih saged nyukani laporan marang Rama saha Laksmana menawi Sita dipunbekta marang Lengka, ing kedhaton sang Rawana.

    Lajeng Rama saha Laksmana dhumateng ing kedhatonipun Rawana. Ing satunggiling tlatah manggihi para wanara saha ratunipun ingkang anami Bali. Bali punika nyulik sèmahipun kangmasipun. Wusananipun Bali saged dipunpejahi lajeng sèmahipun dipunwangsulaken marang Sugriwa. Sugriwa sumedya nulungi sang Rama. Wusananipun mawi wadya bala wanara kalih sénapatinipun Hanuman, satunggiling kethèk pethak, sedaya saged mejahi Rawana kaliyan mbébasaken Sita. Sita saged dipunboyong wangsung menyang Ngayodya lajeng sang Rama dados raja.

    BalasHapus
  13. Pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 00.37

    Pangestika Tuhu Kristanti mengatakan...

    Nama : Pangestika Tuhu Kristanti
    NIM : 2102408126
    Rombel : 4

    Serat Dewaruci



    Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
    Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
    Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
    "angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" .

    Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
    kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
    Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.

    R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.

    Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
    Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

    Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
    Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
    Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia."Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras," begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

    "Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:

    O Gilgamesh, whither do you fare?
    The life you seek, you will not find
    When the gods created man,
    They apportioned death to mankind;
    And retained life to themselves
    O Gilgamesh, fill your belly,
    Make merry, day and night;
    Make of each day a festival of joy,
    Dance and play, day and night!
    Let your raiment be kept clean,
    Your head washed, body bathed,
    Pay heed to the little one, holding onto your hand,
    Let your wife delighted your heart,
    For in this is the portion of man

    Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man".Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
    gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
    dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
    Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .

    Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
    air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

    Filosofi Dewa Ruci

    Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

    Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.

    Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

    Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

    Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.

    Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.

    Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:"Serat Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

    Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.

    Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.

    Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

    Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.

    Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
    Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

    Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

    Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.

    Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

    Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
    Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

    Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

    Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
    "Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.

    Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
    Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".

    Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
    Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

    Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

    Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

    Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
    Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

    Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

    Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.

    Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.

    Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
    Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
    Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

    Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.

    Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
    Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

    Kembali ke Negeri Ngamarta
    Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
    Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".

    MAKNA AJARAN DEWA RUCI

    - Pencarian air suci Prawitasari

    Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

    - Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka

    Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

    1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.

    2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.

    Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.

    - Raksasa Rukmuka dan Rukmakala

    Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.

    Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).

    Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)

    Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

    - Samudra dan Ular

    Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.

    Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

    1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.

    2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.

    3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

    4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.

    5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.

    6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.

    7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

    8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

    9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

    10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

    11. Samadi.

    12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

    Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci

    Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

    Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :

    - Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.

    - Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

    Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.

    Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

    Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

    Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

    Tusuk konde besar dari kayu asem

    Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

    Tanda emas diantara mata.

    Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

    Kuku Pancanaka

    Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.

    Melambangkan :

    1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.

    2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.

    Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
    2009 April 2 02:44

    BalasHapus
  14. pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 00.44

    Pangestika Tuhu Kristanti mengatakan...

    Nama : Pangestika Tuhu Kristanti
    NIM : 2102408126
    Rombel : 4

    Serat Dewaruci



    Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
    Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
    Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
    "angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" .

    Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
    kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
    Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.

    R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.

    Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
    Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

    Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
    Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
    Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia."Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras," begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

    "Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:

    O Gilgamesh, whither do you fare?
    The life you seek, you will not find
    When the gods created man,
    They apportioned death to mankind;
    And retained life to themselves
    O Gilgamesh, fill your belly,
    Make merry, day and night;
    Make of each day a festival of joy,
    Dance and play, day and night!
    Let your raiment be kept clean,
    Your head washed, body bathed,
    Pay heed to the little one, holding onto your hand,
    Let your wife delighted your heart,
    For in this is the portion of man

    Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man".Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
    gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
    dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
    Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .

    Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
    air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

    Filosofi Dewa Ruci

    Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

    Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.

    Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

    Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

    Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.

    Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.

    Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:"Serat Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

    Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.

    Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.

    Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

    Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.

    Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
    Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

    Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

    Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.

    Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

    Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
    Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

    Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

    Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
    "Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.

    Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
    Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".

    Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
    Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

    Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

    Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

    Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
    Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

    Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

    Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.

    Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.

    Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
    Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
    Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

    Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.

    Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
    Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

    Kembali ke Negeri Ngamarta
    Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
    Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".

    MAKNA AJARAN DEWA RUCI

    - Pencarian air suci Prawitasari

    Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

    - Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka

    Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

    1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.

    2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.

    Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.

    - Raksasa Rukmuka dan Rukmakala

    Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.

    Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).

    Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)

    Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

    - Samudra dan Ular

    Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.

    Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

    1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.

    2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.

    3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

    4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.

    5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.

    6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.

    7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

    8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

    9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

    10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

    11. Samadi.

    12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

    Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci

    Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

    Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :

    - Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.

    - Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

    Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.

    Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

    Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

    Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

    Tusuk konde besar dari kayu asem

    Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

    Tanda emas diantara mata.

    Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

    Kuku Pancanaka

    Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.

    Melambangkan :

    1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.

    2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.

    Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
    2009 April 2 02:44

    BalasHapus
  15. Pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 00.54

    Pangestika Tuhu Kristanti mengatakan...

    Nama : Pangestika Tuhu Kristanti
    NIM : 2102408126
    Rombel : 4

    Serat Dewaruci



    Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
    Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
    Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
    "angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" .

    Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
    kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
    Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.

    R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.

    Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
    Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

    Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
    Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
    Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia."Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras," begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

    "Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:

    O Gilgamesh, whither do you fare?
    The life you seek, you will not find
    When the gods created man,
    They apportioned death to mankind;
    And retained life to themselves
    O Gilgamesh, fill your belly,
    Make merry, day and night;
    Make of each day a festival of joy,
    Dance and play, day and night!
    Let your raiment be kept clean,
    Your head washed, body bathed,
    Pay heed to the little one, holding onto your hand,
    Let your wife delighted your heart,
    For in this is the portion of man

    Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man".Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
    gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
    dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
    Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .

    Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
    air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

    Filosofi Dewa Ruci

    Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

    Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.

    Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

    Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

    Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.

    Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.

    Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:"Serat Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

    Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.

    Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.

    Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

    Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.

    Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
    Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

    Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

    Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.

    Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

    Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
    Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

    Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

    Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
    "Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.

    Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
    Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".

    Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
    Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

    Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

    Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

    Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
    Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

    Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

    Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.

    Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.

    Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
    Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
    Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

    Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.

    Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
    Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

    Kembali ke Negeri Ngamarta
    Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
    Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".

    MAKNA AJARAN DEWA RUCI

    - Pencarian air suci Prawitasari

    Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

    - Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka

    Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

    1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.

    2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.

    Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.

    - Raksasa Rukmuka dan Rukmakala

    Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.

    Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).

    Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)

    Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

    - Samudra dan Ular

    Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.

    Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

    1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.

    2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.

    3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

    4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.

    5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.

    6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.

    7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

    8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

    9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

    10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

    11. Samadi.

    12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

    Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci

    Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

    Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :

    - Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.

    - Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

    Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.

    Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

    Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

    Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

    Tusuk konde besar dari kayu asem

    Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

    Tanda emas diantara mata.

    Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

    Kuku Pancanaka

    Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.

    Melambangkan :

    1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.

    2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.

    Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
    2009 April 2 02:44

    BalasHapus
  16. NAMA : NURUL HUSNIA NOVITA RATNADILLA
    NIM : 2102408074
    ROMBEL : 3

    SERAT JOKO LODANG

    Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara.

    Pupuh 2 (bait 1-8) : Ada suatu kerajaan yang bernama Dwarawati dengan rajanya bernama Kresna. Raja Kresna terkenal di dunia bermusuhan dengan raja Yawana yang bernama Kalayawana yang berbentuk Raksasa. Kresna tidak mau berhadapan di dalam peperangan, tetapi membuat strategi. Ia mencari perlindungan kepada Pendeta Mucukunda yang sedang tidur di gua di lereng Gunung Himawan Kresna. Kemudian, Yawana mengejar ke gua dengan suara keras sehingga Pendeta Mucukunda bangun dan sangat marah, keluar api dari matanya dan membakar kalayawana. Setelah Kresna menang barang rampasan perang dan wanita dari kerajaan Yawana dibawa ke Dwarawati.

    Pupuh 3 (bait 1-10) : Raja Kresna mengadakan upacara penyucian kerajaan. Seorang arsitek dari surga bernama Wiswakarmma dipanggil untuk memperindah istana, Dewa Baruna dipanggil untuk mengundurkan hempasan ombak laut. Dewa kekayaan dipanggil untuk menambah penghasilan rakyatnya. Dewa Bayu diminta untuk memindahkan tempat berkumpul para dewa Dwarawati.

    Pupuh 4 (bait 1-8) : Pupuh ini berisi uraian tentang keindahan istana dan di luar istana. Ada suatu tempat yang sepi dan sejuk yang dipergunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu.

    Pupuh 5 (bait 1-5) : Pupuh ini menceritakan keindahan sekitar tempat pemujaan.

    Pupuh 6 (bait 1-13) : Jarasandha, raja Karawira, akan menikahkan kemenakannya, yaitu Raja Cedi (Suniti) dengan Rukmini, puteri Bismaka, Raja Kundina. Raja Kundina menyetujui rencana Jarasandha.

    Pupuh 7 (bait 1-13) : Dewi Prethukitti, ibu Rukmini, justru tidak menyetujui perkawinan Rukmini dengan Raja Cedi. Ibunya menghendaki Kresna sebagai calon menantunya. Ia lalu mengutus dayang-dayang kepada Kresna. Dalam pesannya ia mengundang agar Kresna segera datang karena hari perkawinan antara Rukmini dan Raja Cedi sudah dekat. Utusan melaksanakan tugasnya untuk menyampaikan pesan Dewi Prethukirtti kepada Kresna.

    Pupuh 8 (bait 1-4) : Pupuh 9 (bait 1-5); Pupuh 10 (bait 1-11); Pupuh 11 (bait 1-4); Pupuh 12 (bait 1-16) : Pupuh-pupuh ini berisi uraian utusan ratu Prethukirtti mengenai kecantikan dewi Rukmini. Dewi Prethukitti menganjurkan cukup perkawinan gandarwa saja.

    Pupuh 13 (bait 1-7) : Kresna berminat terhadap usulan tersebut. Ia akan merencanakan datang ke Kundina secara diam-diam, tetapi akhirnya ia berangkat dengan tentaranya.

    Pupuh 14 (bait 1-10) : Kerajaan Dwarawati dan Kresna mengadakan persiapan- persiapan. Pada malam hari Kresna tidak enak hatinya karena memikirkan Rukmini.

    Pupuh 15 (bait 1-11) : Keesokan hari Kresna memuja Dewa Siwa, kemudian berangkat ke Kundina dengan bala tentaranya. Kresna mengendarai kereta kuda dengan Daruki sebagai sais (kusirnya). Pendeta muda yang bernama Meghadhwaja mengikuti Kresna dalam perjalanan itu. Ia sebagai penasihat Kresna.

    Pupuh 16 (bait 1-8); Pupuh 17 (bait 1-3); Pupuh 18 (bait 1-10); Pupuh 19 (bait 1-6); Pupuh 20 (bait 1-5); Pupuh 21 (bait 1-8); Pupuh-pupuh ini berisi uraian daerah-daerah yang dilalui rombongan Kresna. Pendeta muda Meghadhwaja mengingatkan tujuan perjalanan Kresna.

    Pupuh 22 (bait 1-12) : Dalam perjalanan, rombongan Kresna menyusuri pantai. Akhirnya, sampailah Kresna ke tanah Kundina di desa Dharmmasabha, desa yang indah dan banyak gedung yang besar. Setelah malam tiba, Kresna dijamu terlebih dahulu sebelum beristirahat.

    Pupuh 23 (bait 1-12) : Pupuh ini berisi uraian bala tentara Kresna yang sedang beristirahat.

    Pupuh 24 (bait 1-4) : Keesokan harinya Kresna dan tentaranya melanjutkan perjalanan.

    Pupuh 25 (bait 1-13) : Pupuh ini berisi uraian mengenai daerah yang dilalui. Setiba di Kundina, semua penduduk kota, khususnya para putri keluar rumah untuk melihat Kresna.

    Pupuh 26 (bait 1-7) : Penduduk kota memperhatikan Kresna dan rombongannya.

    Pupuh 27 (bait 1-8) : Kresna diterima di Kundina karena ia sepupu Rukmini. Di samping itu, tersebar kabar bahwa Dewi Prethukirtti lebih senang apabila bermenantukan Kresna. Orang-orang pun menganggap bahwa lebih pantas Kresna yang memperistri Rukmini.

    Pupuh 28 (bait 1-8) : Menjelang malam Raja Cedi dan Jarasandha tiba lebih dulu dan diberi tempat yang lebih dekat ke istana, Kresna dan tentaranya diberi penginapan di luar istana, karena semua rumah sudah penuh. Ia mengutus seorang dayang untuk mengirim surat kepada Rukmini yang sedang berada di taman sendirian.

    Pupuh 29 (bait 1-5) : Rukmini membaca surat cinta Kresna yang panjang dan penuh emosi di kamarnya.

    Pupuh 30 (bait 1-5) : Rukmini membaca surat Kresna. Ia merasa gelisah dan kemudian keluar lagi ke taman. Seorang pelayan yang setia datang mendekat dengan memberikan nasihat dan pudak agar Rukmini menuliskan perasaannya pada pudak.

    Pupuh 31(bait 1-19) : Semalam suntuk dayang-dayang menemani Dewi Rukmini dengan lagu-lagu dan tari-tarian yang mengasyikkan. Keesokan harinya Rukmini bertambah gelisah karena hari pernikahannya telah tiba.

    Pupuh 32 (bait 1-11) : Pagi hari suasana di kota telah ramai. Para istri pembesar dan Pendeta Siwa dan Budha menghadap ke istana. Putri Rukmini telah siap untuk dihadap.

    Pupuh 33 (bait 1-17) : Pupuh ini menguraikan kecantikan dan perhiasan Rukmini. Setelah selesai semua tamu istana pulang . Rukmini hanya tinggal bersama seorang dayang dan seorang pendeta wanita.

    Pupuh 34 (bait 1-11) : Pendeta wanita menghibur Rukmini dengan menceritakan kerajaan Dwarawati.

    Pupuh 35 (bait 1-17) : Pendeta wanita dan dayang-dayang Rukmini membicarakan keindahan perkawinan dan membandingkan Kresna dan Cedi.

    Pupuh 36 (bait 1-6) : Rukmini kelihatan berbahagia mendengar percakapan para pembantunya. Namun saat melihat keadaannya, tiba-tiba ia bersedih hati dan menangis.

    Pupuh 37 (bait 1-6) : Rukmini menyadari keadaannya sehingga menangis terus.

    Pupuh 38 (bait 1-14) : Ketika Rukmini menangis, datanglah utusan dari ibunya agar ia siap-siap melarikan diri karena saatnya telah tiba. Ibunya mengingatkan pula akan bahayanya. Istana dijaga ketat dan di luar Raja Cedi berjaga dengan tentaranya, serta Kresna tidak jauh dengan Raja Cedi. Rukma, kakak Rukmini, justru yang lebih ditakuti, sebab selalu menjaga adiknya dan menjadi teman baik Raja Cedi. Rukma memaksakan Rukmini kawin dengan Raja Cedi.

    Pupuh 39 (bait 1-11) : Dayangnya menyarankan agar Rukmini menyamar sebagai pertapa perempuan. Pada mulanya Rukmini ragu-ragu karena hal itu kurang pantas sebagai ksatria, tetapi akhirnya ia setuju. Ia segera menanggalkan perhiasannya dan meninggalkan istana dengan ditemani oleh seorang pembantu. Ia melalui semua rintangan tanpa mengalami kesulitan. Ia merasa seolah-olah menyeberangi sungai yang dalam dan berbahaya dan kini selamat.

    Pupuh 40 (bait 1-12) : Kresna didatangi dayang-dayang yang memberitahukan kedatangan Rukmini. Setelah Rukmini datang, ia dinaikkan ke atas kereta perang, lalu mereka berangkat pergi. Baladewa menantikan kedatangan raja-raja yang bermaksud mengejar Rukmini dan Kresna. Istana Kundina pun gempar akan hilangnya Rukmini. Raja Bismaka semula tidak percaya kalau Rukmini lari dengan Kresna.

    Pupuh 41 (bait 1-11) : Lalu, diadakan perundingan di istana Kundina.

    Pupuh 42 (bait 1-11) : Pangeran Rukma menghadap Bhismaka. Rukma mencela ayahnya karena ia lalai mencegah penculikan Rukmini dan tidak tahu peranan Prethukirtti yang pantas dicela. Ayahnya menasihati Rukma.

    Pupuh 43 (bait 1-8) : Nasihat Raja Bhismaka kepada Rukma mengenai kebijaksanaan duniawi serta tugas seorang raja.

    Pupuh 44 (bait 1-8) : Nasihat Raja Bhismaka kepada Rukma.

    Pupuh 45 (bait 1-7) : Pangeran Rukma tidak mau mendengarkan nasihat ayahnya. Ia tetap akan membalas perbuatan Kresna.

    Pupuh 46 (bait 1-8) : Pangeran Rukma meninggalkan istana. Di luar istana, bala tentara sudah menantikan kedatangannya, tinggal menunggu perintah. Kemudian, Pangeran Rukma berpakaian perang lapis baja dengan senjata di tangan. Pasukan bergerak dengan suara bergemuruh sambil diiringi musik.

    Pupuh 47 (bait 1-8) : Pangeran bersama Raja Cedi dan Raja Maghada beserta tentara masing-masing berangkat perang. Sementara itu Baladewatelah mengatur posisi para kaum Yadu dan Wresni.

    Pupuh 48 (bait 1-8) : Pupuh ini berisi uraian keadaan tentara yang telah siap untuk bertempur.

    Pupuh 49 (bait 1-11); Pupuh 50 (bait 1-14); Pupuh 51 (bait 1-2) : Pupuh ini berisi uraian mengenai keadaan pertempuran.

    Pupuh 52 (bait 1-11) : Pangeran Rukma mendekati Kresna. Ia marah sekali ketika melihat Rukmini beserta Kresna dan menuduh Kresna berbuat hina. Kresna menolak tuduhan itu. Bagi kesatria berlaku kebiasaan yang umum diterima, yakni calon istri harus diculik. Terdorong oleh masa marahnya, Rukma melepaskan anak panahnya, tetapi semuanya tanpa hasil karena digagalkan oleh yoga Kresna.

    Pupuh 53 (bait 1-14) : Kresna yang semula tidak mau melawan akhirnya mulai menyerang karena ia terus diserang oleh Rukma. Anak panah Kresna mencerai beraikan pasukan Kundina dan menghancurkan kereta Sukma. Pada saat Rukma jatuh dan terbaring tak berdaya di tanah, Rukmini memegang kaki Kresna dan memohon agar kakaknya tidak dibunuh.

    Pupuh 54 (bait 1-9) : Pupuh ini berisi permintaan Rukmini kepada Kresna dan Rukma.

    Pupuh 55 (bait 1-7) : Kresna mengabulkan permintaan rukmini dan membiarkan Rukma pergi. Perang berakhir dan Kresna melanjutkan perjalanan ke Dwarawati.

    Pupuh 56 (bait 1-5) : Kresna dan Rukmini serta tentaranya, yaitu kaum Yadhu dan Wresni, tiba di Dwarawati. Semua kembali kerumah masing-masing. Orang-orang di Dwarawati bangga karena Kresna menang dan memboyong Rukmini.

    Pupuh 57 (bait 1-12) : Kresna dan Rukmini menikmati cinta mereka.

    Pupuh 58 (bait 1-12) : Pupuh ini berisi uraian tentang keindahan tempat Kresna dan Rukmini sedang berada.

    Pupuh 59 (bait 1) : Pupuh ini berisi perkawinan Kresna dan Rukmini yang saling mencintai seperti Arddhanariswara kesatuan Siwa dan Parwati).

    Pupuh 60 (bait 1-3) : Rukmini mempunyai sepuluh anak. Selain Rukmini, Kresna mempunyai isteri sebanyak 10.000 orang dan semuanya cantik.

    Pupuh 61 (bait 1) : Dewi Sri menjelma menjadi 16.000 orang isteri Raja Kresna.

    Pupuh 62 (bait 1) : Cerita ini hasil gubahan Mpu Triguna.

    Pupuh 63 (bait 1) : Dahulu Raja Airlangga mempunyai adikawi Mpu Kanwa, sekarang Raja Warsajaya mempunyai adikawi Mpu Triguna.

    Kolofon A (bait 1-2); Cerita ini terkenal dengan dengan cerita Kresna (Kresnayana) ditulis di Pulau Bali tempat kediaman Pendeta Mpu Suranantha, seorang pendeta dari golongan Siddhanta.

    BalasHapus
  17. NAMA : MARLIANA DYAH CAHYANI
    NIM : 2102408075
    ROMBEL : 3

    SERAT RAMA

    Ajaran SRI RAMA berdasarkan “Serat Rama” atau Ramayana Kakawin, yang disadur oleh pujangga Yasadipura I dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Kamajaya.

    BARATA BERTAKHTA SEBAGAI RAJA AYODYANEGARAMELAKSANAKAN AMANAT DAN
    AJARAN SANG BIJAKSANA RAMAWIJAYA

    “Ketahuilah adinda, bahwa raja yang memimpin negara adalah pemimpin masyarakat dan sekaligus rakyatnya. Raja berkewajiban pula menjaga seluruh dunia.
    Pedoman sebagai pegangan raja menjalankan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:
    1. Perhatikan dan ikutilah ajaran-ajaran kesatriaan. Peganglah sebagai pedoman kitab-kitab suci dan ikutilah perintah dalam kitab-kitab agama. Dengan berbuat demikian, niscaya akan datang kebahagiaan kepadamu.

    2. Peliharalah rumah-rumah Dewa (agama), yang suci, rumah-rumah sakit dan tanah milik bangunan suci.

    3. Peliharalah biara-biara dan perhatikanlah tempat-tempat suci dan rumah pedewaan. Jalan, pasanggrahan, air mancur, telaga, empang, tambak, pasar, jembatan dan segala apapun juga yang dapat membawa kesejahteraan rakyat, itu wajib adinda selenggarakan.

    4. Pertanian wajib dikerjakan oleh raja dengan penuh perhatian terus-menerus. Dari pertanian ini datanglah segala macam bahan pangan yang sangat penting untuk negara.

    5. Perbesarlah jumlah emas (harta) untuk biaya yang menuju kearah terjaminnya kebahagiaan. Adinda dapat mengeluarkan emas dan harta sesuka hatimu, asal saja untuk kebahagiaan rakyatmu. Ini berarti, bahwa dengan menjalankan darma (amal perbuatan), adinda juga membawa kebahagiaan untuk orang lain agar mengecap kenikmatan bersama.

    6. Raja yang dihormati rakyat ialah raja yang tahu suka duka rakyatnya dengan sempurna dan terus menerus, begitu pula usahanya untuk mendengarkan kesusahan yang diderita oleh seluruh rakyat di negaranya. Sebab inilah kewajiban abadi seorang raja.

    7. Tolonglah setiap orang diantara rakyatmu yang mengajukan keluh kesahnya dan janganlah diam. Adinda tidak boleh menghina siapapun juga, bahkan terhadap seseorang yang rendah sekalipun. Jangan menghina mereka yang minta pertolongan.
    8. Cobalah untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintahan yang baik, wahai adinda. Pertajamlah hatimu dan jadikanlah hal ini sebagian dari kebijaksanaanmu.

    9. Susunlah rencanamu untuk waktu yang akan datang guna memelihara dunia dan menjamin berlangsungnya keamanan dan ketertiban.

    10. Periksalah angkatan perangmu dan berilah latihan kepada tentaramu dan perhatikantah tentang kemahirannya. Siapa diantara mereka yang memperlihatkan kecakapan yang lebih dari yang lain, ia wajib dinaikkan pangkatnya. Sebaliknya yang memperlihatkan kekurangannya, wajib dilatih lebih mendalam.

    11. Latihlah gajah, kereta perang, begitu pula kuda dan siapkanlah itu untuk menyerang.

    12. Masukkanlah musuhmu dalam perangkap dan binasakanlah mereka itu dengan tali pemukulmu, sehingga mereka itu binasa seperti air yang mengering. Seranglah musuhmu dengan segala jalan dan segala perhitungan. Janganlah kamu tunda pembasmian orang-orang jahat.

    13. Pahlawan yang dikatakan tidak ada bandingannya ialah apabila ia memiliki kekuatan seperti singa yang ditakuti dan apabila ia membunuh musuh dengan tepat.

    14. Jauhkanlah dirimu dari orang-orang yang mempunyai perangai jahat, karena mereka itu menimbulkan kerusakan dan menyebabkan negara menjadi mundur. Bila adinda bersama mereka, maka pegawai yang baik menjauhimu, sedangkan teman-temanmu makin jauh dan musuhmulah yang dekat kepadamu.

    15. Seorang pegawai itu buruk apabila ia acuh. Dengan demikian ia tak tahu hormat dan melanggar sopan santun. Ia dapat diumpamakan sebagai kambing yang takut dan hormat kepada pohon yang miring, ia dengan gembira memanjatnya dan dengan seenaknya serta tidak ragu-ragu berlari-lari diatas batangnya.
    Pegawai jahat niscaya akan kelihatan dan jangan menaruh kepercayaan kepadanya.

    16. Perhatikanlah gerak-genik mereka yang mengabdi kepadamu sebagai pegawal. Selidikilah tentang kepandaiannya dan kesetiaan mereka terhadap kamu. Apabila ia bertabiat baik dan memiliki sifat-sifat baik, ia harus kamu hargai, sekalipun ia masuk keturunan rendah. Lebih utama apabila kamu terima seorang dan keturunan baik-baik.

    17. Perhatikan dan selidikilah sikap segala pegawaimu apakah mereka itu berpengetahuan dan tahu tentang kenegaraan dan pemerintahan, patuh dan berkelakuan baik, apakah tidak bohong dan berbakti serta taat dalam pengabdiannya kepadamu, kepada negara, dan apakah mereka tidak jahat?. Dalam hal ini adinda harus mengetahui apa yang buruk dan apa yang baik. Adinda dapat mencegah mereka dari perbuatan yang menyesatkan.

    18. Setiap orang pegawal wajib tahu tentang kepegawaiannya dan ia harus setia kepada pemerintahnya. Begitu pula ia harus tahu tentang pekerjaannya dan tidak segan untuk membuat pekerjaan baik.

    19. Janganlah lekas-lekas memberi hadiah kepada pegawai, sebelum adinda menyelidikinya. Apabila adinda memberi sesuatu kepadanya, berikanlah kepadanya lebih dahulu suatu tugas, sehingga mencapai hasil. Jika terbukti, bahwa ia tetap pendiriannya untuk mengabdikan dirinya kepadamu, ini berarti bahwa adinda disegani dan rakyatmu mencintaimu sebagai manikam yang sakti dan membawa kebahagiaan.

    20. Apabila adinda tahu sungguh-sungguh yang adinda kerjakan, dapat dikatakan adinda memiliki pepengetahuan yang sempurna seperti Dewa-dewa. Siapa yang tahu tentang kepandaian, ialah yang disebut serba tahu.

    21. Bebaskanlah diri dari hawa nafsu dan kedengkian. Jauhkanlah darimu dari kecemburuan dan bersihkanlah dirimu. Dengan jalan itu adinda akan di segani. Ketahuilah, bahwa raja yang memperlihatkan keangkuhan akan kehilangan kewibawaannya karena ditinggalkan oleh wahyunya.

    22. Angkara murka wajib diberantas; demikian pula perbuatan tercela haus dibasmi.

    23. Kekayaan lahiriah, harta, benda dan pangkat tidak boleh menimbulkan kemabukan lupa daratan. Semua itu boleh mendatangkan kesenangan yang terbatas.

    24. Ajaran kitab-kitab Sastra harus dijalankan dengan tidak henti-hentinya. Sekalipun itu sukar dilaksanakan, namun setiap orang harus mentaatinya. Bilamana banyak orang taat dan tahu akan ajaran kitab-kitab suci serta berpegang kepadanya, maka mereka akan melahirkan pedoman kebenaran.

    25. Tunjukkanlah keikhlasan hatimu apabila memberi hadiah kepada orang-orang brahmana dan pendeta yang terkemuka.

    26. Cobalah selalu tenang dan berbelas kasihan dan janganlah menunjukkan ketakutan kepada apa dan siapa yang adinda takuti.

    27. Jangan berdusta, sebab dusta menyebabkan kejahatan. Dengan demikian adinda akan menghadapi malapetaka dan akan dicela.

    28. Apabila adinda mencela seseorang, kerjakan sendiri yang tepat dan janganlah adinda terlalu dikuasai oleh hawa nafsu. Sabda raja harus sesuai dengan perbuatannya. Perjudian dan perbuatan hina jangan adinda kerjakan.

    29. Basmilah kemabukan pikiran yang angkuh; hilangkanlah itu dari hatimu, sebab keangkuhan itu mencemarkan dan menyuramkan penglihatan.

    30. Kesaktian dan kepandaian menyebabkan kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk memiliki kedua hal itu bukanlah ringan. Orang-orang baik yang berpengetahuan dan faham tentang kitab-kitab ini patut adinda hargai. Apabila adinda memiliki beberapa macam kepandaian, pastilah rakyat mencintaimu.
    Jauhilah perbuatan mengadu domba dan pujian yang menyesatkan.

    31. Apabila sesuatu kejahatan telah jelas bentuknya, bertindaklah apabila perbuatan itu memang salah, Binasakanlah orang yang berdosa. Akan tetapi selidikilah hal ini dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya apabila ia berjasa, berikan kepadanya hadiah dan kepuasan. Inilah hak raja untuk memberi anugerah atau memberi hukuman.

    32. Ada lima macam bahaya yang sungguh mengancam ialah:
    1. Apabila ada pegawai yang dalam menunaikan tugas di daerah menderita karena terik matahari.
    2. Adanya sejumlah banyak pencuri;
    3. Apabila kekacauan dan kejahatan merajalela;
    4. Adanya orang-orang yang menjadi dan dijadikan “anak emas” pembesar.
    Kejadian seperti itu dapat dianggap sebagai kejahatan; dan
    5. Keangkara-murkaan raja.
    Lima macam bahaya itu harus dibasmi atau dicegah sebelum timbul dan merajalela

    33. Ketahuilah adinda Barata, bahwa raja dapat diumpamakan batara Surya yang memanasi dunia oleh sifatnya. Demikianlah halnya dengan seorang raja yang membinasakan orang jahat. Bulan memberikan rasa cinta dan disegani oleh seluruh dunia Begitulah juga hendaknya perbuatan raja dalam memperhatikan dan memelihara rakyatnya.

    34. Sebagai raja adinda dapat disamakan dengan sebuah bukit, sedangkan rakyatmu diumpamakan pohon-pohonan yang tumbuh di lerengnya. Pohon-pohon itu hidup dan dijamin hidupnya oleh bukit.

    35. Adindaku Barata yang tercinta, itulah sesama kewajiban adinda sebagai raja yang berusaha menjaga keselamatan dunia yang bahagia. Adinda wajib mempertinggi perhatian kepada orang lain dan menaruh belas kasihan kepada rakyatmu, dan seluruh kesukaran duniapun harus adinda perhatikan.
    Demikianlah nasihat wejangan sang bijaksana Ramabadra kepada adinda Barata yang direstuinya duduk di atas takhta Ayodyanegara sebagai raja memimpin tampuk pemerintahan, memimpin masyarakat dan rakyatnya.

    Setelah bersembah sujud dengan khidmat kepada Rama dan Sinta, dan setelah satria Laksmana menyembah Barata, maka dengan ijin dan restu serta puji jaya-jaya dan kakandanya sang Ramawijaya, Barata dengan segenap pengiringnya turun dan bukit Citrakuta, kemudian berangkatlah meninggalkan hutan menuju ke ibukota Ayodya.

    Kewajiban sebagai raja telah menantinya. Dengan merayakan “terompah sang Rama” dan menerapkan ajaran sang bijaksana, maka aman sentosa sejahteralah Ayodyanegara dibawah pemerintahan raja Barata.

    BalasHapus
  18. Purwa prasetyaningrum7 April 2009 pukul 01.44

    Nama :Purwa prsetyaningrum
    Nim : 2102408093
    Rombel; 3
    SERAT CEMPORET

    DANDANGGULA
    Karya : PB IX

    * Songsoggora (payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah)
    * Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.
    * Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.



    * Negeri itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan. Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.
    * Yang sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.
    * Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri Sadana.
    * Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para pemelihara ternak dan semua pedagang daging.
    * Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu malam.
    * Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.
    * Jadilah ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah kerajaan yang sejahtera.
    * Adapun yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh kewibawaan.
    * Ketika ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.
    * Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya. Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari mancanegara.
    * Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap dengan daerah kekuasaannya.
    * Demikianlah telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul. Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.
    * Yang wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu, sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.
    * Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas, segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.
    * Sri Baginda keluar dari tempat samadinya, pergi tanpa pengiring dengan cara menyamar. Syahdan bergantilah yang diceritakan, Kyai Buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon bernama Buyut Samalangu, putra Buyut Salinga cucu seorang biku sakti yang bernama Resi Samahita.
    * Buyut Samalangu itu beristri jin, mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Yang tua perempuan bernama Rara Srini, adiknya bernama Jaka Sarana, tampan. Karena pengaruh tapa, kedua anaknya tidak serupa dengan anak kelahiran desa akan tetapi seperti putra raja.
    * Keduanya selalu menjadi hiasan berita di desa-desa dan dukuh-dukuh sekitar Sendangkulon, Orang membayangkan perasaannya betapa bahagianya andaikata terbalas cintanya. Akan tetapi tidak terpenuhi karena takut kepada Ki Buyut, yang bertabiat lemah lembut serta selalu berprihatin dalam sembahnya untuk menjaga keselamatan keluarga.
    * Tersebutlah Ki Buyut yang tengah memohon sepenuh hati, bertafakur dalam sanggarnya. Hatinya terpusat kepada anak, semoga mendapat anugerah kemurahan dewata, terpilih oleh raja. Permohonannya terkabul bersamaan dengan turunnya wahyu diwaktu tengah malam.
    * Turunlah istrinya, jin yang bernama Diah ratna Sriwulan, ia datang dengan tiba-tiba dan Ki Buyut segera bersiap di tempat yang sepi. Setelah ditanya maksud kedatangannya, istrinya lalu memberi petunjuk dengan jelas, suaminya diminta supaya membenahi rumah karena akan ada tamu.
    * Bukan tamu sembarang tamu dari golongan rakyat biasa, namun seorang raja yang menguasai sebuah kerajaan yang berpust di Pagelen bergelar Sri Manuhun. Kedatangannya karena menaati petunjuk. Ia sedang masygul karena kedua anaknya menderita cacat. Ia memperoleh petunjuk supaya menemuimu hendak minta isyarat.
    * Kelak pasti mempunyai putra yang tampan, petunjuk itu benar-benar dilaksanakan, ia datang seorang dari tanpa pengiring. Karena memang sudah kehendak dewata, dan sudah takdir Rara Srini menjadi perantara, ia dipersitri oleh raja, untuk menurunkan keturunan yang mulia, sekaligus menarik saudara sekandung ikut merasakan kebahagiaan.
    * Mendengar hal itu Kyai Buyut gembira di hati, lalu ia bertanya “ Wahai adinda, bagimana caranya agar hal itu bisa terlaksana secara meyakinkan sesuai dengan kehendaknya, terbuka secara serasi “ Ratna Sriwulan menjawab “ jangan kuarti ! sayalah yang akan mengatur dengan menggunakan siasat.
    * Atau sarana sebagai tabir, anda menggunakan cara terbuka pasti nanati ada tanda-tandanya yang bercirikan tulisan. Jelaskan apa adanya, jika sudah ada buktinya, disitulah saatnya menerka-nerka isyarat, yang cocok dengan petunjuk yang harus ditafsirkan, lalu tinggallah puji dan doa.
    * Sesudah selesai memberi penjelasan, sang dewi lalu pamit kepada suami, dalam sekejap mata mata ia telah lenyap, gain tertutup suasana. Tersebutlah Kyai Buyut, ketika hari menjelang pagi ia memberi tahu anaknya supaya memperpatut tata rumah, yang disuruh mengiakan keduanya mulai bersiap-siap.
    * Patanenya dibersihkan semua diberi bunga yang harum, lantainya dihampiri tikar berderet-deret, minuman diatur diatas para-para dengan sesajian lengkap dan penuh, tak ada yang mengecewakan. Ki Buyut diberi tahu oleh anaknya, bahwa segala persiapan di dalam rumah sudah selesai, ia merasa gembira lalu gembira.
    * Untuk menyongsong kedatangan raja, tak lama kemudian bertemu di pagar rumah, kedua-duanya merasa gembira. Ki Buyut Samalangu gopoh-gopoh mempersilakan dan raja, setibanya di dukuh menanggapi dengan seneng, lalu masuk ke rumah. Sri Baginda dipersilakan duduk di petanen yang sudah diatur, dengan senang hati ia duduk tanpa ragu-ragu.
    * Kyai Buyut duduk menunduk di hadapannya bersama kedua orang anaknya, beberapa saat kemudian Ki Buyut mengucapkan sambutan selamat datang “ Atas kedatangan Sri Baginda, hamba merasa sangat beruntung bagaikan kedatangan dewata, yang menganugerahi kemuliaan tanpa bandingan melingkupi segala-galanya.
    * Sampai pohon-pohon dan daun-daun semuanya senyap, semuanya bertmabha indah dan semakin subur karena terlindung oleh kewibawaan manikam kerajaan yang luhur, hamba bagaikan mimpi, apakah gerangan yang paduka kehendaki sehingga datang menyamar seorang diri tanpa pengiring, pagi-pagi bener tersesat dan berkenan mengunjungi pondok hamba.
    * Tiada lain hamba mohon aksama, siap menerima kemurkaan paduka, jika sekitarnya kurang tata krama. Karena hamba hanyalah pacal dukun, yang tak mungkin tahu akan sopan santun. “ Sri Baginda menjawab “ Sudahlah, jangan berkata demikian. Memang sengaja saya sampai di sini, sebabnya ialah karena taat kepada petunjuk, Sri Baginda lalu menjelaskan duduk persoalannya.
    * Sejak awal hingga akhirnya bertemu, kemudian ujarnya meminta “ Sesungguhnya aku mengharapkan pertolonganmu, terserah bagimana petunjukmu, aku menurut “ Mendengar penuturan Sri Baginda, Kyai Buyut benar-benar takjub, lalu berdatang sembah, “ Duhai junjungan hamba, sungguh tak terbayangkan keajaiban kehendak dewa itu, namun apa kemampuan hamba.
    * Orang desa lagi hanya petani jelata, paling-paling hanya mengolah tanaman menanam biji-bijian seadanya, seperti jepen, jali, jawawut, bijen, cantel, jatil, kedali sebagai mata pencarian untuk selama-lamanya. Mustahil untuk menduga-duga masalah kesaktian yang benar-benar tidak mungkin melaksanakannya, oleh karena itu hamba berserah diri.
    * Ke bawah kaki paduka, menghaturkan hidup dan mati hanya karena merasa bertanggung jawab, namun hati ini ternyata buntuk. Mengapa dunia jadi terbalik, junjungan minta sarana kepada rakyatnya, tentu tidak akan terjadi, lautan mengalir ke kubangan air, demikianlah jika diumpamakan dengan air.
    * Tidak sesuatu dengan kodrat dunia, dan keajaiban itu seribu langka. Sungguh hamba tidak dapat memikirkan kehendak Sri Baginda yang demikian, yang terjadi sejak jaman dahulu kala bagi seorang raja, jika ada rakyatnya yang kekurangan sandang pangan maupun kegelapan budi, rajalah yang mengatasinya.
    * Raja Pagelen berkata lembut, “Hai, paman. Meskipun demikian, namun aku ini menaati petunjuk dewata, yang tidak akan ingkar meski kita mengingkarinya. Dewata selalu mengetahui segala gerak-gerik umatnya. Aku tetap mendesak dan berusaha sampai berhasil. Meskipun hanya sekedar kata-kata tanpa dasar yang aku peroleh, biarlah. Akan kuterima juga.
    * Asalkan engkau yang menjadi lantaran memberi sarana, saya akan merasa puas. “Ki Buyut berdatang sembah dengan suara lemut, “Wahai, Sri Baginda. Jika demikian kehendak paduka, hamba tidak akan ingkar lagi, karena terdesak oleh kebutuhan dan karena ingin mengamini, hamba hendak menunjukkan jalan menurut cara orang orang kecil berdasarkan ilmu orang dusun.
    * Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan, sesuai dengan petunjuk, yang gamblang dan terang. “Sri Baginda berkata lagi, “Nah paman! Jangan ragu-ragu. Laksanakanlah segera ilmumu seadanya. “Ki Buyut segera mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil tertutup.
    * Sesudah diletakkan di hadapan Sri Baginda, sekarang silahkan paduka mengambil sastra wedar tanpa aksara. Pilihlah satu yang paduka kehendaki. “Sri Baginda heran sekali melihatnya karena caranya yang sangat ajaib dalam melakukan usaha mendapatkan petunjuk.
    * Beberapa saat kemudian Sri Baginda mengambil sastra wedar. Ketika diteliti tampak ada tulisannya, kemudian dibaca, dan berbunyi: “Hai, Sri Baginda! Sudilah engkau mengambil srini sebagai sarana, yang akan merupakan pagar kesalamatan. “Sri Baginda terdiam. Ia belum dapat menagkap sasmita atau petunjuk yang tertulis itu. Relug kalbunya masih ruwet.
    * Akhirnya Sri Baginda berkata, “paman Buyit. Coba jelaskan makna kalimat ini. Apa gerangan maksudnya. Aku belum dapat menagkap artinya. “Kyai Buyut tersenyum berdatang sembah, “Hamba mohon maaf. Seyogyanya paduka mengambil lagi. Siapa tahu, petunjuk tulisannya berlainan. “Sri Baginda tidak menolak.
    * Kemudian mengambil lagi selembar daun tal, lalu selembar lagi, hingga tiga kali. Semua tiada bedanya. Aksara dan kalimatnya sama, seperti yang sudah-sudah. Hati Sri Manuhun masih tetap bingung, akan tetapi kebingungannya tidak diperlihatkan. Sambil memikirkan pemecahannya, barang kali menemukan jawaban, Sri Baginda berpura-pura.
    * Mendekati Ki Buyut, lalu berkata lembut, “Paman, saya tertarik kepada kedua anak yang menghadap itu. Tingkah lakunya terampil. Yang laki-laki maupun yang perempuan serba luwes dan sangat pantas rupanya. Menilik ujudnya, mungkin kakak adik. Apakah itu anak-anakmu ?”
    * Kyai Buyut menjawab dengan sebenarnya demikian “ Duhai Sri Baginda, benar ia anak hamba kelahiran Sendangkulon sudah lama berpisah dengan ibunya sehingga selalu menjadi buah hati. Karena hanya merekalah milik hamba, rasa-rasanya keduanya tidak dapat berpisah dengan ayahnya, oleh karena itu siang dan malam keduanya tetap berada diasrama.
    * Sri Baginda tersenyum seray berkata lembut “ Sudah sepantasnya orang mempunyai anak, tentu begitu itu anggapannya, menurut kata peribahasa, umpama kereweng kencana. Dasar kedua anakmu itu memang baik-baik, sudah sepantasnya bagaikan nyawa, sepintas lalu seperti kembar, mana yang lebih tua dan siapa namanya.
    * Ki Buyut menjawab “ Yang tua namanya Srini, sedangkan yang muda bernama Sarana “ Sri Baginda berkat menanggapi, kalau begitu yang tua pantas memelihara isi istana, sedangkan yang muda memelihara kerajaan “ Mendengar ucapan Sri Baginda, Ki Buyut menyembah, beberapa hari kemudian Sri Baginda pulang, diiringikan oleh Ki Buyut sekeluarga.
    * Setibanya di istana Sri Baginda memanggil pimpinan para menteri, yang merupakan orang kepercayaan dalam pemerintahan yakni Arya Pratala dan Arya Banawa, keduanya adalah ipar Sri Baginda, diceritakan Arya Pratala itu, adiknya yang bernama Ken Pratiwi menjadi selir Sri Baginda.
    * Dialah yang mempunyai anak laki-laki cebol, yang diberi nama Raden Jaka Pratana, sedangkan Arya Banawa kakak perempuan yang bernama Rara Jahnawi, yang menjadi sesepuh para selir Sri Baginda, berputra laki-laki wujil, yang diberi nama Raden Jaka Sangara yang sudah diceritakan diatas.
    * Pimpinan para menteri itu telah datang menghadap Sri Baginda, mereka diberi tahu tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Semua merasa heran, sekarang atas kehendak Sri Baginda, Rara Srini diangkat menjadi permaisuri raja, sedangkan kedua selir menjadi istri yang diberi kekeuasaan untuk mengatur segala pekerjaan di dalam istana.
    * Kyai Buyut diberi kedudukan sebagai sesepuh dan sebagai pendeta istana, yang diberi kekuasaan untuk memberikan pengajaran ke arah budi pekerti yang baik. Sarana diangkat jadi perdana menteri yang memegang kendali pemerintahan. Kedua Arya dimasyhurkan sebagai yang memegang kekuasaan untuk mengatur segala macam pekerjaan serta pemegang hukum kerajaan.
    * Adik dari Ki Buyut yang bernama Umbul Samawana telah lama tiada dan meninggalkan anak laki-laki bernama Jaka Gede, sekarang ditugasi menggantikan pakuwannya bergelar Buyut Agung berkedudukan di Sendangkulon, diangkat oleh Sri Baginda, dengan demikian sejahteralah dukuh Sendangkulon karena penguasanya mahir membina kewibawaan.
    * Rara Srini tidak lama kemudian hamil, setelah cukup waktunya lahirlah anak laki-laki, tampan dan mungil sehingga benar-benar seperti Sanghyang Asmara, menggembirakan hati Sri Baginda, putranya disambut dan dilihat keadaannya benar-benar pantas dan tampan, diberi nama Raden Jaka Pramana.
    * Rajaputra mendapat berkat dewata sehingga cepat menjadi besar, diberi emban bernama Ni Wilasita, waktu berjalan tersu, putra Baginda hampir menjelang akil balig. Semakin jelaslah rupanya akan menguasai initi insan yang terpuji, serba suci serta mahir akan kaidah-kaidah hubungan yang tersamar, sehingga pantas menjadi seorang raja.

    BalasHapus
  19. Pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 02.35

    Pangestika Tuhu Kristanti mengatakan...

    Nama : Pangestika Tuhu Kristanti
    NIM : 2102408126
    Rombel : 4

    Serat Dewaruci



    Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
    Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
    Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
    "angkatan tua", ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk "ilmu kasampurnan" .

    Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan "bahasa" orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
    kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
    Lihatlah, bagaimana Sa'di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.

    R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.

    Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
    Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

    Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
    Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
    Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia."Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras," begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

    "Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur," kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:

    O Gilgamesh, whither do you fare?
    The life you seek, you will not find
    When the gods created man,
    They apportioned death to mankind;
    And retained life to themselves
    O Gilgamesh, fill your belly,
    Make merry, day and night;
    Make of each day a festival of joy,
    Dance and play, day and night!
    Let your raiment be kept clean,
    Your head washed, body bathed,
    Pay heed to the little one, holding onto your hand,
    Let your wife delighted your heart,
    For in this is the portion of man

    Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada "the portion of man".Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
    gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
    dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
    Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .

    Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
    air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

    Filosofi Dewa Ruci

    Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

    Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.

    Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

    Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

    Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.

    Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.

    Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:"Serat Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

    Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.

    Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.

    Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

    Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.

    Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
    Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.

    Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

    Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.

    Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

    Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
    Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

    Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

    Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
    "Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.

    Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
    Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".

    Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
    Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

    Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

    Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

    Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
    Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

    Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

    Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.

    Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.

    Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
    Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
    Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.

    Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.

    Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
    Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.

    Kembali ke Negeri Ngamarta
    Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
    Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".

    MAKNA AJARAN DEWA RUCI

    - Pencarian air suci Prawitasari

    Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

    - Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka

    Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

    1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.

    2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.

    Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.

    - Raksasa Rukmuka dan Rukmakala

    Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.

    Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).

    Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)

    Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

    - Samudra dan Ular

    Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.

    Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

    1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.

    2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.

    3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

    4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.

    5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.

    6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.

    7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

    8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

    9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

    10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

    11. Samadi.

    12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

    Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci

    Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

    Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :

    - Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.

    - Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

    Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.

    Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima

    Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

    Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

    Tusuk konde besar dari kayu asem

    Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.

    Tanda emas diantara mata.

    Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.

    Kuku Pancanaka

    Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.

    Melambangkan :

    1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.

    2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.

    Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
    2009 April 2 02:44

    BalasHapus
  20. Pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 02.44

    Nama: Pangestika Tuhu Kristanti
    NIM : 2102408126
    Rombel :4

    Suluk-suluk Sunan Bonang 3

    Tasawuf dan Pengetahuan Diri
    Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
    Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
    Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7).
    Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.

    Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah

    Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
    Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:

    12
    Kebajikan utama (seorang Muslim)
    Ialah mengetahui hakikat salat
    Hakikat memuja dan memuji
    Salat yang sebenarnya
    Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
    Tetapi juga ketika tafakur
    Dan salat tahajud dalam keheningan
    Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
    Dan termasuk akhlaq mulia
    13
    Apakah salat yang sebenar-benar salat?
    Renungkan ini: Jangan lakukan salat
    Andai tiada tahu siapa dipuja
    Bilamana kaulakukan juga
    Kau seperti memanah burung
    Tanpa melepas anak panah dari busurnya
    Jika kaulakukan sia-sia
    Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
    14
    Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
    Dengar: Walau siang malam berzikir
    Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
    Zikirmu tidak sempurna
    Zikir sejati tahu bagaimana
    Datang dan perginya nafas
    Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
    Hayat melalui yang empat

    15
    Yang empat ialah tanah atau bumi
    Lalu api, udara dan air
    Ketika Allah mencipta Adam
    Ke dalamnya dilengkapi
    Anasir ruhani yang empat:
    Kahar, jalal, jamal dan kamal
    Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
    Begitulah kaitan ruh dan badan
    Dapat dikenal bagaimana
    Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
    16
    Anasir tanah melahirkan
    Kedewasaan dan keremajaan
    Apa dan di mana kedewasaan
    Dan keremajaan? Dimana letak
    Kedewasaan dalam keremajaan?
    Api melahirkan kekuatan
    Juga kelemahan
    Namun di mana letak
    Kekuatan dalam kelemahan?
    Ketahuilah ini

    17
    Sifat udara meliputi ada dan tiada
    Di dalam tiada, di mana letak ada?
    Di dalam ada, di mana tempat tiada?
    Air dua sifatnya: mati dan hidup
    Di mana letak mati dalam hidup?
    Dan letak hidup dalam mati?
    Kemana hidup pergi
    Ketika mati datang?
    Jika kau tidak mengetahuinya
    Kau akan sesat jalan
    18
    Pedoman hidup sejati
    Ialah mengenal hakikat diri
    Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
    Oleh karena itu ketahuilah
    Tempat datangnya yang menyembah
    Dan Yang Disembah
    Pribadi besar mencari hakikat diri
    Dengan tujuan ingin mengetahui
    Makna sejati hidup
    Dan arti keberadaannya di dunia

    19
    Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
    Tubuh kita sangkar tertutup
    Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
    Jika kau tidak mengenalnya
    Akan malang jadinya kau
    Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
    Sia-sia semata
    Jika kau tak mengenalnya.
    Karena itu sucikan dirimu
    Tinggalah dalam kesunyian
    Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
    Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
    20
    Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
    Ia ada dalam dirimu sendiri
    Seluruh isi jagat ada di sana
    Agar dunia ini terang bagi pandangmu
    Jadikan sepenuh dirimu Cinta
    Tumpukan pikiran, heningkan cipta
    Jangan bercerai siang malam
    Yang kaulihat di sekelilingmu
    Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
    21
    Dunia ini Wujil, luluh lantak
    Disebabkan oleh keinginanmu
    Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
    Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
    Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
    Bentangan pengetahuan ini luas
    Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
    Orang yang mengenal hakikat
    Dapat memuja dengan benar
    Selain yang mendapat petunjuk ilahi
    Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini

    22
    Karena itu, Wujil, kenali dirimu
    Kenali dirimu yang sejati
    Ingkari benda
    Agar nafsumu tidur terlena
    Dia yang mengenal diri
    Nafsunya akan terkendali
    Dan terlindung dari jalan
    Sesat dan kebingungan
    Kenal diri, tahu kelemahan diri
    Selalu awas terhadap tindak tanduknya
    23
    Bila kau mengenal dirimu
    Kau akan mengenal Tuhanmu
    Orang yang mengenal Tuhan
    Bicara tidak sembarangan
    Ada yang menempuh jalan panjang
    Dan penuh kesukaran
    Sebelum akhirnya menemukan dirinya
    Dia tak pernah membiarkan dirinya
    Sesat di jalan kesalahan
    Jalan yang ditempuhnya benar
    24
    Wujud Tuhan itu nyata
    Mahasuci, lihat dalam keheningan
    Ia yang mengaku tahu jalan
    Sering tindakannya menyimpang
    Syariat agama tidak dijalankan
    Kesalehan dicampakkan ke samping
    Padahal orang yang mengenal Tuhan
    Dapat mengendalikan hawa nafsu
    Siang malam penglihatannya terang
    Tidak disesatkan oleh khayalan


    Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.

    35
    Diam dalam tafakur, Wujil
    Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
    Memuja tanpa selang waktu
    Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
    Disebabkan oleh makrifat
    Tubuhnya akan bersih dari noda
    Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
    Dari orang arif yang tahu
    Agar kau mencapai hakikat
    Yang merupakan sumber hayat
    36
    Wujil, jangan memuja
    Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
    Juga sia-sia orang memuja
    Tanpa kehadiran Yang Dipuja
    Walau Tuhan tidak di depan kita
    Pandanglah adamu
    Sebagai isyarat ada-Nya
    Inilah makna diam dalam tafakur
    Asal mula segala kejadian menjadi nyata


    Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.

    38
    Renungi pula, Wujil!
    Hakikat sejati kemauan
    Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
    Berpikir dan menyebut suatu perkara
    Bukan kemauan murni
    Kemauan itu sukar dipahami
    Seperti halnya memuja Tuhan
    Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
    Pun tidak membuatmu membenci orang
    Yang dihukum dan dizalimi
    Serta orang yang berselisih paham
    39
    Orang berilmu
    Beribadah tanpa kenal waktu
    Seluruh gerak hidupnya
    Ialah beribadah
    Diamnya, bicaranya
    Dan tindak tanduknya
    Malahan getaran bulu roma tubuhnya
    Seluruh anggota badannya
    Digerakkan untuk beribadah
    Inilah kemauan murni
    40
    Kemauan itu, Wujil!
    Lebih penting dari pikiran
    Untuk diungkapkan dalam kata
    Dan suara sangatlah sukar
    Kemauan bertindak
    Merupakan ungkapan pikiran
    Niat melakukan perbuatan
    Adalah ungkapan perbuatan
    Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
    Keduanya buah dari kemauan


    Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:

    Inilah gerangan suatu madah
    Mengarangkan syair terlalu indah
    Membetulkan jalan tempat berpindah
    Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
    Wahai muda kenali dirimu
    Ialah perahu tamsil tubuhmu
    Tiada berapa lama hidupmu
    Ke akhirat jua kekal diammu
    Hai muda arif budiman
    Hasilkan kemudi dengan pedoman
    Alat perahumu jua kerjakan
    Itulah jalan membetuli insan

    La ilaha illa Allah tempat mengintai
    Medan yang qadim tempat berdamai
    Wujud Allah terlalu bitai
    Siang malam jangan bercerai
    (Doorenbos 1933:33)


    Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).

    Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.

    Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).

    Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).

    Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
    Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”.

    Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
    Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.

    Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.

    Falsafah Wayang

    Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
    Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.

    Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
    Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
    Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
    Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
    Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:

    Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
    Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
    Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
    Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
    Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
    Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
    Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
    (Ibid)


    Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
      dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
      berikan 4 angka 7276 alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
      dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
      ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
      allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
      kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
      sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
      yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI SOLEH,,di no (((082-313-336-747)))
      insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 275
      juta, wassalam.


      dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







      Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


      1"Dikejar-kejar hutang

      2"Selaluh kalah dalam bermain togel

      3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


      4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


      5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
      tapi tidak ada satupun yang berhasil..







      Solusi yang tepat jangan anda putus asah....AKI SOLEH akan membantu
      anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
      butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
      100% jebol
      Apabila ada waktu
      silahkan Hub: AKI SOLEH DI NO: (((082-313-336-747)))




      atau klik langsung di KLIK DSINI BOCORAN TOGEL



      angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/



      angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/



      angka GHOIB; malaysia



      angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/



      angka GHOIB; laos


      Hapus
  21. Pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 02.52

    Pangestika Tuhu Kristanti
    2102408126
    Rombel:4
    Alang Alang Kumitir
    “Dalane Waskitha Saka Niteni”
    Arsip untuk SERAT RAMA kategori
    SERAT RAMA
    Dikirim SERAT RAMA pada Mei 18, 2008 oleh Mas Kumitir

    Ajaran SRI RAMA berdasarkan “Serat Rama” atau Ramayana Kakawin, yang disadur oleh pujangga Yasadipura I dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Kamajaya.

    BARATA BERTAKHTA SEBAGAI RAJA AYODYANEGARAMELAKSANAKAN AMANAT DAN
    AJARAN SANG BIJAKSANA RAMAWIJAYA

    “Ketahuilah adinda, bahwa raja yang memimpin negara adalah pemimpin masyarakat dan sekaligus rakyatnya. Raja berkewajiban pula menjaga seluruh dunia.
    Pedoman sebagai pegangan raja menjalankan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:
    1. Perhatikan dan ikutilah ajaran-ajaran kesatriaan. Peganglah sebagai pedoman kitab-kitab suci dan ikutilah perintah dalam kitab-kitab agama. Dengan berbuat demikian, niscaya akan datang kebahagiaan kepadamu.

    2. Peliharalah rumah-rumah Dewa (agama), yang suci, rumah-rumah sakit dan tanah milik bangunan suci.

    3. Peliharalah biara-biara dan perhatikanlah tempat-tempat suci dan rumah pedewaan. Jalan, pasanggrahan, air mancur, telaga, empang, tambak, pasar, jembatan dan segala apapun juga yang dapat membawa kesejahteraan rakyat, itu wajib adinda selenggarakan.

    4. Pertanian wajib dikerjakan oleh raja dengan penuh perhatian terus-menerus. Dari pertanian ini datanglah segala macam bahan pangan yang sangat penting untuk negara.

    5. Perbesarlah jumlah emas (harta) untuk biaya yang menuju kearah terjaminnya kebahagiaan. Adinda dapat mengeluarkan emas dan harta sesuka hatimu, asal saja untuk kebahagiaan rakyatmu. Ini berarti, bahwa dengan menjalankan darma (amal perbuatan), adinda juga membawa kebahagiaan untuk orang lain agar mengecap kenikmatan bersama.

    6. Raja yang dihormati rakyat ialah raja yang tahu suka duka rakyatnya dengan sempurna dan terus menerus, begitu pula usahanya untuk mendengarkan kesusahan yang diderita oleh seluruh rakyat di negaranya. Sebab inilah kewajiban abadi seorang raja.

    7. Tolonglah setiap orang diantara rakyatmu yang mengajukan keluh kesahnya dan janganlah diam. Adinda tidak boleh menghina siapapun juga, bahkan terhadap seseorang yang rendah sekalipun. Jangan menghina mereka yang minta pertolongan.
    8. Cobalah untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintahan yang baik, wahai adinda. Pertajamlah hatimu dan jadikanlah hal ini sebagian dari kebijaksanaanmu.

    9. Susunlah rencanamu untuk waktu yang akan datang guna memelihara dunia dan menjamin berlangsungnya keamanan dan ketertiban.

    10. Periksalah angkatan perangmu dan berilah latihan kepada tentaramu dan perhatikantah tentang kemahirannya. Siapa diantara mereka yang memperlihatkan kecakapan yang lebih dari yang lain, ia wajib dinaikkan pangkatnya. Sebaliknya yang memperlihatkan kekurangannya, wajib dilatih lebih mendalam.

    11. Latihlah gajah, kereta perang, begitu pula kuda dan siapkanlah itu untuk menyerang.

    12. Masukkanlah musuhmu dalam perangkap dan binasakanlah mereka itu dengan tali pemukulmu, sehingga mereka itu binasa seperti air yang mengering. Seranglah musuhmu dengan segala jalan dan segala perhitungan. Janganlah kamu tunda pembasmian orang-orang jahat.

    13. Pahlawan yang dikatakan tidak ada bandingannya ialah apabila ia memiliki kekuatan seperti singa yang ditakuti dan apabila ia membunuh musuh dengan tepat.

    14. Jauhkanlah dirimu dari orang-orang yang mempunyai perangai jahat, karena mereka itu menimbulkan kerusakan dan menyebabkan negara menjadi mundur. Bila adinda bersama mereka, maka pegawai yang baik menjauhimu, sedangkan teman-temanmu makin jauh dan musuhmulah yang dekat kepadamu.

    15. Seorang pegawai itu buruk apabila ia acuh. Dengan demikian ia tak tahu hormat dan melanggar sopan santun. Ia dapat diumpamakan sebagai kambing yang takut dan hormat kepada pohon yang miring, ia dengan gembira memanjatnya dan dengan seenaknya serta tidak ragu-ragu berlari-lari diatas batangnya.
    Pegawai jahat niscaya akan kelihatan dan jangan menaruh kepercayaan kepadanya.

    16. Perhatikanlah gerak-genik mereka yang mengabdi kepadamu sebagai pegawal. Selidikilah tentang kepandaiannya dan kesetiaan mereka terhadap kamu. Apabila ia bertabiat baik dan memiliki sifat-sifat baik, ia harus kamu hargai, sekalipun ia masuk keturunan rendah. Lebih utama apabila kamu terima seorang dan keturunan baik-baik.

    17. Perhatikan dan selidikilah sikap segala pegawaimu apakah mereka itu berpengetahuan dan tahu tentang kenegaraan dan pemerintahan, patuh dan berkelakuan baik, apakah tidak bohong dan berbakti serta taat dalam pengabdiannya kepadamu, kepada negara, dan apakah mereka tidak jahat?. Dalam hal ini adinda harus mengetahui apa yang buruk dan apa yang baik. Adinda dapat mencegah mereka dari perbuatan yang menyesatkan.

    18. Setiap orang pegawal wajib tahu tentang kepegawaiannya dan ia harus setia kepada pemerintahnya. Begitu pula ia harus tahu tentang pekerjaannya dan tidak segan untuk membuat pekerjaan baik.

    19. Janganlah lekas-lekas memberi hadiah kepada pegawai, sebelum adinda menyelidikinya. Apabila adinda memberi sesuatu kepadanya, berikanlah kepadanya lebih dahulu suatu tugas, sehingga mencapai hasil. Jika terbukti, bahwa ia tetap pendiriannya untuk mengabdikan dirinya kepadamu, ini berarti bahwa adinda disegani dan rakyatmu mencintaimu sebagai manikam yang sakti dan membawa kebahagiaan.

    20. Apabila adinda tahu sungguh-sungguh yang adinda kerjakan, dapat dikatakan adinda memiliki pepengetahuan yang sempurna seperti Dewa-dewa. Siapa yang tahu tentang kepandaian, ialah yang disebut serba tahu.

    21. Bebaskanlah diri dari hawa nafsu dan kedengkian. Jauhkanlah darimu dari kecemburuan dan bersihkanlah dirimu. Dengan jalan itu adinda akan di segani. Ketahuilah, bahwa raja yang memperlihatkan keangkuhan akan kehilangan kewibawaannya karena ditinggalkan oleh wahyunya.

    22. Angkara murka wajib diberantas; demikian pula perbuatan tercela haus dibasmi.

    23. Kekayaan lahiriah, harta, benda dan pangkat tidak boleh menimbulkan kemabukan lupa daratan. Semua itu boleh mendatangkan kesenangan yang terbatas.

    24. Ajaran kitab-kitab Sastra harus dijalankan dengan tidak henti-hentinya. Sekalipun itu sukar dilaksanakan, namun setiap orang harus mentaatinya. Bilamana banyak orang taat dan tahu akan ajaran kitab-kitab suci serta berpegang kepadanya, maka mereka akan melahirkan pedoman kebenaran.

    25. Tunjukkanlah keikhlasan hatimu apabila memberi hadiah kepada orang-orang brahmana dan pendeta yang terkemuka.

    26. Cobalah selalu tenang dan berbelas kasihan dan janganlah menunjukkan ketakutan kepada apa dan siapa yang adinda takuti.

    27. Jangan berdusta, sebab dusta menyebabkan kejahatan. Dengan demikian adinda akan menghadapi malapetaka dan akan dicela.

    28. Apabila adinda mencela seseorang, kerjakan sendiri yang tepat dan janganlah adinda terlalu dikuasai oleh hawa nafsu. Sabda raja harus sesuai dengan perbuatannya. Perjudian dan perbuatan hina jangan adinda kerjakan.

    29. Basmilah kemabukan pikiran yang angkuh; hilangkanlah itu dari hatimu, sebab keangkuhan itu mencemarkan dan menyuramkan penglihatan.

    30. Kesaktian dan kepandaian menyebabkan kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk memiliki kedua hal itu bukanlah ringan. Orang-orang baik yang berpengetahuan dan faham tentang kitab-kitab ini patut adinda hargai. Apabila adinda memiliki beberapa macam kepandaian, pastilah rakyat mencintaimu.
    Jauhilah perbuatan mengadu domba dan pujian yang menyesatkan.

    31. Apabila sesuatu kejahatan telah jelas bentuknya, bertindaklah apabila perbuatan itu memang salah, Binasakanlah orang yang berdosa. Akan tetapi selidikilah hal ini dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya apabila ia berjasa, berikan kepadanya hadiah dan kepuasan. Inilah hak raja untuk memberi anugerah atau memberi hukuman.

    32. Ada lima macam bahaya yang sungguh mengancam ialah:
    1. Apabila ada pegawai yang dalam menunaikan tugas di daerah menderita karena terik matahari.
    2. Adanya sejumlah banyak pencuri;
    3. Apabila kekacauan dan kejahatan merajalela;
    4. Adanya orang-orang yang menjadi dan dijadikan “anak emas” pembesar.
    Kejadian seperti itu dapat dianggap sebagai kejahatan; dan
    5. Keangkara-murkaan raja.
    Lima macam bahaya itu harus dibasmi atau dicegah sebelum timbul dan merajalela

    33. Ketahuilah adinda Barata, bahwa raja dapat diumpamakan batara Surya yang memanasi dunia oleh sifatnya. Demikianlah halnya dengan seorang raja yang membinasakan orang jahat. Bulan memberikan rasa cinta dan disegani oleh seluruh dunia Begitulah juga hendaknya perbuatan raja dalam memperhatikan dan memelihara rakyatnya.

    34. Sebagai raja adinda dapat disamakan dengan sebuah bukit, sedangkan rakyatmu diumpamakan pohon-pohonan yang tumbuh di lerengnya. Pohon-pohon itu hidup dan dijamin hidupnya oleh bukit.

    35. Adindaku Barata yang tercinta, itulah sesama kewajiban adinda sebagai raja yang berusaha menjaga keselamatan dunia yang bahagia. Adinda wajib mempertinggi perhatian kepada orang lain dan menaruh belas kasihan kepada rakyatmu, dan seluruh kesukaran duniapun harus adinda perhatikan.
    Demikianlah nasihat wejangan sang bijaksana Ramabadra kepada adinda Barata yang direstuinya duduk di atas takhta Ayodyanegara sebagai raja memimpin tampuk pemerintahan, memimpin masyarakat dan rakyatnya.

    Setelah bersembah sujud dengan khidmat kepada Rama dan Sinta, dan setelah satria Laksmana menyembah Barata, maka dengan ijin dan restu serta puji jaya-jaya dan kakandanya sang Ramawijaya, Barata dengan segenap pengiringnya turun dan bukit Citrakuta, kemudian berangkatlah meninggalkan hutan menuju ke ibukota Ayodya.

    Kewajiban sebagai raja telah menantinya. Dengan merayakan “terompah sang Rama” dan menerapkan ajaran sang bijaksana, maka aman sentosa sejahteralah Ayodyanegara dibawah pemerintahan raja Barata.

    By alang alang

    1 Komentar »

    *
    Halaman
    o TUKAR PENDAPAT
    o UNTUK YANG TERCINTA
    o UNTUK YANG TERKASIH
    *
    SING MAMPIR
    o 294,009
    *
    Tulisan Terakhir
    o SERAT KACA WIRANGI
    o SERAT JAYENGBAYA
    o MEMAYU HAYUNING PRIBADI
    o SERAT SABDA JATI PURWA MAHUGENA
    o SERAT CENTINI JILID I (Lanjutan)
    o DERAH WAHANANING DZAT
    o PATRAPE MANEKUNG (SEMADI)
    o WARAHING HIDAYAT JATI
    o APA KANG BAKAL KALEKSANAN ING JAMAN KARAMATULLAH
    o ANGETRAPAKE PARABOTING NGELMU KASAMPURNAN
    o RUPA-RUPA WEJANGAN SAKA PARA GURU
    o BABARING WIRID
    o BEBUKANING WIRID
    o BAB GURU LAN MURID
    o BEKANING NGAURIP LAN TAPANING NGAURIP
    *
    Kategori
    o AJA DUMEH SUGIH BANDA (1)
    o AJARAN KEBAJIKAN (PIWULANG KAUTAMAN) (1)
    o AJARAN R.M.P SOSRO KARTONO (1)
    o AJARAN RANGGAWARSITA (1)
    o AJARAN SRI RAMA (1)
    o AJI PAMASA (1)
    o AJI PAMELENG (1)
    o AJISAKA (1)
    o AKSARA JAWA (1)
    o AL FAATIHAH (1)
    o AL HALLAJ (1)
    o ANGRATONI ALAM KARAHAYON (1)
    o BABAD ALAS NANGKA DHOYONG (1)
    o BABAD BULELENG (1)
    o BABAD CARINGAN (1)
    o BABAD CARIYOS LELAMPAHANIPUN R.Ng. RANGGAWARSITA (1)
    o BABAD CIREBON (3)
    o BABAD GALUH I (1)
    o BABAD GALUH II (1)
    o BABAD MANIK ANGKERAN (1)
    o BABAD TANAH JAWI (1)
    o BAWANA AGENG DAN BAWANA ALIT (1)
    o BHAGAWAD GITA (1)
    o BUAT PARA KEKASIH ALLAH (1)
    o BUDAYA KEBATINAN (1)
    o DARMAGANDHUL (1)
    o DASA WASITA (1)
    o DASHA SHILA SUTASOMA (1)
    o DHASARING KAWERUH SEJATI (1)
    o DOA UNTUK SEMESTA (1)
    o EMPU KERIS (1)
    o ESTHINING PANEMBAH (1)
    o FALSAFAH PANUNGGALAN (1)
    o FILOSOFI SEMAR (1)
    o HAKEKAT TITIK (1)
    o HASTA BRATA (1)
    o HASTA DASA PARATEMING PRAMU (1)
    o JAMAN KALABENDU (1)
    o JAMUS KALIMO SODO (1)
    o JEJAK SEJARAH PENGETAHUAN MANUSIA (1)
    o K E J A W E N (1)
    o KAWERUH WISESA JATI (1)
    o KAWRUH DUMADING MANUNGSA (1)
    o KECERDASAN IQ EQ DAN SQ (1)
    o KEJAYAAN MATARAM (1)
    o KEKAWIN SUTASOMA (1)
    o KEKAWIN ARJUNAWIWAHA (1)
    o KEKAWIN KRESNAYANA (1)
    o KEMPALAN TEMBANG MACAPAT WAYANG KANCIL (1)
    o KIDUNG ARAS (1)
    o KIDUNG BONANG (1)
    o KIDUNG CANDHINI (1)
    o KIDUNG DARMAWEDHA (1)
    o KIDUNG HAYU INDONESIA (1)
    o KIDUNG KAWYAMANDALA (1)
    o KIDUNG KUSUMAWICRITRA (1)
    o KIDUNG NARASIMHA MURTI (1)
    o KIDUNG PURWAJATI (1)
    o KIDUNG WARGASARI (1)
    o KITAB ADIPARWA (1)
    o KITAB MUSARAR JAYABAYA (1)
    o KITAB PARARATON (1)
    o KITAB WEJANGAN MAHA PRANA JATI (1)
    o L E L U N G I D A N (1)
    o LABETING KARTIYASA (1)
    o LAKSITA JATI (1)
    o LAKU KANG PRAYOGA (1)
    o LAYANG JOYOBOYO (1)
    o M E D I T A S I (1)
    o MACAPAT (6)
    o MANTRA DAN JATI DIRI BANGSA (1)
    o MANUNGGALING KAWULO GUSTI (1)
    o MARTABAT TUJUH (2)
    o MEMANGUN KARYA TYASING SESAMA (1)
    o MEMAYU HAYUNING BAWANA (1)
    o MEMAYU HAYUNING PRIBADI (1)
    o MEMBUKA RAHASIA ILMU KASAMPURNAAN (1)
    o MENGENAL NAMA SYEKH SITI JENAR (1)
    o MENGUBAH DUNIA DENGAN GELOMBANG OTAK (1)
    o MENGUNGKAP SANDI ROHANI ALAS KETONGGO (1)
    o MENJAUH DAN MENDEKAT (1)
    o MENUJUN KESEMPURNAAN IMAN (1)
    o MEPER HAWA NAFSU (1)
    o MERUHI KAWERUH (1)
    o MISTIK KEJAWEN (1)
    o MITOLOGI KANJENG RATU KIDUL (1)
    o MUSYAWARAH BURUNG (Mantiqu’t-Thair) (1)
    o NEGARA KERTAGAMA (1)
    o NEUROSCIENCE (1)
    o NGAMBAH ALAM SUNYA RURI (1)
    o NGELMU (1)
    o NGELMU KASUNYATAN (1)
    o NGELMU KYAI PETRUK (1)
    o NGELMU URIP (1)
    o NGUPADI HENINGE RATRI ANGGAYUH WENINGE ATI (1)
    o PAMORING KAWULA GUSTI (2)
    o PANDANGAN SITI JENAR DAN HUSAIN IBNU MANSUR AL-HALLAJ (1)
    o PANGERAN YANG KECEWA (1)
    o PANUNGGAL JATI (1)
    o PAPAT LIMA PANCER (1)
    o PASUWITANING GESANG (1)
    o PASUWITANING NGAGESANG (1)
    o PELAKSANAAN ILMU KASAMPURNAAN (1)
    o PENCIPTAAN NUR MUHAMMAD (1)
    o PEPADHANGE URIP (1)
    o PERENUNGAN TENTANG KEPEMIMPINAN (1)
    o PERJALANAN RAKEYAN (1)
    o PESAN LUQMANUL HAKIM (1)
    o PITUTURIPUN TIYANG SEPUH (1)
    o PIWULANG KAUTAMAN (1)
    o PIWULANG-PIWULANG JAWA (1)
    o PRANATA MANGSA (1)
    o PRASASTI MATARAM (1)
    o PRIMBON JAWA (1)
    o PUISI (6)
    o PUJINE DINA BADAN NAPAS NAPSU ATI WIJI LAN ANASIRING MANUNGSA (1)
    o RAHASIA SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT (1)
    o RAMALAN JAYABAYA MUSARAR (1)
    o RASAJATI (3)
    o RELIGI JAWA (1)
    o REREPEN PENGANTEN ADAT JAWA (1)
    o ROH (1)
    o RUWATAN (1)
    o SAK LEBARE RAJA KUNING (1)
    o SAMBEKANING NUJU KASAMPURNAN (1)
    o SANDANGAN SUKMA (1)
    o SANGKAN PARAN (1)
    o SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN (1)
    o SASTRA JENDRA (1)
    o SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (1)
    o SEJARA MERAH PUTIH (1)
    o SEJARAH JAWA DWIPA (1)
    o SEJARAH PAJAJARAN (1)
    o SEMAR LAN ANTAGA (1)
    o SEMEDI (2)
    o SERAT AGUTARA NIKAYA (1)
    o SERAT ANGLING DARMA (1)
    o SERAT ASMARALAYA (1)
    o SERAT BABAD DIPANAGARAN (1)
    o SERAT BABAD NITIK SULTAN AGUNG (1)
    o SERAT BABAD TANAH JAWI (1)
    o SERAT CABOLEK (1)
    o SERAT CATUR KANDHA (1)
    o SERAT CEMPALA HAYU (1)
    o SERAT CEMPORET (1)
    o SERAT CENTHINI (1)
    o SERAT CENTHINI DANUNINGRATAN (1)
    o SERAT CENTHINI JILID 1 (2)
    o SERAT CENTHINI MANGUNPRAWIRAN (1)
    o SERAT CENTHINI PEGON (1)
    o SERAT CENTHINI PESANTREN (1)
    o SERAT CENTHINI SURYANAGARAN (1)
    o SERAT CIPTO WASKITHO (1)
    o SERAT DARMO WASITA (1)
    o SERAT DEWA RUCI (1)
    o SERAT HIDAYAT JATI (1)
    o SERAT JANGKA SECH SUBAKIR (1)
    o SERAT JANGKA TANAH JAWI (1)
    o SERAT JAYENGBAYA (1)
    o SERAT JOKO LODANG (1)
    o SERAT JONGKO JOYOBOYO (1)
    o SERAT KACA WIRANGI (1)
    o SERAT KALATIDA (1)
    o SERAT KEDUNG KEBO (1)
    o SERAT KRIDHAMAYA (1)
    o SERAT LAKSITA CANDRA (1)
    o SERAT MAHA PURWA (1)
    o SERAT MAKNA JATI (1)
    o SERAT MANTRA WEDA (1)
    o SERAT MEMAYU HAYUNINGRAT (1)
    o SERAT NIRARTHA PRAKRETA (1)
    o SERAT NIRATA PRAKETA (BHS INDONESIA) (1)
    o SERAT NITI MANI (1)
    o SERAT NITI SRUTI (1)
    o SERAT NITIPRAJA (1)
    o SERAT NITIPRANA (1)
    o SERAT NITISASTRO (1)
    o SERAT PAMRAYOGA UYAMA (1)
    o SERAT PANITI SASTRA (1)
    o SERAT PEPALI (1)
    o SERAT PETHAK (1)
    o SERAT PURWAKA (1)
    o SERAT RAMA (1)
    o SERAT RASA JATI (1)
    o SERAT RENGGANIS (1)
    o SERAT REREPEN (1)
    o SERAT SABDA JATI PURWA MAHUGENA (1)
    o SERAT SABDA PALON (1)
    o SERAT SABDA PRANAWA (1)
    o SERAT SABDA TAMA (1)
    o SERAT SABDO JATI (1)
    o SERAT SANASUNU (1)
    o SERAT SASANGKA JATI (1)
    o SERAT SASTRA GENDING (1)
    o SERAT TAMBANG PRANA (1)
    o SERAT TRIPAMA (1)
    o SERAT WASKITHANING NALA (1)
    o SERAT WEDHAPRADANGGA (1)
    o SERAT WEDHARAGA (1)
    o SERAT WEDHATAMA (1)
    o SERAT WIRAYAT JATI (1)
    o SERAT WIRID (1)
    o SERAT WULANG SUNU (1)
    o SERAT WULANGREH (1)
    o SINAR GEMALA MESTIKA ALAM (1)
    o SUFI (1)
    o SUKMA SEJATI (1)
    o SULUK (3)
    o SULUK GEDONG (1)
    o SULUK KADRESAN (1)
    o SULUK LING LUNG (1)
    o SULUK MALANG SUMIRANG (1)
    o SULUK SALOKA JIWA (1)
    o SULUK SARIDIN (SYEKH JANGKUNG (1)
    o SULUK SUJINAH (1)
    o SULUK SUKMA LELANA (1)
    o SULUK WRAGUL (1)
    o SULUK WUJIL (1)
    o SYAIR ALIF-BA-TA’ (1)
    o SYEKH SITI JENAR (1)
    o SYEKH SITI JENAR BAPAK ILMU HENING JAWA (1)
    o T I R A K A T (1)
    o TAN SAMAR PAMORING SUKMA (1)
    o TAPAKE KUNTUL MABUR (1)
    o TENTANG KETAUHIDAN SYEKH SITI JENAR (1)
    o UGA WANGSIT SILIWANGI (1)
    o Uncategorized (1)
    o WAHYU MATARAM (1)
    o WAHYU PANCASILA (1)
    o WAHYU SAPTA WARSITA (1)
    o WEDARAN SESAJI 8 WARNI WONTEN JANGKA JOYOBOYO (1)
    o WEJANGAN URIP (1)
    o WEWARAHING R.Ng. SOEKINOHARTONO (1)
    o WIRID HIDAYAT JATI (12)
    o WIRID WOLUNG PANGKAT (1)
    o WISDOM (3)
    o WUKU DAN KELAHIRAN (1)
    *
    Tulisan Teratas
    o UNTUK YANG TERKASIH
    o SERAT KACA WIRANGI
    o MEMAYU HAYUNING PRIBADI
    o PATRAPE MANEKUNG (SEMADI)
    o SERAT JAYENGBAYA
    o TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI
    o SERAT CENTINI JILID I (Lanjutan)
    o SERAT SABDA JATI PURWA MAHUGENA
    o WARAHING HIDAYAT JATI
    o ANGETRAPAKE PARABOTING NGELMU KASAMPURNA

    BalasHapus
  22. Pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 03.14

    Pangestika Tuhu Kristanti
    2102408126
    Rombel:4

    Babad Pati
    Untuk menelusuri Hari Jadi Kabupaten Pati, telah dibentuk Tim Penyusunan dan Penelitian Hari Jadi Kabupaten Pati dengan Surat Keputusan No. 003./869 tanggal 19 November 1992.
    Tim Penyusunan dan Penelitian bersepakat bahwa untuk penelitian Hari Jadi Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disyahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa : "KERIS RAMBUT PINUTUNG DAN KULUK KANIRAGA"
    Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "KERIS RAMBUT PINUTUNG DAN KULUK KANIRAGA" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.
    Barang siapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.
    Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa fakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, kerajaan Singasari surut, sedang kerajaan Majapahit belum berdiri.
    Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gujung Muria bagian Timur muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah kekuasaannya disebut Kadipaten.
    Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu.

    1.


    Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama "Yudhapati", wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai putra bernama Raden Jasari.

    2.


    Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama :puspa Andungjaya", wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan

    Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestarikan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan, Kedua Adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra dan putrinya itu. Utusan Adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama " Sapanyana ".
    Untuk memenuhi bebana itu, Adipati Paranggaruda menugaskan penggede kemaguhan bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda. Sebelum melaksanakan tugasnya, lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoka dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan uSondong Majerukn kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan kepada Yuyurumpung, dapat direbut kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan Pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.
    Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugasnya untuk mencari Dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mangalami kegagalan (berhasil dengan baik).
    Pada Malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinaan dapat
    diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan perkawinan antara " Raden Jasari " dan " Rara Rayungwulan " gagal total. Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tidak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka mempimpin prajurit Carangsoka, mengalami luka parah dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik kandung Raden Sukmayana) meneruskan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan yang menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Paranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati dan putera lelakinya gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.
    Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama " Singasari ".
    Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan,
    Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama " Kadipaten Pesantenan n dengan gelar " Adipati Jayakusuma n di Pesantenan. Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu " Raden Tambra ". Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan, dengan gelar " Adipati Tambranegara ".
    Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan
    bijaksana. Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.
    Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
    Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten
    Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : .................. Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan ABHISEKA WIRALANDA GOPALA pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama DYAH MALAYUDA dengan gelar RAKAI, Pada saat pengumuman itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada didalamnya. Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
    Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ..............Tambranegara Pati "Sumewo" maring Majalengka. Brawijaya kedua, Majalengka adalah Majapahit .................



    Tan alami pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, pufra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama, Raden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.

    Artinya


    Tidak lama kemudian kerajaan-kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh.
    Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majapahit.

    Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut
    serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu diperkirakan pada bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli, 7 Agustus dan 14 Agustus 1323.
    Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo
    Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SLTA se Kabupaten Pati, Konsultan, Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati, menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN PATI. Dengan surya sengkala " KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI ", yang bermakna u Dengan bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah ".
    Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei 1994, sehingga menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN PATI dengan surya sengkala " KRIDANE
    PANEMBAH GEBYARING BUMI " yang bermakna " Dengan bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah ".
    Untuk itu maka setiap tanggal 7 Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai " HARI JADI KABUPATEN PATI ".
    1

    BalasHapus
  23. Irna Nurwijayanti7 April 2009 pukul 11.15

    Nama : Irna Nurwijayanti
    NIM : 2102408113
    Rombel : 1 (satu)

    Crita Wiwitane Tanah Jowo

    SERAT Paramayoga asil kasusastran jaman Surakarta. Serat iki karepe nggabungake budaya saka tanah Indhu lan tanah Arab, nanging Prof Dr RM Ng Poerbatjarara ing Kapustakan Djawi nyebutake kangelan olehe nggoleki babone sing saka tanah Indhu apadene tanah Arab. Pandugane Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka sing dadi babon serat Paramayoga, serat Kandha.Kapustakan Djawi miwiti ngrembug serat Paramayoga kanthi nyebutake serat kasebut kayadene Inleiding mangkono, unine:

    “Serat Paramayoga menika nyariosake lalampahanipun Kangjeng Nabi Adam kaliyan lalampahan sarta terah-tumerahipun para dewa, ing salajengipun ngantos dumugi carios wiwitanipun tanah Djawi dipundunungi manungsa. Menggah wawatonipun mendhet saking carios ingkang kocap ing serat Jitapsara, anggitanipun Bagawan Palasara ing Ngastina, saking anggenipun nukil suraosipun Pustaka Darya, babon saking tanah Indhu, lajeng katepangaken kaliyan suraosipun kitab Niladuniren, babon saking Najran, sarta kitab Sitatul, babon saking Selan ... Ananging suraosipun kitab-kitab wau kapethikaken ingkang wonten cariosipun tumrap ing serat-serat Paramayoga kemawon, saha mawi anukil sakathahing hikayat, utawi riwayat, lajeng katurutaken kaliyan etangan taun srengenge sarta taun rembulan. Urutipun carios kados ing ngandhap menika.” Sabanjure Kapustakan Djawi atur uninga, yen sing disebut serat Jitapsara anggitane Bagawan Palasara ing Ngastina, sangertine Prof Poerbatjaraka ora ana. Ana sing jenenge serat Jitapsara, nanging kuwi serat anggitane R Ng Ranggawarsita.

    Semono uga sing disebut serat Pustaka Darya, babon saka tanah Indhu, kuwi sangertine Prof Poerbatjaraka ya ora ana. Dene bab serat-serat sing nganggo jeneng Arab, panaliti kasusatran Jawa Kuna iki ora bisa menehi katrangan apa-apa. Saka pangakune dhewe, marga cupet kawruh bab kitab-kitab Arab. Serat-serat sing dipratelakake ana ing serat Paramayoga kuwi ana tenan apa ora, Prof Poerbatjaraka mung nyumanggakake marang para winasis.

    Ing sanyata-nyatane, serat Paramayoga manut Kapustakan Djawi babone saka serat Kandha. Serat iki dening R.Ng Poerbatjaraka digawe basa gancar, diwangun, diowahi, ditambahi akeh banget. Tambahan kuwi saperangan saka olehe R Ng Ranggawarsita saka ngrungokake critane mitrane bangsa Walanda CF Winter lan Cohen Stuart. Kayata bab jeneng-jeneng saka ilmu bumi kayata Laut Kaspi, Gunung Kaukasus lan sapanunggalane.

    Tambahan liyane saka R Ng Ranggawarsita kang cinathet dening Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka yakuwi tunggale nama Adam, kadadekake At-hama kaya-kaya jeneng Sanskirt saka tanah Indhu. Jeneng At-hama ing kawruh kadewan Indhu, manut prof panliti sastra Jawa Kuna kuwi ora ana. Atman tembung atman sing asring dianggo ing filosofie Indhu, nyawa, jiwa, urip.

    Banjur ngenani pratelan bab taun surya lan rembulan kuwi uga imbuhan saka R Ng Ranggawarsita dhewe. Ing tanah Jawa sadurunge taun 1555, jaman Sultan Agungan, taune mung taun surya, kaya sing isih kanggo ing tanah Bali jaman saiki. Sabanjure Kapustakan Djawi nyuplik pungkasane serat Paramayoga unine mangkene:

    “Kacarios sareng dumuginipun taun Indhu saking jaman Pancama-kala angka 768 taun Adam angka 5154 ing taun srengenge utawa 5306 ing taun rembulan,

    panjenenganipun Prabu Isaka, ratu ing nagari Surati tanah Indhustan, inggih menika ingkang sinebut nama Aji Saka, nagarinipun kabedhah ing mengsah.

    Sang Prabu lajeng jengkar saking praja ngungsi ing wana, dumuginipun wana dipunpanggihi ingkang rama Bathara Anggajali, sang prabu dhinawuhan amaratapa dhateng pulo ingkang suwung,prenah kidulwetanipun tanah Indhu, sang prabu lajeng mangkat dhateng pulo suwung, inggih menika pulo Jawi. Sarawuhing pulo Jawi, sang prabu lajeng asesilih nama Empu Sangkala.”

    Tekan semono enteke crita kang kapacak ing serat Paramayoga. banjur nyandhak crita kang kapacak ing serat Pustakaraja purwa, tamat. Prof Poerbatjara ngambali serat Paramayoga kuwi wose serat Kandha kagawe gancar mawa owah-owahan lan tambahan, manut pangrungu lan kaparenge R Ng Ranggawarsita. Serat Paramayoga wis kacithakake kanthi aksara Jawa taun 1922.

    BalasHapus
  24. Nama : Kurnia Larasati
    NIM : 2102408038
    Rombel : 1 (satu)

    SERAT KACA WIRANGI

    Nyariosaken dedongenganipun
    peksi perkutut dhumateng peksi derkuku
    Mralambangaken pepindhan bab adeging gesangipun manungsa

    Dipun tedhak saking buku basa sarta seratan Jawi
    Babaran Toko Buku Tan Khoen Swie Tahun 1922

    I. Bagian 1 Dongeng Kaca Benggala

    Cariyos peksi perkutut kaliyan derkuku
    Sami ngudi kawruh kasampurnan
    Sarta damel ibarat kadhapur dongeng

    Wonten peksi perkutut kaliyan derkuku mencok ing wit mandira, peksi perkutut ndongeng kados ing ngandhap punika :

    Ana nagara, misuwur endahing patamanane, kekembangan kang tinandur ing keputren luwih satus warna, kapageran pacak suji emas, karengga ing beji, sinasrah ing watu cendhani, kinepung ing reca prunggu lan rerenggan liyane sarwa emas tinaretes ing sesotya.


    Cedhak lan palenggahane sang putri, kasebaran sesotya warna-warna. Yen wayah esuk akeh kupune putih, abang, kuning, wungu, ijo, biru, lan ireng, padha miber pating saliwer golek maduning kembang, ndadekake wuwuhing asrine patamanan.

    Sakehing kupu padha bungah-bungah lelangen ing patamanan. Ana ing kono padha ungkul-ungkulan bagusing elar, Wasana kupu kang putih celathu marang kupu liyane mangkene :

    Delengen elarku putih resik, ora koyo elarmu katon reged pating celoneh, pating belentong sarta njuwarehi, sajatine ora ana warna kang becik ngungkuli putih, marga putih iku warna kang suci sarta bares, iya putih iku dhasare warna kabeh. Wong nulis, wong nggambar lan wong mbathik, kabeh dhasare putih, awit saka iku dluwang lan mori digawe putih, lan maneh akeh wong dhemen manganggo sarwa putih, mulane Gusti Allah nitahake kapas putih. Gamping tinitah putih, sababe omah uga becik kang putih, dalah atine manungsa becik kang putih, yaiku suci. Tembung putih sok digawe kembang lambe, dienggo ngupamakake barang kang suci utawa resik. Sarehne warna kang utama iku putih, mulane kupu kang bagus dhewe iya iku kang warna putih.

    Kupu kang abang mangsuili mangkene :

    Mungguh becike putih iku mawa-mawa kanggone. Ing atase rerenggan putih iku dudu kebagusan luwih-luwih rerenggan kang dienggo ngrenggani patamanan iki, warna putih kok arani suci iku dadi pucet, ora duwe guwaya. Mungguh anane kupu-kupu padha teka ing kene satemene dipikat nganggo madu, perlune dienggo rerenggan patamanan, mulane kang aran kupu bagus iya kang bisa muwuhi bagusing patamanan. Sarehne elarmu ora muwuhi kebagusan apa-apa tetep kowe iku kupu kang ala. Manawa kowe arep sumurup warna kang muwuhi kebagusan ndelenga warna kang ora pucet, dene warna kang ora pucet mangkono warna kang mbrengangang utawa menger-menger. Ora susah adoh-adoh. Delengen kembang-kembang ing petamanan iki bae, koe banjur sumurup dhewe, endi kang moncol ing rupa yaiku kang abang. Mara waspadakna kembang cengger kae, abange menges tur menger-menger, mangkono uga kembang mawar, wora-wari bang, sepatu, padha pinunjul ing rupa sebab abang. Guwayaning wong kang bregas iya kang abang mbrengangang. Babaran kang bagus iya kang abang sumringah. Kajaba iku warna abang becik marang mripat. Lakar abang iku padha-padha warna gagah dewe lan moncol dhewe, mulane disenengi ing akeh, dalasan bocah cilik dhemen dolanan kang warnane abang, kang adhakan dipilih dhisik. Dadi keterangane : kupu kang abang kang bagus dhewe.

    Kupu kuning ngrungu celathune kupu putih lan abang nyauri mangkene : putih katimbang abang nyata yen bregas abange, nanging abang katimbang kuning adi kuninge, tandhane emas luwih endah tinimbang tembaga utawa perak. Rerenggan kang kakehan abang njuwarehi, nanging ora ana rerenggan kaduk prada kang njuwarehi, malah sangsaya adi. Elinga pulasing wayang, upama wayang sakothak kaduk prada sangsaya bagus. Upama kaduk abang, genah yen ala, awit abang iku dhemenaning bocah cilik, wong tuwa ora arep. Balik warna kuning, kalengananing wong luhur. Elinga kreta kencana, payung gilap, pasmen bara-bara, bludiran, gamelan, kabeh adi rupane, jalaran warnane kuning, mangkono uga barang rerenggan kang bagus, kang pating pancorong ana ing toko-toko lan ing omahe wong sugih, kayata : paidon, pateyan, wadhah kinang, wengku gambar, wengku pangilon, lampu bron, broman lan liya-liyane, kabeh kuning. Manungsa kang becik rupane iya kang kulit kuning, dudu wong kang abang. Kang kekulitane ora kuning, mangka bakal kanggo tontonan bajur ngaya aya golek atal, iya saking dene kepengin duwe awak kuning. Mula yen kuning pancen nyenengake. Cekake mangkene : warna putih pucet, warna abang gagah, nanging ora adi, dadi njuwarehi. Dene kang ora pucet sarta ora njuwarehi malah mriyayeni yaiku kuning. Apa ora mangkono?

    Kupu wungu sumambung, warna kuning iku isih njuwarehi, wruhanmu kabeh, padha-padha warna kang mungguh dhewe, ngengreng dhewe lan ora njuwarehi dhewe iya iku wungu. Tandhane, babut babut abang ala, babut kuning ala, babut ijo kurang becik, nanging yen babut wungu, banget enggone semuwa lang ngengreng, luwih-luwih yen rinengga praboting omah kang pinulas sarwa wungu yaiku meja, kursi, bangku kang padha menges-menges pliture. Upama pulase abang utawa kuning tak kira kurang becik. Kembang cengger, katone menges-menges sebab wungu, mangkono uga kembang ragaina. Klambi wungu ngengrenge ora jamak. Upama wungu iku ora piniliha, sabab apa wong mbabar jarit pada golek soga, mangka ora kurang kang kena digawe ngebang utawa nguningi. Apa ta sababe? Sababe yaiku warna abang lan kuning iku gunane mung kanggo tontonan utawa sesongaran, ora prasaja lan semu kaya wungu. Ing ngendi-endiya barang kang prasaja lan semuwa ora tau mboseni, mulane padha pinilala, prelune dienggo saben dina. Tuladhane kang adhakan yaiku soga. Padha elinga kang sosongaran mesthi ora lana, kanggone mung kala-kala , tur mung sawetara, kajaba kang pasaja lah iku kang lana, kanggo ing saben dina, seksine soga. Warna abang kuning candrane ladak, nanging yen wungu jinem nganggo guwaya, yaiku dadi sababe pasaja tur semuwa, tegese ora ladak nganggo ngengreng

    Kowe kabeh ora sumurup marang karsane kang Maha Kawasa enggone nitahake suket lan gegodhongan ginawe ijo. Iku becik pinikiren sebabe. Mara timbangen : upama sarupane gegodhongan kabeh putih, mbok manawa akeh mripat lamur. Upama becika wungu, teneh sarupane tetuwuhan tinakdirake wungu. Upama becika kuning, mesthi tinakdir kuning. Upama becika abang, mesthi tinitah abang. Kang iku padha sumurupa, mulane suket lan gegodhongan tinakdir ijo, sabab warna ijo iku kang becik dhewe sarta ora mboseni dhewe. Sanyatane ora ana manungsa bosen marang warna ijo. Ing pakebonan, ing tegal, ing sawah-sawah, kabeh sarwa ijo, ewa semono ing sajrone omahe para tuwan ditanduri sadhang, pakis, pandhan, wregu, suruh lan liya-liyane, pating tremplek ana ing tembok, kongsi ketel kaya alas, pratandha saking kurang warege anggone nyawang wawarnan ijo, nanging aku ora maido, dhasar yen omah akeh ijone ana ing tembok utawa ing undhak-undhakan marakake singer. Sok uga kowe padha eling, prakara iku, mesthi ora gelem ngunggul-unggulake warna saliyane ijo. Samber lilen iku pinunjul rupa ing padha-padha gegremetan. Ules kang pinunjul mau kang kaduk iya ijo, abang kuninge mung sethithik. Upama kaduk abang utawa kuning mesthi ala. Balik kaduk ijo banget baguse. Manuk merak iya pinunjul ing rupa pada manuk, warna apa kang kaduk, iya ijo, abang wungune mung sawetara. Upama ijone mung sethithik mesthine ala. Rehne mangkono tetela kupu kang bagus dhewe iku kupu ijo.

    Nuli kupu biru celathu mangkene : ujaring kupu ijo mau wis bener, nanging kurang pratitis. Awit isih ana maneh titahing Pangeran kang ngungkuli ijo, ora mboseni salawase lan luwih akeh anane, yaiku biru. Tandhane, udhara, langit, gunung, banyu segara, padha tinitah biru. Delengen kang bagus pancen mung ijo lan biru. Akeh wong seneng ngenggar-enggar marang papan kang sarwa asri, dene papan kang asri mau mulane asri sabab ijo lan biru. Ora ana wong siji-sijiya kang bosen ngeleng papan kang terang sumilak lan asri, yaiku kang katon langit biru, gununge biru lan tetuwuhane kang katon ijo lan biru. Laring samberlilen ijone kaworan biru, malah akeh birune katimbang ijone. Lar merak iya kaduk biru. Kehing warna biru kang ana ing alam ndonya yen ketimbang lan kehing warna ijo akeh birune babar pisan. Awit ijo iku mung dumunung ing dharatan, nanging yen biru iya ing dharatan iya ing lautan, iya ing awang-uwung. Ing awang-uwung ora ana enggon salenging edom kang ora kisen biru, sumrambahe marang gunung-gunung kang katon saka kadohan. Yen wong nunggang kapal ing satengahing segara, kang katon prasasat lor kidul wetan kulon biru kabeh, kaya-kaya jagade dadi biru kabeh. Kang mangkono mau dadi tandha yen biru iku warna kang becik dhewe, katitik saka karsane Kang Maha Kuwasa anggone nitahake warna biru dikehi tinimbang liyane.

    Kupu ireng celathu mangkene, heh kisanak padha sarehna dhisik, mangsa anaa warna kang akehe ngungkuli ireng, tur ora ana warna kang pasajene kaya ireng. Mangkene wijangane, ora ana warna kang kehe ngungkuli ireng sabab yen ing wayah bengi alam donya ireng kabeh, ora susah diarani ing awang-uwung, ing dharatan, ing lautan, cukup diarani ora ana enggon kang ora ireng, banjur timbangen akeh endi karo biru. Mulane dak arani ora ana kang menangan kaya ireng, awit sakehing wawarnan yen wis kapracondhang dening ireng ora ana kang kawawa nanggulangi. Sanajan bumi-langit yen katekan pepeteng kang warnane ireng, jagad kaya kinelem ing awang-uwung kang ireng meles. Mulane dak arani ora ana pasaja kaya ireng, sabab mangkono wong kang pasaja lan semuwa iku aklambli ireng, celana ireng, sepatu ireng. Akeh gagah mangsa kaya ireng, akeh pasaja kaya ireng, dalah rambut lan brengos kang bregas iya kang ireng. Gambar-gambar lan tulisan kang pasaja tur cetha iya kang ireng. Sarehne pasaja, mulane uga lana sarta kanggo ing saben dina, kaya ujare kupu wungu mau. Kang wungu sogane iya bener, nanging ireng ora kalah, yaiku wedelane.

    Perkutut nglajengaken wicantenipun : Dongeng iku surasane mangkene :


    Kang aran ala lan becik iku sajatine mung gumantung ana ing panganggeping ati. Apa kang lagi disenengi si ati, iku kang katon becik. Alane kalimput. Wong kang watak korupan, sadhengaha kang lagi disenengi dhene panyanane iku kang bagus dhewe.
    Ana paribasan, wong dhemen ora kurang pangalembana, wong gething ora kurang pamada. Sarehne wis kinodrat dening Pangeran, manungsa padha dhemen marang awake, mulane ora ana manungsa kang jeleh ngalem awake.


    = = * = =

    II. Bagian 2

    Peksi perkutut nglajengaken anggenipun ndongeng :

    Ana sesotya putih, cahyane putih wenes maya-maya, jenenge sosotya manik maya, gumlethak cedhak lan palenggahanipun sang putri, calathu marang kupu-kupu, tembunge: he kupu, satemene ulesmu kabeh bagus, kang putih, kang abang, kang kuning, kang wungu, kang ijo, kang biru, apadene kang ireng, ora ana kang ora bagus, kuciwane mung ora mawa cahya, upama padha mawa cahya, iba bagusmu, awit katoning warna saka dening cahya, sanajan abanga, ijoa, birua, yen tanpa cahya iya cebleh. Sanajan puthia utawa abanga, yen mawa cahya dadi wenes. Mara waspadakna wujudku iki, ora liya mung putih, warna putih iku ora mbrengangang lan ora menger-menger, nganging rehne mawa cahya, dadi putihku ora wenes maya-maya, iya aku iki kang karan sesotya manik maya. Ora mung sesotya bae, sanajan manungsa bagus rupane, karengga ing busana, yen tanpa cahya, ora ana kekuwunge, lan ora nduwe prabawa, wekasan ora kineringan lan ora pinarcaya, dadi ora pinilala kanggo ing karya, jer ngegungake marang kebagusaning rupa kabungahaning ati, lan kamukten. Ora marsudi marang luhuring pramana. Sanajan manungsa ala rupane sarta kuru, manawa luhur budine, tumemen atine, kineringan lan pinilala, akeh wong wedi asih, jalaran katon ana ing cahyane kang wingit, lungit, ngengreng, yaiku soroting budine kang wening.

    Ing kono ana sesotya abang, uga cedhak lan palenggahan, arane sesotya geni maya, mamerake cahyane kang abang abramara kata kaya geni mawa.


    Ana maneh sesotya kuning, mamerake kaendahane, yaiku cahyane kang kuning sumunar, arane sosotya mirah delima.


    Ana maneh sesotya wungu, nuduhake cahyane kang wungu mengesm arane sesotya manik puspa raga.


    Ana maneh sesotya ijo, mamerake cahyane kang ijo ngenguwung, arane sesotya tinjo maya.


    Ana maneh sesotya biru, mamerake cahyane kang biru muyek, arane sesotya manik nila pakaja.


    Ana maneh sesotya kang ireng, mamerake endahing cahyane kang ireng meles meleng-meleng, yaiku kang aran musthikaning bumi.


    Kabeh padha endah ing rupa, ora ana kang kuciwa, kongsi sakehing kupu padha kucem. Mungguh sababe luwih endah sosotyane katimbang kupune, awit kupu mung duwe warna thok, ora duwe cahya, balik sesotya duwe warna nganggo kasinungan cahya.

    Ki sanak, dongeng iku surasane mangkene :

    Kuciwa banget manungsa yen mung ngudi marang kabungahan, kamelikan, pakareman, kanikmatan, kamukten, kawibawan, luhuring piyangkuh sapanunggalane. Ora nganggo nggayuh marang padhang utawa kaweningan, yaiku ulah budi.

    Warna putih, abang, kuning, wungu, ijo sapanunggalane iku dadi ibarat : rahsa, lire dadi ibarat wewatekaning manungsa, dene cahya ibarat padhanging budi.


    = = * = =

    Katrangane mangkene :
    Cahya lan warna kang kasebut ing dongeng iki sajatine mung kanggo ngibaratake :

    cahya lan warna kagunganing dhat kang wujud, kang gumadhuh (kaparingake) ana ing manungsa.

    Wujude cahya iku : budi. Awit budhi iku wujud pepadhang kang sumorot saka gaib, madhangi (nyoroti) kabeh nyawa saka wiwitan nganti pungkasan.


    Dene wujuding warna, yaiku : rahsa (hawane karan : nafsu), awit rahsa iku dayane mahanani sifating cahya warna-warna : putih, abang, kuning, ijo lan sapanunggalane.
    Rahsa iku ya wujud nyawa. Hawane marakake manungsa asring duwe rasa : bungah, susah, dhemen, gething, jahil drengki, kumingsun, gumun, getun, wedi, uwas, sumelang, welas asih, loma lan sapanunggalane.


    Cekake marakake manungsa duwe wewatekan dhewe-dhewe, ala utawa becik (ing basa Jawa lumrahe mung karan : pangrasa utawa ati).


    Hawaning rahsa kang sumebar jenenge nafsu, iku kena kaumpamakake kukus awit nafsu iku dayane memtengi utawa gawe butheking cahya.


    Sirepan nafsu utawa rahsa : manawa mligi nglumpuk ana ing Rasa (Rasul) sipate ora putih, ora abang, ora ijo, lan sapanunggalane, lire : ora bungah, susah, kepengin, dhemen, gething, lara, lan sapiturute, mung : tentrem (terange maneh manawa wis maca ing mburi).


    == * ==

    III. Bagian 3

    Peksi perkutut nglajenagaken anggening ndongeng :

    Nalika samono ana barleyan, celathu marang sakehing sosotya : ”Heh sakehing mirah, ing samengko kowe wis padha sumurup yen moncoling rupa saka dayaning cahya, tegese : warna abang ijo tanpa gawe yen ora kanthi cahya, awit yen tanpa cahya kucem. Sanajan tanpa warna yen sinung cahya ora bisa kasilep, awit cahya iku sumorot, tumama ing pandulu. Tetela cahya iku nyawaning rupa. Tandhane si manikmaya, warnane mung putih, ewa dene rehne mawa cahya, padha diupaya ing manungsa sarta diajeni. Luwih-luwih si geniyara, mirah delima sapanunggalane, dhasar duwe warna nganggo kasinungan cahya.

    Lha ing saiki kajaba saka kang rinembug iku mau, aku arep takon marang sakehing mirang padha timbangen. Pitakonku mangkene : pilih endi duwe warna kathi cahya sedheng katimbang ora duwe warna, mung cahya thok, nanging cahyane ngungkuli sakehing kang duwe warna? Apa milih duwe warna kanthi sedheng, apa milih tanpa warna nanging mawa cahya linuwih?

    Sakehing mirah durung ana kang bisa mangsuli. Barleyan celathu maneh, yen aku milih tanpa warna, sok uga kasinungan cahya linuwih. Mulane aku ora pati mikir marang warna, mung mburu cahya. Awit sanajan tanpa warna yen kasinungan cahya linuwih, cahya kang linuwih iku bisa mujudake warna kang manca warna dening beninge. Mara aku delengen, aku iki rak ora duwe warna kaya mirah, ora abang, ora kuning, ora ijo, ora biru, ora ireng, ora putih, nanging sarehne urubing cahyaku ngungkuli sakehing mirah, sanadyan ta tanpa warna iya bisa abang, iya bisa kuning, bisa ijo sapiturute. Yen aku pinuju abang ora kalah karo geniyara, yen aku pinuju kuning ora kalah karo mirah delima, yen aku pinuju wungu, ora kalah karo pusparaga, sabanjure ora kalah karo sakehing mirah. Dadi prasasat ngemot marang sawarnaning mirah. Apa sababe aku bisa mangkono sabab ora liya tanpa warna, pinunjul ing cahya.

    Upama cahyaku linuwih nanging isih kanggonan warnam uga ora bisa mengku marang sakehing warna. Sanajan tanpa warna yen ora linuwih cahyaku iya ora bisa ngemot sakehing warna. Dadi katerangane rupa kang becik dhewe, yaiku : kang tanpa warna sarta pinunjul ing cahya. Awit iku kang urip sarta mengku marang sakehing warna.

    Dongeng iku surasane mangkene :

    Manungsa iku bisane momot, durung cukup yen mung lepas ing budi lan elingan. Nanging kudu : ora duwe watak. Ora duwe watak, lire : ora ngukuhi marang wewatekan atine, kayata: dhemen marang iku, gething marang iki, dhemen marang bungah, ngresula yen susah, dhemen marang becik, gething marang ala. Ringkese : Duwe pakareman sajroning ati kang ora kena diowahi, sarta duwe gegethingan, Cahya iku, ibarate : budi. Warna, ibarat : rahsa. Barleyan iku, ibatat : luwih padhang budine, nanging ora kumingsun, bisa ngeluk kekarepane, ora pilih kasih utawa bau kapine. Titikane wong kang mangkono : wingit cahyane. Ora galak ulat, aliya mung tajem, sarta sarwa prasaja.


    Manungsa kang mangkono, kena pinilih dadi tetuwa, bisa momot marang wateke wong kang beda-beda, dening ora duwe watak dhewe.


    Sosotya sanajan mencoronga kaya geni, yan isih duwe warna dhewe, ora bisa mengku marang sakabehing warna, marga cahyane kereh marang warnane, beda lan barleyan, cahyane kang ngereh marang warnane.


    = = * = =

    IV. Bagian 4

    Peksi perkutut nglajengaken naggenipun ndongeng :

    Sakehing mirah padha rumasa asor bareng katandhing lan barleyan. Luwih-luwih kupu. Wasana padha sayuk ing rembug, arep ngratu marang barleyan, awit barleyan kang pinunjul ing rupa.

    Barleyan bareng arep dijunjung dadi ratu paratela mangkene : olehmu padha arep njunjung ratu marang aku sabab aku pinunjul ing cahya sarta tanpa warna. Pinunjuling cahyaku ndadekake uripung rupaku. Ora duweku warna kang marakake ngemot sakehing warna. Iku dhasar bener, nanging aku ini sabenere durung sampurna, isih ana maneh wujud saliyane aku kang pinunjul ing cahyane ngungkuli aku, sarta enggone bisa ngemot marang warna sampurnane ngungkuli aku. Iku bae padha dijunjung dadi ratu, awit cahyane tikel ping sewu tinimbang cahyaku, yen mencorong padha karo srengenge, balik aku mung kelip-kelip. Dene enggone ngemot warna, cethane tikel sewu tinimbang aku, aku aku mung mengku warna nanging kang bakal dak kandhakake marang kowe, mengku warna dalah rupane pisan. Lire ora mung bisa abang ijo, uga bisa manca warna kaya kupu, laya mirah, kaya barleyan, kaya watu, kaya jaran, kaya uwong, kaya srengenge, cekake bisa kaya sarupane kawujudan ing alam ndonya, dhasar bisa maujud kaya jagad gumelar katon bumi langit saisen-isene. Yen wis kaya srengenge, babar pisan ora beda lan srengenge, kongsi ora ana manungsa kang bisa nembungake kapriye rupane kang sabenere. Kang mangkono mau jalarane iya mung rong prakara thok.

    Sepisan : saka bangeting pinunjuling cahyane.

    Pindho : saking ora duwe warna babar pisan.

    Apa kowe wis weruh jenenge wujud kang kaya mangkono mau ?

    Yaiku kang aran : Kaca benggala gedhe.


    Sakehing sosotya lan kupu padha gawok. Warta banjur kepengin sumurup kaya apa rupane kaca benggala.


    Ana watu kang kepengi bisa nembungake kapriye rupane kaca benggala, takon marang barleyan tembunge : wujude kaca benggala iku kaya apa. Apa pancen kaya sarupane kawujudan, apa beda akro sarupaning kawujudan. Yen ora padha lan ora beda kareo sakehing kawujudan apa kena diarani bening kaya banyu?

    Barleyan mangsuli, yen diaranana kaya sarupane kawujudan iya bener, nanging ora pratitis. Mula bener disebut mangkono awit kaca benggala iku pancen bisa kaya watu, bisa kaya kupu, bisa kaya barleyan lan sapirturute. Dene ora pratitise tembung mangkono, awit kena diarani beda uga karo sarupane kawujudan. Bedane mangkene : watu iku buthek, nanging kaca benggala ora buthek. Watu mrongkol sarta ala, nanging kaca benggala ora tahu diarani mrongkol sarta ala. Mirah dlima kuning sarta cilik, nanging kaca benggala ora kuning sarta ora cilik. Areng iku ireng, kaca benggala ora ireng. Cekake yen sakehing rurupan dibedakake karo kaca benggal, kabeh iya beda karo kaca benggala. Rehne mangkono, kaya-kaya kena disebut beda karo sarupane kawujudan. Ewa denen ora kena dikukumi mangkono, awit ing ngarep diarani : kaya sarupaning kawujudan. Kajaba yen disebut : bening, lah iku, bok menawa bener, parandene meksa ora pratitis, awit bening mono benere kaya banyu kang ana ing gelas. Banyu iya bener bening, nanging banyu iku bening suwung, beda lan beninge kaca benggala : bening kang mengku rurupan, sabab cahyane geguletan karo rasa, iya rasa iku kang tanpa warna, nanging ora suwung. Si cahya dadi cahyane rasa, si rasa dadi wadhahing cahya.

    Mulane karanan tanpa warna tanpa rupa, awit upama digoleki warna rupane, sanajan diubresa, ora ketemu ketemu.


    Kang mangkono iku sok katembungake : suwung amengku ana. Utawa : ora ala ora bagus, nanging mengku ala lan bagus. Iya embuh jenenge rupa kang mangkono iku.

    Prayogane ayo padha dinyatakake.


    Sakehing sosotya kupu apa dene watu, banjur padha mara menyang panggonane kaca benggala gedhe.


    Kang seba dhisik watu. Tembunge watu marang kaca benggala : he sang kaca benggala ageng, sowan kulo badhe ngratu ing tuwan, awit tuwan ingkang pinunjul ing warni sajagad. Nanging kalilana kulo ningali sarira tuwan rumiyin.

    Kaca benggala mangsuli : iya becik mreneya ndeleng rupaku. Rupaku kaya rupamu.

    Watu bareng teka ing ngarepe kaca benggala banget ngungune dene rupane kaca benggala jibles watu. Ora ana bedane sathithik-thithika karo watu, nuli pamit mundur.

    Ora suwe kupu padha ndeleng rupane kaca benggala genti-genti. Kabeh padha ngungun awit rupane kaca benggala mung kaya kupu bae, mangkono uga sosotya, weruh rupane kaca benggala kaya sosotya. Watu lan areng ndeleng kaca benggalam katone iya kaya watu lan areng.


    Anuli kabeh padha bali ing panggonane maune.


    Kupu-kupu padha rerasan mangkene : wartane kaca benggala iku pinunjul ing rupa, jebul nyatane mung kaya kupu bae, ora duwe cahya kaya mirah, isih becik mirahe. Luwih-luwih yen katandhing karo barleyan, bagus barleyane pisan-pisan, awit kaca benggala ora duwe cahya, ora bisa kelip-kelip.


    Watu lan areng calathu mangkene : kaca benggala rupane buthek lan ireng kaya rupaku. Sarehne rupaku elek mangka kaca benggala ceples kaya aku, dadi kaca benggala ya elek.


    Barleyan mituturi marang kupu, areng lan watu : kowe padha sumurupa ki sanak, kaca benggala iku sanadyan pinunjul ing rupa, ora gelem mamerake rupane, ora gelem nandhing awake karo awake liyan, kaya si kupu enggone ungkul-ungkulan, padha golek ketrangan dhewe-dhewe kanggon ngalem awake. Wus jamake, sadengah kang durung sampurna karepe padha papandhingan dhiri, nanging kang sampurna mangkono.

    Si kupu putih mamerake putihe, kang abang nyandra abange, mirah ijo mamerake ijone, barleyan iya mamerake kelipe, dalasan watu iya pamer, yaiku mamerake eleke. Ala becik yen dipamerake, iya jeneng pamer. Iku kabeh jalaran durung sampurna ing rupa. Kang akeh emoh diarano ala, njaluk diarani becik, nanging kaca benggala ora njaluk diarani becik, lan uga ora duwe panjaluk diaranana ala kaya watu lan areng. Kaca benggala gelem diarani sakarepe kang ngarani. Gelem diarani ala kaya watu lan areng, nanging diarani kelip-kelip kaya barleyan iya ora nampik, malah yen ana perlune gelem diarani kaya srengenge. Nanging aja padha keliru tampa, mungguh geleme diarani ala, ora jalaran saka panjaluke utawa saka pangarep-arepe, sarta geleme diarani bagus ora jalaran saka pamere utawa doyan marang pangalembana. Dadi geleme mau jalaran saka legawa lan mengku marang sakehing rupa. Lah saiki watu lan areng padha sumurup dhewe, yen katone buthek kang ana ing kaca benggala iku ora jalaran saka buthekin kaa benggala, satemene saking bangetng beninge. Katone ireng kaya areng iya ora sabab saka irenge, malah saking beninge kang ora kinira-kira, kongsi areng lan watu ora duwe pangira. Pikiren ta upama butheka teneh mung buthek thok-thok, ora bisa mengku rerupan.

    Kupu, areng lan watu bareng ngrungu pratelaning barleyan padha rumangsa kejlomprong, wekasan percaya yen buthek kang katon ing kaca benggala iku butheke dhewe, dudu butheking kaca benggala, satemene malah saking beninging kaca benggala, awit kaca benggala uga bisa katon pating kerlip kaya barleyan, bisa ijo kaya tinjo maya.

    Ki sanak dongeng iku dadi pralampita :

    Kahananing kaca benggala iku ibarat wataking manungsa kang wis sampurna, yaiku manungsa kang wis ora korup marang dhiri (ora korup marang wujude kang mukmin). Manungsa kang mangkono : lali marang dhiri, tegede : ora pisan duwe niyat ngatonake dhiri, gedhene papandhingan dhiri. Ujub, riya, sumengah, takabur, bidngah, sapanunggalane wis ora duwe. Mungguh sababe mangkono mau awit budine keliwat padhange, sarta sirep napsune, kahananing dhiri ora rinasak-rasakake, ndadekake bisane amot marang sawarnaning wewatekan, wasana uripe mung ngangkah kaslametaning akeh, sarta tansah gawe kepenaking atine sapadha-padha.

    Wong kang mangkono suka rila diarani asor, ewadene ora nampik diarano luhur, sarta sukarilane ora dipamerake. Ora duwe pakareman sajroning atine, satemah ora ilon-ilonen, ora dhemen marang kang becik lan kang bener kanthi gething marang kang ala lan luput. Ora dhemen marang kang ala lan luput, kanthi gething marang kang becik lan bener.


    Manungsa sanajan pinunjula, yen isih dhemen papandhingan dhiri, utawa duwe pakareman sajrone ati sarta duwe gegethingan, iya durung sampurna, cahyane isih kaereh ing nepsune, lire : isih teluk marang watake dhewe (rahsane).

    Ana sawenehing manungsa ora njaluk diarani becik, nanging njaluk diarani ala, wong mangkono uga isih dumunung wong ngatonake becike watake, dadi isih korup marang dhiri, rehne mangkono, upama diarani becik, kang mesthi ngresula.

    Ana manungsa gelem diarani sakarepe kang ngarani, diarani becik utawa ala gelem. Nanging geleme mau dipamerake. Wong mangkono uga durung resik, isih duwe panjaluk utawa pangarep kang bangsa pangalembana. Rehning mangkono, upama diarani : ora gelem, mesthi ngresula.


    = = * = =

    BalasHapus
  25. Nama : Kurnia Larasati
    NIM :2102408038
    Rombel : 1 (satu)

    SULUK MALANG SUMIRANG

    Sunan Panggung Sunan Panggung dihukum oleh kraton Demak dengan dibakar hidup-hidup karena dianggap telah melanggar sarak dan menyebarkan ajaran sesat. Saat itu Sunan Panggung memang memimpin barisan oposisi yang selalu mengkritik kebijaksanaan Sultan Demak yang selalu didukung oleh para wali. Kraton Demak berdiri kokoh salah satunya karena sokongan cendekiawan yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga. Kitab-kitab yang terbit pada jaman ini yaitu: 1) Suluk Sunan Bonang, 2) Suluk Sukarsa, 3) Suluk Malang Sumirang, 4) Koja-Kojahan, dan 5) Niti Sruti. Pengertian Wali Sanga dapat dipahami secara denotatif maupun konotatif. Dalam pengertian denotatif nama Wali Sanga berarti sejumlah guru besar atau ulama yang diberi tugas untuk dakwah dalam wilayah tertentu. Dalam pengertian konotatif bahwa seseorang yang mampu mengendalikan babahan hawa sanga (9 lubang pada diri manusia), maka dia akan memperoleh predikat kewalian yang mulia dan Selamat dunia akhirat.

    Tanggab Sasmita Tanggap sasmita adalah responsif terhadap informasi simbolik. Orang yang tanggap sasmita mempunyai perasaan yang halus sehingga dirinya mudah menyesuaikan diri. Tanda-tanda yang bersifat semiotis memerlukan ketajaman perasaan untuk menangkap maknanya. Tinggi rendahnya kepemimpinan Jawa salah satunya ditandai dengan kemampuannya dalam mengolah isyarat alamiah. Bahkan untuk memberi instruksi pun kadang-kadang lebih mengena dengan pasemon atau perlambang. Semiotika Jawa mengandung makna yang menekankan pada perasaan. Ada ungkapan ing sasmita amrih lantip berarti supaya dapat menangkap arti simbolik dengan ketajaman batin.

    Suluk Malang Sumirang adalah ajaran Sunan panggung dari Kasultanan Demak. Ajaran ini berupa kritik atau sindiran kepada para ahli Sariat. Selanjutnya Sunan Panggung dihukum denga cara dibakar sebab dianggep menyebarkab aliran sesat.

    Berikut ini petikan Suluk Malang Sumirang :

    PUPUH
    DHANDHANGGULA

    01

    Malang sumirang amurang niti, anrang baya dènira mong gita, raryw anom akèh duduné, anggelar ujar luput, anrang baya tan wruh ing wisthi, angucap tan wruh ing trap, kaduk andalurung, pangucapé lalaluya, ambalasar dhahat amalangsengiti, tan kena winikalpa.

    02

    Andaluya kadadawan angling, tan apatut lan ujar ing sastra, lan murang dadalan gedhé, ambawur tatar-tutur, anut marga kang dèn-singkiri, anasar ambalasar, amegat kekuncung, tan ana ujar kerasa, liwang-liwung pangucapé burak barik, nulya kaya wong édan.

    03

    Idhep-idhepé kadya raryalit, tan angrasa dosa yèn dinosan, tan angricik tan angroncé, datan ahitang-hitung, batal karam tan dèn-singgahi, wus manjing abirawa, liwung tanpa tutur, anganggé sawenang-wenang, sampun kèrem makamé wong kupur kapir, tan ana dèn-sèntaha.

    04

    Angrusak sarak ujar sarèhing, acawengah lan ajar ing sastra, asuwala lan wong akèh, winangsitan andarung, kedah anut lampah tan yukti, mulané ambalasar, wus amanggé antuk, jatining apurohita, marminipun tan ana dèn-walangati, sakèhing pringgabaya.

    05

    Pangucapé wus tanpa kekering, oranana bayané kang wikan, dhateng kawula jatiné, tan ana bayanipun, anging tan wruh jatinirêki, pan jatining sarira, tan roro tetelu, kady angganing reringgitan, duk sang Panjy asusupan rahina wengi, kesah saking nagara.

    06

    Anêng Gegelang lumampah carmin, anukma aran dhalang Jaruman, dèn-pendhem kulabangsané, ndatan ana kang weruh, lamun Panji ingkang angringgit, baloboken ing rupa, pan jatine tan wruh, akèh ngarani dhadhalang, dhahat tan wruh yen sira putra ing Ke1ing, kang amindha dhadhalang.

    07

    Adoh kadohan tingalirêki, aparek reké tan kaparekan, yèn sang Panji rupané, dèn-senggèh baya dudu, lamun sira Panji angringgit, balokloken ing tingal, pan jatining kawruh, lir Wisnu kelayan Kresna, ora Wisnu anging Kresna Dwarawati, amumpuni nagara.

    08

    Wisésa Kresna jati tan sipi, kang pinujyêng jagad pramudita, tan ana wruh ing polahé, lir Kresna jati Wisnu, kang amanggih datan pinanggih, pan iya déning nyata, kajatenirêku, mulané lumbrah ing jagad, angestoken kawignyan sang Wisnumurti, nyatané arya Kresna.

    09

    Mangkana kang wus awas ing jati, oranana jatining pangéran, anging kawula jatiné, kang tan wruh kéngar korup, pan kabandhang idhepirêki, katimpur déning sastra, milu kapiluyu, ing wartaning wong akathah, pangèstiné dèn-senggèh wonten kakalih, kang murba kang wisésa.

    10

    Yèn ingsun masih ngucap kang lair, angur matiya duk lagi jabang, ora ngangka ora ngamé, akèh wong angrempelu, tata lapal kang dèn-rasani, sembayang lan puwasa, dèn-gunggung tan surud, den-senggèh anelamna, tambuh gawé awuwuh kadya raragi, akèh dadi brahala.

    11

    Pangrungunisun duk raré alit, nora selam déning wong sembayang, nora selam déning anggèn, tan selam déning saum, nora selam déning kulambi, tan selam déning dhestar, ing pangrungunisun, éwuh tegesé wong selam, nora selam déning anampik amilih, ing karam lawan kalal.

    12

    Kang wus prapta ing selamé singgih, kang wisésa tuwin adi mulya, sampun teka ing omahé, wulu salembar iku, brestha geseng tan ana kari, angganing anêng donya, kadya adedunung, lir sang Panji angumbara, sajatiné yèn mantuk ing gunung urip, mulya putrêng Jenggala.

    13

    Akèh wong korup déning sejati, sotaning wong dèrèng purohita, dèn-pisah-pisah jatiné, dèn-senggèh seos wujud, sajatiné kang dèn-rasani, umbang ing kapiran, tambuh kang den-temu, iku ora iki ilang, mider-mider jatiné kang dèn-ulati, tan wruh kang ingulatan.

    14

    Brahalane den-gendong den-indit malah kabotan dening daadapen mangke dereng wruh jatine dening wong tanga guru amungakĕn wartaning tulis kang ketang jatining lyan den-tutur anggalur den-turut kadya dadalan kajatene deweke nora kalingling lali pejah min-Wang.

    15

    Dosa gung alit kang den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-ucap iku wong anom kawruhe sembayang tan surud puwasane den ati-ati tan ayun kaselanan kalimput ing hukum kang sampun tekeng kasidan sembah puji puwasa tan den-wigati nora rasa-rinasan.

    16

    Sakeh ing doss tan den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-tulak wus liwang-liwung polahe tan andulu dinulu tan angrasa tan den-rasani tan amaran pinaran wus jatining suwung ing suwunge iku ana ing anane iku surasa sejati tan kĕna den-ucapna.

    17

    Dudu rasa kang kĕraseng lati dudu rasa rasaning pacuwan dudu rasa kang ginawe dudu rasa rasaning guyu dudu rasa rasaning lati dudu rasa rĕrasan rasaku amengku salir ing rasa surasa. mulya putreng Jènggala rasa jati kang kerasa jiwa jisim rasa mulya wisesa.

    18

    Kang wus tumeka ing rasa jati panĕmbahe da tanpa lawanan lir banyu mili pujine ing ĕnĕnge anebut ing unine iya amuji solahe raganira dadi pujinipun tĕkeng wulune salĕmbar ing osike tan sipi dadi pamuji pamuji dawakira.

    19

    Ingkang tan awas puniku pasti dadi kawulane kang wus awas tĕka ing sĕmbah pujine amung jatining wĕruh pamujine rahina wĕngi mantĕp paran kang awas ujar iku luput ananging aran tokidan lawan ujar kupur-kapir iku kaki aja masih rĕrasan.

    20

    Yen tan wruha ujar k„p„r-”pir pasti woog iku durung ~”„, maksih bakai pangawruhe pan kupur-kapir iku iya iku sampurna jati pan wèkas ing kasidan kupur-kapir iku iya sadat iya salat iya idĕp iya urip iya jati iku jatining salat.

    21

    Sun-marenana angedarneling sun-sapiye ta bok kadĕdawan mĕnawa mèdal cucude ajana milu-milu mapan iku ujar tan yakti pan mangkana ing lampah anrang baya iku rare anom ambĕlasar tanpa gawe gawene sok murmg niti anggung malang sumirang.

    PUPUH

    KINANTHI

    01

    Dosa gung alit tan dèn singgahi, ujar kupur kapir kang dèn ambah, wus liwung pasikepane, tan andulu dinulu, tan angrasa tan angrasani, wus tan ana pinaran, pan jatining suwung, ing suwunge iku ana, ing anane iku surasa sajati, wus tan ana rinasa.

    02

    Pan dudu rasa karasèng lathi, dudu rasane apa pa lawan, dudu rasa kang ginawe, dudu rasaning guyu, dudu rasa kang angrasani, rasa dudu rarasan, kang rasa amengku, sakèhing rasa karasa, rasa jati tan karasa jiwa jisim, rasa mulya wisesa.

    03

    Kang wus tumeka ing rasa jati, sembahyanging tan mawas nalika, luwir banyu mili jatine, tan ana jatinipun, mona muni turu atangi, saosiking sarira, pujine lumintu, rahina wengi tan pegat, puji iku rahina wengi sirèki, akèh dadi brahala.

    04

    Pengunguningsun duk lare cilik, nora Selam dening asembahyang, tan Selam dening pangangge,

    tan Selam dening saum, nora Selam dening nastiti, tan Selam dening tapa, nora dening laku, tan Selam dening aksara, nora Selam yèn anut aksara iki, tininggal ora esah.

    05

    Selame ika kadi punendi, kang ingaranan Selam punika, dening punapa Selame, pan ing kapir iku, nora dening mangan bawi, yadyan asembahyanga, yèn durung aweruh, ing sejatining wong Selam, midera anglikasan amontang manting, jatine kapir kawak.

    BalasHapus
  26. Teguh presetyo
    2102408026
    rombel 03

    DARMAGANDHUL.

    Carita adêge nagara Islam ing Dêmak bêdhahe nagara Majapahit kang
    salugune wiwite wong Jawa ninggal agama Buddha banjur salin agama
    Islam.

    (Kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak dan runtuhnya
    Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Awal mulanya Orang Jawa
    Meninggalkan Agama Buddha dan Beralih pada Agama Islam)
    Gancaran basa Jawa ngoko.

    Babon asli tinggalane
    K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.
    Cap-capan ingkang kaping sêkawan 1959
    Toko Buku "Sadu-Budi" Sala.

    BÊBUKA.
    Sinarkara sarjunireng galih, myat carita dipangikêtira, kiyai
    Kalamwadine, ing nguni anggêguru, puruhita mring Raden Budi,mangesthi
    amiluta, duta rehing guru, sru sêtya nglampahi dhawah,panggusthine
    tan mamang ing lair batin, pinindha lir Jawata.

    Satuduhe Raden Budi êning, pan ingêmbun pinusthi ing cipta, sumungkêm
    lair batine, tan etung lêbur luluh, pangesthine ing awal akhir,
    tinarimeng Bathara, sasêdyanya kabul, agung nugraheng Hyang Suksma,
    sinung ilham ing alam sahir myang kabir, dumadya auliya.
    Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi, pan biyasa mituhu susêtya, mring
    dhawuh wêling gurune, kêdah mêdharkên kawruh, karya suka pirêneng
    jalmi, mring sagung ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai Kalamwadi
    ngarang, sinung aran srat Darmagandhul jinilid, sinung têmbang

    macapat.
    Pan katêmben amaos kinteki, têmbang raras rum sêya prasaja, trêwaca
    wijang raose, mring tyas gung kumacêlu, yun darbeya miwah nimpêni,
    pinirit tinuladha, lêlêpiyanipun, sawusnya winaos tamat, linaksanan
    tinêdhak tinurun sungging, kinarya nglipur manah.
    Pan sinambi-sambi jagi panti, sasêlanira ngupaya têdha, kinarya cagak
    lênggahe, nggennya dama cinubluk, mung kinarya ngarêm-arêmi,
    tarimanireng badan, anganggur ngêthêkur, ngêbun-bun pasihaning Hyang,
    suprandene tan kalirên wayah siwi, sagotra minulyarja.
    Wus pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah kumambang karseng Hyang,
    ing lokhilmakful tulise, panitranira nuju, ping trilikur ri Tumpak
    manis, Ruwah Je warsanira, Sancaya kang windu, masa Nêm ringkêlnya
    Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: wuk guna ngesthi Nata
    (taun Jawa 1830).

    [Bagian Pembukaan tidak diterjemahkan karena penterjemah tidak paham
    bahasa Jawa klasik]

    DARMAGANDHUL.

    Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene "Mau-
    maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama Buddha
    salin agama Islam?"

    (Pada suatu hari bertanyalah Darmagandhul pada Kalamwadi sebagai
    berikut, "Asal mulanya bagaimana, kok orang Jawa meninggalkan Agama
    Buddha dan berubah menganut Agama Islam?")

    Wangsulane Ki Kalamwadi: "Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku
    wis tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna dipracaya,
    nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama Buddha banjur salin
    agama Rasul".

    (Jawabannya Ki Kalamwadi, "Saya sendiri juga tidak begitu mengerti,
    tapi saya sudah pernah diberi tahu oleh guru saya, selain itu guru
    saya itu juga bisa dipercaya, [Beliau] menceritakan asal mulanya
    orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berganti menganut agama
    Rasul (Islam).")

    Ature Darmagandhul: "Banjur kapriye dongengane?"

    (Darmagandhul bertanya, "Bagaimana kalau begitu ceritanya?")

    Ki Kalamwadi banjur ngandika maneh: "Bab iki satêmêne iya prêlu
    dikandhakake, supaya wong kang ora ngrêti mula-bukane karêben ngrêti".

    (Ki Kalamwadi lalu berkata lagi, "Hal ini sesungguhnya juga perlu
    diungkapkan agar orang yang tidak tahu asal mulanya menjadi tahu.")

    Ing jaman kuna nagara Majapahit iku jênênge nagara Majalêngka, dene
    ênggone jênêng Majapahit iku, mung kanggo pasêmon, nanging kang
    durung ngrêti dêdongengane iya Majapahit iku wis jênêng sakawit. (1)
    Ing nagara Majalêngka kang jumênêng Nata wêkasan jêjuluk Prabu
    Brawijaya.

    (Pada zaman kuno, Kerajaan Majapahit itu namanya Kerajaan Majalengka,
    sedangkan nama Majapathit itu, hanya sebagai perumpamaan, tetapi bagi
    yang belum tahu ceritanya, Majapahit itu telah merupakan namanya
    semenjak awal. (1) Di Kerajaan Majapahit yang berkuasa sebagai Raja
    adalah Prabu Brawijaya.)

    Ing wêktu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu krama
    oleh Putri Cêmpa, (2) ing mangka Putri Cêmpa mau agamane Islam,
    sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang Nata,
    bab luruhe agama Islam, sabên marak, ora ana maneh kang diaturake,
    kajaba mung mulyakake agama Islam, nganti njalari katariking
    panggalihe Sang Prabu marang agama Islam mau.

    (Pada saat itu, Sang Prabu sedang dimabuk asmara, ia menikah dengan
    Putri Cempa, (2) karena Putri Cempa itu beragama Islam, maka saat
    sedang berdua-duaan, Sang Putri [selalu] berbicara pada sang Raja,
    mengenai agama Islam. Tiap kali berkata-kata, tidak ada hal lain yang
    dibicarakan, selain mengagung-agungkan agama Islam, sehingga
    menyebabkan tertariknya hati Sang Prabu akan agama Islam.)

    Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran Sayid Rakhmat
    tinjo mênyang Majalêngka, sarta nyuwun idi marang Sang Nata,
    kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasul.

    (Tidak berama lama datanglah pengikut Putri Cempa yang bernama Sayid
    Rakhmat ke Majalengka. Ia minta izin pada sang raja, untuk menggelar
    penyebaran agama Rasul (Islam).)

    Sang Prabu iya marêngake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau.
    Sayid Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana Ngampeldênta ing Surabaya
    (3) anggêlarake agama Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka
    sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padha
    marêk sang Prabu ing Majalêngka, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing
    pasisir.

    (Sang Prabu juga mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid Rakhmat itu.
    Sayid Rakhmat lalu mendirikan sebuah desa kecil (dukuh) di
    Ngampeldenta, Surabaya. Ia mengajar agama Islam di sana. Selanjutnya
    makin banyak para ulama dari seberang yang datang. Para ulama dan
    para maulana itu beramai-ramai menghadap sang raja di Majalengka,
    serta sama-sama meminta desa kecil di daerah pesisir.)

    Panyuwunan mangkono mau uga diparêngake dening Sang Nata. Suwe-suwe
    pangidhêp mangkono mau saya ngrêbda, wong Jawa banjur akeh bangêt
    kang padha agama Islam.

    (Permintaan tersebut juga dikabulkan oleh Sang Raja. Lama-lama
    perkampungan kecil semacam itu makin menjamur, orang Jawa makin
    banyak yang beragama Islam.)

    Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama Islam
    kabeh, dene panggonane ana ing Benang (4) bawah Tuban. Sayid Kramat
    iku maulana saka ing 'Arab têdhake Kanjêng Nabi Rasulu'llah, mula
    bisa dadi gurune wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu maguru
    marang Sayid Kramat. Wong Jawa ing pasisir lor sapangulon sapangetan
    padha ninggal agamane Buddha, banjur ngrasuk agama Rasul. Ing
    Blambangan sapangulon nganti tumêka ing Bantên, wonge uga padha kelu
    rêmbuge Sayid Kramat.

    (Sayid Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah menganut agama
    Islam. Tempat menetapnya berada di Benang (juga disebut Bonang -
    penterjemah), Tuban. Sayid Kramat itu adalah pemuka agama yang
    berasal dari Arab, atau tempat kelahirannya Nabi Muhammad, sehingga
    dapat menjadi gurunya para penganut agama Islam. Banyak orang Jawa
    yang berguru pada Sayid Kramat. Orang Jawa di pesisir utara, baik
    bagian barat maupun timur, sama-sama meninggalkan agama Buddha dan
    berpindah masuk Islam. Dari Blambangan ke arah barat hingga Banten,
    banyak orang yang telah mematuhi perkataan Sayid Kramat.)

    Mangka agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kêlakon urip nganti
    sewu taun, dene wong-wonge padha manêmbah marang Budi Hawa. Budi iku
    Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku karêping hati, manusa ora bisa apa- apa,
    bisane mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.

    (Pada saat itu agama Buddha telah dianut di tanah Jawa selama seribu
    tahun, para penganutnya menyembah pada Budi Hawa. Budi adalah Zat
    dari Hyang Widdhi, sedangkan Hawa itu adalah kehendak hati. Manusia
    itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menjalankan, tetapi
    budi yang mengubah segalanya.)

    Sang Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka Putri
    Bangsa Cina, miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi têtêngêr
    Raden Patah.

    (Raja Brawijaya memiliki putra dari seorang putri berkebangsaan Cina.
    Putranya itu lahir di Palembang, dan diberi nama Raden Patah.)

    Barêng Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti sadhereke
    seje rama tunggal ibu, arane Raden Kusen. Satêkane Majalêngka Sang
    Prabu kewran panggalihe ênggone arêp maringi sêsêbutan marang
    putrane, awit yen miturut lêluri saka ingkang rama, Jawa Buddha
    agamane, yen nglêluri lêluhur kuna, putraning Nata kang pambabare ana
    ing gunung, sêsêbutane Bambang.

    (Tatkala Raden Patah sudah dewasa, ia mengunjungi ayahnya. Ia
    memiliki saudara lain ibu yang bernama Raden Kusen. Setibanya di
    Majalengka Sang Prabu bingung hatinya untuk memberi nama pada
    puteranya. Sebab menurut tradisi leluhur Jawa yang beragama Buddha,
    putra raja yang lahir di gunung, disebut Bambang.)

    Yen miturut ibu, sêsêbutane: Kaotiang, dene yen wong 'Arab sêsêbutane
    Sayid utawa Sarib. Sang Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka,
    padha dipundhuti têtimbangan ênggone arêp maringi sêsêbutan ingkang
    putra mau. Saka ature Patih, yen miturut lêluhur kuna putrane Sang
    Prabu mau disêbut Bambang, nanging sarehne ibune bangsa Cina, prayoga
    disêbut Babah, têgêse pambabare ana nagara liya.

    (Kalau menurut ibunya, namanya adalah Kaotiang, yaitu kalau dalam
    bahasa Arab disebut Sayid atau Sarib. Sang Prabu lalu memanggip para
    patih dan pegawai kerajaan. Mereka diminta pendapatnya di dalam
    memberikan nama bagi putranya itu. Patih berkata bahwa kalau menurut
    leluhur zaman dahulu, anak raja itu seharusnya diberi nama Bambang,
    tetapi karena ibunya berkembangsaan Cina, maka seharusnya disebut
    Babah, yang artinya lahirnya ada di negara lain.)

    Ature Patih kang mangkono mau, para nayaka uga padha mupakat, mula
    Sang Nata iya banjur dhawuh marang padha wadya, yen putra Nata kang
    miyos ana ing Palembang iku diparingi sêsêbutan lan asma Babah Patah.
    Katêlah nganti tumêka saprene, yen blastêran Cina lan Jawa sêsêbutane
    Babah.

    (Pendapat sang patih tersebut juga disepakati oleh para pegawai
    kerajaan. Oleh karenanya sang raja mengumumkan bahwa putranya itu
    yang lahir di Palembang, diberi nama Babah Patah. Hingga sampai
    sekarang, orang yang berdarah campuran Cina dan Jawa diberi nama
    Babah.)

    Ing nalika samana, Babah Patah wêdi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang
    rama, mulane katone iya sênêng, sênênge mau amung kanggo samudana
    bae, mungguh satêmêne ora sênêng bangêt ênggone diparingi sêsêbutan
    Babah iku.

    (Babah Patah, takut kalau tidak mematuhi sabda bapaknya, karena itu
    bersikap seolah-olah senang. Padahal ia tidak benar-benar senang-
    senang diberi nama Babah.)

    Ing nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing Dêmak,
    madanani para bupati urut pasisir Dêmak sapangulon, sarta Babah Patah
    dipalakramakake oleh ing Ngampelgadhing, kabênêr wayahe kiyai Agêng
    Ngampel.

    (Kemudian Babah Patah diangkat menjadi bupati di Demak, untuk
    mengepalai para bupati di pesisir Demak ke arah barat. Babah Patah
    lalu diperintahkan untuk berguru di Ngampelgadhing, yang kebetulan
    dikepalai oleh Kyai Ageng Ngampel.)

    Barêng wis sawatara masa, banjur boyong marang Dêmak, ana ing desa
    Bintara, sarta sarehne Babah Patah nalika ana ing Palembang agamane
    wis Islam, anane ing Dêmak didhawuhi nglêstarekake agamane, dene
    Raden Kusen ing nalika iku jinunjung dadi Adipati ana ing Têrung (5),
    pinaringan nama sarta sêsêbutan Raden Arya Pêcattandha.

    (Ketika waktunya telah tiba, ia pindah ke Demak, yakni ke desa
    Bintara. Sebetulnya Babah Patah telah beragama Islam saat di
    Palembang. Oleh sebab itu, tatkala telah berada di Demak, ia
    diperintahkan untuk melestarikan agamanya. Sedangkan Raden Kusen
    diangkat menjadi adipati di Terung, dan diberi gelar Raden Arya
    Pecattandha.)

    Suwening suwe sarak Rasul saya ngrêbda, para ngulama padha nyuwun
    pangkat sarta padha duwe sêsêbutan Sunan, Sunan iku têgêse budi,
    uwite kawruh kaelingan kang bêcik lan kang ala, yen wohe budi ngrêti
    marang kaelingan bêcik, iku wajib sinuwunan kawruhe ngelmu lair
    batin. Ing wêktu iku para ngulama budine bêcik-bêcik, durung padha
    duwe karêp kang cidra, isih padha cêgah dhahar sarta cêgah sare.

    (Makin lama agama Rasul makin menyebar luas, para ulama menjadi ingin
    memiliki gelar, dimana kemudian mereka digelari Sunan. Sunan itu
    artinya budi, pohon pengetahuan kesadaran pada yang baik dan buruk.
    Jika buah budi itu menyadari akan kebaikan, maka ia wajib menuntut
    ilmu lahir dan bathin. Pada saat itu para ulama masih memiliki hati
    yang baik, belum memiliki keinginan buruk, masih menahan diri dari
    makan dan tidur.)

    Sang Prabu Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha,
    kok nganggo sêsêbutan Sunan, lakune isih padha cêgah mangan, cêgah
    turu. Yen sarak rasul, sirik cêgah mangan turu, mung nuruti rasaning
    lesan lan awak. Yen cêgah mangan rusak, Prabu Brawijaya uga banjur
    paring idi. Suwe-suwe agama Rasul saya sumêbar.

    (Sang Prabu Brawijaya jadi jatuh hati, para ulama itu dikiranya
    Buddha, tetapi kok disebut Sunan. Tingkah laku mereka masih menahan
    diri dari makan dan tidur. Apabila mengikuti rasul, maka mereka
    [seharusnya] bukan menahan diri dari makan dan tidur, melainkan hanya
    menuruti hawa nafsu keinginan. Tatkala kebiasaan menahan diri dari
    makan dan tidur telah rusak, tetapi Prabu Brawijaya telah terlanjur
    memberikan angin. Makin lama agama rasul makin menyebar.)

    Ing wêktu iku ana nalar kang aneh, ora kêna dikawruhi sarana netra
    karna sarta lesan, wêtune saka engêtan, jroning utêk iku yen diwarahi
    budi nyambut gawe, kang maca lan kang krungu nganggêp têmên lan ora,
    iya kudu ditimbang ing sabênêre, saiki isih ana wujuding patilasane,
    isih kêna dinyatakake, mula saka pangiraku iya nyata.

    (Pada saat itu ada peristiwa-peristiwa yang aneh yang tidak masuk
    akal. Peristiwa-peristiwa tersebut diketahui dari ingatan semata.
    Apabila membaca atau mendengar, maka perlu dipertimbangkan benar dan
    tidaknya. Tetapi karena sampai sekarang masih ada peninggalannya,
    maka menurut pendapatku hal tersebut benar-benar terjadi.)

    Dhek nalika samana Sunan Benang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang
    ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah
    Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Benang
    sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti-
    niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.

    (Pada saat itu Sunan Benang bersiap-siap untuk mengunjungi Kediri,
    yang mengantarnya hanya dua orang sahabat. Ketika tiba di utara
    Kediri, yaitu di tanah Kertasana, mereka terhalang oleh air. Sungai
    Brantas saat itu kebetulan sedang banjir. Sunan Benang dan dua orang
    sahabatnya sama-sama menyeberang, dan ketika telah tiba di seberang
    ia mencari tahu apakah orang di sana telah beragama Islam, ataukah
    masih menganut agama Budi.)

    Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung
    sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono
    akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung
    dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan
    mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah. Sunan Benang
    ngandika: "Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku
    ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah".

    (Menurut Ki Bandar, orang di sana agamanya Kalang, bukan Buddha namun
    mirip, sedangkan agama Rasul masih sedikit sekali tersebarnya. Orang
    di sana yang sebagian besar beragama Kalang memuliakan Bandung
    Bandawasa. Bandung dianggap nabi mereka. Pada saat hari perayaan
    keagamaan mereka bersama-sama makan enak dan bersenang-senang di
    rumah. Sunan Benang berkata, "Jika begitu maka orang di sini sama-
    sama beragama Gedhah, Gedhah itu tidak hitam ataupun putih. Tempat
    ini pantas disebut Kutha Gedhah.")

    Ki Bandar matur: "Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang
    nêkseni". Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah,
    nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono
    mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.

    (Ki Bandar menjawab, "Baik, yang mulia, saya yang menjadi saksi."
    Tempat di bagian utara Kediri namanya mulai sekarang adalah Kutha
    Gedhah." Hingga saat ini masih disebut dengan Kutha Gedhah, tetapi
    orang jarang mengetahui asal mula nama tersebut.)

    Sunan Benang ngandika marang sakabate: "Kowe goleka banyu imbon
    mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen
    diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu,
    arêp salat".

    (Sunan Benang berkata pada sahabatnya, "Carilah air minum di desa,
    sungai masih banjir dan airnya keruh. Jika diminum maka akan
    menyebabkan sakit perut. Selain itu sudah waktunya salat Lohor. Saya
    mau wudhu untuk salat")

    Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu, têkan
    ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana
    mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku
    lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: "mBok Nganten, kula
    nêdha toya imbon bêning rêsik". mBok Prawan kaget krungu swarane wong
    lanang, barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan
    salah cipta, pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang
    dheweke, mula ênggone mangsuli nganggo têmbung saru: "nDika mêntas
    liwat kali têka ngangge ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên
    entên carane wong ngimbu banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning,
    yen sampeyan ajêng ngombe".

    (Salah seorang sahabatnya lalu pergi ke desa mencari air minum. Ia
    sampai di desa Pathuk dan menjumpai rumah yang nampaknya tidak ada
    prianya. Yang ada hanya seorang gadis perawan menjelang dewasa,
    dimana saat itu ia sedang menenun. Sahabat Sunan Benang mendekat
    serta berkata perlahan, "Mbok Nganten (panggilan terhadap wanita
    dalam bahasa Jawa), saya minta air minum yang bening dan bersih."
    Gadis perawan itu terkejut mendengar suara pria, ketika menoleh ia
    melihat seorang pria yang nampaknya mirip santri. Gadis perawan
    tersebut salah sangka, ia mengira orang tersebut ingin menggodanya,
    maka dijawabnya dengan perkataan kotor, "Anda menyeberang sungai
    datang kemari untuk minta air minum. Di sini tidak ada air minum,
    selain air kencing saya yang bening, jika Anda ingin meminumnya.")

    Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune
    dirikatake sarta garundêlan turut dalan, satêkane ngarsane Sunan
    Benang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu. Sunan Benang
    mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane
    nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang banyu, prawane aja
    laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi jaka
    tuwa, barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika kali Brantas
    iline dadi cilik, iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas
    sawah lan patêgalan, akeh desa kang padha rusak, awit katrajang
    ilining banyu kali kang ngalih iline, kali kang maune iline gêdhe
    sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang
    banyu, jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan
    Benang têrus tindak mênyang Kadhiri.

    (Sang santri yang mendengar ucapan kotor itu pergi tanpa pamit dan
    jalannya dicepat-cepatkan. Ia menggerutu dalam hati dan menceritakan
    pengalamannya di hadapan Sunan Bonang. Ketika mendengar hal itu Sunan
    Bonang marah sekali, ia kemudian mengucapkan sumpah serapah pada
    warga desa tersebut. Tempat itu dikutuk agar susah mendapatkan air,
    para gadisnya akan terlambat menikah dan demikian pula kaum
    perjakanya. Sesudah kutukan tersebut diucapkan aliran Sungai Brantas
    menjadi kecil. Aliran sungai yang pada mulanya besar itu menyimpang
    dan membanjiri desa, sawah, dan ladang. Banyak desa yang rusak karena
    diterjang aliran sungai yang berpindah alirannya. Sungai yang pada
    mulanya deras alirannya itu menjadi surut. Hingga saat ini tempat
    tersebut menjadi susah air serta gadis dan perjakannya terlambat
    menikah. Sunan Benang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.)

    Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing
    sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana
    wong arane Sunan Benang, gawene nyikara marang para lêlêmbut, ngêndêl-
    êndêlake kaprawirane, kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat
    sanalika, iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh
    desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka
    panggawene

    (Pada waktu itu ada seorang makhluk halus bernama Nyai Plencing,
    yakni makhluk halus yang berdiam di sumur Tanjungtani. Anak cucunya
    para berkeluh kesah padanya, mereka melaporkan tindakan orang bernama
    Sunan Benang yang kegemarannya menyiksa para makhluk halus serta
    memamerkan kesaktiannya. Sungai yang mengalir di Kediri dijadikan
    surut airnya serta berpindah alirannya ke arah lain yang tidak
    seharusnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah, dan ladang yang
    rusak. Semua itu akibat ulah Sunan Bonang.)

    Sunan Benang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya
    kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta
    diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah, Sunan Benang dhêmêne salah
    gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing
    gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Benang, bisaa tumêka ing pati,
    dadi ora tansah ganggu gawe. Nyai Plêncing krungu wadule anak putune
    mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Benang, nanging
    dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Benang, amarga rasane awake
    padha panas bangêt kaya diobong.

    (Sunan Bonang juga mengutuk orang di sana, gadis dan perjaka akan
    terlambat kimpoi. Sunan Benang itu kegemarannya bertindak salah. Anak
    cucu Nyai Plencing bersama-sama memohon Nyai Plencing agar bersedia
    menyantet Sunan Benang sampai mati dan tidak menganggu mereka lagi.
    Nyai Plencing yang mendengar keluh kesan anak cucunya itu, segera
    pergi menjumpai Sunan Benang. Tetapi makhluk-makhluk halus tersebut
    tidak dapat mendekati Sunan Benang, karena tubuh mereka serasa panas
    terbakar.)

    Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri, satêkane ing
    Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. ratune
    manggon ing Selabale. (6) Jênênge Buta Locaya, dene Selabale iku
    dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya,
    maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai daha
    iki cikal-bakal ing Kadhiri, barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai
    Daha dipundhut kanggo jênênge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya,
    sarta banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.

    (Makhluk-makhluk halus itu lalu lari ke Kediri. Ketika tiba di sana
    mereka melaporkan pada rajanya segala hal yang mereka alami. Raja
    makhluk halus itu berdiam di Selabale, namanya adalah Buta Locaya.
    Selabale itu letaknya ada di kaki gunung Wilis. Buta Locaya itu
    adalah patih Sri Jayabaya, dulu namanya adalah kyai Daha dan memiliki
    adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha itu asal usulnya ada di Kediri.
    Pada saat Sri Jayabaya tiba di sana, nama Kyai Daha itu dijadikan
    nama negara dan ia kemudian diberi nama Buta Locaya dan dijadikan
    patih oleh Sang Prabu Jayabaya.)

    Buta iku têgêse: butêng utawa bodho, Lo têgêse kowe, caya têgêse:
    kêna dipracaya, kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging têmên mantêp
    sêtya ing Gusti, mulane didadekake patih. Wiwite ana sêbutan kiyai,
    iya iku kiyai daha lan kiyai Daka, kiyai têgêse: ngayahi anak putune
    sarta wong-wong ing kanan keringe.

    (Buta itu artinya buteng atau bodoh, Lo itu artinya kamu, caya
    artinya bisa dipercaya. Sehingga Kyai Buta Locaya itu artinya bodoh,
    tetapi kawan yang setia dan patuh pada pimpinannya. Oleh karena itu
    ia dijadikan patih. Yang pertama kali bergelar kyai adalah Kyai Daha
    dan Kyai Daka. Kyai itu artinya mengayomi anak cucu dan orang-orang
    yang berada di kanan-kirinya.)

    Jêngkare Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing kono Sang
    Prabu sawadya-balane disugata, mula sang Prabu asih bangêt marang
    kiyai Daka, jênênge kiyai Daka dipundhut kanggo jênêng desa, dene
    kiyai Daka banjur diparingi jênêng kiyai Tunggulwulung, sarta dadi
    senapatining pêrang.

    (Sang raja lalu menuju ke rumah Kyai Daka. Di sana Sang Prabu
    Jayabaya beserta seluruh pengikut dan pengawalnya disambut dengan
    meriah, sehingga sang raja sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka
    dijadikan nama desa dan selain itu ia diberi gelar Kyai Tunggulwulung
    serta diangkat menjadi panglima perang.)
    __________________



    Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu
    Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni
    Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana
    sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut
    kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh
    padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.
    Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai Tunggulwulung ana
    ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen lahar mêtu supaya
    ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.

    (Ketika Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu
    Pagedhongan telah moksha, maka Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung
    juga ikut moksha. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus
    seluruh Jawa. Pusat kerajannya ada di laut selatan dan digelari Ni
    Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan dan
    daratan serta juga kanan kiri Tanah Jawa bersama-sama takluk pada Ni
    Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale,
    sedangkan Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut. Ia mengawasi dan
    dan lahar agar supaya saat lahar keluar tidak merusak desa dan lain
    sebagainya.)

    Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi kêncana
    kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak,
    diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha
    ngadhêp, kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji
    Sarilaut.

    (Waktu itu Kyai Buta Locaya sedang duduk di singgasananya yang
    dialasi kasur permadani. Datang mengahadap patihnya bernama
    Megamendhung dan dua putra tertuanya juga hadir. Yang lebih tua
    bernama Panji Sektiguna dan adiknya bernama Sarilaut.)

    Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru
    têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor
    Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban
    kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Benang. Nyai
    Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.

    (Buta Locaya sangat terkejut dengan laporan Nyai Plencing mengenai
    tingkah polah Sunan Benang yang merusak tanah di utara Kediri. Ia
    mengatakan bahwa Sunan Benang yang merusak itu orang dari Tuban yang
    berkelana ke Kediri. Nyai Plencing mengisahkan penderitaan para
    makhluk halus dan manusia.)

    Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt dukane,
    sarirane nganti kaya gêni, sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta
    para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan Benang. Para
    lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune barêng karo
    angin, ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring
    desa Kukum, ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai
    Sumbre, dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora
    ngaton, kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring
    wit sambi, ngadhang lakune Sunan Benang kang saka êlor.

    (Buta Locaya mendengar laporan Nyai Plencing itu menjadi sangat
    marah. Wajahnya menjadi merah padam bagaikan api. Ia segera memanggil
    anak-anaknya dan juga para makhluk halus jin serta peri. Ia mengajak
    mereka melawan Sunan Benang. Para makhluk halus itu bersiap-siap
    untuk perang. Mereka berjalan secepat angin, tidak berapa lama mereka
    tiba di utara desa Kukum, di sana Buta Locaya beralih wujud menjadi
    manusia yang bernama Kyai Sumbre. Ia kemudian berdiri di tengah
    jalan, di bawah pohon sambi, menghadang perjalanan Sunan Benang dari
    utara.)

    Ora antara suwe têkane Sunan Benang saka lor, Sunan Benang wis ora
    kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku ratuning
    dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya mawa. Dene
    lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah
    kêna prabawane Sunan Benang. Mangkono uga Sunan Benang uga ora bêtah
    cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cêdhak mawa, kiyai Sumbre
    mangkono uga.

    (Tidak lama kemudian, Sunang Bonang datang dari arah utara. Ia sudah
    mengetahui bahwa yang berdiri di bawah pohon itu rajanya makhluk
    halus yang terlah bersiap-siap untuk menganggu dirinya. Dimana hal
    itu diketahui dari hawa panas yang keluar dari makhluk halus
    tersebut. Para makhluk halus yang berjumlah banyak tersebut bersama-
    sama menyingkir jauh-jauh karena tidak tahan dengan hawa kekuatan
    Sunan Bonang. Namun Sunan Bonang juga tidak tahan berada di dekat
    Kyai Sumbre, karena kemanapun Sunan Bonang menyingkir, maka Kyai
    Sumbre ada di tempat itu pula.)

    Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên, amarga
    kêna daya prabawane kiyai Sumbre.

    (Dua orang sahabat Sunan Bonang pingsan, karena kedinginan. Mereka
    tidak tahan terkena hawa kekuatan Kyai Sumbre.)

    Sunan Benang andangu marang kiyai Sumbre: "Buta Locaya! Kowe kok
    mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre, kowe apa padha
    slamêt?".

    (Sunan Bonang menegur Kyai Sumbre, "Buta Locaya! Kamu menghadang
    jalanku, serta menyamar sebagai Sumbre. Apa kamu cari mati?")

    Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Benang ngrêtos jênênge dheweke,
    dadi dheweke kawanguran karêpe, wusana banjur matur marang Sunan
    Benang: "Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula punika
    Buta Locaya?".

    (Buta Locaya terkejut bukan main, karena Sunan Bonang mengetahui
    namanya, sehingga ia merasa ketahuan rahasianya. Lalu bertanyalah ia
    pada Sunan Bonang, "Darimana Anda dapat mengetahui bahwa saya adalah
    Buta Locaya?")

    Sunan Benang ngandika: "Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe
    ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya.".

    (Sunan Bonang berkata, "Aku tidak tertipu, aku tahu bahwa engkau
    adalah rajanya para makhluk halus di Kediri, namamu adalah Buta
    Locaya.")

    Kiyai Sumbre matur marang Sunan Benang: "Paduka punika tiyang punapa,
    dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi. Kados wangun
    walang kadung?".

    (Kyai Sumbre menjawab pada Sunan Bonang, "Anda itu orang mana, kok
    tingkah lakunya tidak sopan, beda dengan adat istiadat Jawa. Seperti
    belalang saja [loncat sini loncat sana.")

    Sunan Benang ngandika maneh: "Aku bangsa 'Arab, jênêngku Sayid
    Kramat, dene omahku ing Benang tanah Tuban, mungguh kang dadi sêdyaku
    arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu
    Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?".

    (Sunan Bonang berkata lagi, "Aku orang Arab, namaku adalah Sayid
    Kramat, sedangkan rumah saya ada di Bonang, Tuban. Aku ke Kediri
    karena ingin melihat peninggalan istana Sang Prabu Jayabaya. Istana
    tersebut dulunya berada di mana?")

    Buta Locaya banjur matur: "Wetan punika wastanipun dhusun Mênang (9),
    sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun
    inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan Bagendhawati
    ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna,
    pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning
    dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking
    rêdi Kêlut.

    (Buta Locaya menjawab, "Di sebelah timur itu, yakni di desa Menang,
    semua peninggalan telah musnah, istana serta tempat pesanggrahan juga
    telah tiada lagi. Istana dan taman istana Bagendhawati milik Ni Mas
    Ratu Pagedhongan juga telah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga telah
    sirna, yang tertinggal adalah nama desa itu. Semua itu musnah
    tertimbun tanah pasir dan lahar dari gunung Kelut.)

    Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam,
    nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih
    nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis
    toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa,
    saiba susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên
    gampil pêncaripun titahing Latawalhujwa, makatên wau saking sabda
    paduka, sêpintên susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri
    ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami
    risak, ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat,
    paduka sikara botên surup, nyikara tanpa prakara"

    (Sekarang saya hendak bertanya, Anda menyiksa anak cucu Adam,
    mengucapkan sesuatu yang tidak patut diucapkan. [Mengutuk] orang
    menjadi perawan dan perjaka tua, dan juga mengubah nama menjadi Kutha
    Gedhah, memindah aliran sungai, dan selanjutnya mengutuk bahwa di
    daerah ini akan susah air. Itu namanya tindakan yang tidak berguna,
    menyiksa orang lain yang tak bersalah, menyebabkan susahnya kehidupan
    orang lain. Lelaki susah menemukan jodohnya. Tindakan itu
    bertentangan dengan titah dari Latawalhujwa. Semua itu berasal dari
    kutukan Anda, begitu besarnya kesusahan orang yang kebanjiran. sungai
    Kediri berubah alirannya dan menerjang desa, hutan, sawah, berapa
    banyak yang rusak. Sedangkan di sini, Anda kutuk selamanya susah air,
    sungainya surut. Anda itu hanya menyiksa orang lain yang tidak
    bersalah.")

    Sunan Benang ngandika: "Mula ing kene tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah,
    amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe agama biru,
    sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu
    ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake
    larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga
    kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg."

    (Sunan Bonang berkata, "Tempat ini aku ganti namanya menjadi Kutha
    Gedhah, karena orang di sini agamanya tidak hitam tidak putih,
    tepatnya agama biru, yakni agama Kalang. Aku kutuk susah air, karena
    saya minta air minum tidak boleh. Oleh karenanya, air sungainya saya
    rubah alirannya. Semua yang berada di sini saya kutuk susah air. Saya
    mengutuk agar orang di sini menjadi perawan dan perjaka tua, karena
    tidak bersedia memberikan saya air minum, yaitu gadis perawan kurang
    ajar itu.")

    Buta Locaya matur maneh: "Punika namanipun botên timbang kaliyan sot
    panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang satunggal
    ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên
    timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun
    tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih
    dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah,
    lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki
    sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil panggêsangan laki rabi
    taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan
    sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen".

    (Buta Locaya berkata lagi, "Itu namanya orang yang tanpa
    pertimbangan. Kesalahan tidak seberapa, dan selain itu hanya satu
    orang yang bersalah, tetapi Anda telah membuat susah orang banyak
    sekali. Tidak sesuai dengan hukumannya. Anda itu namanya membuat
    susah orang banyak. Seandainya diketahui yang memiliki negara, maka
    Anda akan dihukum melarat sekali, karenanya merusak tanah. Sudah
    begini saja, Anda tarik kembali kutukan Anda. Di sini menjadi
    melimpah air kembali, sehingga bisa untuk bercocok tanah. Pria dan
    wanita dapat kembali menikah pada usia mudah, sesuai dengan titah
    dari Hyang Manon. Anda itu bukan Narendra (gelar Wisnu, mungkin yang
    dimaksud Tuhan - penterjemah), tetapi kok datang-datang mengharubiru
    agama. Itu namanya orang berengsek.")

    Sunan Benang ngandika: "Sanadyan kok-aturake Ratu Majalêngka aku ora
    wêdi".

    (Sunan Bonang berkata, "Meskipun kamu laporkan Raja Majalengka saya
    tidak takut.")

    Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu Majalêngka
    banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: "Rêmbag paduka niki dede
    rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon,
    ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh
    dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak
    sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge
    prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên ingkang
    nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta ajrih
    sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng
    sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun
    Aji Saka, muride Ijajil.

    (Buta Locaya setelah mendengar bahwa Sunan Bonang tidak takut pada
    Raja Majalengka menjadi makin marah, kata-katanya menjadi
    keras, "Anda itu jelas sekali tidak mencerminkan seseorang yang
    bijaksana dan berbudi luhur, melainkan lebih tepat lagi disebut
    dengan gelandangan (bahasa asli apabila diterjemahkan secara harafiah
    adalah orang yang tinggal dalam rumah bambu- penterjemah). Beraninya
    hanya mengandalkan kesaktiannya. Bersikaplah rendah hati sehingga
    dikasihi oleh Hyang Widdhi, dikasihi oleh sahabat, dan bukannya
    bertindak semau-maunya sendiri dengan tidak melihat kesalahannya. Itu
    namanya orang jahat yang tidak menimbang dulu permasalahannya. Di
    tanah Jawa ini, khan banyak orang yang kesaktiannya melebihi Anda,
    namun semuanya itu berbudi luhur dan tidak berusaha mengungguli para
    dewa. Mereka sama sekali tidak menyiksa orang lain tanpa melihat
    kesalahannya terlebih dahulu. Mengapa Anda meniru Aji Saka, muridnya
    Ijajil?)

    Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat
    saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta
    minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang
    saking 'Arab, mila sami siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising
    toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng
    dhatêng tiyang kathah, nanging kok jêbul botên makatên, wujud paduka
    niki jajil bêlis katingal, botên tahan digodha lare, lajêng mubal
    nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa?

    (Aji Saka menjadi raja tanah Jawa, tetapi tiga tahun kemudian pergi
    meninggalkannya, sumber air yang ada di Medhang juga dibawanya pergi.
    Aji Saka orang dari India, sedangkan Anda adalah orang Arab, karena
    itu sama-sama tidak menghargai sesama manusia. Sama-sama membuat
    sulit air. Anda itu mengaku-ngaku sebagai Sunan, khan seharusnya
    berbudi luhur, menciptakan kebajikan bagi orang banyak, tetapi kok
    malah tingkah lakunya seperti itu. Anda itu seperti iblis tingkah
    lakunya. Tidak tahan digoda oleh anak kecil, lalu bangkit nafsu
    angkara murkanya. Sunan macam apa itu?)

    Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka
    niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane
    paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun dados, lajêng
    paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah wedang ingkang umob
    mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes alam kaliyan
    manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa. Inggih
    sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên
    malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya
    kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên
    karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula-
    têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula tamtu nyuwun bantu wadya bala
    dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang wontên samodra kidul".

    (Kalau memang Anda sudah Sunan secara lahir bathin, maka seharusnya
    berbudi luhur. Anda menyiksa orang tanpa dosa, yaitu karena Anda
    dihina. Sehingga dengan demikian setelah ini Anda pantas masuk neraka
    jahanam. Kalau sudah mati, Anda akan tinggal di sana. Dimasukkan
    kawah air panas yang asapnya melimpah-limpah. Saya ini termasuk
    golongan makhluk halus, dan berbeda dengan kalian yang manusia.
    Karenanya saya ini masih ingat dengan kesejahteraan umat manusia. Ya
    sudah, apa yang sudah rusak saya minta untuk diperbaikik kembali.
    Sungai yang surut dan tempat yang rusak diterjang banjir, saya minta
    dikembalikan seperti asal mulanya. Jika Anda tidak bersedia
    mengembalikannya, semua orang Jawa yang sudah masuk Islam akan saya
    santet agar mati semua. Saya tentu juga akan minta bala bantuan dari
    Ratu Ayu Anginangin di laut selatan.")

    Sunan Benang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute, dene
    gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur
    ngandika: "Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni
    caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki
    bisa bali kaya mau-maune".

    (Sunan Bonang setelah mendengar nasehat Buta Locaya jadi menyadari
    kesalahannya karena telah menyebabkan kesengsaraan banyak orang, maka
    berkatalah ia, "Buta Locaya, saya ini Sunan, tidak dapat menarik
    kembali ucapanku yang sudah keluar, besok jika telah genap lima ratus
    tahun, maka sungai ini kembali seperti semula.")

    Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Benang, banjur nêpsu
    maneh, nuli matur marang Sunan Benang: "Kêdah paduka-wangsulna
    sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda".

    (Buta Locaya setelah mendengar penolakan Sunan Bonang menjadi marah
    kembali, ia mengancam Sunan Bonang, "Harus dikembalikan sekarang
    juga, jika tidak bisa, maka Anda saya tahan di sini.")

    Sunan Benang ngandika marang Buta Locaya: "Wis kowe ora kêna
    mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak-jênêngake
    cacil, dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong
    pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta
    susahe jalma lan dhêmit, dak-suwun marang Rabbana, woh sambi dadi
    warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm
    dadi pasêmoning ulat kêcut, dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse
    dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu
    karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge
    desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre, dene panggonane balamu kang
    ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran".

    (Sunan Bonang berkata pada Buta Locaya, "Sudah, kamu tidak perlu
    mengajari aku, aku pamit mau ke Magetan, buah sambi ini aku sebut
    cacil, karena kok seperti anak kecil berkelahi. Makhluk halus dan
    manusia berkelahi mengadu pengetahuan masalah rusaknya tanah, serta
    kesengsaraan manusia dan makhluk halus. Saya akan minta pada Tuhan,
    buah sambi akan menjadi dua warna, dagingnya menjadi masam, bijinya
    agar keluar minyaknya. Asam itu menjadi lambang ulat masam, karena
    makhluk halus bertengkar dengan manusia. Minyak artinya makhluk halus
    menghalangi perginya manusia. Pada masa mendatang jadilah saksi kalau
    saya bertengkar dengan kamu. Dan mulai saat ini, tempat ini yang
    utara namanya desa Singkah, sedangkan yang di sini namanya Sumbre.
    Sedangkan tempat berkumpulnya pasukanmu di bagian selatan namanya
    dewa Kawanguran.")

    Sunan Benang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan
    kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana desa
    aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan,
    Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.

    (Setelah berkata demikian, Sunan Bonang lalu melompat ke timur
    sungai. Hingga saat ini di Kutha Gedhah ada desa bernama Kawanguran,
    Sumbre, dan Singkal. Kawanguran artinya pengetathuan. Singkah artinya
    menemukan akal budi.)

    Buta Locaya nututi tindake Sunan Benang. Sunan Benang tindake têkan
    ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Benang mriksani rêca jaran, rêca
    mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit
    trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti
    amblasah, Sunan Benang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.

    (Buta Locaya mengikuti perginya Sunan Bonang. Sunan Bonang tiba di
    desa Bogem, di sana ia melihat ada patung kuda yang berbadan satu
    tetapi berkepala dua. Letaknya ada di bawah pohon trenggulun. Buah
    trenggulun itu banyak sekali hingga menggunung tinggi. Sunan Bonang
    lalu menghancurkan kepala patung kuda itu.)

    Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Benang anggêmpal êndhasing
    rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse: "Punika
    yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita
    Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika,
    lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi"

    (Setelah melihat Sunan Bonang menghancurkan kepala patung kuda, maka
    bangkit kembali kemarahan Buta Locaya. Ia berkata, "Itu adalah
    peninggalan sang Prabu Jayabaya, sebagai lambang tekadnya wanita
    Jawa. Besok di jaman Nusa Srenggi, siapa saja yang melihat patung itu
    akan sama-sama memahami tekad para wanita Jawa.")

    Sunan Benang ngandika: "Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu karo
    manusa, jênênge dhêmit kêmênthus".

    (Sunan Bonang menjawab, "Kamu itu bangsa makhluk halus, kok berani
    bertengkar dengan manusia. Itu namanya makhluk halus sombong.")

    Buta Locaya mangsuli: "Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu".

    (Buta Locaya berkata, "Lalu kenapa memangnya? Anda Sunan, saya raja.")

    Sunan Benang ngandika: "Woh trênggulun iki tak-jênêngake kênthos,
    dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo dhêmit
    kumênthus, prakara rusaking rêca".

    (Sunan Bonang berkata, "Buah trenggulun ini aku namakan kenthos,
    sehingga menjadi peringatan di masa mendatang kalau aku bertengkar
    dengan makhluk halus sombong masalah rusaknya patung.")

    Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene, woh trênggulun
    jênênge kênthos, awit saka sabdane Sunan Benang, iku pituture Raden
    Budi Sukardi, guruku".

    (Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga sekarang, buah trenggulun namanya
    kenthos, karena berasal dari sabda Sunan Bonang. Itu adalah
    pemberitahuan dari guruku Raden Budi Sukardi.")

    Sunan Benang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar, kêrsane
    arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane,
    sumure banjur digolingake, dene Sunan Benang sawise, nuli sagêd
    mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.

    (Sunan Bonang lalu pergi ke arah utara. Pada saat itu telah waktunya
    salat asar dan ia hendak menunaikan ibadah salat. Di luar desa itu
    ada sumur, tetapi tidak ada ember untuk menimba air, karena itu Sunan
    Bonang menggulingkan sumur itu sehingga ia bisa menggambil air dari
    dalamnya.)

    Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene sumur mau karane sumur
    Gumuling, Sunan Benang kang anggolingake, iku pituture Raden Budi
    guruku, êmbuh bênêr lupute".

    (Ki Kalamwadi menjelaskan, "Hingga saat ini sumur itu disebut sumur
    Gumuling. Sunan Bonang yang menggulingkannya. Itu katanya Raden Budi
    guruku, entah benar entah tidak.")

    Sunan Benang sawise salat banjur nêrusake tindake, satêkane desa
    Nyahen (10) ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit
    dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh
    kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang,
    saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Benang priksa rêca mau gumun
    bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubênge
    bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen dijunjung
    wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune
    têngên rêca mau disêmpal dening Sunan Benang, bathuke dikrowak.

    (Setelah salat maka Sunan Bonang meneruskan perjalanannya, dan tiba
    di desa Nyahen. Di sana ada patung raksasa wanita yang terletak di
    bawah pohon dadap. Pada saat itu kebetulan pohon dadapnya sedang
    banya bunganya dan banyak yang berjatuhan di kanan dan kirinya patung
    raksasa itu sehingga nampak merah merona. Sunan Bonang melihat arca
    yang tingginya 16 kaki dan lingkarnya 10 kaki. Apabila diangkat orang
    800 juga masih belum terangkat. Bahu kanan patung tersebut
    dihancurkan oleh Sunan Bonang dan selain itu dahinya juga dirusak.)

    Buta Locaya wêruh yen Sunan Benang ngrusak rêca, dheweke nêpsu maneh,
    calathune: "Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-bêcik
    dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika
    yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan
    ngrisak rêca?"

    (Buta Locaya mengetahui tindakan Sunan Bonang merusak patung itu,
    timbul amarahnya kembali, "Anda itu benar-benar orang brengsek.
    Patung bagus-bagus kok dirusak tanpa sebab. Patung itu adalah
    peninggalan Sang Prabu Jayabaya, lalu mengapa Anda rusak?")

    Pangandikane Sunan Benang: "Mulane rêca iki tak-rusak, supaya aja
    dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen
    wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar."

    (Jawaban Sunan Bonang, "Arca ini saya rusak supaya jangan disembah-
    sembah oleh orang banyak, supaya jangan dimantrai. Yang menyembah
    patung itu namanya kafir. Lahir dan bathinnya tersesat.")
    __________________



    Buta Locaya calathu maneh: "Wong Jawa rak sampun ngrêtos, yen punika
    rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes Hyang Labawalhujwa,
    mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados para
    lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng, amargi
    siti utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun manusa,
    mila para lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing rêca,
    panjênêngan-tundhung dhatêng pundi?

    (Buta Locaya mengomel lagi, "Orang Jawa itu khan sudah tahu, bahwa
    itu hanya sebuah arca batu, tidak punya daya apa-apa, tidak punya
    kekuasaan apa, bukan Hyang Labawalhujwa, karena itu dimantrai dan
    diberi sesajian, supaya para makhluk halus yang dulunya tinggal di
    tanah atau kayu - karena tanah dan kayu itu dimanfaatkan bagi
    manusia - maka para makhluk halus itu diberi tempat tinggal di dalam
    arca. Anda itu tahu nggak sih?)

    Sampun jamakipun brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca, sarta
    nêdha ganda wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos
    sumyah, langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah
    ing panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang
    agêng, sampun sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan
    alamipun manusa, manggen wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara,
    dados panjênêngan punika têtêp tiyang jail gêndhak sikara siya-siya
    dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa Jawa
    ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa, wangsul tiyang
    bangsa 'Arab sami sojah Ka'batu'llah, wujude nggih tugu sela, punika
    inggih langkung sasar".

    (Sudah wajar kalau para makhluk halus tinggal di gua dan patung.
    Selain itu mereka makan bau harum. Makhluk halus itu apabila makan
    bau harum, badannya terasa segar. Mereka betah tinggal di patung-
    patung batu yang berada di tempat sepi atau yang berada di depan
    pohon besar. Apakah Anda sudah pernah merasakan hidup di alam makhluk
    halus yang berbeda dengan alam manusia? Mereka yang hidup di dalam
    patung baru, Anda siksa, jadi karena itu Anda patut disebut orang
    jahil. Orang yang gemar berbuat seenaknya sendirinya terhadap sesama
    makhluk Tuhan. Lebih baik orang Jawa yang menghormati patung demi
    menguntungkan para makhluk halus, dibandingkan dengan orang Arab yang
    menyembah Ka'bah. Wujudnya juga tugu batu, sehingga seharusnya mereka
    juga sesat.")

    Pangandikane Sunan Benang: Ka'batu'llah iku kang jasa Kangjêng Nabi
    Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi wong
    akeh, sing sapa sujud marang Ka'batu'llah, Gusti Allah paring
    pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing 'alam pangumbaran".

    (Sunan Bonang menjawab, "Ka'bah itu ada karena jasanya Nabi Ibrahim,
    di situ terletak pusatnya bumi. Dibangun tugu dan disembah orang
    banyak. Siapa saja yang bersujud pada Ka'bah, Allah akan mengampuni
    dosanya selama hidup di dunia.")

    Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Tandhane napa yen angsal sihe
    Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa sampun
    angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?

    (Buta Locaya menjawab dengan marah, "Buktinya apa kalau mereka
    beroleh pengampunan dosa dari Tuhan, memperoleh pengampunan dari
    semua kesalahan. Apakah sudah memperoleh tanda tangan dan cap dari
    Tuhan?")

    Sunan Benang ngandika maneh: "Kang kasêbut ing kitabku, besuk yen
    mati oleh kamulyan".

    (Sunan Bonang berkata lagi, "Itu semua disebut dalam kitabku. Besok
    kalau meninggal akan beroleh kemuliaan.")

    Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: "Pêjah malih yen sumêrêpa, kamulyan
    sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup, sasar nyêmbah tugu
    sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi dhatêng rêdi Kêlut
    kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami maujud piyambak
    saking sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking dhawuhipun Ingkang
    Maha Kuwaos, manusa sadaya kêdah sumêrêp ing Batu'llahipun, badanipun
    manusa punika Baitu'llah ingkang sayêktos, sayêktos yen yasanipun
    Ingkang Maha Kuwaos, punika kêdah dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun
    badanipun, sumêrêp budi hawanipun, inggih punika ingkang kenging
    kangge tuladha.

    (Buta Locaya menjawab dengan tidak senang hati, "Ketahuilah,
    kemuliaan yang ada di dunia ini sudah ternoda, orang tersesat
    menyembah tugu batu, ketika mereka sudah melakukan kejahatan. Di
    Gunung Kelut banyak batu besar-besar hasil ciptaan Tuhan, kesemuanya
    itu terwujud berdasarkan Sabda Allah, itulah yang sesungguhnya lebih
    pantas disembah. Berdasarkan izin Yang Maha Kuasa, seluruh umat
    manusia harus mengetahui mengenai Ka'bah sejati, tubuh manusia itulah
    Ka'bah sejati. Sejati karena ciptaannya Yang Maha Kuasa. Inilah yang
    harus diperhatikan. Siapa yang sadar akan asal usulnya, mengetahui
    akal budinya, yaitu yang sanggup dijadikan suri tauladan.)

    Sanadyan rintên dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga
    pêtêng, kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu damêlan
    Nabi, Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta,
    pinaringan wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun
    têrus, sumêrêp cipta sasmita ingkang dereng kalampahan. Dene ingkang
    yasa rêca punika Prabu Jayabaya, inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos,
    pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih engêtan sidik
    paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka pathokan
    tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking lêluhuripun. sami-
    sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar sastra saking
    lêluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun taksih kenging
    dipuntingali. Tiyang nyungkêmi kabar 'Arab, dereng ngrêtos
    kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos, anggêga ujaripun
    tiyang nglêmpara.

    (Meskipun siang dan malam menjalankan salat, tetapi apabila
    pikirannya gelap, pengetahuannya amburadul, menyembah tugu batu yang
    dibuat nabi. Nabi itu khan juga manusia kekasih Allah, diberi wahyu
    sehingga menjadi pandai dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
    Sedangkan yang membangun arca batu itu adalah Prabu Jayabaya, yang
    juga merupakan kekasih Allah. Ia juga menerima wahyu mulia, juga
    banyak pengetahuannya dan sanggup mengetahui apa yang akan terjadi.
    Anda berpedoman pada kitab, sedangkan orang Jawa berpedoman pada
    sastra kuno, petuah dari leluhur sendiri. Lebih baik mempercayai
    sastra kuno dari leluhur sendiri yang peningggalannya masih dapat
    disaksikan. Orang mempercayai kitab Arab, padahal belum tahu keadaan
    di sana, entah benar entah salahnya, hanya percaya perkataannya para
    penipu.)
    __________________



    Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade mulyaning nagari Mêkah,
    kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas, awis toya, tanêm-tanêm
    tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun banter awis jawah, manawi tiyang
    ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika nagari cilaka, malah kathah
    tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang tumbasan. Panjênêngan
    tiyang duraka, kula-aturi kesah saking ngriki, nagari Jawi ngriki
    nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun cêkapan, tanah pasir
    mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd tuwuh, tiyangipun jalêr
    bagus, wanitanipun ayu, madya luwês wicaranipun. Rêmbag panjênêngan
    badhe priksa pusêring jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi
    punika, sapunika panjênêngan ukur, manawi kula lêpat panjênêngan
    jotos.

    (Anda menjual kemuliaannya negeri Mekah. Padahal saya tahu seperti
    apa sebenarnya Mekah. Tanahnya panas, susah air, tanaman tidak bisa
    tubuh, serta jarang hujan. Orang yang sanggup bernalar akan menyebut
    Mekah itu negeri celaka. Malah banyak orang yang diperjual-belikan
    sebagai budak. Anda itu orang durhaka. Saya minta untuk pergi dari
    sini, negeri Jawa yang suci dan mulia, cukup hujan dan air, apa yang
    ditanam dapat tumbuh, yang pria tampan, yang wanita cantik. Bicaranya
    juga luwes. Kalau Anda bicara masalah pusatnya jagad, maka tempat
    yang saya duduki inilah yang merupakan pusat jagad. Silakan Anda
    ukur, bila salah pukullah saya.)

    Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang nêdha
    kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca punika Maha
    Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan, panjênêngan
    punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula-aturi kesah
    kemawon saking ngriki, manawi botên purun kesah sapunika, badhe kula-
    undhangakên adhi-kula ingkang wontên ing rêdi Kêlut, panjênêngan kula-
    kroyok punapa sagêd mênang, lajêng kula-bêkta mlêbêt dhatêng
    kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên badhe susah, punapa
    panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados kula? Mangga dhatêng
    Selabale, dados murid kula!".

    (Anda itu seperti orang tidak waras, pertanda kurang nalar, kurang
    memakan pengetahuan akal budi, senang menyiksa orang lain. Yang
    membuat arca itu Maha Prabu Jayabaya, yang kesaktiannya melebihi
    Anda. Anda apa sanggup mengetahui apa yang akan terjadi? Sudahlah,
    saya minta Anda pergi saja dar sini. Jika tidak mau pergi dari sini,
    maka akan saya panggilkan adik saya dari Gunung Kelut. Anda saya
    keroyok apa bisa menang? Lalu akan saya bawa ke dalam kawah Gunung
    Kelut. Apakah Anda tidak sengsara? Apakah Anda ingin berdiam dalam
    batu seperti saya? Kalau mau silakan datang ke Selabale, jadi murid
    saya!")

    Sunan Benang ngandika: "Ora arêp manut rêmbugmu, kowe setan
    brêkasakan".

    (Sunan Bonang berkata, "Saya tidak mau mengikuti perkataanmu, wahai
    setan iblis.")

    Buta Locaya mangsuli: "Sanadyan kula dhêmit, nanging dhêmit raja,
    mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tamptu mulya kados kula,
    tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan
    dhatêng tanah Jawi, wontên ing 'Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen
    panjênêngan mulya tamtu botên kesah saking 'Arab, mila minggat,
    saking lêpat, tandhanipun wontên ing ngriki taksih krejaban, maoni
    adating uwong, maoni agama, damêl risak barang sae, ngarubiru agamane
    lêluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhatêng Mênadhu".

    (Buta Locaya menjawab, "Meskipun saya makhluk halus, tetapi raja
    makhluk halus. Mulia dan abadi selamatnya. Anda belum tentu mulia
    seperti saya. Niat Anda buruk, gemar menyiksa orang lain. Oleh karena
    itu Anda datang ke tanah Jawa. Di Arab Anda tergolong orang hina.
    Jika Anda orang mulia maka tidak akan pergi meninggalkan Arab, karena
    salah maka melarikan diri dari sana. Buktinya di sni membuat onar,
    menghina adat istiadat orang lain, menghina agama, merusak barang
    yang bagus, mengharubiru agama leluhur kuno. Raja wajib menyiksa dan
    membuang Anda.")

    Sunan Benang ngandika: "Dhadhap iki kêmbange tak jênêngake celung,
    uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung rêmbag, dadiya
    pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh kalah nalar".

    (Sunan Bonang berkata, "Pohon dadap ini bunganya aku beri nama
    celung, buahnya kledhung, karena aku kalah nalar dan kalah
    pembicaraan. Jadilah saksi bila aku bertengkar dengan raja makhluk
    halus dan kalah pengetahuan serta nalar.")

    Mula katêlah nganti tumêka saprene, woh dhadhap jênênge kledhung,
    kêmbange aran celung.

    (Oleh karena itu hingga sekarang, buah dadap, namanya kledhung,
    bunganya dinamakan celung.)

    Sunan Benang banjur pamitan: "Wis aku arêp mulih mênyang Benang".

    (Sunan Bonang lalu berpamitan, "Sudah saya akan pulang ke Bonang.")

    Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Inggih sampun, panjênêngan enggala
    kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar, manawi kadangon wontên
    ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis wos, nambahi bênter,
    nyudakakên toya".
    Sunan Benang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga
    banjur mulih.

    (Buta Locaya menjawab dengan marah, "Ya sudah, pergilah cepat-cepat.
    Di sini membuat susah saja. Makin lama makin membuat susah saja.
    Membuat susah air, menyebabkan kekeringan." Sunan Bonang meninggalkan
    tempat itu dan Buta Locaya beserta pasukannya juga pulang
    meninggalkan tempat itu.)
    __________________






    Pada suatu hari, Darmogandul bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula
    orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam.

    Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab,
    "Aku tidak mengerti.
    Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa
    meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam.
    Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu."

    Putri Campa
    Pada zaman dulu Majapahit bernama Majalengka.
    Majapahit hanyalah kiasan. Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit
    dianggap sebagai nama kerajaan.

    Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa.
    Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam.
    Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam.

    Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama
    itu.
    Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa
    kecuali kemuliaan agama Islam.

    Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad.
    Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka.
    Sang Prabu mengabulkan.
    Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya.

    Banyak ulama dari seberang datang ke Majalengka.
    Menghadap sang prabu mohon izin tinggal di wilayah pesisir.
    Permohonan itu dikabulkan.
    Akhirnya berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.

    Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah
    Bonang, termasuk wilayah Tuban.
    Sayid Kramat namanya.
    Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.

    Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya.
    Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama
    Budha dan memeluk agama Islam.
    Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang
    mengikuti ajaran Islam.

    Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun.
    Menyembah kepada Budi Hawa.
    Budi adalah Dzat Tuhan.
    Sedangkan Hawa adalah minat hati.

    Manusia tidak dapat berbuat apa-apa.
    Ia hanya dapat melaksanakan.
    Sedang yang menggerakkan semua ialah budi.

    Raden Patah
    Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah.
    Ia lahir di Palembang dari rahim seorang Putri Cina.
    Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain
    ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen ( Husein ).

    Sang Prabu bingung memberi nama putranya.
    Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di
    pengunungan.
    Dari jalur ibu disebut Kaotiang.
    Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib.

    Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan.
    Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu
    itu dinamakan Bambang.
    Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya
    lahir di tempat lain.
    Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain.

    Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama
    Babah Patah.
    Sampai saat ini, keturunan pembauran antara Cian dan Jawa disebut Babah.
    Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk
    menentangnya.

    Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak.
    Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat.
    Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel.

    Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak.
    Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang.
    Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam.
    Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya
    Pecattanda.

    Ajaran Islam makin berkembang.
    Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan.
    Sunan artinya budi.
    Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk.

    Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin.
    Pada waktu itu para ulama baik budinya.
    Belum memiliki kehendak yang jelek.
    Banyak yang mengurangi makan dan tidur.

    Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut
    Sunan.
    Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.

    Sunan Bonang
    Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya.
    Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai
    Brantas yang meluap.

    Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang.
    Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat.
    Sudah Islam atau masih beragama Budha.

    Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan
    Bandung Bondowoso.
    Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka.
    Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka.
    Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.

    Kata Sunan Bonang,
    " Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah.
    Artinya, tidak hitam, putih pun tidak.
    Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah."

    Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.

    Perawan Tua
    Hari terik.
    Waktu sholat dhuhur tiba.

    Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu.
    Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah
    satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk.
    Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud.

    Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah.
    Tak terlihat laki-laki di sini.
    Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun.

    " Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih,"
    kata sahabat itu.

    Perawan itu terkejut.
    Ia menoleh.
    Dilihatnya seorang laki-laki.
    Ia salah paham.
    Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya.

    Ia menjawab kasar :
    " Kamu baru saja lewat sungai.
    Mengapa minta air simpanan.
    Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai
    simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."

    Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit.
    Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan.
    Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.

    Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam.
    Keluarlah kata-kata keras.
    Sunan menyabda tempat itu akan sulit air.

    Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua.
    Begitu juga dengan kaum jejakanya.
    Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua.

    Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut.
    Aliran sungai berbelok arah.
    Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun.

    Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang.
    Dan setelah itu kering seketika.
    Sampai kini daerah Gedhah sulit air.

    Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua.
    Begitu juga kaum laki-lakinya.
    Mereka terlambat berumah tangga.

    Demit
    Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.
    Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing.
    Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.

    Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum
    mahluk halus dan menonjolkan kesaktian.
    Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang.
    Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka
    mengganggu lagi.

    Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat
    menemui Sunan Bonang.
    Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang.
    Badannya terasa panas seperti dibakar.

    Setan-setan itu berhamburan.
    Lari tunggang langgang.
    Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.

    Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis.
    Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha.
    Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri.
    Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama
    negara.

    Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya.
    Buta sendiri artinya bodoh.
    Lo bermakna kamu.
    Dan Caya dapat dipercaya.
    Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat
    dipercaya.

    Sebutan itu hampri menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha dan
    Kyai Daka.
    Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di sekitarnya.
    Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah Kyai Daka.

    Sang Prabu dijamu Kyai Daka.
    Sang Prabu suka dengan keramahan itu.
    Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti Tunggulwulung.
    Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.

    Ketika Prabu Jayabaya muksa ( mati bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas
    Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga iktu muksa.
    Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa.
    Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin.

    Semua mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni
    Mas Ratu Angin-Angin.
    Buta Locaya menempati Selabale.
    Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar
    agar tidak merusak desa sekitar.

    Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas
    kasur babut dihias bulu merak.
    Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan
    Panji Sarilaut.
    Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.

    Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
    ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang.
    Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
    Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murga.

    Tubuhnya bagaikan api.
    Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang.
    Para setan dan jin itu bersiap berangkat.
    Lengkap dengan peralatan perang.

    Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum.
    Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai
    Sumbre.
    Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.

    Kyai Sumbre berdiri di bawah pohon.
    Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara.

    Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang
    menghadang perjalanannya.
    Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api.
    Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh.
    Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang.

    Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan
    hawa panas.
    Dua sahabatnya pingsan dan demam.

    Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
    Source : Posmo No. 2 - 25 Maret 1999

    Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru.
    Sunan Bonang dengan tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedah
    karena tidak jelas agamanya.

    " Kusabdakan sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi.
    Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan mendapatkan air.
    Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang
    kuminai air itu perawan desa."

    Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang.
    Salah yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi
    penderitaannya dirasakan oleh banyak orang.
    Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena
    merusak daerah.

    Sunan Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka.

    Debat Soal Kebenaran
    Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah.
    Buta Locaya berkata masygul :
    " Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara.
    Itu pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan
    kesaktian.

    Janganlah sombong.
    Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat
    sekehendak hati.
    Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab.

    Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi
    mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa.
    Tuan akan dijauhi orang-orang baik budi bila tetap berbuat demikian.

    Apakah tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil ?
    Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa
    seluruh sumber air di Medang.
    Ia Hindu.Suka membuat sulit air.

    Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak,
    tetapi ternyata tidak demikian.
    Tuan layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak
    kecil.
    Lekas naik darah.
    Sunan apakah itu ?

    Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat
    kebajikan.
    Tuan menyiksa orang tanpa dosa.
    Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam.
    Bila telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."

    Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak selam dengan manusia, tetapi hamba
    masih memperhatikan nasib manusia.
    Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula.
    Sungai yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon untuk
    mengembalikan.
    Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati.
    Hamba akan meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan."

    Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya.
    Ia berkata,
    " Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku.
    Aku hanya bisa membatasi saja.
    Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti
    semula."

    Buta Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya.
    " Kembalikan sekarang juga.
    Bila tidak, tuan akan hamba ikat."

    " Sudah, jangan berbantah lagi.
    Aku mohon diri akan berjalan ke timur.

    Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang
    sedang berkelahi.
    Setan dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di
    daerah dan kesedihan manusia dengan setan.

    Ku mohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya
    menjadi asam.
    Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang masam.
    __________________




    Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini
    bernama Desa Sumbre.
    Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran."

    Debat Soal Tuhan
    Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai.
    Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan
    Kawanguran.
    Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan
    akal.

    Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang
    berkepala dua di bawah pohon Trenggulun.
    Banyak buah trenggulun yang berserakan.
    Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.

    Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin
    bertambahlah kemarahannya.

    " Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita.
    Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan
    mengetahui tekat para wanita Jawa.

    Sunan Bonang pun berkata,
    " Kau ini bangsa hantu.
    Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong.

    " Apa bedanya.
    Tuan Sunan, saya ratu Hantu,"
    kata Buta Locaya

    Sunan Bonang berkata,
    Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua
    debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.

    Ki Kalamwadi berkata :
    " Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama kentios karena ucapan Sunan
    Bonang.
    Semua itu menurut cerita guruku menurut cerita guruku bernama Raden Budi.

    Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara.
    Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat.
    Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba.

    Sumur itu kemudian digulingkan.
    Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat.
    Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling."

    Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan.
    Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon
    dadap yang berbunga.
    Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya.
    Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang
    berjatuhan.

    Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan.
    Patung itu berukuran sangat besar.
    Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki.
    Lingkar pinggulnya 10 kaki.
    Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat.
    Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.

    Buta Locaya marah lagi.
    " Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan.
    Kini menjadi jelek.
    Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya.
    Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu ?"

    " Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi
    sesaji dan diberi kemenyan.
    Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin."

    Kata Buta Locaya,
    " Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya
    dan berkuasa.
    Bukan Tuhan, maka mereka layani.
    Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah
    dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia.

    Para hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana ?
    Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum.
    Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman.

    Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh.
    Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar.
    Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia."

    Sunan Bonang Khilaf
    Buta Locaya berkata,
    " Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan ?
    Mendapat wahyu agar pandai.
    Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.

    Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula,
    mendapatkan wahyu mulia.
    Dia pun pandai dan kaya ilmu.
    Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.

    Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun berpedoman petuah dari para
    leluhurnya.
    Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai kabar dari leluhur sendiri
    dengan peninggalan masih bisa disaksikan.

    Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup.
    Tanah berpasir murah air.
    Apa saja ditanam dapat tumbuh.

    Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya.
    Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya.
    Silakan tuan ukur.
    Seandainya tidak benar, pukullah.

    Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya.
    Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi ?
    Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini.

    Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud.
    Tuan akan kami keroyok.
    Dapatkah tuan menang ?

    Lalu akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ?
    Inginkah tuan tinggal di Batu seperti hamba ?
    Mari ke Selabale menjadi murid hamba."

    Sunan Bonang :
    " Tak sudi mengikuti kata-katamu.
    Kau hantu brekasaan."

    Buta Locaya berkata,
    " Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja.
    Abadi selamanya.
    Tuan belum tentu seperti hamba.

    Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya.
    Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan menentang adat, menentang
    agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur.
    Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado."

    Sunan Bonang tak menggubris.
    Ia berkata :
    " Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku
    kecelung ( sesat ) pemikiran dan salah bicara.
    Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan
    pemikiran.
    [ Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung.]
    Sudah, aku akan pulang ke Bonang."

    Buta Locaya berkata,
    " Ya sudah, silakan tuan pergi.
    Di sini tak ayal akan membikin panas.
    Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air,
    dan mengurangi air."

    Tak Setuju Serbu Majapahit, Syech Siti Jenar Dibunuh
    Source : Posmo No. 3 - 1 April 1999

    Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang adanya
    surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi
    kerusakan di wilaya itu akibat ulah Sunan Bonang.
    Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya.

    Setelah tiba, Sang Patih melaporkan semua yang telah terjadi.
    Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu
    kemana.
    Berikut babak lanjutan dari Serat Darmogandhul.

    Saking murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di
    Pulau Jawa pergi.
    Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan
    meyebarkan agama Islam.
    Apabila menolak akan dibunuh.

    Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Patihnya, karena ulama Giripura
    telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan
    kerajaan sendiri.
    Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu.
    Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.

    Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang
    mengajak Sunan Giri ke Demak.
    Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak dan mengajak menyerbu
    ke Majalengka.

    Kata Sunan Bonang,
    " Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur
    103 tahun.
    Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja.
    Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.

    Jangan sampai ketahuan.
    Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang.
    Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya."

    Provokasi
    Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti
    saran Sunan Bonang.

    " Saya takut merusak negeri Majalengka.
    Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagian
    dan kebaikan di dunia.
    Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski
    beragama Budha atau pun kafir."

    Mendengan jawaban demikian, Sunan Bonang berkata,
    " Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir.
    Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.

    Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar.
    Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading.
    Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang
    dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam.

    Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang.
    Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam.
    Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.

    Tuhan masih cinta kepadamu.
    Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu.
    Buktinya, kamu diberi nama Babah.

    Babah itu artinya tidak baik.
    Hidup hanya untuk mati.
    Benih Jawa yang dibawa Putri Cina.

    Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan
    raksasa.
    Itu memutus cinta namanya.
    Ayahmu tetap berhati tidak baik.

    Karena itu, balaslah dengan halus.
    Pokoknya jangan kelihatan.
    Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya."

    Kemudian, Sunan Giri menyambung,
    " Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku
    tidak menghadap ke Majalengka.
    Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
    anjing.

    Banyak orang Cina yang datang ke Jawa.
    Di Giri banyak yang ku-Islamkan.
    Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan
    surga.

    Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu.
    Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka
    berzikir.
    Katanya, sakit ayan pagi dan sore.
    Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini."

    Jawab sang Adipati Demak,
    " Ayahanda memburu tuan itu betul.
    Karena tuan Sunan mendirikan kraton.
    Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih
    berkuasa.
    Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak
    meyadari makan minum di Pulau Jawa."

    Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
    "Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi.
    Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan
    kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua.
    Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging.

    Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja.
    Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga.
    Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir.
    Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu
    sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan
    menghilangkan agama Budha."

    Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan
    mau merusak Majalengka.
    Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena
    kafir.

    Syech Siti Jenar Dibunuh
    Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara
    datang semua ke Demak.
    Berkumpul untuk mendirikan masjid.
    Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru didirikan.
    Usai sembahyang pintu masjid ditutup.

    Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak
    akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit.
    Bila semua setuju akan segera dimulai.
    Semua sunsn dan bupati setuju.

    Hanya Syech Siti Jenar yang tidak.
    Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar.
    Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
    Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa
    bergelar Senapai Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama Patih
    Mangkurat.

    Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang
    berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati.
    Berjalan berarakan seprti Grebeg Maulud.
    Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung,
    para sunan dan para ulama.

    Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia.
    Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan.
    Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.

    Terjadi Peperangan
    Alkisah, sepulang dari Giri sang Patih melaporkan hasil penaklukan terhadap
    Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena.
    Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang.
    Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang
    berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.

    Dalam berperang mereka lincah seperti belalang.
    Sementara pasukan Majapahit menembaki.
    Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima
    peluru.
    Senapati Setyasena menemui ajal.

    Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung.
    Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan
    Majapahit.
    Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri
    ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.

    Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu
    Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah
    Kertosono.
    Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat
    melawan dengan perang.

    Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
    dikirim ke Demak.
    Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat
    terkenal dengan Menak Tanjangpura ) mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah
    Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.

    Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri.
    Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam
    mendukung.
    Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar
    Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi
    Surya Alam di Bintoro.

    Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah
    kepada Patih cara menghadap kepada raja.
    Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan
    wuku Prabangkat.
    Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.

    Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja.
    Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat
    itu.

    Mendengan laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut.
    Diam membisu, lama tak berkata.
    Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki
    kemauan seperti itu
    Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.

    Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka.
    Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin.
    Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.

    Pikiran sang raja sangat gelap.
    Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi
    hutan.

    Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
    para ulama serta bupati tega melawan Majapahit.
    Patih pun menjawab tak mengerti.
    Ki Patih juga heren, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi
    kebaikan membalas dengan kejahatan.

    Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya
    sendiri.
    Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah
    terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyeberkan
    agama Islam.
    Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Islam.

    " Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba.
    Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi orang-orang
    kucir, karena tak tahu kebaikan.
    Kuberi kebaikan membalas dengan kejahatan."

    Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad.
    Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi.
    Terkenal sampai sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.

    Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang
    Prabu meminta pertimbangan dari Patih.
    Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara
    peperangan.
    Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Raja
    telah lanjut usia.

    Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja.
    Jangan sampai merusak bala pasukan.
    Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra
    yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.

    Setelah memerintahkan demikian, sang prabu meloloskan diri pergi ke Bali
    diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong.
    Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana.
    Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.




    Adipati Pengging dan Ponorogo

    Sang Patih diperintahkan untuk memanggil adipati Pengging dan Adipati Ponorogo, karena putranya Raden Gugur di Majapahit masih kecil, belum saatnya maju perang. Setelah memberi perintah demikian, Sang Prabu kemudian pamit hendak mengungsi ke Bali. Ia diiringkan dua abdi terkasih, Sabdapalon dan Nayagenggong.

    Ketika Sang Prabu memberi perintah demikian, wadyabala Demak sudah membuat abrisan mengepung negara, maka terburu-buru perjalanannya. Wadya Demak kemudian perang dengan pasukan Majapahit. Para Sunan sendiri yang memimpin peperangan. Patih Majapahit mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati Nayaka Majapahit delapan orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai. Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu. Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu, prajuritnya banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka yang mengamuk semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti mati tegelempang. Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah peperangan, bertanding dengan Sunan Kudus. Ketika sedang ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk. Ia menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.

    Patih Majapahit tidak mempan senjata apapun, seperti tugu baja, tidak ada senjata yang bisa menggores tubuhnya, siapa pun yang diterjang bubar berlarian, yang menghadang terjungkal mampus. Bangkai manusia tumpang tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan. Jatuhnya peluru seperti hujan jatuh di batu watu. Sunan Ngundung menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung balas ditombak, tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan Majapahit lama-lama habis. Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya Patih Majapahit gugur. Tetapi kuwedane musnah dan meninggalkan suara, “Ingat-ingat orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas kejahatan, tega merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan pembunuhan. Kelak kubalas, kuajari kalian benar salah, kutiup kepala kalian, kucukur rambut kalian bersih-bersih.”

    Setewasnya Patih Majapahit, para Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu sudah tidak ada, yang ada hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri diajak menyingkir ke Bonang. Para prajurit Demak kemudian masuk ke istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang kampung tidak ada yang berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam istana, membakari semua buku-buku ajaran Buddha. Orang-orang di sekeliling istana bubar, beteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke gunung dan hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan orang Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu Pangrasa.

    Pesantren Ampelgading
    Kabupaten Terung

    Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an. Sebagian pasukan dan para Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jambuningrat sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati berganti-ganti menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun. Beliau meminta restu, agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong.

    Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”

    Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”

    Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi raja memangku tanah Jawa dan semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para Sunan. Mengapa negara majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.

    Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.

    Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buddha. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi.

    Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu bukan patokanmu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?

    Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku lihat?”

    Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja koq dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok diturut perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam maerah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu nanti tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”

    Nyai Ageng Ampel

    Nyai Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan, sampa iia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.

    Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmara dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.

    Nyai Ageng Ampel masih meneruskan gejolak amarahnya, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”

    Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabil tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.





    Prabu Jimbun kembali ke Demak

    Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah. Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buddha sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang. Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Suanan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya.

    Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta (pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.

    Mendengar hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa (sedikit,red) menyesal dan bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Tetapi (karena gengsi dan sudah kepalang tanggung,red.) rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patih, karena tidak mau pindah agama Islam. Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita itu pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan.

    Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.

    Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa.

    Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.



    (Redaksi: Kisah selanjutnya menceritakan mengenai Sunan Kalijaga yang diutus Prabu Jimbun mencari ayahnya dan membujuknya dengan cara baik-baik, mungkin dengan pertimbangan bahwa ayahnya masih memiliki kekuatan, yaitu kedua anak lainnya Adipati Ponorogo dan Adipati Penging masih berkuasa di wilayahnya masing-masing dan kalau sampai Prabu Brawijaya berhasil sampai ke Bali, maka ia dapat meminta bantuan raja Bali untuk menyerang balik. Dari sumber lain, ditemukan Sunan Kalijaga adalah seorang petapa yang sering bertapa di sekitar sungai-sungai, dan mempunyai perangai yang halus. Secara pribadi redaksi berpendapat bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang NEGOSIATOR JUARA DUNIA!!!)

    Ganti yang diceritakan, perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari Prabu Brawijaya, hanya diiringkan dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.

    Sunan Kalijaga sang negosiator ulung

    Perjalanan Prabu Brawijaya sampailah di Blambangan, Kaena merasa lelah kemudian berhenti di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid! Kamu datang ada apa? Apa perlunya mengikuti aku?”

    Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu. Beliau memohon ampul atas kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri, disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah. Adapun ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak, tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya. Karena itu ptra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena itulah hambah yang lemah ini diutus yntuk mencari dimana Paduka berada. Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di bumi. Jika Paduka berkenan pulang, putra Paduka akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati. Itu pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana, menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton d tanah Jawa, diminta dengan tulus.”

    Sang Prabu Brawijaya bersabda, “Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyng buntut! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!”

    Setelah mendengar bersabda Sag Prabu demikian, Sunan Kalijaga meraasa sangat bersalah karena telah ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Namun yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut, “Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena semua ytelah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke mana?”

    Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya. Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja. Aku juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan meninggalkan tata cara yang mulia.”

    Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugerah, Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang Islam tertumpas dalam peperangan.”

    Akhirnya Sunan Kalijaga berkata pelan, “Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi perang bear. Apakah tidak sayang Negeri Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka, kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka. Jika terjadi demikian ibarat serigala berbut bangkai, yang berkelahi terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya.”

    “Ini semua kehendak Dewata Yang Maha Lebih. Aku ini raja binatara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang para leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja, menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti?”

    Mendengar kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu.

    Sang Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan air mata. Berat sabdanya, “Sahid! Duduklah dahulu. Kupikirkan baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya, karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si patah menghadap kepadaku, bencinya tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok dengan ilalang kering.”

    Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air.” Sunan Kalijaga memendam senyum (kemenangan,red ) dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”

    PERDEBATAN TEOLOGIS PRABU BRAWIJAYA

    Sang Prabu berkata, “Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan “ Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “

    Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, “Manusia yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab. Badan manusia itu bayangan Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian.”

    Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabil hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
    __________________



    Perdebatan dengan Sabdapalon dan Nayageggong
    Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, “Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”

    Sabdapalon berkata dengan sedih (shock berat), “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha, Baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Jawa artinya tahu. Mau menerima berarti Jawan. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka kelak,” Kata Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan.

    (Redaksi: Menurut ajaran Buddha mengenal adanya reinkarnasi, jadi Sabdapalon ini telah berkali-kali bereinkarnasi dan selalu menjadi seorang patih di tanah Jawa. Bandingkan dengan reinkarnasi dari para Lama di Tibet)

    Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata, karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal: (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi.

    Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”

    Sabdopalon berkata dengan sedih (putus asa), “Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makaman kubur, kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang. Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa. Ruh idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi. Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang Ibrahm, arthinya kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kurubran rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya. Orang tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja. Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya. Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!”

    Prabu berkata “Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur”.

    Sabdapalon bertutur “Itu pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia.”

    Sang Prabu menjawab, “Ciptaku menempel pada orang yang lebih.”

    Sabdopalon berkata, “Itu manusia tersesat,seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada awal mulanya lagi.”

    Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku melum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak.”

    “Itu matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.”

    Sang Prabu, “Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.”

    Sabdopalon menyambung, “Itulah matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”

    Sang Prabu berkata, “Aku akan muksa dengan ragaku.”

    Sabdopalon tersenyum, “Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan demit.”

    Sang Prabu, “Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”

    Sabdopalon, “Paduka meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai manusia. Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati.”

    Sang Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”

    Sabdopalon berkata, “Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam bear. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat? Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya anusia sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.

    Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging, sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata. Jika akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah dipaksa.

    Paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjenga Nabi Musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat. Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup. Orang yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang baik, melebihi yang sudah tua.Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang berasal dari ruh idhafi.
    Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.

    Awal mula Kiblat empat
    Awal mula kiblat empat, yaitu timur (Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara (Lor) adalah demikian. Wetan artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya bapa kelonan; kidul artinya wstri didudul di tengah perutnya; lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah selesai. Artinya pur: jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari ibunya, bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia, berupa cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.
    Raga itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu tadi, yang menunjukkan tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah, manusia rebah. Maka harus bertujua, senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
    Jika pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik dari yang lama. Raga manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya sudah hancur. Jika suksma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskupun suksma manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk, meskupun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
    Ketika Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta menjadi manusia. Maka bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan menyebut jituok artinya hanya puji tok.
    Dewa yang membuat cahaya bersinar meliputi badan. Cahya artinya incengan aneng cengelmu. Jiling itu puji eling kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan artinya salang. Pundak itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip. Ula-ula, ulatana, laleren gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup mati.
    Lempeng kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan buruk. Mata artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu. Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu bunyi serat tadi. Jika Paduka mencela, siapa yang membuat raga? Siapa yang memberi nama? Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya kepada takdirGusti, dan murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur, kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.

    Tuhan yang Sejati
    Jika Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri. Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.”

    Sang Prabu bertanya, “Di mana Tuhan yang Sejati?”
    Sabdopalon berkata, “ Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini.”

    “Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” tanya Prabu
    Sabdopalon berkata dengan sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”

    “Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buda lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit.”

    “Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”

    Sunan Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia. Ia akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buda.
    Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber baunya wangi.
    Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu, “Itu kesaktian apa? Kesaktian kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri. Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba menyesal telah mengasuh Paduka. Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi, Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba, Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa keudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang membuat bumi dan langit. Apa cacadnya agama Buda, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti.
    Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama. Besok apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Buda lagi, dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buda.”
    __________________





    Tuhan yang Sejati
    Jika Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri. Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.”

    Sang Prabu bertanya, “Di mana Tuhan yang Sejati?”
    Sabdopalon berkata, “ Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini.”

    “Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” tanya Prabu
    Sabdopalon berkata dengan sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”

    “Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit.”

    “Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”

    Sunan Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia. Ia akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buddha.
    Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber baunya wangi.
    Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu, “Itu kesaktian apa? Kesaktian kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri. Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba menyesal telah mengasuh Paduka. Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi, Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba, Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa keudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang membuat bumi dan langit. Apa cacadnya agama Buddha, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buddha, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti.
    Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama. Besok apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Buddha lagi, dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buddha.”
    Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha, Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.

    Sabdapalon berkata sambil meludah, “Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak.” Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.

    “Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.”

    Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.

    Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang; red: bandingkan pencapaian kedua orang ini dengan kisah para arahat pada jaman Sakyamuni Buddha)

    Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,”Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”

    Prabalingga karo Bangerwarih
    Sunan Kalijaga kemudian diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya hilang, besok, orang Jawa akan meninggalkan agama Islam kembali ke agama Kawruh. Sunan Kalijaga kemudian membuat dua buah tabung bambu, yang satu diisi air tawar, satunya diisi air sumber. Air sumber tadi untuk pertanda, jika bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan kembali ke agama Kawruh. Tabung setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan dan dibawa dua orang sahabatnya.
    Prabu Brawiaya kemudian pergi, diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang sahabatnya. Malam harinya istirahat di Sumberwaru. Esok harinya tabung itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian segera melanjutkan perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai di Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana. Pagi harinya air dicium masih wangi. Sang Prabu kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
    Sesudah matahari tenggelam mereka telah sampai di Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana. Esok harinya tabung air dicium masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan sampai matahari tenggelam.
    Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat semalam. Esok paginya air itu dilihat lagi. Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa harum. Tetapi tinggal sedikit, karena kerap diminum di jalan. Sedangkan air sumber setelah dicium baunya menjadi bacin (=busuk), lalu dibuang. Sang Prabu kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Prabalingga di besuk namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih. Di sini besok menjadi tempat untuk perkumpulan orang-orang yang mencari pengetahuan kepintaran dan kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa tertutup dengan perbawa tetangga.”

    Sang Prabu kemudian segera meneruskan perjalanan, agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis bercucuran air mata. Sang Prabu kemudian berkata,” Jangan menangis, sudahlah semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua peristiwa ini sudah ditulis dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan ditolak. Sudah kewajiban orang hidup sabar dan menerima.”

    Nyai Ageng Ampel kemudian berkata kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang sudah diceritakan di depan. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil Prabu Jimbun. Nyai Ampel mengutus santri ke Demak dengan membawa surat. Sesampai di Demak, surat disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun. Tidak lama kemudian Prabu Jimbun berangkat menghadap ke Ampel.
    Putra raja Majapahit, yang bernama Raden Bondan Kejawan di Tarub, mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak, malah Sang Prabu meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana larinya. Merasa tidak enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit. Raden Bondan Kejawan menyamar untuk mencari berita dimana ayahandanya. Sesampai di Surabaya ia mendengar berita bahwa Sang Prabu ada di Ampel, tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan kemudian menghaturkan sembah bhakti.
    Sang Prabu bertanya, “Siapa yang menyembah ini?”
    Raden Bondan Kejawan berkata, “Hamba putra Paduka, Bondhan Kejawan.” Sang Prabu kemudian merangkul putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah. Beliau merasa sudah akan pulang kepada jaman kelanggengan. Kata beliau kepada Sunan Kalijaga demikian, “Sahid, mendekatlah kemari, aku sudah akan kembali ke jaman kelanggengan, buatlah surat ke Penging dan Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku sudah terima hancurnya Majalengka. Jangan ada perang berebut tahtaku, semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci, jangan ada perang, karena hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat dan kerusakan tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai perang setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah.”

    Kembali ke Alam Kalanggengan
    Sunan Kalijaga kemudian menulis surat. Setelah selesai kemudian ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian diberikan kepada Adipati Pengging dan Ponorogo.
    Sang Prabu kemudian berkata, “Sahid, setelah aku tidak ada, pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku. Aku titip anak kecil ini. Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya, besok anak ini yang bisa menurunkan bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke alam kalanggengan, kuburkan aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun kuburanku kuberi nama Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ Raja Putri Cempa. Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin dengan lain bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain.”

    Sunan Kalijaga kemudian menjawab, “Apakah Sang Prabu tidak memberi izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?”

    Sang Prabu berkata, “Ya, kuberi izin, tetapi hanya berhenti tiga keturunan.” Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa artinya nama kuburan Sang Prabu.
    “Sastra artinya tulisan, wulan artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya seperti cahaya rembulan. Apabila masih kemilau cahaya rembulan, nanti orang Jawa ingat Jawa bahwa kematianku sudah memeluk agama Islam. Maka kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan oleh si Patah, serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti ini. Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan, Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia tega kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan kawin dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang lain bangsa tadi bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku memberi wasiat jangan mengangkat panglima perang orang yang lain bangsa. Karena akan menginjak Gustinya, dalam berperang mendua hati. Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah.”

    Sang Prabu setelah bersabda demikian ,tangannya kemudian bersedekap, terus wafat. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.
    Sampai sekarang terkenal bahwa yang dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa. Adapun sebenarnya Putri Cempa itu wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di Karang Kemuning. Setelah tiga hari wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan Sultan Bintara(= Raden Patah) baru datang di Ampelgading dan bertemu Nyai Ageng Ampel.
    Nyai Ageng berkata, “Celaka kamu Jimbun, tidak melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem serta minta izin olehnya menjadi raja, serta minta ampunan semua kesalahan yang sudah terjadi.”

    Prabu Jimbun berkata kepada Nyai Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir. Barang yang sudah terlanjur hanya bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel tiga hari dan kemudian pulang kembali ke Demak.
    Diceritakan Adipati Pengging dan Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di Pengging dan Raden Batara Katong, sudah mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan menyamar menghadap kepada Sang Prabu waktu Hari Raya. Adapun Prabu Brawijaya dan putra Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan tidak ketahuan besembunyi dimana. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo sangat marah. Keduanya kemudian menyiapkan sebuah pasukan hendak menyerang Demak, membela ayah merebut tahta. Para prajurit sudah siap senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat. Tiba-tiba datang utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat. Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti api, dan kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri, mudah-mudahan jangan hidup lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak mau menghadap ke Demak, karena gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.

    Sekalaning Majapahit

    Adapun menurut pendapat yang lain, matinya Adipati Pengging dan Ponorogo karena ditenung oleh Sunan Giri, agar jangan mengganggu di belakang hari. Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu disembunyikan, tidak seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya. Semua itu untuk menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya. Apabila dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh para pujangga bijaksana menjadi demikian:
    “Karena Karomah para wali, keris Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang menyengati orang Majapahit. Mahkota Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan pelana kuda prajurit Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus.”
    “Peti dari Palembang ada di tengah perang dibuka keluar demit-nya, orang Majapahit geger karena ditenung demit. Sang Prabu Brawijaya wafat mikraj.”

    Kemudian Kyai Kalamwadi bertutur kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, “Namun semua tadi hanya pasemon(=kiasan). Adapun kenyataannya, cerita hancurnya Majapahit itu seperti yang kuceritakan tadi. Negara Majapahit itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak karena digerogoti tikus? Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan angker banyak demitnya. Bubarnya demit apabila hitannya dirusak oleh manusia untuk dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon, dan demit, SIAPA YANG PERCAYA?

    Apabila orang percaya Majapahit hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu artinya orang tadi tidak tajam pikirannya. Cerita yang demikian tadi ANEH DAN TIDAK MASUK AKAL. Tidak cocok lahir batin. Maka hanya untuk pasemon (= kiasan). Apabila diterangkan dengan jelas maka artinya membuka rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar orang berpikir sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
    Tikus itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan berkembang biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas merusak.
    Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang. Adapun tala artinya mentala ‘tega’ meusak Majapahit, siapa yang mendengar pasti marah.
    Adapun demit diberi wadahi peti dari Palembang, setelah dibuka berbunyi menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang, yaitu ganti agama. Peti artinya wadah yang tertutup untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit itu juga TUKANG SANTET.
    Adapun jelasnya demikian, Hancurnya Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada tantangan apa-apa, menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg. Mereka dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung sudah membantu Adipati Demak.
    Sejak Jaman Kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogoti tikus saja, bubarnya orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancuran tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak. Mereka semua memberontak dengan licik.

    Keajaiban Alam
    Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi, “Guruku Raden Budi Sukardi meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul itu belum ada yang memakai kuncir. Setelah negara pindah ke Demak, keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada burung kuntul memakai kuncir. Prabu Brawijaya disindir, Kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir.
    Kebo artinya kerbau, yakni raja kaya, Kombang artinya diam tapi suaranya riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir ketika Majapahit hancur. Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan dengan perang. Adapun tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman ‘terbiasa’, babi hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika sampai di Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi pangkat, artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak habis pikir.

    Adapun kuntul memakai kuncir itu pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada Sang Prabu, karena agamanya Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti Allah memberi pasemon gitok kuntul kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu, ibumu putri Cina, tidak boleh menghina kepada orang lain beragama. Sang Prabu Jimbun itu berasal dari tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu Jimbun besar hati menginginkan tahta raja, ingin cepat kaya sesuai sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari sifat Sang Arya Damar, karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum darah, sifatnya sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak Allah, tidak hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui kesalahannya, tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui kesalahannya, dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki membalas kejahatan.
    Adapun adanya orang Cina datang di tanah Jawa itu dongengnya demikian, Pada jaman kuno, ketika santri Jawa belum banyak pengetahuannya, setelah mati sukmanya terbawa angin kemudian tumbuh di tanah Cina, maka sekarang kembali ke tanah Jawa menjadi sukmanya orang Cina tadi. Jadi mereka itu tadinya banyak yang sukma Jawa.

    ( .... isi serat selanjutnya (wejangan Ki Kalamwadi untuk perumah tangga, penjelasan kitab manik Maya, sedikit kisah kediri ) sudah tidak ada hubungannya dengan kisah majapahit.

    THE END
    __________________



    Syekh Siti Jenar

    Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).

    Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.

    Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.

    Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.

    Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.

    Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.

    Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:

    * Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;

    * Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;

    * Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;

    * Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;

    * Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;

    * Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;

    * Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;

    Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :

    * Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;

    * Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;

    * Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;

    * Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;

    * Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.

    Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :

    * Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;

    * Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;

    * Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.

    Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.

    Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.

    Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).

    Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.

    Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).


    Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap "subversif" yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).

    Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.

    Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat "tak terbatas" (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.

    Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.

    Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.

    Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.

    Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : "Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri".*

    sidang para Wali

    Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
    __________________

    BalasHapus
  27. Nama : Siti Mutmainah
    nim : 2102408070
    rombel: 03

    Rangga Warsita
    Ranggawarsita dan Zaman Edan

    Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:

    amenangi jaman édan,
    éwuhaya ing pambudi,
    mélu ngédan nora tahan,
    yén tan mélu anglakoni,
    boya keduman mélik,
    kaliren wekasanipun,
    ndilalah kersa Allah,
    begja-begjaning kang lali,
    luwih begja kang éling klawan waspada.

    yang terjemahannya sebagai berikut:

    menyaksikan zaman gila,
    serba susah dalam bertindak,
    ikut gila tidak akan tahan,
    tapi kalau tidak mengikuti (gila),
    tidak akan mendapat bagian,
    kelaparan pada akhirnya,
    namun telah menjadi kehendak Allah,
    sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
    akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

    Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.

    Karya Sastra

    Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain,

    * Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa
    * Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
    * Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter sr.
    * Sapta dharma
    * Serat Aji Pamasa
    * Serat Candrarini
    * Serat Cemporet
    * Serat Jaka Lodang
    * Serat Jayengbaya
    * Serat Kalatidha
    * Serat Panitisastra
    * Serat Pandji Jayeng Tilam
    * Serat Paramasastra
    * Serat Paramayoga
    * Serat Pawarsakan
    * Serat Pustaka Raja
    * Suluk Saloka Jiwa
    * Serat Wedaraga
    * Serat Witaradya
    * Sri Kresna Barata
    * Wirid Hidayat Jati
    * Wirid Ma'lumat Jati
    * Serat Sabda Jati
    Ramalan tentang Kemerdekaan Indonesia

    Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.

    Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.

    Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.

    Ranggawarsita pantas mendapat gelar pahlawan nasional, meskipun perjuangannya tidak menggunakan pedang atau senapan, melainkan menggunakan tinta yang sanggup membangkitkan semangat kaum pribumi dan meresahkan pemerintah Hindia Belanda

    BalasHapus
  28. Kurnia Nurfitasari10 April 2009 pukul 03.15

    Nama : Kurnia Nurfitasari
    NIM : 2102408102
    Rombel : 04

    Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang

    Jawa Timur adalah propinsi tempat kediaman asal dua suku bangsa besar, yaitu Jawa dan Madura, dengan tiga sub-etnik yang memisahkan diri dari rumpun besarnya seperti Tengger di Probolinggo, Osing di Banyuwangi dan Samin di Ngawi.

    BalasHapus
  29. Kurnia Nurfitasari10 April 2009 pukul 03.26

    Nama : Kurnia Nurfitasari
    NIM : 2102408102
    Rombel :04

    Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang

    Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang
    Oleh Dr.Abdul Hadi W. M.
    (Sastrawan-Budayawan, Dosen ICAS-Jakarta, Universitas Paramadina & Univ.Indonesia)
    Jawa Timur adalah propinsi tempat kediaman asal dua suku bangsa besar, yaitu Jawa dan Madura,
    dengan tiga sub-etnik yang memisahkan diri dari rumpun besarnya seperti Tengger di Probolinggo,
    Osing di Banyuwangi dan Samin di Ngawi. Dalam sejarahnya kedua suku bangsa tersebut telah lebih
    sepuluh abad mengembangkan tradisi tulis dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pengalaman
    estetik mereka.
    Kendati kemudian, yaitu pada akhir abad ke-18 M, masing-masing menggunakan bahasa yang jauh
    berbeda dalam penulisan kitab dan karya sastra – Jawa dan Madura – akan tetapi kesusastraan mereka
    memiliki akar dan sumber yang sama, serta berkembang mengikuti babakan sejarah yang sejajar. Pada
    zaman Hindu kesusastraan mereka satu, yaitu sastra Jawa Kuno yang ditulis dalam bahasa Kawi dan
    aksara Jawa Kuno. Setelah agama Islam tersebar pada abad ke-16 M bahasa Jawa Madya menggeser
    bahasa Jawa Kuno. Pada periode ini dua aksara dipakai secara bersamaan, yaitu aksara Jawa yang
    didasarkan tulisan Kawi dan aksara Arab Pegon yang didasarkan huruf Arab Melayu (Jawi).
    Pigeaud (1967:4-7) membagi perkembangan sastra Jawa secara keseluruhan ke dalam empat babakan:
    • Zaman Hindu berlangsung pada abad ke-9 - 15 M. Puncak perkembangan sastra pada periode ini
    berlangsung pada zaman kerajaan Kediri (abad ke-11 dan 12 M, dilanjutkan dengan zaman
    kerajaan Singosari (1222-1292 M) dan Majapahit (1292-1478 M);
    • Zaman Jawa-Bali pad abad ke-16 - ke-19 M. Setelah Majapahit diruntuhkan kerajaan Demak
    pada akhir abad ke-15 M, ribuan pengikut dan kerabat raja Majapahit pindah ke Bali. Kegiatan
    sastra Jawa Kuno dilanjutkan di tempat tinggal mereka yang baru ini;
    • Zaman Pesisir berlangsung pada abad ke-15 -19 M. Pada zaman ini kegiatan sastra berpindah ke
    kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam;
    • Zaman Surakarta dan Yogyakarta berlangsung pada abad ke-18 - 20 M. Pada akhir abad ke-18 M
    di Surakarta, terjadi renaisan sastra Jawa Kuno dipelopori oleh Yasadipura I. Pada masa itu
    karya-karya Jawa Kuno digubah kembali dalam bahasa Jawa Baru. Lebih kurang tiga dasawarsa
    kemudian, karya Pesisir juga mulai banyak yang disadur atau dicipta ulang dalam bahasa Jawa
    Baru di kraton Surakarta.
    Khazanah Sastra Jawa Timur.
    Khazanah sastra zaman Hindu dan Islam Pesisir – dua zaman yang relevan bagi pembicaraan kita — sama
    melimpahnya. Keduanya telah memainkan peran penting masing-masing dalam kehidupan dalam
    masyarakat Jawa dan Madura. Pengaruhnya juga tersebar luas tidak terbatas di Jawa, Bali dan Madura.
    Karya-karya Pesisir ini juga mempengaruhi perkembangan sastra di Banten, Palembang, Banjarmasin,
    Pasundan dan Lombok (Pigeaud 1967:4-8). Di antara karya Jawa Timur yang paling luas wilayah
    penyebarannya ialah siklus Cerita Panji. Versi-versinya yang paling awal diperkirakan ditulis menjelang
    runtuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15 M (Purbatjaraka, 1958). Cerita mengambil latar
    belakang di lingkungan kerajaan Daha dan Kediri. Versi roman ini, dalam bahasa-bahasa Jawa, Sunda,
    Bali, Madura, Melayu, Siam, Khmer dan lain-lain, sangat banyak. Dalam sastra Melayu terdapat versi
    yang ditulis dalam bentuk syair, yang terkenal di antaranya ialah Syair Ken Tambuhan dan Hikayat
    Andaken Penurat.
    Tetapi bagaimana pun juga yang dipandang sebagai puncak perkembangan sastra Jawa Kuno ialah
    kakawin seperti Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu Sedah dan
    Mpu Panuluh), Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (Mpu
    Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna), Arjunawijaya (Mpu Tantular), Lubdhaka (Mpu Tanakung); atau
    karya-karya yang ditulis lebih kemudian seperti Negarakertagama (Mpu Prapanca), Kunjarakarna,
    Pararaton, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Sastra Parwa (serial kisah-kisah dari Mahabharata)
    dan lain-lain (Zoetmulder 1983: 80-478). Apabila sumber sastra Jawa Kuno terutama sekali ialah sastra
    Sanskerta, seperti diperlihatkan oleh puitika dan bahasanya yang dipenuhi kosa kata Sanskerta; sumber
    sastra Pesisir ialah sastra Arab, Parsi dan Melayu. Bahasa pun mulai banyak meminjam kosa kata Arab
    dan Parsi, terutama yang berhubungan dengan konsep-konsep keagamaan.
    Kegiatan sastra Pesisir bermula di kota-kota pelabuhan Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak dan
    Jepara. Di kota-kota inilah komunitas-komunitas Muslim Jawa yang awal mulai terbentuk. Mereka pada
    umumnya terdiri dari kelas menengah yang terdidik, khususnya kaum saudagar kaya. Dari kota-kota ini
    kegiatan sastra Pesisir menyebar ke Cirebon dan Banten di Jawa Barat, dan ke Sumenep dan Bangkalan
    di pulau Madura. Pengaruh sastra Pesisir ternyata tidak hanya terbatas di pulau Jawa saja. Disebabkan
    mobilitas para pedagang dan penyebar agama Islam yang tinggi, kegiatan tersebut juga menyebar ke
    luar Jawa seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin dan Lombok. Pada abad ke-18 dan 19 M, dengan
    pindahnya pusat kebudayaan Jawa ke kraton Surakarta dan Yogyakarta, kegiatan penulisan sastra
    Pesisir juga berkembang di daerah-daerah Surakarta dan Yogyakara, serta tempat lain di sekitarnya
    seperti Banyumas, Kedu, Madiun dan Kediri (Pigeaud 1967:6-7)
    Khazanah sastra Pesisir tidak kalah melimpahnya dibanding khazanah sastra Jawa Kuno. Khazanah
    tersebut meliputi karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Madya, Madura dan Jawa Baru, dan
    dapat dikelompokkan menurut jenis dan coraknya sebagaimana pengelompokan dalam sastra Melayu
    Islam, seperti berikut.
    • Kisah-kisah berkenaan dengan Nabi Muhammad s.a.w;
    • Kisah para Nabi, di Jawa disebut Serat Anbiya’. Dari sumber ini muncul kisah-kisah lepas
    seperti kisah Nabi Musa, Kisah Yusuf dan Zuleikha, Kisah Nabi Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail,
    Sulaiman, Yunus, Isa dan lain-lain;
    • Kisah Sahabat-sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib;
    • Kisah Para Wali seperti Bayazid al-Bhiztami, Ibrahim Adam dan lain-lain;
    • Hikayat Raja-raja dan Pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah, Muhammad Hanafiah, Johar
    Manik, Umar Umayya dan lain-lain. Dalam sastra Jawa, Madura dan Sunda disebut Serat Menak,
    serial kisah para bangsawan Islam;
    • Sastra Kitab, uraian mengenai ilmu-ilmu Islam seperti tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu fiqih,
    usuluddin, tasawuf, tarikh (sejarah), nahu (tatabahasa Arab), adab (sastra Islam) dan lain-lain,
    dengan menggunakan gaya bahasa sastra;
    • Karangan-karangan bercorak tasawuf.
    Dalam bentuk puisi karangan seperti itu di Jawa disebut suluk. Tetapi juga tidak jarang dituangkan
    dalam bentuk kisah perumpamaan atau alegori. Dalam bentuk kisah perumpamaan dapat dimasukkan
    kisah-kisah didaktis, di antaranya yang mengandung ajaran tasawuf;
    • Karya Ketatanegaraan, yang menguraikan masalah politik dan pemerintahan, diselingi berbagai
    cerita;
    • Karya bercorak sejarah;
    • Cerita Berbingkai, di dalamnya termasuk fabel atau cerita binatang;
    • Roman, kisah petualangan bercampur percintaan;
    • Cerita Jenaka dan Pelipur Lara. Misalnya cerita Abu Nuwas (Ali Ahmad dan Siti Hajar Che’
    Man:1996; Pigeaud I 1967:83-7 ).
    Yang relevan untuk pembicaraan ini ialah no. 6, karangan-karangan bercorak tasawuf dan roman
    yang sering digubah menjadi alegori sufi. Karangan-karangan bercorak tasawuf disebut suluk dan
    lazim ditulis dalam bentuk puisi atau tembang. Jumlah karya jenis ini cukup melimpah. Contohnya
    ialah Kitab Musawaratan Wali Sanga, Suluk Wali Sanga, Mustika Rancang, Suluk Malang Sumirang,
    Suluk Aceh, Suluk Walih, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabris, Suluk Jatirasa, Suluk Johar Mungkin,
    Suluk Pancadriya, Ontal Enom (Madura), Suluk Jebeng dan lain-lain. Termasuk kisah perumpamaan
    dan didaktis ialah Sama’un dan Mariya, Masirullah, Wujud Tunggal, Suksma Winasa, Dewi Malika,
    Syeh Majenun (Pigeaud I: 84-88). Agak mengejutkan juga karena dalam kelompok ini ditemukan
    kisah didaktis berjudul Bustan, yang merupakan saduran karya penyair Parsi terkenal abad ke-13 M,
    Syekh Sa’di al-Syirazi, yang petikan sajak-sajaknya dalam bahasa Persia terdapat pada makam
    seorang muslimah Pasai, Naina Husamuddin yang wafat pada abad ke-14M.
    Dalam khazanah sastra Pesisir juga didapati karya ketatanegaraan dan pemerintahan seperti Paniti
    Sastra dan saduran Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari (1603) dari Aceh. Saduran Taj al-Salatin
    dalam bahasa Jawa ini ditulis dalam bentuk tembang. Karya-karya kesejarahan tergolong banyak.
    Di antaranya ialah Babad Giri, Babad Gresik, Babad Demak, Babad Madura, Babad Surabaya, Babad
    Sumenep, Babad Besuki, Babad Sedayu, Babad Tuban, Kidung Arok, Juragan Gulisman (Madura) dan
    Kek Lesap (Madura). Ada pun roman yang populer di antaranya ialah Cerita Mursada, Jaka Nestapa,
    Jatikusuma, Smarakandi, Sukmadi, sedangkan dari Madura ialah Tanda Anggrek, Bangsacara
    Ragapadmi dan Lanceng Prabhan (Ibid). Karya-karya Pesisir lain dari Madura yang terkenal ialah
    Caretana Barakay, Jaka Tole, Tanda Serep, Baginda Ali, Paksi Bayan, Rato Sasoce, Malyawan, Serat
    Rama, Judasan Arab, Menak Satip, Prabu Rara, Rancang Kancana, Hokomollah, Pandita Rahib,
    Keyae Sentar, Lemmos, Raja Kombhang, Sesigar Sebak, Sokma Jati, Rato Marbin, Murbing Rama,
    Barkan, Malang Gandring, Pangeran Laleyan, Brangta Jaya dan lain-lain.
    Penulis-penulis Pesisir yang awal pada umumnya ialah para wali dan ahli tasawuf terkemuka seperti
    Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Gunung
    Jati, Sunan Panggung dan Syekh Siti Jenar. Yang amat disayangkan ialah karena dalam daftar yang
    terdapat dalam katalog-katalog naskah Jawa Timur, nama pengarang dan penyalin teks jarang
    sekali disebutkan. Namun sejauh mengenai teks-teks dari Madura, terdapat beberapa nama
    pengarang terkenal pada abad ke-17 – 19 M yang dapat dicatat. Misalnya Abdul Halim (pengarang
    Tembang Bato Gunung), Mohamad Saifuddin (pegarang Serat Hokomolla dan Nabbi Mosa), Ahmad
    Syarif, R. H. Bangsataruna, Sasra Danukusuma, Umar Sastradiwirya dan lain-lain (Abdul Hadi W. M.
    1981).
    Penelitian ini tidak akan membahas semua karya yang telah disebutkan, karena apabila dilakukan
    maka pembicaraan akan menjadi sangat luas. Supaya terfokus, pembicaraan akan ditumpukan pada
    suluk-suluk karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, yang sedikit banyak mencerminkan
    kecenderungan umum sastra Pesisir awal. Beberapa alasan lain dapat dikemukakan di sini, sebagai
    berikut:
    Pertama, Kajian terhadap karya Jawa Kuna telah banyak dilakukan baik oleh sarjana Indonesia
    maupun asing, sedangkan karya Pesisir masih sangat sedikit yang memberi perhatian. Padahal
    pengaruh karya Pesisir itu tidak kecil terdahap kebudayaan masyarakat Jawa Timur. Pengaruh
    tersebut meliputi bidang-bidang seperti metafisika, kosmologi, etika, psikologi dan estetika, karena
    yang diungkapkan karya-karya Pesisir itu mencakup persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam
    bidang-bidang tersebut.
    Kedua, Selama beberapa dasawarsa Sunan Bonang hanya dikenal sebagai seorang wali dan belum
    banyak yang membahas karya-karya serta pemikirannya di bidang keruhanian, kebudayaan dan
    agama. Kajian yang cukup mendalam sebagian besar dilakukan oleh sarjana asing seperti Schrieke
    (1911), Kraemer (1921) dan Drewes (1967). Sarjana Indonesia yang meneliti, namun tidak
    mendalam ialah Purbatjaraka (1938). Selebihnya pembicaraan mengenai Sunan Bonang hanya
    menyangkut kegiatannya sebagai wali penyebar agama Islam.
    Ketiga, Suluk sebagai karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang,
    mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan spiritual masyarakat Jawa Timur. Mengingkari
    peranan suluk dan sastra suluk adalah mengingkari realitas budaya masyarakat Jawa Timur.
    Keempat, Suluk-suluk Sunan Bonang mencerminkan babakan sejarah yang penting dalam
    kebudayaan Jawa, yaitu zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlangsung secara damai.
    Kelima, Suluk-suluk tersebut merupakan karya bercorak tasawuf paling awal dalam sejarah sastra
    Jawa secara umum dan pengaruhnya tidak kecil bagi perkembangan sastra Pesisir.
    Sunan Bonang Sebagai Pengarang
    Sunan Bonang diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16
    M. Ada yang memperkirakan wafat pada tahun 1626 atau 1630, ada yang memperkirakan pada
    tahun 1622 (de Graff & Pigeaud 1985:55). Dia adalah ulama sufi, ahli dalam berbagai bidang ilmu
    agama dan sastra. Juga dikenal ahli falak, musik dan seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia
    menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu dan Jawa Kuno. Nama aslinya ialah
    Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dan dari sumber-sumber sejarah lokal ia disebut dengan
    berbagai nama gelaran seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein
    Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1968). Nama Sunan Bonang diambil dari nama
    tempat sang wali mendirikan pesujudan (tempat melakukan `uzlah) dan pesantren di desa Bonang,
    tidak jauh dari Lasem di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur sekarang ini. Tempat ini masih ada
    sampai sekarang dan ramai diziarahi pengunjung untuk menyepi, seraya memperbanyak ibadah
    seperti berzikir, mengaji al-Qur’an dan tiraqat (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
    Kakeknya bernama Ibrahim al-Ghazi bin Jamaluddin Husain, seorang ulama terkemuka keturunan
    Turki-Persia dari Samarkand. Syekh Ibrahim al-Ghazi sering dipanggil Ibrahim Asmarakandi (Ibrahim
    al-Samarqandi), nama takhallus atau gelar yang kelak juga disandang oleh cucunya. Sebelum
    pindah ke Campa pada akhir abad ke-14 M, Syekh Ibrahim al-Ghazi tinggal di Yunan, Cina Selatan.
    Pada masa itu Yunan merupakan tempat singgah utama ulama Asia Tengah yang akan berdakwah ke
    Asia Tenggara. Di Campa dia kawin dengan seorang putri Campa keturunan Cina dari Yunan. Pada
    tahun 1401 M lahirlah putranya Makhdum Rahmat, yang kelak akan menjadi masyhur sebagai wali
    terkemuka di pulau Jawa dengan nama Sunan Ampel. Setelah dewasa Rahmat pergi ke Surabaya,
    mengikuti jejak bibinya Putri Dwarawati dari Campa yang diperistri oleh raja Majapahit Prabu
    Kertabhumi atau Brawijaya V.
    Di Surabaya, ayah Sunan Bonang ini, mendapat tanah di daerah Ampel, Surabaya, tempat dia
    mendirikan masjid dan pesantren. Dari perkawinannya dengan seorang putri Majapahit, yaitu anak
    adipati Tuban, Tumenggung Arya Teja, dia memperoleh beberapa putra dan putri. Seorang di
    antaranya yang masyhur ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. (Hussein Djajadiningrat
    1983:23; Agus Sunyoto 1995::48).
    Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal.
    Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting
    seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi
    ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai
    mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan
    Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari
    Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang ditugaskan oleh ayahnya
    untuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). Di sini dia memulai
    kariernya pertama kali sebagai pendakwah.
    Ketika masjid Demak berdiri pada tahun 1498 M Sunan Bonang menjadi imamnya untuk yang
    pertama. Dalam menjalankan tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali
    yang lain. Di bawah pimpinannya masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan
    dan kebudayaan terkemuka. Tetapi sekitar tahun 1503 M, dia berselisih paham dengan Sultan
    Demak dan memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai imam masjid agung. Dari Demak
    Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru.
    Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk
    Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini. Di tempat inilah dia mengajarkan tasawuf kepada
    salah seorang muridnya, Wujil, seorang cebol namun terpelajar dan bekas abdi dalem kraton
    Majapahit (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).
    Setelah cukup lama tinggal di Bonang dan telah mendidik banyak murid, dia pun pulang ke Tuban.
    Di sini dia mendirikan masjid besar dan pesantren, meneruskan kegiatannya sebagai seorang
    muballigh, pendidik, budayawan dan sastrawan terkemuka sehingga masa akhir hayatnya.
    Dalam sejarah sastra Jawa Pesisir, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang prolifik dan penulis
    risalah tasawuf yang ulung. Dia juga dikenal sebagai pencipta beberapa tembang (metrum puisi)
    baru dan mengarang beberapa cerita wayang bernafaskan Islam. Sebagai musikus dia menggubah
    beberapa gending (komposisi musik gamelan) seperti gending Dharma yang sangat terkenal. Di
    bawah pengaruh wawasan estetika sufi yang diperkenalkan para wali termasuk Sunan Bonang dan
    Sunan Kalijaga, gamelan Jawa berkembang menjadi oskestra polyfonik yang sangat meditatif dan
    kontemplatif. Sunan Bonang pula yang memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul
    Campa (yang kemudian disebut bonang, untuk mengabadikan namanya) ke dalam susunan gamelan
    Jawa.
    Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1)
    Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok
    ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam
    kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk
    Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk
    Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain
    (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog
    antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra
    Arab dan Persia.
    Suluk-suluk Sunan Bonang
    Sebagaimana telah dikemukakan suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam
    masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu
    seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi
    umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana
    keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi,
    Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai
    tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani
    (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin)
    dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di
    antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd
    (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan
    terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M.
    2002:18-19).
    Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf,
    sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya
    menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia
    sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap
    Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia
    bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti
    melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M
    menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan
    kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian
    dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan
    mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
    Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang
    ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam
    karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan
    ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di
    jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau
    perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil
    dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu,
    Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi
    (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara
    seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan
    antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
    Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang
    diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di
    Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk
    tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang
    ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah
    menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin
    mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya
    datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah
    itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
    Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman
    mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang.
    Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya
    serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk
    Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
    Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus
    ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan
    berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia
    melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim
    qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama,
    sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan
    Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun
    tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan
    fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan
    atau kewujudan jasmaninya.
    Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah
    fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan
    gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya
    tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang
    sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali
    Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan
    hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim
    adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan
    dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam
    syahadat:
    1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
    2. Mutawassitah (Mutawassita)
    3. Mutakhirah (muta`akhira)
    Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari
    Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?
    Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika
    seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi
    Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan
    Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan
    seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung
    tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas
    bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin
    yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu
    bersih, tulus dan jujur.
    Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat.
    Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu
    diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini
    dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat
    karya `Iraqi.
    Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan
    bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti
    api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb
    al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
    Suluk Jebeng.
    Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia
    sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya
    (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan
    seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai
    gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di
    dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan
    asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak
    mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:
    Puncak ilmu yang sempurna
    Seperti api berkobar
    Hanya bara dan nyalanya
    Hanya kilatan cahaya
    Hanya asapnya kelihatan
    Ketauilah wujud sebelum api menyala
    Dan sesudah api padam
    Karena serba diliputi rahasia
    Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?
    Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
    Berlindunglah semata kepada-Nya
    Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
    Jangan bertanya
    Jangan memuja nabi dan wali-wali
    Jangan mengaku Tuhan
    Jangan mengira tidak ada padahal ada
    Sebaiknya diam
    Jangan sampai digoncang
    Oleh kebingungan
    Pencapaian sempurna
    Bagaikan orang yang sedang tidur
    Dengan seorang perempuan, kala bercinta
    Mereka karam dalam asyik, terlena
    Hanyut dalam berahi
    Anakku, terimalah
    Dan pahami dengan baik
    Ilmu ini memang sukar dicerna
    Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh
    Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or.
    1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa
    Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat
    juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah
    Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The
    Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
    Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal,
    dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai
    julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah
    sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga
    adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12).
    Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari
    Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf
    lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri)
    dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama
    ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning
    ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa
    tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.
    Suluk Wujil
    Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil
    (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan
    awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16
    M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche
    Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional
    Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De
    Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya
    dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan,
    maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
    Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam halhal
    seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan
    keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke
    agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu
    terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden
    Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan
    seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan
    kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian
    pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
    Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah
    penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad
    ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah
    pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman
    Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa
    Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang
    Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa
    Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi
    digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.
    Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat
    berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan
    kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis
    Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar
    luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan
    Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa
    itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa
    dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno,
    yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya
    tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai
    suatu kesinambungan.
    Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud
    dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya
    menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan
    pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:
    1
    Dan warnanen sira ta Pun Wujil
    Matur sira ing sang Adinira
    Ratu Wahdat
    Ratu Wahdat Panenggrane
    Samungkem ameng Lebu?
    Talapakan sang Mahamuni
    Sang Adhekeh in Benang,
    mangke atur Bendu
    Sawetnya nedo jinarwan
    Saprapating kahing agama kang sinelit
    Teka ing rahsya purba
    2
    Sadasa warsa sira pun Wujil
    Angastupada sang Adinira
    Tan antuk warandikane
    Ri kawijilanipun
    Sira wujil ing Maospait
    Ameng amenganira
    Nateng Majalanggu
    Telas sandining aksara
    Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
    Anuhun pangatpada
    3
    Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
    Ing talapakan sang Jati Wenang
    Pejah gesang katur mangke
    Sampun manuh pamuruh
    Sastra Arab paduka warti
    Wekasane angladrang
    Anggeng among kayun
    Sabran dina raraketan
    Malah bosen kawula kang aludrugi
    Ginawe alan-alan
    4
    Ya pangeran ing sang Adigusti
    Jarwaning aksara tunggal
    Pengiwa lan panengene
    Nora na bedanipun
    Dening maksih atata gendhing
    Maksih ucap-ucapan
    Karone puniku
    Datan polih anggeng mendra-mendra
    Atilar tresna saka ring Majapait
    Nora antuk usada
    5
    Ya marma lunganging kis ing wengi
    Angulati sarasyaning tunggal
    Sampurnaning lampah kabeh
    Sing pandhita sundhuning
    Angulati sarining urip
    Wekasing jati wenang
    Wekasing lor kidul
    Suruping radya wulan
    Reming netra lalawa suruping pati
    Wekasing ana ora
    Artinya, lebih kurang:
    1
    Inilah ceritera si Wujil
    Berkata pada guru yang diabdinya
    Ratu Wahdat
    Ratu Wahdat nama gurunya
    Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
    Yang tinggal di desa Bonang
    Ia minta maaf
    Ingin tahu hakikat
    Dan seluk beluk ajaran agama
    Sampai rahasia terdalam
    2
    Sepuluh tahun lamanya Sudah
    Wujil Berguru kepada Sang Wali
    Namun belum mendapat ajaran utama
    Ia berasal dari Majapahit
    Bekerja sebagai abdi raja
    Sastra Arab telah ia pelajari
    Ia menyembah di depan gurunya
    Kemudian berkata
    Seraya menghormat
    Minta maaf
    3
    “Dengan tulus saya mohon
    Di telapak kaki tuan Guru
    Mati hidup hamba serahkan
    Sastra Arab telah tuan ajarkan
    Dan saya telah menguasainya
    Namun tetap saja saya bingung
    Mengembara kesana-kemari
    Tak berketentuan.
    Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
    Bosan sudah saya
    Menjadi bahan tertawaan orang
    4
    Ya Syekh al-Mukaram!
    Uraian kesatuan huruf
    Dulu dan sekarang
    Yang saya pelajari tidak berbeda
    Tidak beranjak dari tatanan lahir
    Tetap saja tentang bentuk luarnya
    Saya meninggalkan Majapahit
    Meninggalkan semua yang dicintai
    Namun tak menemukan sesuatu apa
    Sebagai penawar
    5
    Diam-diam saya pergi malam-malam
    Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
    Semua pendeta dan ulama hamba temui
    Agar terjumpa hakikat hidup
    Akhir kuasa sejati
    Ujung utara selatan
    Tempat matahari dan bulan terbenam
    Akhir mata tertutup dan hakikat maut
    Akhir ada dan tiada
    Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta
    menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya
    matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang
    senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi,
    kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan
    pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan
    psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang
    zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan
    kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan
    hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang
    pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung
    pada sesuatu yang lain.
    Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan
    seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan
    Bonang pun menjawab:
    6
    Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
    Heh ra Wujil kapo kamangkara
    Tan samanya pangucape
    Lewih anuhun bendu
    Atunira taha managih
    Dening geng ing sakarya
    Kang sampun alebu
    Tan padhitane dunya
    Yen adol warta tuku warta ning tulis
    Angur aja wahdat
    7
    Kang adol warta tuhu warti
    Kumisum kaya-kaya weruha
    Mangke ki andhe-andhene
    Awarna kadi kuntul
    Ana tapa sajroning warih
    Meneng tan kena obah
    Tinggalipun terus
    Ambek sadu anon mangsa
    Lirhantelu outihe putih ing jawi
    Ing jro kaworan rakta
    8
    Suruping arka aganti wengi
    Pun Wujil anuntu maken wraksa
    Badhi yang aneng dagane
    Patapane sang Wiku
    Ujung tepining wahudadi
    Aran dhekeh ing Benang
    Saha-saha sunya samun
    Anggaryang tan ana pala boga
    Ang ing ryaking sagara nempuki
    Parang rong asiluman
    9
    Sang Ratu Wahdat lingira aris
    Heh ra Wujil marangke den enggal
    Tur den shekel kukuncire
    Sarwi den elus-elus
    Tiniban sih ing sabda wadi
    Ra Wujil rungokna
    Sasmita katenggun
    Lamun sira kalebua
    Ing naraka isung dhewek angleboni
    Aja kang kaya sira
    … 11
    Pangestisun ing sira ra Wujil
    Den yatna uripira neng dunya
    Ywa sumambar angeng gawe
    Kawruhana den estu
    Sariranta pon tutujati
    Kang jati dudu sira
    Sing sapa puniku
    Weruh rekeh ing sariri
    Mangka saksat wruh sira
    Maring Hyang Widi
    Iku marga utama
    Artinya lebih kurang:
    6
    Ratu Wahdat tersenyum lembut
    “Hai Wujil sungguh lancang kau
    Tuturmu tak lazim
    Berani menagih imbalan tinggi
    Demi pengabdianmu padaku
    Tak patut aku disebut Sang Arif
    Andai hanya uang yang diharapkan
    Dari jerih payah mengajarkan ilmu
    Jika itu yang kulakukan
    Tak perlu aku menjalankan tirakat
    7
    Siapa mengharap imbalan uang
    Demi ilmu yang ditulisnya
    Ia hanya memuaskan diri sendiri
    Dan berpura-pura tahu segala hal
    Seperti bangau di sungai
    Diam, bermenung tanpa gerak.
    Pandangnya tajam, pura-pura suci
    Di hadapan mangsanya ikan-ikan
    Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
    Namun isinya berwarna kuning
    8
    Matahari terbenam, malam tiba
    Wujil menumpuk potongan kayu
    Membuat perapian, memanaskan
    Tempat pesujudan Sang Zahid
    Di tepi pantai sunyi di Bonang
    Desa itu gersang
    Bahan makanan tak banyak
    Hanya gelombang laut
    Memukul batu karang
    Dan menakutkan
    9
    Sang Arif berkata lembut
    “Hai Wujil, kemarilah!”
    Dipegangnya kucir rambut Wujil
    Seraya dielus-elus
    Tanda kasihsayangnya
    “Wujil, dengar sekarang
    Jika kau harus masuk neraka
    Karena kata-kataku
    Aku yang akan menggantikan tempatmu”

    11
    “Ingatlah Wujil, waspadalah!
    Hidup di dunia ini
    Jangan ceroboh dan gegabah
    Sadarilah dirimu
    Bukan yang Haqq
    Dan Yang Haqq bukan dirimu
    Orang yang mengenal dirinya
    Akan mengenal Tuhan
    Asal usul semua kejadian
    Inilah jalan makrifat sejati”
    Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang
    menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan,
    maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini
    terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas
    bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud
    penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan
    manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah,
    manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’.
    Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana
    perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).
    Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan
    suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang tasawuf,
    Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana’ atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak
    mengisyaratkan kesamaan manusia dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah.
    Seperti penyair sufi Arab, Persia dan Melayu, Sunan Bonang – dalam mengungkapkan ajaran tasawuf dan
    pengalaman keruhanian yang dialaminya di jalan tasawuf – menggunakan baik simbol (tamsil) yang
    diambil dari budaya Islam universal maupun dari budaya lokal. Tamsil-tamsil dari budaya Islam
    universal yang digunakan ialah burung, cermin, laut, Mekkah (tempat Ka’bah atau rumah Tuhan)
    berada, sedangkan dari budaya lokal antara lain ialah tamsil wayang, lakon perang Kurawa dan
    Pandawa (dari kisah Mahabharata) dan bunga teratai. Tamsil-tamsil ini secara berurutan dijadikan
    sarana oleh Sunan Bonang untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan jiwa manusia dalam upaya
    mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya mencapai makrifat, yaitu mengenal
    Tuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya.
    Tasawuf dan Pengetahuan Diri
    Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan
    hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang
    dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan
    tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam
    kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’,
    yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs);
    kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb); ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan
    (takhliya al-sirr).
    Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa
    nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang
    menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.
    Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada
    Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah
    ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam
    kalbu.
    Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah
    melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa.
    Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah
    Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan
    membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan
    keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau
    meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan,
    terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i,
    maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan
    yang lain (Smith 1972:76-7).
    Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu
    Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli
    Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara
    bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani.
    Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di
    antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi
    segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu
    juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilaukilauan
    (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari
    Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta
    (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka
    sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di
    jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang
    Haqq.
    Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
    Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap
    pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan,
    apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang
    berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya
    dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan
    masalah ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani; (4)
    Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta
    kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa
    dan Pandawa dari epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat
    jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu
    dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan
    Islam.
    Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan
    melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan
    sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan
    Bonang menulis:
    12
    Kebajikan utama (seorang Muslim)
    Ialah mengetahui hakikat salat
    Hakikat memuja dan memuji
    Salat yang sebenarnya
    Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
    Tetapi juga ketika tafakur
    Dan salat tahajud dalam keheningan
    Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
    Dan termasuk akhlaq mulia
    13
    Apakah salat yang sebenar-benar salat?
    Renungkan ini: Jangan lakukan salat
    Andai tiada tahu siapa dipuja
    Bilamana kaulakukan juga
    Kau seperti memanah burung
    Tanpa melepas anak panah dari busurnya
    Jika kaulakukan sia-sia
    Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
    14
    Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
    Dengar: Walau siang malam berzikir
    Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
    Zikirmu tidak sempurna
    Zikir sejati tahu bagaimana
    Datang dan perginya nafas
    Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
    Hayat melalui yang empat
    15
    Yang empat ialah tanah atau bumi
    Lalu api, udara dan air
    Ketika Allah mencipta Adam
    Ke dalamnya dilengkapi
    Anasir ruhani yang empat:
    Kahar, jalal, jamal dan kamal
    Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
    Begitulah kaitan ruh dan badan
    Dapat dikenal bagaimana
    Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
    16
    Anasir tanah melahirkan
    Kedewasaan dan keremajaan
    Apa dan di mana kedewasaan
    Dan keremajaan? Dimana letak
    Kedewasaan dalam keremajaan?
    Api melahirkan kekuatan
    Juga kelemahan
    Namun di mana letak
    Kekuatan dalam kelemahan?
    Ketahuilah ini
    17
    Sifat udara meliputi ada dan tiada
    Di dalam tiada, di mana letak ada?
    Di dalam ada, di mana tempat tiada?
    Air dua sifatnya: mati dan hidup
    Di mana letak mati dalam hidup?
    Dan letak hidup dalam mati?
    Kemana hidup pergi
    Ketika mati datang?
    Jika kau tidak mengetahuinya
    Kau akan sesat jalan
    18
    Pedoman hidup sejati
    Ialah mengenal hakikat diri
    Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
    Oleh karena itu ketahuilah
    Tempat datangnya yang menyembah
    Dan Yang Disembah
    Pribadi besar mencari hakikat diri
    Dengan tujuan ingin mengetahui
    Makna sejati hidup
    Dan arti keberadaannya di dunia
    19
    Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
    Tubuh kita sangkar tertutup
    Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
    Jika kau tidak mengenalnya
    Akan malang jadinya kau
    Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
    Sia-sia semata
    Jika kau tak mengenalnya.
    Karena itu sucikan dirimu
    Tinggalah dalam kesunyian
    Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
    Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang
    mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan
    perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
    20
    Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
    Ia ada dalam dirimu sendiri
    Seluruh isi jagat ada di sana
    Agar dunia ini terang bagi pandangmu
    Jadikan sepenuh dirimu Cinta
    Tumpukan pikiran, heningkan cipta
    Jangan bercerai siang malam
    Yang kaulihat di sekelilingmu
    Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
    21
    Dunia ini Wujil, luluh lantak
    Disebabkan oleh keinginanmu
    Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
    Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
    Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
    Bentangan pengetahuan ini luas
    Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
    Orang yang mengenal hakikat
    Dapat memuja dengan benar
    Selain yang mendapat petunjuk ilahi
    Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
    22
    Karena itu, Wujil, kenali dirimu
    Kenali dirimu yang sejati
    Ingkari benda
    Agar nafsumu tidur terlena
    Dia yang mengenal diri
    Nafsunya akan terkendali
    Dan terlindung dari jalan
    Sesat dan kebingungan
    Kenal diri, tahu kelemahan diri
    Selalu awas terhadap tindak tanduknya
    23
    Bila kau mengenal dirimu
    Kau akan mengenal Tuhanmu
    Orang yang mengenal Tuhan
    Bicara tidak sembarangan
    Ada yang menempuh jalan panjang
    Dan penuh kesukaran
    Sebelum akhirnya menemukan dirinya
    Dia tak pernah membiarkan dirinya
    Sesat di jalan kesalahan
    Jalan yang ditempuhnya benar
    24
    Wujud Tuhan itu nyata
    Mahasuci, lihat dalam keheningan
    Ia yang mengaku tahu jalan
    Sering tindakannya menyimpang
    Syariat agama tidak dijalankan
    Kesalehan dicampakkan ke samping
    Padahal orang yang mengenal Tuhan
    Dapat mengendalikan hawa nafsu
    Siang malam penglihatannya terang
    Tidak disesatkan oleh khayalan
    Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud,
    yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi
    berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang
    memuja tidak mengetahui benar-benar siapa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat.
    Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang
    mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus
    dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan
    Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk
    manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.
    35
    Diam dalam tafakur, Wujil
    Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
    Memuja tanpa selang waktu
    Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
    Disebabkan oleh makrifat
    Tubuhnya akan bersih dari noda
    Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
    Dari orang arif yang tahu
    Agar kau mencapai hakikat
    Yang merupakan sumber hayat
    36
    Wujil, jangan memuja
    Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
    Juga sia-sia orang memuja
    Tanpa kehadiran Yang Dipuja
    Walau Tuhan tidak di depan kita
    Pandanglah adamu
    Sebagai isyarat ada-Nya
    Inilah makna diam dalam tafakur
    Asal mula segala kejadian menjadi nyata
    Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati
    tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan
    kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.
    38
    Renungi pula, Wujil!
    Hakikat sejati kemauan
    Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
    Berpikir dan menyebut suatu perkara
    Bukan kemauan murni
    Kemauan itu sukar dipahami
    Seperti halnya memuja Tuhan
    Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
    Pun tidak membuatmu membenci orang
    Yang dihukum dan dizalimi
    Serta orang yang berselisih paham
    39
    Orang berilmu
    Beribadah tanpa kenal waktu
    Seluruh gerak hidupnya
    Ialah beribadah
    Diamnya, bicaranya
    Dan tindak tanduknya
    Malahan getaran bulu roma tubuhnya
    Seluruh anggota badannya
    Digerakkan untuk beribadah
    Inilah kemauan murni
    40
    Kemauan itu, Wujil!
    Lebih penting dari pikiran
    Untuk diungkapkan dalam kata
    Dan suara sangatlah sukar
    Kemauan bertindak
    Merupakan ungkapan pikiran
    Niat melakukan perbuatan
    Adalah ungkapan perbuatan
    Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
    Keduanya buah dari kemauan
    Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan
    iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan
    yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan
    yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang
    penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
    Inilah gerangan suatu madah
    Mengarangkan syair terlalu indah
    Membetulkan jalan tempat berpindah
    Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
    Wahai muda kenali dirimu
    Ialah perahu tamsil tubuhmu
    Tiada berapa lama hidupmu
    Ke akhirat jua kekal diammu
    Hai muda arif budiman
    Hasilkan kemudi dengan pedoman
    Alat perahumu jua kerjakan
    Itulah jalan membetuli insan

    La ilaha illa Allah tempat mengintai
    Medan yang qadim tempat berdamai
    Wujud Allah terlalu bitai
    Siang malam jangan bercerai
    (Doorenbos 1933:33)
    Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar
    atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil
    cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan
    falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian
    dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam
    ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan
    gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala
    Affifi 1964:15-7).
    Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil
    cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin.
    Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang
    dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan
    Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui
    contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung
    tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan
    Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La
    ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan
    sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
    Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang
    bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di
    sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di
    dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad
    ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s.
    Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan
    Wujud-Nya (Rizvi 1978:78).
    Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan
    itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam semesta
    bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan
    berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi
    apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat
    sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju
    Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan
    (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri
    seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
    Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang
    tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda
    sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal
    ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali.
    Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan,
    tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi
    pekerti dan menjauhi kesenangan duniawi.
    Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah. Singgasana
    ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di
    atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan
    menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah
    utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan
    seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu
    orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga
    orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka
    semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung
    juga”.
    Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing
    dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
    Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang harus melakukan tapa
    brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang
    kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlismajlis
    untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan.
    Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas
    seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu
    yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam,
    ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama
    tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan
    bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang
    egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima,
    ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti
    sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa
    henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya
    terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
    Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat
    dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara
    yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi
    transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang
    pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu
    sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
    Akhir Kalam: Falsafah Wayang
    Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa
    dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan
    Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan
    persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di
    Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik
    wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin.
    Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan
    kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi
    sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
    Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan
    hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata),
    perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di
    sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan
    kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam
    jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan
    pembebasan dari kungkungan dunia material.
    Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat
    dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk
    memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli
    (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir
    merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok
    pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah
    nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak
    tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan
    tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur
    dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
    Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini
    merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke
    Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan
    kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah
    laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
    Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat
    persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu
    Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa
    menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewadewa
    bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang
    Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang
    baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
    Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baikbaik,
    hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan,
    kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra
    kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan
    mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi.
    Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah
    sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit
    yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang
    terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
    Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini
    sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di
    balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di
    hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau
    tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. . Kata Arjuna:
    Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
    Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
    Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
    Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
    Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
    Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
    Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
    (Ibid)
    Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa
    peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang
    Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi
    kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi
    seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya
    tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti
    ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.

    BalasHapus
  30. AMALIA NUR AINI
    NIM 2102408112
    I. Bagian 1 Dongeng Kaca Benggala

    Cariyos peksi perkutut kaliyan derkuku
    Sami ngudi kawruh kasampurnan
    Sarta damel ibarat kadhapur dongeng

    Wonten peksi perkutut kaliyan derkuku mencok ing wit mandira, peksi perkutut ndongeng kados ing ngandhap punika :

    Ana nagara, misuwur endahing patamanane, kekembangan kang tinandur ing keputren luwih satus warna, kapageran pacak suji emas, karengga ing beji, sinasrah ing watu cendhani, kinepung ing reca prunggu lan rerenggan liyane sarwa emas tinaretes ing sesotya.


    Cedhak lan palenggahane sang putri, kasebaran sesotya warna-warna. Yen wayah esuk akeh kupune putih, abang, kuning, wungu, ijo, biru, lan ireng, padha miber pating saliwer golek maduning kembang, ndadekake wuwuhing asrine patamanan.

    Sakehing kupu padha bungah-bungah lelangen ing patamanan. Ana ing kono padha ungkul-ungkulan bagusing elar, Wasana kupu kang putih celathu marang kupu liyane mangkene :

    Delengen elarku putih resik, ora koyo elarmu katon reged pating celoneh, pating belentong sarta njuwarehi, sajatine ora ana warna kang becik ngungkuli putih, marga putih iku warna kang suci sarta bares, iya putih iku dhasare warna kabeh. Wong nulis, wong nggambar lan wong mbathik, kabeh dhasare putih, awit saka iku dluwang lan mori digawe putih, lan maneh akeh wong dhemen manganggo sarwa putih, mulane Gusti Allah nitahake kapas putih. Gamping tinitah putih, sababe omah uga becik kang putih, dalah atine manungsa becik kang putih, yaiku suci. Tembung putih sok digawe kembang lambe, dienggo ngupamakake barang kang suci utawa resik. Sarehne warna kang utama iku putih, mulane kupu kang bagus dhewe iya iku kang warna putih.

    Kupu kang abang mangsuili mangkene :

    Mungguh becike putih iku mawa-mawa kanggone. Ing atase rerenggan putih iku dudu kebagusan luwih-luwih rerenggan kang dienggo ngrenggani patamanan iki, warna putih kok arani suci iku dadi pucet, ora duwe guwaya. Mungguh anane kupu-kupu padha teka ing kene satemene dipikat nganggo madu, perlune dienggo rerenggan patamanan, mulane kang aran kupu bagus iya kang bisa muwuhi bagusing patamanan. Sarehne elarmu ora muwuhi kebagusan apa-apa tetep kowe iku kupu kang ala. Manawa kowe arep sumurup warna kang muwuhi kebagusan ndelenga warna kang ora pucet, dene warna kang ora pucet mangkono warna kang mbrengangang utawa menger-menger. Ora susah adoh-adoh. Delengen kembang-kembang ing petamanan iki bae, koe banjur sumurup dhewe, endi kang moncol ing rupa yaiku kang abang. Mara waspadakna kembang cengger kae, abange menges tur menger-menger, mangkono uga kembang mawar, wora-wari bang, sepatu, padha pinunjul ing rupa sebab abang. Guwayaning wong kang bregas iya kang abang mbrengangang. Babaran kang bagus iya kang abang sumringah. Kajaba iku warna abang becik marang mripat. Lakar abang iku padha-padha warna gagah dewe lan moncol dhewe, mulane disenengi ing akeh, dalasan bocah cilik dhemen dolanan kang warnane abang, kang adhakan dipilih dhisik. Dadi keterangane : kupu kang abang kang bagus dhewe.

    Kupu kuning ngrungu celathune kupu putih lan abang nyauri mangkene : putih katimbang abang nyata yen bregas abange, nanging abang katimbang kuning adi kuninge, tandhane emas luwih endah tinimbang tembaga utawa perak. Rerenggan kang kakehan abang njuwarehi, nanging ora ana rerenggan kaduk prada kang njuwarehi, malah sangsaya adi. Elinga pulasing wayang, upama wayang sakothak kaduk prada sangsaya bagus. Upama kaduk abang, genah yen ala, awit abang iku dhemenaning bocah cilik, wong tuwa ora arep. Balik warna kuning, kalengananing wong luhur. Elinga kreta kencana, payung gilap, pasmen bara-bara, bludiran, gamelan, kabeh adi rupane, jalaran warnane kuning, mangkono uga barang rerenggan kang bagus, kang pating pancorong ana ing toko-toko lan ing omahe wong sugih, kayata : paidon, pateyan, wadhah kinang, wengku gambar, wengku pangilon, lampu bron, broman lan liya-liyane, kabeh kuning. Manungsa kang becik rupane iya kang kulit kuning, dudu wong kang abang. Kang kekulitane ora kuning, mangka bakal kanggo tontonan bajur ngaya aya golek atal, iya saking dene kepengin duwe awak kuning. Mula yen kuning pancen nyenengake. Cekake mangkene : warna putih pucet, warna abang gagah, nanging ora adi, dadi njuwarehi. Dene kang ora pucet sarta ora njuwarehi malah mriyayeni yaiku kuning. Apa ora mangkono?

    Kupu wungu sumambung, warna kuning iku isih njuwarehi, wruhanmu kabeh, padha-padha warna kang mungguh dhewe, ngengreng dhewe lan ora njuwarehi dhewe iya iku wungu. Tandhane, babut babut abang ala, babut kuning ala, babut ijo kurang becik, nanging yen babut wungu, banget enggone semuwa lang ngengreng, luwih-luwih yen rinengga praboting omah kang pinulas sarwa wungu yaiku meja, kursi, bangku kang padha menges-menges pliture. Upama pulase abang utawa kuning tak kira kurang becik. Kembang cengger, katone menges-menges sebab wungu, mangkono uga kembang ragaina. Klambi wungu ngengrenge ora jamak. Upama wungu iku ora piniliha, sabab apa wong mbabar jarit pada golek soga, mangka ora kurang kang kena digawe ngebang utawa nguningi. Apa ta sababe? Sababe yaiku warna abang lan kuning iku gunane mung kanggo tontonan utawa sesongaran, ora prasaja lan semu kaya wungu. Ing ngendi-endiya barang kang prasaja lan semuwa ora tau mboseni, mulane padha pinilala, prelune dienggo saben dina. Tuladhane kang adhakan yaiku soga. Padha elinga kang sosongaran mesthi ora lana, kanggone mung kala-kala , tur mung sawetara, kajaba kang pasaja lah iku kang lana, kanggo ing saben dina, seksine soga. Warna abang kuning candrane ladak, nanging yen wungu jinem nganggo guwaya, yaiku dadi sababe pasaja tur semuwa, tegese ora ladak nganggo ngengreng

    Kowe kabeh ora sumurup marang karsane kang Maha Kawasa enggone nitahake suket lan gegodhongan ginawe ijo. Iku becik pinikiren sebabe. Mara timbangen : upama sarupane gegodhongan kabeh putih, mbok manawa akeh mripat lamur. Upama becika wungu, teneh sarupane tetuwuhan tinakdirake wungu. Upama becika kuning, mesthi tinakdir kuning. Upama becika abang, mesthi tinitah abang. Kang iku padha sumurupa, mulane suket lan gegodhongan tinakdir ijo, sabab warna ijo iku kang becik dhewe sarta ora mboseni dhewe. Sanyatane ora ana manungsa bosen marang warna ijo. Ing pakebonan, ing tegal, ing sawah-sawah, kabeh sarwa ijo, ewa semono ing sajrone omahe para tuwan ditanduri sadhang, pakis, pandhan, wregu, suruh lan liya-liyane, pating tremplek ana ing tembok, kongsi ketel kaya alas, pratandha saking kurang warege anggone nyawang wawarnan ijo, nanging aku ora maido, dhasar yen omah akeh ijone ana ing tembok utawa ing undhak-undhakan marakake singer. Sok uga kowe padha eling, prakara iku, mesthi ora gelem ngunggul-unggulake warna saliyane ijo. Samber lilen iku pinunjul rupa ing padha-padha gegremetan. Ules kang pinunjul mau kang kaduk iya ijo, abang kuninge mung sethithik. Upama kaduk abang utawa kuning mesthi ala. Balik kaduk ijo banget baguse. Manuk merak iya pinunjul ing rupa pada manuk, warna apa kang kaduk, iya ijo, abang wungune mung sawetara. Upama ijone mung sethithik mesthine ala. Rehne mangkono tetela kupu kang bagus dhewe iku kupu ijo.

    Nuli kupu biru celathu mangkene : ujaring kupu ijo mau wis bener, nanging kurang pratitis. Awit isih ana maneh titahing Pangeran kang ngungkuli ijo, ora mboseni salawase lan luwih akeh anane, yaiku biru. Tandhane, udhara, langit, gunung, banyu segara, padha tinitah biru. Delengen kang bagus pancen mung ijo lan biru. Akeh wong seneng ngenggar-enggar marang papan kang sarwa asri, dene papan kang asri mau mulane asri sabab ijo lan biru. Ora ana wong siji-sijiya kang bosen ngeleng papan kang terang sumilak lan asri, yaiku kang katon langit biru, gununge biru lan tetuwuhane kang katon ijo lan biru. Laring samberlilen ijone kaworan biru, malah akeh birune katimbang ijone. Lar merak iya kaduk biru. Kehing warna biru kang ana ing alam ndonya yen ketimbang lan kehing warna ijo akeh birune babar pisan. Awit ijo iku mung dumunung ing dharatan, nanging yen biru iya ing dharatan iya ing lautan, iya ing awang-uwung. Ing awang-uwung ora ana enggon salenging edom kang ora kisen biru, sumrambahe marang gunung-gunung kang katon saka kadohan. Yen wong nunggang kapal ing satengahing segara, kang katon prasasat lor kidul wetan kulon biru kabeh, kaya-kaya jagade dadi biru kabeh. Kang mangkono mau dadi tandha yen biru iku warna kang becik dhewe, katitik saka karsane Kang Maha Kuwasa anggone nitahake warna biru dikehi tinimbang liyane.

    Kupu ireng celathu mangkene, heh kisanak padha sarehna dhisik, mangsa anaa warna kang akehe ngungkuli ireng, tur ora ana warna kang pasajene kaya ireng. Mangkene wijangane, ora ana warna kang kehe ngungkuli ireng sabab yen ing wayah bengi alam donya ireng kabeh, ora susah diarani ing awang-uwung, ing dharatan, ing lautan, cukup diarani ora ana enggon kang ora ireng, banjur timbangen akeh endi karo biru. Mulane dak arani ora ana kang menangan kaya ireng, awit sakehing wawarnan yen wis kapracondhang dening ireng ora ana kang kawawa nanggulangi. Sanajan bumi-langit yen katekan pepeteng kang warnane ireng, jagad kaya kinelem ing awang-uwung kang ireng meles. Mulane dak arani ora ana pasaja kaya ireng, sabab mangkono wong kang pasaja lan semuwa iku aklambli ireng, celana ireng, sepatu ireng. Akeh gagah mangsa kaya ireng, akeh pasaja kaya ireng, dalah rambut lan brengos kang bregas iya kang ireng. Gambar-gambar lan tulisan kang pasaja tur cetha iya kang ireng. Sarehne pasaja, mulane uga lana sarta kanggo ing saben dina, kaya ujare kupu wungu mau. Kang wungu sogane iya bener, nanging ireng ora kalah, yaiku wedelane.

    Perkutut nglajengaken wicantenipun : Dongeng iku surasane mangkene :


    Kang aran ala lan becik iku sajatine mung gumantung ana ing panganggeping ati. Apa kang lagi disenengi si ati, iku kang katon becik. Alane kalimput. Wong kang watak korupan, sadhengaha kang lagi disenengi dhene panyanane iku kang bagus dhewe.
    Ana paribasan, wong dhemen ora kurang pangalembana, wong gething ora kurang pamada. Sarehne wis kinodrat dening Pangeran, manungsa padha dhemen marang awake, mulane ora ana manungsa kang jeleh ngalem awake.


    = = * = =

    II. Bagian 2

    Peksi perkutut nglajengaken anggenipun ndongeng :

    Ana sesotya putih, cahyane putih wenes maya-maya, jenenge sosotya manik maya, gumlethak cedhak lan palenggahanipun sang putri, calathu marang kupu-kupu, tembunge: he kupu, satemene ulesmu kabeh bagus, kang putih, kang abang, kang kuning, kang wungu, kang ijo, kang biru, apadene kang ireng, ora ana kang ora bagus, kuciwane mung ora mawa cahya, upama padha mawa cahya, iba bagusmu, awit katoning warna saka dening cahya, sanajan abanga, ijoa, birua, yen tanpa cahya iya cebleh. Sanajan puthia utawa abanga, yen mawa cahya dadi wenes. Mara waspadakna wujudku iki, ora liya mung putih, warna putih iku ora mbrengangang lan ora menger-menger, nganging rehne mawa cahya, dadi putihku ora wenes maya-maya, iya aku iki kang karan sesotya manik maya. Ora mung sesotya bae, sanajan manungsa bagus rupane, karengga ing busana, yen tanpa cahya, ora ana kekuwunge, lan ora nduwe prabawa, wekasan ora kineringan lan ora pinarcaya, dadi ora pinilala kanggo ing karya, jer ngegungake marang kebagusaning rupa kabungahaning ati, lan kamukten. Ora marsudi marang luhuring pramana. Sanajan manungsa ala rupane sarta kuru, manawa luhur budine, tumemen atine, kineringan lan pinilala, akeh wong wedi asih, jalaran katon ana ing cahyane kang wingit, lungit, ngengreng, yaiku soroting budine kang wening.

    Ing kono ana sesotya abang, uga cedhak lan palenggahan, arane sesotya geni maya, mamerake cahyane kang abang abramara kata kaya geni mawa.


    Ana maneh sesotya kuning, mamerake kaendahane, yaiku cahyane kang kuning sumunar, arane sosotya mirah delima.


    Ana maneh sesotya wungu, nuduhake cahyane kang wungu mengesm arane sesotya manik puspa raga.


    Ana maneh sesotya ijo, mamerake cahyane kang ijo ngenguwung, arane sesotya tinjo maya.


    Ana maneh sesotya biru, mamerake cahyane kang biru muyek, arane sesotya manik nila pakaja.


    Ana maneh sesotya kang ireng, mamerake endahing cahyane kang ireng meles meleng-meleng, yaiku kang aran musthikaning bumi.


    Kabeh padha endah ing rupa, ora ana kang kuciwa, kongsi sakehing kupu padha kucem. Mungguh sababe luwih endah sosotyane katimbang kupune, awit kupu mung duwe warna thok, ora duwe cahya, balik sesotya duwe warna nganggo kasinungan cahya.

    Ki sanak, dongeng iku surasane mangkene :

    Kuciwa banget manungsa yen mung ngudi marang kabungahan, kamelikan, pakareman, kanikmatan, kamukten, kawibawan, luhuring piyangkuh sapanunggalane. Ora nganggo nggayuh marang padhang utawa kaweningan, yaiku ulah budi.

    Warna putih, abang, kuning, wungu, ijo sapanunggalane iku dadi ibarat : rahsa, lire dadi ibarat wewatekaning manungsa, dene cahya ibarat padhanging budi.


    = = * = =

    Katrangane mangkene :
    Cahya lan warna kang kasebut ing dongeng iki sajatine mung kanggo ngibaratake :

    cahya lan warna kagunganing dhat kang wujud, kang gumadhuh (kaparingake) ana ing manungsa.

    Wujude cahya iku : budi. Awit budhi iku wujud pepadhang kang sumorot saka gaib, madhangi (nyoroti) kabeh nyawa saka wiwitan nganti pungkasan.


    Dene wujuding warna, yaiku : rahsa (hawane karan : nafsu), awit rahsa iku dayane mahanani sifating cahya warna-warna : putih, abang, kuning, ijo lan sapanunggalane.
    Rahsa iku ya wujud nyawa. Hawane marakake manungsa asring duwe rasa : bungah, susah, dhemen, gething, jahil drengki, kumingsun, gumun, getun, wedi, uwas, sumelang, welas asih, loma lan sapanunggalane.


    Cekake marakake manungsa duwe wewatekan dhewe-dhewe, ala utawa becik (ing basa Jawa lumrahe mung karan : pangrasa utawa ati).


    Hawaning rahsa kang sumebar jenenge nafsu, iku kena kaumpamakake kukus awit nafsu iku dayane memtengi utawa gawe butheking cahya.


    Sirepan nafsu utawa rahsa : manawa mligi nglumpuk ana ing Rasa (Rasul) sipate ora putih, ora abang, ora ijo, lan sapanunggalane, lire : ora bungah, susah, kepengin, dhemen, gething, lara, lan sapiturute, mung : tentrem (terange maneh manawa wis maca ing mburi).


    == * ==

    III. Bagian 3

    Peksi perkutut nglajenagaken anggening ndongeng :

    Nalika samono ana barleyan, celathu marang sakehing sosotya : ”Heh sakehing mirah, ing samengko kowe wis padha sumurup yen moncoling rupa saka dayaning cahya, tegese : warna abang ijo tanpa gawe yen ora kanthi cahya, awit yen tanpa cahya kucem. Sanajan tanpa warna yen sinung cahya ora bisa kasilep, awit cahya iku sumorot, tumama ing pandulu. Tetela cahya iku nyawaning rupa. Tandhane si manikmaya, warnane mung putih, ewa dene rehne mawa cahya, padha diupaya ing manungsa sarta diajeni. Luwih-luwih si geniyara, mirah delima sapanunggalane, dhasar duwe warna nganggo kasinungan cahya.

    Lha ing saiki kajaba saka kang rinembug iku mau, aku arep takon marang sakehing mirang padha timbangen. Pitakonku mangkene : pilih endi duwe warna kathi cahya sedheng katimbang ora duwe warna, mung cahya thok, nanging cahyane ngungkuli sakehing kang duwe warna? Apa milih duwe warna kanthi sedheng, apa milih tanpa warna nanging mawa cahya linuwih?

    Sakehing mirah durung ana kang bisa mangsuli. Barleyan celathu maneh, yen aku milih tanpa warna, sok uga kasinungan cahya linuwih. Mulane aku ora pati mikir marang warna, mung mburu cahya. Awit sanajan tanpa warna yen kasinungan cahya linuwih, cahya kang linuwih iku bisa mujudake warna kang manca warna dening beninge. Mara aku delengen, aku iki rak ora duwe warna kaya mirah, ora abang, ora kuning, ora ijo, ora biru, ora ireng, ora putih, nanging sarehne urubing cahyaku ngungkuli sakehing mirah, sanadyan ta tanpa warna iya bisa abang, iya bisa kuning, bisa ijo sapiturute. Yen aku pinuju abang ora kalah karo geniyara, yen aku pinuju kuning ora kalah karo mirah delima, yen aku pinuju wungu, ora kalah karo pusparaga, sabanjure ora kalah karo sakehing mirah. Dadi prasasat ngemot marang sawarnaning mirah. Apa sababe aku bisa mangkono sabab ora liya tanpa warna, pinunjul ing cahya.

    Upama cahyaku linuwih nanging isih kanggonan warnam uga ora bisa mengku marang sakehing warna. Sanajan tanpa warna yen ora linuwih cahyaku iya ora bisa ngemot sakehing warna. Dadi katerangane rupa kang becik dhewe, yaiku : kang tanpa warna sarta pinunjul ing cahya. Awit iku kang urip sarta mengku marang sakehing warna.

    Dongeng iku surasane mangkene :

    Manungsa iku bisane momot, durung cukup yen mung lepas ing budi lan elingan. Nanging kudu : ora duwe watak. Ora duwe watak, lire : ora ngukuhi marang wewatekan atine, kayata: dhemen marang iku, gething marang iki, dhemen marang bungah, ngresula yen susah, dhemen marang becik, gething marang ala. Ringkese : Duwe pakareman sajroning ati kang ora kena diowahi, sarta duwe gegethingan, Cahya iku, ibarate : budi. Warna, ibarat : rahsa. Barleyan iku, ibatat : luwih padhang budine, nanging ora kumingsun, bisa ngeluk kekarepane, ora pilih kasih utawa bau kapine. Titikane wong kang mangkono : wingit cahyane. Ora galak ulat, aliya mung tajem, sarta sarwa prasaja.


    Manungsa kang mangkono, kena pinilih dadi tetuwa, bisa momot marang wateke wong kang beda-beda, dening ora duwe watak dhewe.


    Sosotya sanajan mencoronga kaya geni, yan isih duwe warna dhewe, ora bisa mengku marang sakabehing warna, marga cahyane kereh marang warnane, beda lan barleyan, cahyane kang ngereh marang warnane.


    = = * = =

    IV. Bagian 4

    Peksi perkutut nglajengaken naggenipun ndongeng :

    Sakehing mirah padha rumasa asor bareng katandhing lan barleyan. Luwih-luwih kupu. Wasana padha sayuk ing rembug, arep ngratu marang barleyan, awit barleyan kang pinunjul ing rupa.

    Barleyan bareng arep dijunjung dadi ratu paratela mangkene : olehmu padha arep njunjung ratu marang aku sabab aku pinunjul ing cahya sarta tanpa warna. Pinunjuling cahyaku ndadekake uripung rupaku. Ora duweku warna kang marakake ngemot sakehing warna. Iku dhasar bener, nanging aku ini sabenere durung sampurna, isih ana maneh wujud saliyane aku kang pinunjul ing cahyane ngungkuli aku, sarta enggone bisa ngemot marang warna sampurnane ngungkuli aku. Iku bae padha dijunjung dadi ratu, awit cahyane tikel ping sewu tinimbang cahyaku, yen mencorong padha karo srengenge, balik aku mung kelip-kelip. Dene enggone ngemot warna, cethane tikel sewu tinimbang aku, aku aku mung mengku warna nanging kang bakal dak kandhakake marang kowe, mengku warna dalah rupane pisan. Lire ora mung bisa abang ijo, uga bisa manca warna kaya kupu, laya mirah, kaya barleyan, kaya watu, kaya jaran, kaya uwong, kaya srengenge, cekake bisa kaya sarupane kawujudan ing alam ndonya, dhasar bisa maujud kaya jagad gumelar katon bumi langit saisen-isene. Yen wis kaya srengenge, babar pisan ora beda lan srengenge, kongsi ora ana manungsa kang bisa nembungake kapriye rupane kang sabenere. Kang mangkono mau jalarane iya mung rong prakara thok.

    Sepisan : saka bangeting pinunjuling cahyane.

    Pindho : saking ora duwe warna babar pisan.

    Apa kowe wis weruh jenenge wujud kang kaya mangkono mau ?

    Yaiku kang aran : Kaca benggala gedhe.


    Sakehing sosotya lan kupu padha gawok. Warta banjur kepengin sumurup kaya apa rupane kaca benggala.


    Ana watu kang kepengi bisa nembungake kapriye rupane kaca benggala, takon marang barleyan tembunge : wujude kaca benggala iku kaya apa. Apa pancen kaya sarupane kawujudan, apa beda akro sarupaning kawujudan. Yen ora padha lan ora beda kareo sakehing kawujudan apa kena diarani bening kaya banyu?

    Barleyan mangsuli, yen diaranana kaya sarupane kawujudan iya bener, nanging ora pratitis. Mula bener disebut mangkono awit kaca benggala iku pancen bisa kaya watu, bisa kaya kupu, bisa kaya barleyan lan sapirturute. Dene ora pratitise tembung mangkono, awit kena diarani beda uga karo sarupane kawujudan. Bedane mangkene : watu iku buthek, nanging kaca benggala ora buthek. Watu mrongkol sarta ala, nanging kaca benggala ora tahu diarani mrongkol sarta ala. Mirah dlima kuning sarta cilik, nanging kaca benggala ora kuning sarta ora cilik. Areng iku ireng, kaca benggala ora ireng. Cekake yen sakehing rurupan dibedakake karo kaca benggal, kabeh iya beda karo kaca benggala. Rehne mangkono, kaya-kaya kena disebut beda karo sarupane kawujudan. Ewa denen ora kena dikukumi mangkono, awit ing ngarep diarani : kaya sarupaning kawujudan. Kajaba yen disebut : bening, lah iku, bok menawa bener, parandene meksa ora pratitis, awit bening mono benere kaya banyu kang ana ing gelas. Banyu iya bener bening, nanging banyu iku bening suwung, beda lan beninge kaca benggala : bening kang mengku rurupan, sabab cahyane geguletan karo rasa, iya rasa iku kang tanpa warna, nanging ora suwung. Si cahya dadi cahyane rasa, si rasa dadi wadhahing cahya.

    Mulane karanan tanpa warna tanpa rupa, awit upama digoleki warna rupane, sanajan diubresa, ora ketemu ketemu.


    Kang mangkono iku sok katembungake : suwung amengku ana. Utawa : ora ala ora bagus, nanging mengku ala lan bagus. Iya embuh jenenge rupa kang mangkono iku.

    Prayogane ayo padha dinyatakake.


    Sakehing sosotya kupu apa dene watu, banjur padha mara menyang panggonane kaca benggala gedhe.


    Kang seba dhisik watu. Tembunge watu marang kaca benggala : he sang kaca benggala ageng, sowan kulo badhe ngratu ing tuwan, awit tuwan ingkang pinunjul ing warni sajagad. Nanging kalilana kulo ningali sarira tuwan rumiyin.

    Kaca benggala mangsuli : iya becik mreneya ndeleng rupaku. Rupaku kaya rupamu.

    Watu bareng teka ing ngarepe kaca benggala banget ngungune dene rupane kaca benggala jibles watu. Ora ana bedane sathithik-thithika karo watu, nuli pamit mundur.

    Ora suwe kupu padha ndeleng rupane kaca benggala genti-genti. Kabeh padha ngungun awit rupane kaca benggala mung kaya kupu bae, mangkono uga sosotya, weruh rupane kaca benggala kaya sosotya. Watu lan areng ndeleng kaca benggalam katone iya kaya watu lan areng.


    Anuli kabeh padha bali ing panggonane maune.


    Kupu-kupu padha rerasan mangkene : wartane kaca benggala iku pinunjul ing rupa, jebul nyatane mung kaya kupu bae, ora duwe cahya kaya mirah, isih becik mirahe. Luwih-luwih yen katandhing karo barleyan, bagus barleyane pisan-pisan, awit kaca benggala ora duwe cahya, ora bisa kelip-kelip.


    Watu lan areng calathu mangkene : kaca benggala rupane buthek lan ireng kaya rupaku. Sarehne rupaku elek mangka kaca benggala ceples kaya aku, dadi kaca benggala ya elek.


    Barleyan mituturi marang kupu, areng lan watu : kowe padha sumurupa ki sanak, kaca benggala iku sanadyan pinunjul ing rupa, ora gelem mamerake rupane, ora gelem nandhing awake karo awake liyan, kaya si kupu enggone ungkul-ungkulan, padha golek ketrangan dhewe-dhewe kanggon ngalem awake. Wus jamake, sadengah kang durung sampurna karepe padha papandhingan dhiri, nanging kang sampurna mangkono.

    Si kupu putih mamerake putihe, kang abang nyandra abange, mirah ijo mamerake ijone, barleyan iya mamerake kelipe, dalasan watu iya pamer, yaiku mamerake eleke. Ala becik yen dipamerake, iya jeneng pamer. Iku kabeh jalaran durung sampurna ing rupa. Kang akeh emoh diarano ala, njaluk diarani becik, nanging kaca benggala ora njaluk diarani becik, lan uga ora duwe panjaluk diaranana ala kaya watu lan areng. Kaca benggala gelem diarani sakarepe kang ngarani. Gelem diarani ala kaya watu lan areng, nanging diarani kelip-kelip kaya barleyan iya ora nampik, malah yen ana perlune gelem diarani kaya srengenge. Nanging aja padha keliru tampa, mungguh geleme diarani ala, ora jalaran saka panjaluke utawa saka pangarep-arepe, sarta geleme diarani bagus ora jalaran saka pamere utawa doyan marang pangalembana. Dadi geleme mau jalaran saka legawa lan mengku marang sakehing rupa. Lah saiki watu lan areng padha sumurup dhewe, yen katone buthek kang ana ing kaca benggala iku ora jalaran saka buthekin kaa benggala, satemene saking bangetng beninge. Katone ireng kaya areng iya ora sabab saka irenge, malah saking beninge kang ora kinira-kira, kongsi areng lan watu ora duwe pangira. Pikiren ta upama butheka teneh mung buthek thok-thok, ora bisa mengku rerupan.

    Kupu, areng lan watu bareng ngrungu pratelaning barleyan padha rumangsa kejlomprong, wekasan percaya yen buthek kang katon ing kaca benggala iku butheke dhewe, dudu butheking kaca benggala, satemene malah saking beninging kaca benggala, awit kaca benggala uga bisa katon pating kerlip kaya barleyan, bisa ijo kaya tinjo maya.

    Ki sanak dongeng iku dadi pralampita :

    Kahananing kaca benggala iku ibarat wataking manungsa kang wis sampurna, yaiku manungsa kang wis ora korup marang dhiri (ora korup marang wujude kang mukmin). Manungsa kang mangkono : lali marang dhiri, tegede : ora pisan duwe niyat ngatonake dhiri, gedhene papandhingan dhiri. Ujub, riya, sumengah, takabur, bidngah, sapanunggalane wis ora duwe. Mungguh sababe mangkono mau awit budine keliwat padhange, sarta sirep napsune, kahananing dhiri ora rinasak-rasakake, ndadekake bisane amot marang sawarnaning wewatekan, wasana uripe mung ngangkah kaslametaning akeh, sarta tansah gawe kepenaking atine sapadha-padha.

    Wong kang mangkono suka rila diarani asor, ewadene ora nampik diarano luhur, sarta sukarilane ora dipamerake. Ora duwe pakareman sajroning atine, satemah ora ilon-ilonen, ora dhemen marang kang becik lan kang bener kanthi gething marang kang ala lan luput. Ora dhemen marang kang ala lan luput, kanthi gething marang kang becik lan bener.


    Manungsa sanajan pinunjula, yen isih dhemen papandhingan dhiri, utawa duwe pakareman sajrone ati sarta duwe gegethingan, iya durung sampurna, cahyane isih kaereh ing nepsune, lire : isih teluk marang watake dhewe (rahsane).

    Ana sawenehing manungsa ora njaluk diarani becik, nanging njaluk diarani ala, wong mangkono uga isih dumunung wong ngatonake becike watake, dadi isih korup marang dhiri, rehne mangkono, upama diarani becik, kang mesthi ngresula.

    Ana manungsa gelem diarani sakarepe kang ngarani, diarani becik utawa ala gelem. Nanging geleme mau dipamerake. Wong mangkono uga durung resik, isih duwe panjaluk utawa pangarep kang bangsa pangalembana. Rehning mangkono, upama diarani : ora gelem, mesthi ngresula.


    = = * = =

    Rangkuman dantranslete Bagian 1

    Serat Kacawirangi pada bagian ini menceritakan percakapan kupu-kupu yang berada di sebuah taman istana yang indah. Kupu-kupu yang berada di taman itu ada yang berwarna putih, merah, kuning, ungu, hijau, biru dan hitam.


    Setiap kupu-kupu mengunggulkan warna yang dimilikinya. Kupu-kupu putih mengunggulkan warna putih sebagai warna yang melambangkan kesucian dan kejujuran. Kupu-kupu merah mencela warna putih sambil mengunggulkan warna merah sebagai warna yang tidak pucat, warna merah adalah warna yang indah mencolok dan merangsang penglihatan, anak kecil pun suka warna merah, maka kupu-kupu warna merah adalah kupu-kupu yang terbagus. Mendengar percakapan kupu-kupu putih dan merah, kupu-kupu kuning berkata bahwa, memang jika warna putih dibandingkan dengan warna merah lebih gagah warna merah. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan warna kuning, warna merah dan putih kalah indah, buktinya emas lebih indah dibandingkan dengan tembaga maupun perak. Warna putih itu pucat, warna merah memang gagah akan tetapi membosankan, sedangkan warna kuning itu tidak membosankan dan bergengsi.


    Kupu-kupu ungu menyambung pembicaraan, ia menyatakan bahwa warna kuning itu juga masih membosankan. Warna merah dan kuning itu sifatnya ladak(mencolok) berbeda dengan warna ungu jinem nganggi guwaya (anggunmerona), sederhana dan anggun.

    Kupu-kupu hijau menyela, kalau warna yang baik itu warna putih, merah, uning dan ungu, kenapa semua tumbuh-tumbuhan dan dedaunan ditakdirkan hijau. Warna hijau di kebun, di sawah demikian juga taman-taman yang hijau tidak pernah membosankan jika dipandang. Oleh karena itu, warna hijau adalah warna paling unggul.


    Kupu-kupu biru membenarkan pernyataan kupu-kupu hijau, akan tetapi Tuhan menciptakan warna biru lebih unggul. Buktinya udara, langit, air lautan dan gunung-gunung berwarna bitu. Warna bitu itu terdapat secara dominan di daratan, di lautan dan di angkasa; maka warna biru lebih unggul dari warna hijau yang hanya ada di daratan saja.


    Kupu-kupu hitam berkata, bahwa warna hitam itu mengungguli semua warna, tidak ada satu warna pun dapat mengalahkan warna hitam. Pada malam hari semua yang ada di darat, laut maupun angkasa menjadi hitam. Tulisan dan gambar yang bersahaja juga berwarna hitam. Burung perkutut menyimpulkan isi cerita itu, yang disebut buruk dan baik itu sebenarnya tergantung pada anggapan perasaan. Apa yang sedang disukai itu yang kelihatan baik. Buruknya tertutupi.


    Apa yang sedang tidak disukai,kebaikannya tertutupi. Orang yang berwatak korup, semua yang sedang disukai dianggap baik.


    Ada peribahasa, orang suka tidak kurang-kurang menyanjungnya, orang benci tidak kurang-kurang mencelanya. Karena sudah menjadi kodrat Tuhan, manusia menyukai dirinya sendiri, maka tidak ada manusia yang bosan menyanjung diri sendiri.

    Rangkuman dan translete Bagian 2

    Burung perkutut melanjutkan cerita, ia bercerita tentang permata putih yang bercahaya. Permata itu berbicara kepada semua kupu-kupu, bahwa semua warna yang dimilikinya itu bagus, hanya sayang tidak bercahaya. Tidak hanya permata, manusia sekali pun kalau tanpa cahaya tidak ada kharismanya, tidak berwibawa dan disegani. Manusia seperti itu adalah manusia yang mengejar kebaikan rupa, kesenangan dan prestise; tidak mengejar pramana (cermin yang dapat menangkap bayang-bayang hakikat), keluhuran budi dan kejujuran.


    Manusia dihormati dan disegani, karena menampakkan cahaya kebeningan budi warna putih, merah, kuning, ungu dan sebagainya itu ibarat karakter manusia, sedangkan cahaya adalah ibarat dari cemerlangnya budi. Jika dibandingkan dengan permata yang warna-warni tentu saja warna kupu-kupu akan kalah cemerlang, karena kupu-kupu hanya mempunyai warna sadangkan permata mempunyai cahaya.

    Rangkuman dan translete Bagian 3

    Pada bagian ini diceritakan tentang dialog antara berlian dengan para permata yang berwarna-warni. Berlian menyatakan kita sudah mengetahui bahwa keunggulan warna karena cahaya, tanpa cahaya warna tidak ada artinya. Berlian memberikan alternatif pilihan kepada para permata. Mereka diminta untuk memilih antara memiliki warna dengan cahaya yang sedang-sedang saja dengan tidak memiliki warna tetapi memiliki cahaya yang mengungguli semua yang memiliki warna. Keunggulan berlian yang tidak memiliki warna, terletak pada kemungkinan untuk menampung segala warna. Tidak semua yang tidak memiliki warna dapat menampung segala warna jika tidak memiliki keunggulan cahaya.


    Arti dari cerita itu adalah :
    Manusia itu dapat memiliki daya tampung (terima), tidak cukup hanya karena kecerdasan ingatan. Namun harus tidak mempunyai watak, artinya tidak bersikukuh dengan watak hati, seperti suka dengan itu, benci dengan ini, suka dengan yang menyenangkan, mengeluh di kala susah, suka yang baik dan benci yang buruk. Singkatnya punya kesenangan dan kebencian dalam hati yang tidak dapat diubah.

    Cahaya itu ibarat dari budi, warna itu ibarat dari rasa dan berlian itu ibarat dari orang yang cemerlang budinya tetapi tidak arogan dan dapat menundukkan keinginan pribadi. Manusia seperti itu dapat dipilih menjadi orang yang dituakan, dapat menerima atau menampung orang yang memiliki watak berbeda-beda, karena tidak memiliki watak sendiri.

    Rangkuman dan translete Bagian 4

    Burung perkutut melanjutkan ceritanya. Semua permata merasa rendah diri dibandingkan dengan berlian, apa lagi kupu - kupu. Akhirnya mereka sepakat mengangkat berlian menjadi raja mereka. Akan tetapi, berlian berkata bahwa masih ada wujud yang mengungguli kesempurnaannya. cahayanya lipat seribu dibanding dirinya. Karena dia tidak punya warna sama sekali, maka ia mampu memuat warna pun lipat seribu, bahkan sekaligus mampu memuat semua bentuk.

    Ia adalah cermin besar atau kaca benggala ageng. Cemin itu dapat dikatakan seperti batu, kupu-kupu , berlian dan sebagainya. Akan tetapi kalau batu itu buruk, tidak bening, dan tiga dimensi maka cermin tidak demikian. Cermin itu
    bening mengandung berbagai wujud, sebab cahayanya menyatu dengan rasa (rasa itu dalam bahasa Jawa dapat mengandung arti lapisan dasar cermin sehingga dapat memantulkan cahaya sekaligus dapat menangkap bayangan bentuk dan warna di depannya). Ia tanpa warna tetapi tidak kosong dan tanpa
    rupa (wujud).


    Cerita itu mengandung arti, bahwa cermin itu ibarat/nisbatnya orang yang sempurna. Ia lupa akan dirinya yaitu tidak pernah menonjolkan dirinya dan keunggulan dirinya. Ia rela dikatakan rendah dan tidak menolak dikatakan unggul dan keikhalasannya tidak ditonjolkan. Ia tidak menyukai kebaikan dengan membenci kejahatan dan kesalahan atau sebaliknya menyukai kejahatan dan benci kebaikan.

    BalasHapus
  31. Dwiana Asih Wiranti12 April 2009 pukul 19.20

    Dwiana Asih Wiranti
    NIM: 2102408049
    Rombel : 2

    Babad Tanah Jawi


    Babad Tanah Jawi (aksara Jawa: ) yang ditulis oleh carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III ini merupakan karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan jaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa. Akan tetapi siapapun yang kesengsem memahami Babad Tanah Jawi ini harus bekerja keras menafsirkan setiap data yang dituliskan. Maklum seperti babad lainnya ,selain bahasanya yang jawa kuno ,perihal mitosnya cukup banyak

    Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.

    Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.

    Tidak dapat dipungkiri buku ini menjadi salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.

    Banyak versi

    Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

    Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.

    Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

    Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai jaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.

    Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.

    Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

    Babad Tanah Djawi
    Gubahanipun
    L. VAN RIJCKEVORSEL
    Directeur Normaalschool Muntilan
    Kabantu
    R.D.S. HADIWIDJANA
    Guru Kweekschool Muntilan
    Pangecapan J.B. Wolters U.M.
    Groningen - Den Haag - Weltervreden - 1925

    Pérangan Kang Kapisan
    Babad Jawa Wiwit Jaman Indhu tumekané
    Rusaking Karajan Majapahit
    Abad 2 utawa 3 - Abad 16


    01 Pérangan Kang Kapisan
    Bab 1
    Karajan Indhu ing Tanah Jawa Kulon
    (wiwit abad 2 utawa 3)

    Kang wus kasumurupan, karajané bangsa Indhu ana ing Tanah Jawa, kang dhisik dhéwé, diarani karajan "Tarumanagara" (Tarum = tom. kaliné jeneng Citarum).
    Karajan iku mau dhèk abad kaping 4 lan 5 wis ana, déné titi mangsaning adegé ora kawruhan.
    Ratu ratuné darah Purnawarman. Mirit saka gambar gambar kembang tunjung kang ana ing watu watu patilasan, darah Purnawarman iku padha nganggo agama Wisnu.

    Ing tahun 414 ana Cina aran Fa Hien, mulih saka enggoné sujarah menyang patilasané Resi Budha, ing tanah Indhu Ngarep mampir ing Tanah Jawa nganti 5 sasi.
    Ing cathetané ana kang nerangaké mangkéné :
    1. Ing kono akèh wong ora duwé agama (wong Sundha), sarta ora
    ana kang tunggal agama karo dhèwèkné: Budha.
    2. Bangsa Cina ora ana, awit ora kasebut ing cathetané.
    3. Barengané nunggang prahu saka Indhu wong 200, ana sing
    dedagangan, ana kang mung lelungan, karepé arep padha
    menyang Canton.

    Yèn mangkono dadi dalané dedagangan saka tanah Indhu Ngarep menyang tanah Cina pancèn ngliwati Tanah Jawa.
    Ing Tahun 435 malah wis ana utusané Ratu Jawa Kulon menyang tanah Cina, ngaturaké pisungsung menyang Maharaja ing tanah Cina, minangka tandhaning tetepungan sarta murih gampang lakuning dedagangan.
    Karajan Tarumanagara mau ora kasumurupan pirang tahun suwéné lan kepriyé rusaké.
    Wong Indhu ana ing kono ora ngowahaké adat lan panguripané wong bumi, awit pancèn ora gelem mulangi apa apa, lan wong bumi uga durung duwé akal niru kapinterané wong Indhu.
    Ewa déné meksa ana kaundhakaning kawruhé, yaiku mbatik lan nyoga jarit.
    02 Pérangan Kang Kapisan
    Bab 2
    Karajan Indhu ing Jawa Tengah
    (abad kaping 6)

    Mirit saka:
    1. Cathetané bangsa Cina
    2. Unining tulisan tulisan kang ana ing watu watu lan candhi
    3. Cathetané sawijining wong Arab, wis bisa kasumurupan
    sathithik sathithik mungguh kaananing wong Indhu ana ing
    Tanah Jawa Tengah dhèk jaman samono.

    Nalika wiwitané abad kang kanem ana wong Indhu anyar teka ing Tanah Jawa Kulon.
    Ana ing kono padha kena ing lelara, mulané banjur padha nglèrèg mangétan, menyang Tanah Jawa Tengah.
    Wong Jawa wektu samono, isih kari banget kapinterané, yèn ditandhing karo wong Indhu kang lagi neneka mau; mulané banjur dadi sor-sorané.
    Wong Indhu banjur ngadegaké karajan ing Jepara.
    Omah omah padunungané wong Jawa, ya wis mèmper karo omah omahé wong jaman saiki, apayon atep utawa eduk lan wis nganggo képang.
    Enggoné dedagangan lelawanan karo wong Cina; barang dedagangané kayata: emas, salaka, gading lan liya liyané.
    Cina cina ngarani nagara iku Kalinga, besuké, ya diarani: Jawa.
    Karajan mau saya suwé saya gedhé, malah nganti mbawahaké karajan cilik cilik 28 (wolu likur).
    Wong Cina uga nyebutaké asmané sawijining ratu putri: Sima; dikandakaké becik banget enggoné nyekel pangrèhing praja (tahun 674).
    Tulisaning watu kang ana ciriné tahun 732, dadi kang tuwa dhéwé, katemu ana sacedhaké Magelang, nyebutaké, manawa ana ratu kang jumeneng, jejuluk Prabu Sannaha, karajané gedhé, kang klebu jajahané yaiku tanah tanah Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta lan bokmenawa Tanah Jawa Wétan uga klebu dadi wewengkoné karajan iku.

    Mirit caritané, karajan kang kasebut iku tata tentrem banget kaya kang kasebut ing tulisan kang katemu ana ing patilasan: Nadyan wong wong padha turu ana ing dalan dalan, ora sumelang, yèn ana bégal utawa bebaya liyané.
    Mirit kandhané sawijining wong Arab, dhèk tengah tengahané abad kang kaping sanga, ratu ing Tanah Jawa wis mbawahaké tanah Kedah ing Malaka (pamelikan timah).

    Karajan ing dhuwur iki sakawit ora kawruhan jenengé, nanging banjur ana karangan kang katulis ing watu kang titi mangsané tahun 919, nyebutaké karajan Jawa ing Mataram.
    Jembar jajahané, mungguha saiki tekan Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta; mangloré tekan sagara; mangétané tekan tanah tanah ing Tanah Jawa Wétan sawatara.
    Kuthané karan : Mendhangkamulan.

    Wong Arab ngandhakaké, ana ratu Jawa mbedhah karajan Khamer (Indhu Buri).
    Sing kasebut iki ayaké iya karajan Mataram mau. Kajaba Khamer, karajan Jawa iya wis mbawahaké pulo pulo akèh. Pulo pulo iku mawa gunung geni.
    Karajan Jawa mau sugih emas lan bumbu crakèn. Wong Arab iya akèh kang lelawanan dedagangan.

    Sabakdané tahun 928 ora ana katrangan apa apa ing bab kaanané karajan Mataram.
    Kang kacarita banjur ing Tanah Jawa Wétan. Ayaké baé karajan Mataram mau rusak déning panjebluge gunung Merapi (Merbabu), déné wongé kang akèh padha ngungsi mangétan.
    Ing abad 17 karajan Mataram banjur madeg manèh, gedhé lan panguwasané irib iriban karo karajan Mataram kuna.

    Agamané wong Indhu sing padha ngejawa rupa rupa. Ana ing tanah wutah getihe dhéwé ing kunané wong Indhu ngèdhep marang Brahma, Wisnu lan Syiwah, iya iku kang kaaranan Trimurti. Kejaba saka iku uga nembah marang déwa akèh liya liyané, kayata: Ganésya, putrané Bethari Durga.
    Manut piwulangé agama Indhu pamérangé manungsa dadi patang golongan, yaiku:
    - para Brahmana (bangsa pandhita)
    - para Satriya (bangsa luhur)
    - para Wesya (bangsa kriya)
    - para Syudra (bangsa wong cilik)
    Piwulangé agama lan padatané wong Indhu kaemot ing layang kang misuwur, jenengé Wedha.
    Kira kira 500 tahun sadurungé wiwitané tahun Kristen, ing tanah Indhu ana sawijining darah luhur peparab Syakya Muni, Gautama utawa Budha.
    Mungguh piwulangé gèsèh banget karo agamané wong Indhu mau.
    Resi Budha ninggal marang kadonyan, asesirik lan mulang muruk marang wong.
    Kajaba ora nembah dewa dewa, piwulangé: sarèhné wong iku mungguhing kamanungsané padha baé, dadiné ora kena dipérang patang golongan.
    Para Brahmana Indhu mesthi baé ora seneng pikire, mulané kerep ana pasulayan gedhé.
    Ana ing tanah Indhu wong Budha mau banjur peperangan karo wong agama Indhu.
    Wusana bangsa Budha kalah lan banjur ngili menyang Ceylon sisih kidul, Indu Buri, Thibet, Cina, Jepang.
    Mungguh wong agama Indhu iku pangèdêpé ora padha. Ana sing banget olèhe memundhi marang Syiwah yaiku para Syiwaiet (ing Tanah Jawa Tengah); ana sing banget pangèdêpé marang Wisynu, yaiku para Wisynuiet (ing Tanah Jawa Kulon).
    Kajaba saka iku uga akèh wong agama Budha, nanging ana ing Tanah Jawa agama agama iku bisa rukun, malah sok dicampur baé.
    Petilasané agama Indhu mau saikiné akèh banget, kayata:
    - Candhi candhi ing plato Dieng (Syiwah), iku bokmenawa yasané
    ratu darah Sanjaya.
    - Candhi ing Kalasan ana titi mangsané tahun 778, ayaké iki
    candhi tuwa dhéwé (Budha), yasané ratu darah Syailendra.
    - Candhi Budha kang misuwur dhéwé, yaiku Barabudhur lan
    Mendut.
    - Candhi Prambanan (Syiwah). Ing sacedhaké Prambanan ana
    candhi campuran Budha lan Syiwah.

    relief_borobudur
    Relief Candhi Barabudhur

    03 Pérangan Kang Kapisan
    Bab 3
    Karajan Ing Tanah Jawa Wétan
    (wiwitané abad 10 - tahun 1220)

    Ing dhuwur wus kasebutaké yèn Tanah Jawa Wétan, kabawah karajan Indhu ing Mataram; nanging wong Indhu kang manggon ana ing Tanah Jawa Wétan ora pati akèh, yèn katimbang karo kang manggon ing Tanah Jawa Tengah (Kedhu).
    Marga saka iku wong Indhu kudu kumpul karo wong bumi, prasasat tunggal dadi sabangsa.
    Ing wiwitané abad 10 ana pepatihing karajan Tanah Jawa Tengah aran Empu Sindhok lolos mangétan. Let sawatara tahun empu Sindhok mau jumeneng ratu ing Tanah Jawa Wétan, karajané ing Kauripan (Paresidhènan Surabaya sisih kidul).

    Ambawahaké: Surabaya, Pasuruwan, Kedhiri, Bali bok manawa iya kabawah.
    Enggoné jumeneng ratu tekan tahun 944 lan iya jejuluk Nata ing Mataram.
    Nata ing Mataram mau banget pangèdêpé marang agama Budha.
    Empu Sindhok misuwur wasis enggoné ngerèh praja. Ana cathetan kang muni mangkéné: "Awit saka suwéning enggoné jumeneng ratu, marcapada katon tentrem; wulu wetuning bumi nganti turah turah ora karuhan kèhé."

    Ing tahun 1010 Erlangga tetep jumeneng ratu, banjur nerusaké enggoné mangun paprangan lan ngelar jajahan.
    Ing tahun 1037 enggoné paprangan wis rampung, negara reja, para kawula padha tentrem. Déné karatoné iya ana ing Kauripan.
    Sang Prabu Erlangga ora kesupèn marang kabecikaning para pandhita lan para tapa, kang gedhé pitulungané nalika panjenengané lagi kasrakat.

    Minangka pamalesing kabecikané para pandhita, Sang Nata yasa pasraman apik banget, dumunung ing sikile gunung Penanggungan.
    Pasraman mau kinubeng ing patamanan kang luwih déning asri, lan rerenggané sarwa peni sarta endah. Saka ediné, nganti misuwur ing manca praja, saben dina aselur wong kang padha sujarah mrono.

    Pangadilané Sang Nata jejeg. Wong désa kang nrajang angger angger nagara padha kapatrapan paukuman utawa didhendha.
    Kècu, maling, sapanunggalané kapatrapan ukum pati.
    Sang Prabu enggoné nindakaké paprentahan dibantu ing priyagung 4, padha oleh asil saka pametuning lemah lenggahè.
    Saka enggoné manggalih marang tetanèn yaiku pagawéyaning kawula kang akèh, Sang Nata yasa bendungan gedhé ana ing kali Brantas.
    Sang Nata uga menggalih banget marang panggaotan lan dedagangan.
    Kutha Tuban nalika samono panggonan sudagar, oleh biyantu akèh banget saka Sang Prabu murih majuning dedagangan lan lelayaran.

    Sang Nata yèn sinéwaka lenggah dhampar (palenggahan cendhèk pesagi), ngagem agem ageman sarwa sutra, remané diukel lan ngagem cênéla.
    Yèn miyos nitih dwipangga utawa rata, diarak prajurit 700.
    Punggawa lan kawula kang kapethuk tindaké Sang Nata banjur padha sumungkem ing lemah (ndhodhok ngapurancang?).
    Para kawula padha ngoré rambut, enggoné bebedan tekan ing wates dhadha.
    Omahè kalebu asri, nganggo payon gendhèng kuning utawa abang.
    Wong lara padha ora tetamba mung nyuwun pitulunganing para dewa baé, utawa marang Budha.
    Wong wong padha seneng praon lan lelungan turut gunung, akèh kang nunggang tandhu utawa joli.
    Dhèk samono wong wong iya wis padha bisa njogèt, gamelané suling, kendhang lan gambang.

    Karsané Sang Prabu besuk ing sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata putrané loro pisan, mulané kratoné banjur diparo: Jenggala (sabageyaning: Surabaya sarta Pasuruwan) lan Kedhiri.
    Déné kang minangka watesé: pager témbok kang sinebut "Pinggir Raksa", wiwit saka puncaking Gunung Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing brangloré kali Brantas saka wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran "Juga", nuli munggah mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir.
    Gugur gugurané tembok iku saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali Leksa, sakulon lan sakiduling kali Brantas, ing watesing afd. Malang lan Blitar.

    Mungguhing babad Jawa jumenengé Prabu Erlangga kaanggep minangka pepadhang sajroning pepeteng, awit rada akèh caritané kang kasumurupan.
    Kawruh kasusastran wis dhuwur. Layang layangé ing jaman iku tekané ing jaman saiki isih misuwur becik lan dadi teturutaning crita crita wayang.
    Layang layang mau basané diarani: Jawa Kuna, kayata:
    1. Layang Mahabarata
    2. Layang Ramayana lan Arjuna Wiwaha.

    Karajan Jenggala ora lestari gedhé, awit pecah pecah dadi karajan cilik cilik, marga saka diwaris marang putraning Nata; yaiku praja Jenggala (Jenggala anyar); Tumapel utawa Singasari lan Urawan.
    Karajan cilik cilik kang cedhak wates Kedhiri or suwé banjur ngumpul mèlu Kedhiri, liyané isih terus madeg dhéwé nganti tekan abad 13.
    Kerajan Kedhiri (Daha, Panjalu) mungguha saiki mbawahaké paresidhènan Kedhiri, sapérangané Pasuruwan lan Madiyun.
    Kuthané ana ing kutha Kedhiri saiki. Karajan mau bisa dadi kuncara.
    Ing wektu iku kasusastran Jawa dhuwur banget, nalika jamané Jayabaya (abad 12) ngluwihi kang uwis uwis lan tumekané jaman saiki isih sinebut luhur, durung ana kang madhani.

    Ing tahun 1104 ing kedhaton ana pujangga jenengé: Triguna utawa Managocna.
    Pujangga iku sing nganggit layang Sumanasantaka lan Kresnayana.
    Radèn putra utawa Panji kang kacarita ing dongèng kae, bokmenawa iya ratu ing Daha, kang jejuluk Prabu Kamesywara I. Jumeneng ana wiwitané abad kang kaping 12. Garwané kekasih ratu Kirana (Candra Kirana) putrané ratu Jenggala.
    Ing mangsa iki ana pujangga jenengé Empu Dharmaja nganggit layang Smaradhana. Radèn Panji nganti saiki tansah kacarita ana lakoné wayang gedhog lan wayang topeng.

    Pujanggané Jayabaya aran Empu Sedah lan Empu Panuluh.
    Empu Sedah ing tahun Saka 1079 (= 1157) methik sapéranganing layang Mahabarata, dianggit lan didhapur cara Jawa, dijenengaké layang Bharata Yudha.
    Wong Jawa ing wektu iku wis pinter, wong Indhu kesilep, karajan Indhu wis dadi karajan Jawa.
    2009 April 2 20:32

    BalasHapus
  32. Dwiana Asih Wiranti
    NIM: 2102408049
    Rombel : 2

    Babad Tanah Jawi


    Babad Tanah Jawi (aksara Jawa: ) yang ditulis oleh carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III ini merupakan karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan jaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa. Akan tetapi siapapun yang kesengsem memahami Babad Tanah Jawi ini harus bekerja keras menafsirkan setiap data yang dituliskan. Maklum seperti babad lainnya ,selain bahasanya yang jawa kuno ,perihal mitosnya cukup banyak

    Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.

    Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.

    Tidak dapat dipungkiri buku ini menjadi salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.

    Banyak versi

    Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

    Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.

    Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

    Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai jaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.

    Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.

    Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

    Babad Tanah Djawi
    Gubahanipun
    L. VAN RIJCKEVORSEL
    Directeur Normaalschool Muntilan
    Kabantu
    R.D.S. HADIWIDJANA
    Guru Kweekschool Muntilan
    Pangecapan J.B. Wolters U.M.
    Groningen - Den Haag - Weltervreden - 1925

    Pérangan Kang Kapisan
    Babad Jawa Wiwit Jaman Indhu tumekané
    Rusaking Karajan Majapahit
    Abad 2 utawa 3 - Abad 16


    01 Pérangan Kang Kapisan
    Bab 1
    Karajan Indhu ing Tanah Jawa Kulon
    (wiwit abad 2 utawa 3)

    Kang wus kasumurupan, karajané bangsa Indhu ana ing Tanah Jawa, kang dhisik dhéwé, diarani karajan "Tarumanagara" (Tarum = tom. kaliné jeneng Citarum).
    Karajan iku mau dhèk abad kaping 4 lan 5 wis ana, déné titi mangsaning adegé ora kawruhan.
    Ratu ratuné darah Purnawarman. Mirit saka gambar gambar kembang tunjung kang ana ing watu watu patilasan, darah Purnawarman iku padha nganggo agama Wisnu.

    Ing tahun 414 ana Cina aran Fa Hien, mulih saka enggoné sujarah menyang patilasané Resi Budha, ing tanah Indhu Ngarep mampir ing Tanah Jawa nganti 5 sasi.
    Ing cathetané ana kang nerangaké mangkéné :
    1. Ing kono akèh wong ora duwé agama (wong Sundha), sarta ora
    ana kang tunggal agama karo dhèwèkné: Budha.
    2. Bangsa Cina ora ana, awit ora kasebut ing cathetané.
    3. Barengané nunggang prahu saka Indhu wong 200, ana sing
    dedagangan, ana kang mung lelungan, karepé arep padha
    menyang Canton.

    Yèn mangkono dadi dalané dedagangan saka tanah Indhu Ngarep menyang tanah Cina pancèn ngliwati Tanah Jawa.
    Ing Tahun 435 malah wis ana utusané Ratu Jawa Kulon menyang tanah Cina, ngaturaké pisungsung menyang Maharaja ing tanah Cina, minangka tandhaning tetepungan sarta murih gampang lakuning dedagangan.
    Karajan Tarumanagara mau ora kasumurupan pirang tahun suwéné lan kepriyé rusaké.
    Wong Indhu ana ing kono ora ngowahaké adat lan panguripané wong bumi, awit pancèn ora gelem mulangi apa apa, lan wong bumi uga durung duwé akal niru kapinterané wong Indhu.
    Ewa déné meksa ana kaundhakaning kawruhé, yaiku mbatik lan nyoga jarit.
    02 Pérangan Kang Kapisan
    Bab 2
    Karajan Indhu ing Jawa Tengah
    (abad kaping 6)

    Mirit saka:
    1. Cathetané bangsa Cina
    2. Unining tulisan tulisan kang ana ing watu watu lan candhi
    3. Cathetané sawijining wong Arab, wis bisa kasumurupan
    sathithik sathithik mungguh kaananing wong Indhu ana ing
    Tanah Jawa Tengah dhèk jaman samono.

    Nalika wiwitané abad kang kanem ana wong Indhu anyar teka ing Tanah Jawa Kulon.
    Ana ing kono padha kena ing lelara, mulané banjur padha nglèrèg mangétan, menyang Tanah Jawa Tengah.
    Wong Jawa wektu samono, isih kari banget kapinterané, yèn ditandhing karo wong Indhu kang lagi neneka mau; mulané banjur dadi sor-sorané.
    Wong Indhu banjur ngadegaké karajan ing Jepara.
    Omah omah padunungané wong Jawa, ya wis mèmper karo omah omahé wong jaman saiki, apayon atep utawa eduk lan wis nganggo képang.
    Enggoné dedagangan lelawanan karo wong Cina; barang dedagangané kayata: emas, salaka, gading lan liya liyané.
    Cina cina ngarani nagara iku Kalinga, besuké, ya diarani: Jawa.
    Karajan mau saya suwé saya gedhé, malah nganti mbawahaké karajan cilik cilik 28 (wolu likur).
    Wong Cina uga nyebutaké asmané sawijining ratu putri: Sima; dikandakaké becik banget enggoné nyekel pangrèhing praja (tahun 674).
    Tulisaning watu kang ana ciriné tahun 732, dadi kang tuwa dhéwé, katemu ana sacedhaké Magelang, nyebutaké, manawa ana ratu kang jumeneng, jejuluk Prabu Sannaha, karajané gedhé, kang klebu jajahané yaiku tanah tanah Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta lan bokmenawa Tanah Jawa Wétan uga klebu dadi wewengkoné karajan iku.

    Mirit caritané, karajan kang kasebut iku tata tentrem banget kaya kang kasebut ing tulisan kang katemu ana ing patilasan: Nadyan wong wong padha turu ana ing dalan dalan, ora sumelang, yèn ana bégal utawa bebaya liyané.
    Mirit kandhané sawijining wong Arab, dhèk tengah tengahané abad kang kaping sanga, ratu ing Tanah Jawa wis mbawahaké tanah Kedah ing Malaka (pamelikan timah).

    Karajan ing dhuwur iki sakawit ora kawruhan jenengé, nanging banjur ana karangan kang katulis ing watu kang titi mangsané tahun 919, nyebutaké karajan Jawa ing Mataram.
    Jembar jajahané, mungguha saiki tekan Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta; mangloré tekan sagara; mangétané tekan tanah tanah ing Tanah Jawa Wétan sawatara.
    Kuthané karan : Mendhangkamulan.

    Wong Arab ngandhakaké, ana ratu Jawa mbedhah karajan Khamer (Indhu Buri).
    Sing kasebut iki ayaké iya karajan Mataram mau. Kajaba Khamer, karajan Jawa iya wis mbawahaké pulo pulo akèh. Pulo pulo iku mawa gunung geni.
    Karajan Jawa mau sugih emas lan bumbu crakèn. Wong Arab iya akèh kang lelawanan dedagangan.

    Sabakdané tahun 928 ora ana katrangan apa apa ing bab kaanané karajan Mataram.
    Kang kacarita banjur ing Tanah Jawa Wétan. Ayaké baé karajan Mataram mau rusak déning panjebluge gunung Merapi (Merbabu), déné wongé kang akèh padha ngungsi mangétan.
    Ing abad 17 karajan Mataram banjur madeg manèh, gedhé lan panguwasané irib iriban karo karajan Mataram kuna.

    Agamané wong Indhu sing padha ngejawa rupa rupa. Ana ing tanah wutah getihe dhéwé ing kunané wong Indhu ngèdhep marang Brahma, Wisnu lan Syiwah, iya iku kang kaaranan Trimurti. Kejaba saka iku uga nembah marang déwa akèh liya liyané, kayata: Ganésya, putrané Bethari Durga.
    Manut piwulangé agama Indhu pamérangé manungsa dadi patang golongan, yaiku:
    - para Brahmana (bangsa pandhita)
    - para Satriya (bangsa luhur)
    - para Wesya (bangsa kriya)
    - para Syudra (bangsa wong cilik)
    Piwulangé agama lan padatané wong Indhu kaemot ing layang kang misuwur, jenengé Wedha.
    Kira kira 500 tahun sadurungé wiwitané tahun Kristen, ing tanah Indhu ana sawijining darah luhur peparab Syakya Muni, Gautama utawa Budha.
    Mungguh piwulangé gèsèh banget karo agamané wong Indhu mau.
    Resi Budha ninggal marang kadonyan, asesirik lan mulang muruk marang wong.
    Kajaba ora nembah dewa dewa, piwulangé: sarèhné wong iku mungguhing kamanungsané padha baé, dadiné ora kena dipérang patang golongan.
    Para Brahmana Indhu mesthi baé ora seneng pikire, mulané kerep ana pasulayan gedhé.
    Ana ing tanah Indhu wong Budha mau banjur peperangan karo wong agama Indhu.
    Wusana bangsa Budha kalah lan banjur ngili menyang Ceylon sisih kidul, Indu Buri, Thibet, Cina, Jepang.
    Mungguh wong agama Indhu iku pangèdêpé ora padha. Ana sing banget olèhe memundhi marang Syiwah yaiku para Syiwaiet (ing Tanah Jawa Tengah); ana sing banget pangèdêpé marang Wisynu, yaiku para Wisynuiet (ing Tanah Jawa Kulon).
    Kajaba saka iku uga akèh wong agama Budha, nanging ana ing Tanah Jawa agama agama iku bisa rukun, malah sok dicampur baé.
    Petilasané agama Indhu mau saikiné akèh banget, kayata:
    - Candhi candhi ing plato Dieng (Syiwah), iku bokmenawa yasané
    ratu darah Sanjaya.
    - Candhi ing Kalasan ana titi mangsané tahun 778, ayaké iki
    candhi tuwa dhéwé (Budha), yasané ratu darah Syailendra.
    - Candhi Budha kang misuwur dhéwé, yaiku Barabudhur lan
    Mendut.
    - Candhi Prambanan (Syiwah). Ing sacedhaké Prambanan ana
    candhi campuran Budha lan Syiwah.

    relief_borobudur
    Relief Candhi Barabudhur

    03 Pérangan Kang Kapisan
    Bab 3
    Karajan Ing Tanah Jawa Wétan
    (wiwitané abad 10 - tahun 1220)

    Ing dhuwur wus kasebutaké yèn Tanah Jawa Wétan, kabawah karajan Indhu ing Mataram; nanging wong Indhu kang manggon ana ing Tanah Jawa Wétan ora pati akèh, yèn katimbang karo kang manggon ing Tanah Jawa Tengah (Kedhu).
    Marga saka iku wong Indhu kudu kumpul karo wong bumi, prasasat tunggal dadi sabangsa.
    Ing wiwitané abad 10 ana pepatihing karajan Tanah Jawa Tengah aran Empu Sindhok lolos mangétan. Let sawatara tahun empu Sindhok mau jumeneng ratu ing Tanah Jawa Wétan, karajané ing Kauripan (Paresidhènan Surabaya sisih kidul).

    Ambawahaké: Surabaya, Pasuruwan, Kedhiri, Bali bok manawa iya kabawah.
    Enggoné jumeneng ratu tekan tahun 944 lan iya jejuluk Nata ing Mataram.
    Nata ing Mataram mau banget pangèdêpé marang agama Budha.
    Empu Sindhok misuwur wasis enggoné ngerèh praja. Ana cathetan kang muni mangkéné: "Awit saka suwéning enggoné jumeneng ratu, marcapada katon tentrem; wulu wetuning bumi nganti turah turah ora karuhan kèhé."

    Ing tahun 1010 Erlangga tetep jumeneng ratu, banjur nerusaké enggoné mangun paprangan lan ngelar jajahan.
    Ing tahun 1037 enggoné paprangan wis rampung, negara reja, para kawula padha tentrem. Déné karatoné iya ana ing Kauripan.
    Sang Prabu Erlangga ora kesupèn marang kabecikaning para pandhita lan para tapa, kang gedhé pitulungané nalika panjenengané lagi kasrakat.

    Minangka pamalesing kabecikané para pandhita, Sang Nata yasa pasraman apik banget, dumunung ing sikile gunung Penanggungan.
    Pasraman mau kinubeng ing patamanan kang luwih déning asri, lan rerenggané sarwa peni sarta endah. Saka ediné, nganti misuwur ing manca praja, saben dina aselur wong kang padha sujarah mrono.

    Pangadilané Sang Nata jejeg. Wong désa kang nrajang angger angger nagara padha kapatrapan paukuman utawa didhendha.
    Kècu, maling, sapanunggalané kapatrapan ukum pati.
    Sang Prabu enggoné nindakaké paprentahan dibantu ing priyagung 4, padha oleh asil saka pametuning lemah lenggahè.
    Saka enggoné manggalih marang tetanèn yaiku pagawéyaning kawula kang akèh, Sang Nata yasa bendungan gedhé ana ing kali Brantas.
    Sang Nata uga menggalih banget marang panggaotan lan dedagangan.
    Kutha Tuban nalika samono panggonan sudagar, oleh biyantu akèh banget saka Sang Prabu murih majuning dedagangan lan lelayaran.

    Sang Nata yèn sinéwaka lenggah dhampar (palenggahan cendhèk pesagi), ngagem agem ageman sarwa sutra, remané diukel lan ngagem cênéla.
    Yèn miyos nitih dwipangga utawa rata, diarak prajurit 700.
    Punggawa lan kawula kang kapethuk tindaké Sang Nata banjur padha sumungkem ing lemah (ndhodhok ngapurancang?).
    Para kawula padha ngoré rambut, enggoné bebedan tekan ing wates dhadha.
    Omahè kalebu asri, nganggo payon gendhèng kuning utawa abang.
    Wong lara padha ora tetamba mung nyuwun pitulunganing para dewa baé, utawa marang Budha.
    Wong wong padha seneng praon lan lelungan turut gunung, akèh kang nunggang tandhu utawa joli.
    Dhèk samono wong wong iya wis padha bisa njogèt, gamelané suling, kendhang lan gambang.

    Karsané Sang Prabu besuk ing sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata putrané loro pisan, mulané kratoné banjur diparo: Jenggala (sabageyaning: Surabaya sarta Pasuruwan) lan Kedhiri.
    Déné kang minangka watesé: pager témbok kang sinebut "Pinggir Raksa", wiwit saka puncaking Gunung Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing brangloré kali Brantas saka wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran "Juga", nuli munggah mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir.
    Gugur gugurané tembok iku saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali Leksa, sakulon lan sakiduling kali Brantas, ing watesing afd. Malang lan Blitar.

    Mungguhing babad Jawa jumenengé Prabu Erlangga kaanggep minangka pepadhang sajroning pepeteng, awit rada akèh caritané kang kasumurupan.
    Kawruh kasusastran wis dhuwur. Layang layangé ing jaman iku tekané ing jaman saiki isih misuwur becik lan dadi teturutaning crita crita wayang.
    Layang layang mau basané diarani: Jawa Kuna, kayata:
    1. Layang Mahabarata
    2. Layang Ramayana lan Arjuna Wiwaha.

    Karajan Jenggala ora lestari gedhé, awit pecah pecah dadi karajan cilik cilik, marga saka diwaris marang putraning Nata; yaiku praja Jenggala (Jenggala anyar); Tumapel utawa Singasari lan Urawan.
    Karajan cilik cilik kang cedhak wates Kedhiri or suwé banjur ngumpul mèlu Kedhiri, liyané isih terus madeg dhéwé nganti tekan abad 13.
    Kerajan Kedhiri (Daha, Panjalu) mungguha saiki mbawahaké paresidhènan Kedhiri, sapérangané Pasuruwan lan Madiyun.
    Kuthané ana ing kutha Kedhiri saiki. Karajan mau bisa dadi kuncara.
    Ing wektu iku kasusastran Jawa dhuwur banget, nalika jamané Jayabaya (abad 12) ngluwihi kang uwis uwis lan tumekané jaman saiki isih sinebut luhur, durung ana kang madhani.

    Ing tahun 1104 ing kedhaton ana pujangga jenengé: Triguna utawa Managocna.
    Pujangga iku sing nganggit layang Sumanasantaka lan Kresnayana.
    Radèn putra utawa Panji kang kacarita ing dongèng kae, bokmenawa iya ratu ing Daha, kang jejuluk Prabu Kamesywara I. Jumeneng ana wiwitané abad kang kaping 12. Garwané kekasih ratu Kirana (Candra Kirana) putrané ratu Jenggala.
    Ing mangsa iki ana pujangga jenengé Empu Dharmaja nganggit layang Smaradhana. Radèn Panji nganti saiki tansah kacarita ana lakoné wayang gedhog lan wayang topeng.

    Pujanggané Jayabaya aran Empu Sedah lan Empu Panuluh.
    Empu Sedah ing tahun Saka 1079 (= 1157) methik sapéranganing layang Mahabarata, dianggit lan didhapur cara Jawa, dijenengaké layang Bharata Yudha.
    Wong Jawa ing wektu iku wis pinter, wong Indhu kesilep, karajan Indhu wis dadi karajan Jawa.
    2009 April 2 20:32

    BalasHapus
  33. DWI WAHYU SEPTIANA12 April 2009 pukul 20.25

    2102408055
    DAMAR WULAN

    Serat Damarwulan. Serat Damarwulan isi critane Damar¬ wulan wiwit cilik nganti dadi ratu ing Majapait. Damarwulan iku putrane Patih Udara, tilas Patih ing Majapait kang banjur diganti dening Patih Logender. Wiwit isih ana jero guwa garba Damarwulan ditilar Ki Patih Udara. Ki Patih weling marang abdine, yen bobotane ingkang garwa wis babaran supaya diwenehi jeneng Damarwulan. Damarwulan ndherek eyange lan diemong dening Sabdapalon lan Nayagenggong. Sawise diwasa didhawuhi suwita menyang kraton Majapait. Wiwitane, Damarwulan suwita ing Kepatihan dadi pakathik, gaweane ngarit lan ngrumat jarane Ki Patih Logender. Anjasmara putrane Ki Patih kasmaran marang Damarwulan. Wekasan dadi jatukramane. Nalika Menakjingga arep ngendhih kraton Majapait sang raja Ratu Ayu Kencanawungu mundhut pitulungan marang Damarwulan. Pranyata Damarwulan bisa nigas janggane Menakjingga kanthi pitulungan Waita lan Puyengan. Waita lan Puyengan bisa njupuk gada wesi kuning, banjur diwenehake marang Damarwulan. Menakjingga mati dening pusakane dhewe. Marga lelabuhane iku, Damarwulan kagarwa dening Ratu Ayu Kencanawungu, lan kawisudha jumeneng raja jejuluk Prabu Brawijaya.

    BalasHapus
  34. 2102408105

    Kidung Rumeksa Ing Wengi
    ----------------------------

    Ana kidung rumekso ing wengi
    Teguh hayu luputa ing lara
    luputa bilahi kabeh
    jim setan datan purun
    paneluhan tan ana wani
    niwah panggawe ala
    gunaning wong luput
    geni atemahan tirta
    maling adoh tan ana ngarah ing mami
    guna duduk pan sirno

    Sakehing lara pan samya bali
    Sakeh ngama pan sami mirunda
    Welas asih pandulune
    Sakehing braja luput
    Kadi kapuk tibaning wesi
    Sakehing wisa tawa
    Sato galak tutut
    Kayu aeng lemah sangar
    Songing landhak guwaning
    Wong lemah miring
    Myang pakiponing merak

    Pagupakaning warak sakalir
    Nadyan arca myang segara asat
    Temahan rahayu kabeh
    Apan sarira ayu
    Ingideran kang widadari
    Rineksa malaekat
    Lan sagung pra rasul
    Pinayungan ing Hyang Suksma
    Ati Adam utekku baginda Esis
    Pangucapku ya Musa

    Napasku nabi Ngisa linuwih
    Nabi Yakup pamiryarsaningwang
    Dawud suwaraku mangke
    Nabi brahim nyawaku
    Nabi Sleman kasekten mami
    Nabi Yusuf rupeng wang
    Edris ing rambutku
    Baginda Ngali kuliting wang
    Abubakar getih daging Ngumar singgih
    Balung baginda ngusman

    Sumsumingsun Patimah linuwih
    Siti aminah bayuning angga
    Ayup ing ususku mangke
    Nabi Nuh ing jejantung
    Nabi Yunus ing otot mami
    Netraku ya Muhamad
    Pamuluku Rasul
    Pinayungan Adam Kawa
    Sampun pepak sakathahe para nabi
    Dadya sarira tunggal


    Terjemahan dalam bahasa indonesia:

    Ada kidung rumekso ing wengi. Yang menjadikan kuat selamat terbebas
    dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun
    tidak mau. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat.
    guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku.
    Segala bahaya akan lenyap.

    Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.

    Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.

    Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakup pendenganranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi sulaiman
    menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi
    rupaku. Ali sebagai kulitku. Abubakar darahku dan Umar dagingku.
    Sedangkan Usman sebagai tulangku.

    Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti fatimah sebagai
    kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada didalam ususku. Nabi Nuh
    didalam jantungku. Nabi Yunus didalam otakku. Mataku ialah Nabi
    Muhamad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka
    lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.

    BalasHapus
  35. Nama : Ulfatul Faiqoh
    NIM : 2102408121
    Rombel : 4
    SERAT DARMOGANDUL

    Masuknya Islam ke tanah Jawa, ternyata menyimpan cerita yang luar biasa. Salah satunya terekam dalam Serat Darmogandhul yang kontroversial itu. Dalam serat yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga hambatan dan benturan dengan budaya dan kepercayaan lokal.

    Penulis serat ini tak menunjukkan jatidiri aslinya. Ada yang menafsirkan, pengarangnya adalah Ronggowarsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalamwadi. Yang berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan.

    Ditulis dalam bentuk prosa dengan pengkisahan yang menarik. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, disunting sana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus kritis menyikapi isi cerita yang sangat tendesius ini.


    BÊBUKA.

    Sinarkara sarjunireng galih, myat carita dipangikêtira, kiyai Kalamwadine, ing nguni anggêguru, puruhita mring Raden Budi, mangesthi amiluta, duta rehing guru, sru sêtya nglampahi dhawah, panggusthine tan mamang ing lair batin, pinindha lir Jawata.

    Satuduhe Raden Budi êning, pan ingêmbun pinusthi ing cipta, sumungkêm lair batine, tan etung lêbur luluh, pangesthine ing awal akhir, tinarimeng Bathara, sasêdyanya kabul, agung nugraheng Hyang Suksma, sinung ilham ing alam sahir myang kabir, dumadya auliya.

    Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi, pan biyasa mituhu susêtya, mring dhawuh wêling gurune, kêdah mêdharkên kawruh, karya suka pirêneng jalmi, mring sagung ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai Kalamwadi ngarang, sinung aran srat Darmagandhul jinilid, sinung têmbang macapat.

    Pan katêmben amaos kinteki, têmbang raras rum sêya prasaja, trêwaca wijang raose, mring tyas gung kumacêlu, yun darbeya miwah nimpêni, pinirit tinuladha, lêlêpiyanipun, sawusnya winaos tamat, linaksanan tinêdhak tinurun sungging, kinarya nglipur manah.

    Pan sinambi-sambi jagi panti, sasêlanira ngupaya têdha, kinarya cagak lênggahe, nggennya dama cinubluk, mung kinarya ngarêm-arêmi, tarimanireng badan, anganggur ngêthêkur, ngêbun-bun pasihaning Hyang, suprandene tan kalirên wayah siwi, sagotra minulyarja.

    Wus pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah kumambang karseng Hyang, ing lokhilmakful tulise, panitranira nuju, ping trilikur ri Tumpak manis, Ruwah Je warsanira, Sancaya kang windu, masa Nêm ringkêlnya Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: wuk guna ngesthi Nata (taun Jawa 1830).

    DARMAGANDHUL.

    Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene "Mau-maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama Buddha salin agama Islam?"

    Wangsulane Ki Kalamwadi: "Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku wis tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna dipracaya, nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama Buddha banjur salin agama Rasul".

    Ature Darmagandhul: "Banjur kapriye dongengane?"

    Ki Kalamwadi banjur ngandika maneh: "Bab iki satêmêne iya prêlu dikandhakake, supaya wong kang ora ngrêti mula-bukane karêben ngrêti".

    Ing jaman kuna nagara Majapahit iku jênênge nagara Majalêngka, dene ênggone jênêng Majapahit iku, mung kanggo pasêmon, nanging kang durung ngrêti dêdongengane iya Majapahit iku wis jênêng sakawit. (1)

    Ing nagara Majalêngka kang jumênêng Nata wêkasan jêjuluk Prabu Brawijaya.

    Ing wêktu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu krama oleh Putri Cêmpa, (2) ing mangka Putri Cêmpa mau agamane Islam, sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang Nata, bab luruhe agama Islam, sabên marak, ora ana maneh kang diaturake, kajaba mung mulyakake agama Islam, nganti njalari katariking panggalihe Sang Prabu marang agama Islam mau.

    Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran Sayid Rakhmat tinjo mênyang Majalêngka, sarta nyuwun idi marang Sang Nata, kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasul. Sang Prabu iya marêngake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau. Sayid Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana Ngampeldênta ing Surabaya anggêlarake agama Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padha marêk sang Prabu ing Majalêngka, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing pasisir. Panyuwunan mangkono mau uga diparêngake dening Sang Nata. Suwe-suwe pangidhêp mangkono mau saya ngrêbda, wong Jawa banjur akeh bangêt kang padha agama Islam.

    Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama Islam kabeh, dene panggonane ana ing Benang (4) bawah Tuban. Sayid Kramat iku maulana saka ing 'Arab têdhake Kanjêng Nabi Rasulu'llah, mula bisa dadi gurune wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu maguru marang Sayid Kramat. Wong Jawa ing pasisir lor sapangulon sapangetan padha ninggal agamane Buddha, banjur ngrasuk agama Rasul. Ing Balambangan sapangulon nganti tumêka ing Bantên, wonge uga padha kelu rêmbuge Sayid Kramat.

    Mangka agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kêlakon urip nganti sewu taun, dene wong-wonge padha manêmbah marang Budi Hawa. Budi iku Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku karêping hati, manusa ora bisa apa-apa, bisane mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.

    Sang Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka Putri Bangsa Cina, miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi têtêngêr Raden Patah.

    Barêng Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti sadhereke seje rama tunggal ibu, arane Raden Kusen. Satêkane Majalêngka Sang Prabu kewran panggalihe ênggone arêp maringi sêsêbutan marang putrane, awit yen miturut lêluri saka ingkang rama, Jawa Buddha agamane, yen nglêluri lêluhur kuna, putraning Nata kang pambabare ana ing gunung, sêsêbutane Bambang. Yen miturut ibu, sêsêbutane: Kaotiang, dene yen wong 'Arab sêsêbutane Sayid utawa Sarib. Sang Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka, padha dipundhuti têtimbangan ênggone arêp maringi sêsêbutan ingkang putra mau. Saka ature Patih, yen miturut lêluhur kuna putrane Sang Prabu mau disêbut Bambang, nanging sarehne ibune bangsa Cina, prayoga disêbut Babah, têgêse pambabare ana nagara liya. Ature Patih kang mangkono mau, para nayaka uga padha mupakat, mula Sang Nata iya banjur dhawuh marang padha wadya, yen putra Nata kang miyos ana ing Palembang iku diparingi sêsêbutan lan asma Babah Patah. Katêlah nganti tumêka saprene, yen blastêran Cina lan Jawa sêsêbutane Babah. Ing nalika samana, Babah Patah wêdi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang rama, mulane katone iya sênêng, sênênge mau amung kanggo samudana bae, mungguh satêmêne ora sênêng bangêt ênggone diparingi sêsêbutan Babah iku.

    Ing nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing Dêmak, madanani para bupati urut pasisir Dêmak sapangulon, sarta Babah Patah dipalakramakake oleh ing Ngampelgadhing, kabênêr wayahe kiyai Agêng Ngampel. Barêng wis sawatara masa, banjur boyong marang Dêmak, ana ing desa Bintara, sarta sarehne Babah Patah nalika ana ing Palembang agamane wis Islam, anane ing Dêmak didhawuhi nglêstarekake agamane, dene Raden Kusen ing nalika iku jinunjung dadi Adipati ana ing Têrung, pinaringan nama sarta sêsêbutan Raden Arya Pêcattandha.

    Suwening suwe sarak Rasul saya ngrêbda, para ngulama padha nyuwun pangkat sarta padha duwe sêsêbutan Sunan, Sunan iku têgêse budi, uwite kawruh kaelingan kang bêcik lan kang ala, yen wohe budi ngrêti marang kaelingan bêcik, iku wajib sinuwunan kawruhe ngelmu lair batin.

    Ing wêktu iku para ngulama budine bêcik-bêcik, durung padha duwe karêp kang cidra, isih padha cêgah dhahar sarta cêgah sare. sang Prabu Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha, kok nganggo sêsêbutan Sunan, lakune isih padha cêgah mangan, cêgah turu. Yen sarak rasul, sirik cêgah mangan turu, mung nuruti rasaning lesan lan awak. Yen cêgah mangan rusak, Prabu Brawijaya uga banjur paring idi. Suwe-suwe agama Rasul saya sumêbar. Ing wêktu iku ana nalar kang aneh, ora kêna dikawruhi sarana netra karna sarta lesan, wêtune saka engêtan, jroning utêk iku yen diwarahi budi nyambut gawe, kang maca lan kang krungu nganggêp têmên lan ora, iya kudu ditimbang ing sabênêre, saiki isih ana wujuding patilasane, isih kêna dinyatakake, mula saka pangiraku iya nyata.

    Dhek nalika samana Sunan Benang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan
    Benang sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti-niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.

    Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah. Sunan Benang ngandika: "Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah".

    Ki Bandar matur: "Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang nêkseni".
    Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah, nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.

    Sunan Benang ngandika marang sakabate: "Kowe goleka banyu imbon mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp salat".

    Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu, têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing
    wêktu iku lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: "mBok Nganten, kula nêdha toya imbon bêning rêsik".

    mBok Prawan kaget krungu swarane wong lanang, barêng nolehwêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan salah cipta, pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang dheweke, mula ênggone mangsuli nganggo têmbung saru: "nDika mêntas liwat kali têka ngangge ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng ngombe".

    Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan, satêkane ngarsane Sunan Benang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu. Sunan Benang mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi jaka tuwa, barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika kali Brantas iline dadi cilik, iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas sawah lan patêgalan, akeh desa kang padha rusak, awit katrajang ilining banyu kali kang ngalih iline, kali kang maune iline gêdhe sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang banyu, jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan Benang têrus tindak mênyang Kadhiri.

    Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana wong arane Sunan Benang, gawene nyikara marang para lêlêmbut, ngêndêl-êndêlake kaprawirane, kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat sanalika, iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka panggawene Sunan Benang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah, Sunan Benang dhêmêne salah gawe.

    Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Benang, bisaa tumêka ing pati, dadi ora tansah ganggu gawe. Nyai Plêncing krungu wadule anak putune mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Benang, nanging dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Benang, amarga rasane awake padha panas bangêt kaya diobong. Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri, satêkane ing Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. ratune manggon ing Selabale.

    Jênênge Buta Locaya, dene Selabale iku dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya, maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai daha iki cikal-bakal ing Kadhiri, barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha dipundhut kanggo jênênge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.

    Buta iku têgêse: butêng utawa bodho, Lo têgêse kowe, caya têgêse: kêna dipracaya, kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging têmên mantêp sêtya ing Gusti, mulane didadekake patih.
    Wiwite ana sêbutan kiyai, iya iku kiyai daha lan kiyai Daka, kiyai têgêse: ngayahi anak putune sarta wong-wong ing kanan keringe.

    Jêngkare Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing kono Sang Prabu sawadya-balane disugata, mula sang Prabu asih bangêt marang kiyai Daka, jênênge kiyai Daka dipundhut kanggo jênêng desa,
    dene kiyai Daka banjur diparingi jênêng kiyai Tunggulwulung, sarta dadi senapatining pêrang.

    Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.

    Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen lahar mêtu supaya ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.

    Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak, diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha ngadhêp, kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.

    Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka
    Tuban kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Benang. Nyai Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.

    Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt dukane, sarirane nganti kaya gêni, sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan
    Benang. Para lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune barêng karo angin, ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring desa Kukum, ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai
    Sumbre, dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora ngaton, kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring wit sambi, ngadhang lakune Sunan Benang kang saka êlor.

    Ora antara suwe têkane Sunan Benang saka lor, Sunan Benang wis ora kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku ratuning dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya
    mawa. Dene lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah kêna prabawane Sunan Benang. Mangkono uga Sunan Benang uga ora bêtah cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene
    cêdhak mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.

    Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên, amarga kêna daya prabawane kiyai Sumbre.

    Sunan Benang andangu marang kiyai Sumbre: "Buta Locaya! kowe kok mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre, kowe apa padha slamêt?".

    Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Benang ngrêtos jênênge dheweke, dadi dheweke kawanguran karêpe, wusana banjur matur marang Sunan Benang: "Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula punika Buta Locaya?".

    Sunan Benang ngandika: "Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya.".

    Kiyai Sumbre matur marang Sunan Benang: "Paduka punika tiyang punapa, dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi. Kados wangun walang kadung?".
    Sunan Benang ngandika maneh: "Aku bangsa 'Arab, jênêngku Sayid Kramat, dene omahku ing Benang tanah Tuban, mungguh kang dadi sêdyaku arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?".

    Buta Locaya banjur matur: "Wetan punika wastanipun dhusun Mênang, sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna, pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking rêdi Kêlut. Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam, nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa, saiba susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên gampil pêncaripun titahing Latawalhujwa, makatên wau saking sabda paduka, sêpintên susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami risak, ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat, paduka sikara botên surup, nyikara tanpa prakara".

    Sunan Benang ngandika: "Mula ing kene tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah, amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe agama biru, sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg.".

    Buta Locaya matur maneh: "Punika namanipun botên timbang kaliyan sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang satunggal ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah, lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen".

    Sunan Benang ngandika: "Sanadyan kok-aturake Ratu Majalêngka aku ora wêdi".

    Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu Majalêngka banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: "Rêmbag paduka niki dede rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon, ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên ingkang nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta ajrih sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun Aji Saka, muride Ijajil. Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang saking 'Arab, mila sami siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng dhatêng tiyang kathah, nanging kok jêbul botên makatên, wujud paduka niki jajil bêlis katingal, botên tahan digodha lare, lajêng mubal nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa? Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun dados, lajêng paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa. Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula-têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula
    tamtu nyuwun bantu wadya bala dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang wontên samodra kidul".

    Sunan Benang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute, dene gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur ngandika: "Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki bisa bali kaya mau-maune".

    Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Benang, banjur nêpsu maneh, nuli matur marang Sunan Benang: "Kêdah paduka-wangsulna sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda".

    Sunan Benang ngandika marang Buta Locaya: "Wis kowe ora kêna mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak-jênêngake cacil, dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta susahe jalma lan dhêmit, dak-suwun marang Rabbana, woh sambi dadi warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm dadi pasêmoning ulat kêcut, dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre, dene panggonane balamu kang ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran".

    Sunan Benang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana desa aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan, Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.

    Buta Locaya nututi tindake Sunan Benang. Sunan Benang tindake têkan ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Benang mriksani rêca jaran, rêca mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti amblasah, Sunan Benang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.

    Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Benang anggêmpal êndhasing rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse: "Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika, lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi".

    Sunan Benang ngandika: "Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu karo manusa, jênênge dhêmit kêmênthus".

    Buta Locaya mangsuli: "Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu".

    Sunan Benang ngandika: "Woh trênggulun iki tak-jênêngake kênthos, dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo dhêmit kumênthus, prakara rusaking rêca".

    Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene, woh trênggulun jênênge kênthos, awit saka sabdane Sunan Benang, iku pituture Raden Budi Sukardi, guruku".

    Sunan Benang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar, kêrsane arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane, sumure banjur digolingake, dene Sunan Benang sawise, nuli sagêd mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.

    Ki Kalamwadi ngandika: "Katêlah nganti saprene sumur mau karane sumur Gumuling, Sunan Benang kang anggolingake, iku pituture Raden Budi guruku, êmbuh bênêr lupute".

    Sunan Benang sawise salat banjur nêrusake tindake, satêkane desa Nyahen (10) ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang, saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Benang priksa rêca mau gumun bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubênge bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen dijunjung wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune têngên rêca mau disêmpal dening Sunan Benang, bathuke dikrowak.

    Buta Locaya wêruh yen Sunan Benang ngrusak rêca, dheweke nêpsu maneh, calathune: "Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-bêcik dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan ngrisak rêca?"

    Pangandikane Sunan Benang: "Mulane rêca iki tak-rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar."

    Buta Locaya calathu maneh: "Wong Jawa rak sampun ngrêtos, yen punika rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes Hyang Labawalhujwa, mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados
    para lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng, amargi siti utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun manusa, mila para lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing
    rêca, panjênêngan-tundhung dhatêng pundi? Sampun jamakipun brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca, sarta nêdha ganda wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos sumyah, langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah ing panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang agêng, sampun sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan alamipun manusa, manggen wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara, dados panjênêngan punika têtêp tiyang jail gêndhak sikara siya-siya dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa Jawa ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa, wangsul tiyang bangsa 'Arab sami sojah Ka'batu'llah, wujude nggih tugu sela, punika inggih langkung sasar".

    Pangandikane Sunan Benang: Ka'batu'llah iku kang jasa Kangjêng Nabi Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi wong akeh, sing sapa sujud marang Ka'batu'llah, Gusti Allah paring
    pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing 'alam pangumbaran".

    Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Tandhane napa yen angsal sihe Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa sampun angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?

    Sunan Benang ngandika maneh: "Kang kasêbut ing kitabku, besuk yen mati oleh kamulyan".

    Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: "Pêjah malih yen sumêrêpa, kamulyan sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup, sasar nyêmbah tugu sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi dhatêng rêdi Kêlut kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami maujud piyambak saking sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos, manusa sadaya kêdah sumêrêp ing Batu'llahipun, badanipun manusa punika Baitu'llah ingkang sayêktos, sayêktos yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika kêdah dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun badanipun, sumêrêp budi hawanipun, inggih punika ingkang kenging kangge tuladha. Sanadyan rintên dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga pêtêng,
    kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu damêlan Nabi, Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta, pinaringan wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun têrus, sumêrêp cipta sasmita ingkang dereng kalampahan. Dene ingkang yasa rêca punika Prabu Jayabaya, inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos, pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih engêtan sidik paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking lêluhuripun. sami-sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar sastra saking lêluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun taksih kenging dipuntingali. Tiyang nyungkêmi kabar 'Arab, dereng ngrêtos kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos, anggêga ujaripun tiyang nglêmpara. Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade mulyaning nagari Mêkah, kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas, awis toya, tanêm-tanêm tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun bantêr awis jawah, manawi tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika nagari cilaka, malah kathah tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang tumbasan. Panjênêngan tiyang duraka, kula-aturi kesah saking ngriki, nagari Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun cêkapan, tanah pasir mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd tuwuh, tiyangipun jalêr bagus, wanitanipun ayu, madya luwês wicaranipun. Rêmbag panjênêngan badhe priksa pusêring jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi punika, sapunika panjênêngan ukur, manawi kula lêpat panjênêngan jotos.

    Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang nêdha kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca punika Maha Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan, panjênêngan punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula-aturi kesah kemawon saking ngriki, manawi botên purun kesah sapunika, badhe kula-undhangakên adhi-kula ingkang wontên ing rêdi Kêlut, panjênêngan kula-kroyok punapa sagêd mênang, lajêng kula-bêkta mlêbêt dhatêng kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên badhe susah, punapa panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados kula? Mangga dhatêng Selabale, dados murid kula!".

    Sunan Benang ngandika: "Ora arêp manut rêmbugmu, kowe setan brêkasakan".

    Buta Locaya mangsuli: "Sanadyan kula dhêmit, nanging dhêmit raja, mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tampu mulya kados kula, tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan dhatêng tanah Jawi, wontên ing 'Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen panjênêngan mulya tamtu botên kesah saking 'Arab, mila minggat, saking lêpat, tandhanipun wontên ing ngriki taksih krejaban, maoni adating uwong, maoni agama, damêl risak barang sae, ngarubiru agamane lêluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhatêng Mênadhu".

    Sunan Benang ngandika: "Dhadhap iki kêmbange tak jênêngake celung, uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung rêmbag, dadiya pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh kalah nalar".

    Mula katêlah nganti tumêka saprene, woh dhadhap jênênge kledhung, kêmbange aran celung.

    Sunan Benang banjur pamitan: "Wis aku arêp mulih mênyang Benang".

    Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Inggih sampun, panjênêngan enggala kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar, manawi kadangon wontên ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis wos, nambahi bênter, nyudakakên toya".

    Sunan Benang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga banjur mulih. Gênti kang cinarita, nagari ing Majalêngka, anuju sawijining dina, Sang Prabu Brawijaya miyos sinewaka, diadhêp Patih sarta para wadya bala, Patih matur, yen mêntas nampani layang saka Tumênggung ing Kêrtasana, dene surasane layang ngaturi uninga yen nagara Kêrtasana kaline asat, kali kang saka Kadhiri miline nyimpang mangetan, saperanganing layang mau unine mangkene: "Wontên ler-kilen Kadhiri, pintên-pintên dhusun sami karisakan, anggenipun makatên wau, saking kenging sabdanipun ngulama saking 'Arab, namanipun Sunan Benang.

    Sang Prabu mirêng ature Patih bangêt dukane, Patih banjur diutus mênyang Kêrtasana, niti-priksa ing kono kabeh, kahanane wonge sarta asile bumi kang katrajang banyu kapriye? Sarta didhawuhi nimbali
    Sunan Benang.

    Gêlising carita, Patih sawise niti-priksa, banjur ngaturake kahanane kabeh, dene duta kang diutus mênyang Tuban uga wis têka, matur yen ora oleh gawe, amarga Sunan Benang lunga ora karuhan parane.

    Sang Prabu midhangêt ature para wadya banjur duka, paring pangandika yen ngulama saka 'Arab pada ora lamba atine. Sang Prabu banjur dhawuh marang Patih, wong 'Arab kang ana ing tanah Jawa padha didhawuhi lunga, amarga gawe ribêding nagara, mung ing Dêmak lang Ngampelgadhing kang kêparêng ana ing tanah Jawa, nglêstarekake agamane, liyane loro iku didhawuhi ngulihake mênyang asale, dene yen padha ora gêlêm lunga didhawuhi ngrampungi bae.

    Ature Patih: "Gusti! lêrês dhawuh paduka punika, amargi ngulama Giripura sampun tigang taun botên sowan utawi botên ngaturakên bulubêkti, mênggah sêdyanipun badhe rêraton piyambak, botên ngrumaosi nêdha ngombe wontên tanah Jawi, dene namanipun santri Giri anglangkungi asma paduka, pêparabipun Sunan 'Aênalyakin, punika nama ing têmbung 'Arab, mênggah têgêsipun Sunan punika budi, têgêsipun Aenal punika ma'rifat, têgêsipun Yakin punika wikan, sumêrêp piyambak, dados nama tingal ingkang têrus, suraosipun ing têmbung Jawi nama Prabu Satmata, punika asma luhur ingkang makatên punika ngirib-irib tingalipun Kang Maha Kuwasa, mariksa botên kasamaran, ing alam donya botên wontên kalih ingkang asma Sang Prabu Satmata, kajawi namung Bathara Wisnu nalika jumênêng Nata wontên ing nagari Mêdhang-Kasapta.
    Sang Prabu midhangêt ature Patih, banjur dhawuh nglurugi pêrang mênyang Giri, Patih budhal ngirid wadya-bala prajurit, nglurug mênyang Giri. Patih sawadya-balane satêkane ing Giri banjur campuh
    pêrang. Wong ing Giri geger, ora kuwat nanggulangi pangamuke wadya Majapahit. Sunan Giri mlayu mênyang Benang, golek kêkuwatan, sawise oleh bêbantu, banjur pêrang maneh mungsuh wong Majalêngka, pêrange rame bangêt, ing wêktu iku tanah jawa wis meh saparo kang padha ngrasuk agama Islam, wong-wong ing Pasisir lor wis padha agama Islam, dene kang kidul isih têtêp nganggo agama Buddha.
    Sunan Benang wis ngrumasani kaluputane, ênggone ora sowan mênyang Majalêngka, mula banjur lunga karo Sunan Giri mênyang Dêmak, satêkane ing Dêmak, banjur ngêbang marang Adipati Dêmak, diajak nglurug mênyang Majalêngka, pangandikane Sunan Benang marang Adipati Dêmak: "Wêruha yen saiki wis têkan masa rusake Kraton Majalêngka, umure wis satus têlu taun, saka panawangku, kang kuwat dadi Ratu tanah Jawa, sumilih Kaprabon Nata, mung kowe, rêmbugku rusakên Kraton Majalêngka, nanging kang sarana alus, aja nganti ngêtarani, sowana besuk Garêbêg Mulud, nanging rumantiya sikêping pêrang: 1. gaweya samudana, 2. dhawuhana balamu para Sunan kabeh lan para Bupati kang wis padha Islam kumpulna ana ing Dêmak, yen kumpule iku arêp gawe masjid, mêngko yen wis kumpul, para Sunan sarta Bupati sawadya-balane kang wis padha Islam, kabeh mêsthi nurut marang kowe".

    Ature Adipati Dêmak: "Kula ajrih ngrisak Nagari Majalêngka, amêngsah bapa tur raja, kaping tiganipun damêl sae paring kamukten ing dunya, lajêng punapa ingkang kula-walêsakên, kajawi namung sêtya tuhu. Dhawuhipun eyang Sunan Ngampelgadhing, botên kaparêng yen kula mêngsah bapa, sanadyan Buddha nanging margi-kula sagêd dumados gêsang wontên ing dunya. Inggih sanadyan Buddha punapa kapir, tiyang punika bapa inggih kêdah dipunhurmati, punapa malih dereng wontên lêpatipun dhatêng kula".

    Sunan Benang ngandika mêneh: "Sanadyan mungsuh bapa lan ratu, ora ana alane, amarga iku wong kapir, ngrusak kapir Buddha kawak: kang kok-têmu ganjaran swarga. Eyangmu kuwi santri mêri, gundhul
    bêntul butêng tanpa nalar, patute mung dadi godhogan, sapira kawruhe Ngampelgadhing, bocah kalairan Cêmpa, masa padhaa karo aku Sayid Kramat, Sunan Benang kang wis dipuji wong sabumi 'alam, têdhak Rasul panutaning wong Islam kabeh. Kowe mungsuh bapakmu Nata, sanadyan dosa pisan, mung karo wong siji, tur ratu kapir, nanging yen bapakmu kalah, wong satanah Jawa padha Islam kabeh.

    Kang mangkono iku, sapira mungguh kauntunganmu nugrahaning Pangeran tikêl kaping êmbuh, sihing Hyang Kang Maha Kuwasa kang dhawuh marang kowe. Satêmêne ramanira iku siya-siya marang sira, tandhane sira diparingi jênêng Babah, iku ora prayoga, têgêse Babah iku saru bangêt, iya iku: bae mati bae urip, wiji jawa digawa Putri Cina, mula ibumu diparingake Arya Damar, Bupati ing Palembang, wong pranakan buta; iku mêgat sih arane. Ramanira panggalihe têtêp ora bêcik, mulane rêmbugku, walêsên kalawan alus, lire aja katara, ing batin sêsêpên gêtihe, mamahên balunge".

    Sunan Giri nyambungi rêmbug: Aku iki ora dosa dilurugi ramamu, didakwa rêraton, amarga aku ora seba marang Majalêngka. Sumbare Patih, yen aku kacandhak arêp dikuciri lan dikon ngêdusi asu, akeh bangsa Cina kang padha têka ana ing tanah Jawa, ana ing Giri padha tak-Islamake awit kang muni ing kitabku, yen ngislamake wong kapir, besuk ganjarane swarga, mula akeh bangsa Cina kang padha tak-Islamake, tak-anggêp kulawarga. Dene têkaku mrene ini ngungsi urip mênyang kowe, aku wêdi marang Patih Majalêngka, lan ramanira sêngit bangêt marang santri kang muji dhikir, ênggone ngarani jare lara ayan esuk lan sore, yen kowe ora ngukuhi, mêsthi rusak agama Mukhammad Nabi".

    Wangsulane Sang Adipati Dêmak: "Anggenipun nglurugi punika lêrês, tiyang rêraton, botên ngrumaosi yen kêdah manut prentahing Ratu ingkang mbawahakên, sampun wajibipun dipunlurugi, dipunukum pêjah, awit panjênêngan botên ngrumaosi dhahar ngunjuk wontên in tanah Jawi".

    Sunan Benang ngandika maneh: "Yen ora kok-rêbut dina iki, kowe ngênteni surude bapakmu, kaprabone bapakmu wis mêsthi ora bakal tiba kowe, mêsthi dipasrahake marang Adipati Pranaraga, amarga iku
    putrane kang tuwa, utawa dipasrahake marang putra mantu, iya iku Ki Andayaningrat ing Pêngging, kowe anak nom, ora wajib jumênêng Nata, mumpung iki ana lawang mênga, Giri kang dadi jalarane ngrusak
    Majalêngka, nadyan mati, mungsuh wong kapir, mati sabilu'llah, patine slamêt nampani swarga mulya, wis wajibe wong Islam mati dening wong kapir, saka ênggone nyungkêmi agamane, karo wis wajibe wong urip
    golek kamuktening dunya, golek darajat kang unggul dhewe, yen wong urip ora wêruh marang uripe, iku durung gênêp uripe, lamun sipat manusa mêsthi melik mêngku praja angreh wadya bala, awit Ratu iku Khalifa wakile Hyang Widdhi, apa bae kang dikarêpake bisa kêlakon, satêmêne kowe wis pinasthi bakal jumênêng Ratu ana ing tanah Jawa, sumilih kaprabone ramamu, ananging ing laire iya kudu nganggo sarat dirêbut sarana pêrang, yen kowe ora gêlêm nglakoni, mêsthine sihe Gusti Allah kang mênyang kowe bakal dipundhut bali, dadi kowe jênênge nampik sihe Allah, aku mung sadarma njurungi, amarga aku wis wêruh sadurunge winarah, wis tak-sêmprong nganggo sangkal bolong katon nêrawang ora samar sajroning gaib, kowe kang katiban wahyu sihe Pangeran, bisa dadi Ratu ana ing tanah Jawa, murwani agama suci, ambirat ênggonmu madêg Narendra, bisa ngideni adêgmu Nata mêngku tanah Jawa, bisa lêstari satêruse".
    Akeh-akeh dhawuhe Sunan Benang, pambujuke marang adipati Dêmak supaya mêtu nêpsune, gêlêm ngrusak Majalêngka, malah diwenehi lêpiyan carita Nabi, kang gêlêm ngrusak bapa kapir, iku padha nêmu rahayu.

    Adipati Dêmak matur: "Manawi karsa panjênêngan makatên, kula namung sadarmi nglampahi dhawuh, panjênêngan ingkang mbotohi".

    Sunan Benang ngandika maneh: "Iya mangkono iku kang tak-karêpake, saiki kowe wis gêlêm tak-botohi, lah saiki uga kowe kirima layang marang adhimu Adipati Têrung, ananging têmbungmu kang rêmit sarta alus, adhimu antêpên, apa abot Sang Nata, apa abot sadulur tuwa kang tunggal agama. Yen adhimu wis rujuk adêgmu Nata, gampang bangêt rusaking Majalêngka. Majapahit sapa kang diêndêlake yen Kusen wis mbalik, Si gugur isih cilik, masa ndadak waniya, Patihe wis tuwa, dithothok bae mati, mêsthi ora bisa nadhahi yudamu".

    Adipati Dêmak banjur kirim layang marang Têrung, ora suwe utusan bali, wis tinampan wangsulane Sang Adipati Têrung, saguh ambiyantu pêrang, layang banjur katur Sunan Benang, ndadekake sukaning panggalih, Sunan Benang banjur ngandika marang Adipati Dêmak, supaya Sang Adipati ngaturi para Sunan lan para Bupati kabeh, samudana yen arêp ngêdêgake masjid, lan diwenehana sumurup yen Sunan Benang wis ana ing Dêmak. Gêlising carita, ora suwe para Sunan lan para Bupati padha têka kabeh, banjur pakumpulan ngêdêgake masjid, sawise mêsjid dadi, banjur padha salat ana ing masjid, sabakdane salat, banjur tutup lawang, wong kabeh dipangandikani dening Sunan Benang, yen Adipati Dêmak arêp dijumênêngake Nata, sarta banjur arêp ngrusak Majapahit, yen wis padha rujuk, banjur arêp kêpyakan tumuli. Para Sunan lan para Bupati wis padha rujuk kabeh, mung siji kang ora rujuk, iya iku Syekh Sitijênar. Sunan Benang duka, Syekh Sitijênar dipateni, dene kang kadhawuhan mateni iya iku Sunan Giri, Syekh Sitijênar dilawe gulune mati.

    Sadurunge Syekh Sitijênar tumêka ing pati, ninggal swara: "Eling-eling ngulama ing Giri, kowe ora tak-walês ing akhirat, nanging tak-walês ana ing dunya kene bae, besuk yen ana Ratu Jawa kanthi wong tuwa, ing kono gulumu bakal tak-lawe gênti".

    Sunan Giri mangsuli: "Iya besuk wani, saiki wani, aku ora bakal mundur". Sawise golong karêpe, nglêstarekake apa kang wis dirêmbug. Sang Adipati Dêmak banjur ingidenan jumênêng Nata, amêngku tanah Jawa, jêjuluk Senapati Jimbuningrat, patihe wong saka Atasaning aran Patih Mangkurat. Esuke Senapati Jimbuningrat wis miranti sapraboting pêrang, banjur budhal mênyang Majapahit, diiringake para Sunan lan para Bupati, lakune kaya dene Garêbêg Maulud, para wadya bala ora ana kang ngrêti wadining laku, kajaba mung para Tumênggung lan para Sunan apa dene para ngulama, Sunan Benang lan Sunan Giri ora melu mênyang Majapahit, pawadane sarehne wis sêpuh, mung arêp salat ana ing masjid bae, lan paring idi rahayuning laku, dadi mung para Sunan lan para Bupati bae kang ngiringake Sultan Bintara, ora kacarita lakune ana ing dalan.

    Gênti kocapa nagara in Majapahit, Patih saulihe saka ing Giri banjur matur sang Praba, bab ênggone mukul pêrang ing Giri, mungguh kang dadi senapati ing Giri iya iku sawijining bangsa Cina kang wis ngrasuk agama Islam, arane Sêcasena, mangsah mêncak nganggo gêgêman abir, sawadya-balane watara wong têlung atus, padha bisa mêncak kabeh, brêngose capang sirahe gundhul, padha manganggo srêban cara kaji, mangsah pêrang paculat kaya walang kadung, wadya Majapahit ambêdhili, dene wadya-bala ing Giri pating jênkelang ora kêlar nadhahi tibaning mimis. Senapati Sêcasena wis mati, dene bala Cina liyane lang kari padha mlayu salang tunjang, bala ing Giri ngungsi mênyang alas ing gunung, sawêneh ngambang ing sagara, mlayu mênyang Benang têrus diburu dening wadya-bala Majapahit, Sunan Giri lan Sunan Benang banjur nunggal saprau-layar ngambang ing sagara, kinira banjur minggat marang Arab ora bali ngajawa. Sang Prabu banjur dhawuh marang Patih, supaya utusan mênyang Dêmak, andhawuhake yen ngulama ing Giri lan ing Benang padha têka ing Dêmak, didhawuhi nyêkêl, kaaturna bêbandan ing ngarsa Nata, awit
    dosane santri Benang ngrusak bumi ing Kêrtasana, dene dosane santri Giri ora gêlêm seba marang ngarsa Prabu, tekade sumêdya nglawan pêrang.

    Patih samêtune ing paseban jaba, banjur nimbali duta kang arêp diutus mênyang Dêmak, sajrone ana ing paseban jaba, kêsaru têkane utusane Bupati ing Pathi, ngaturake layang marang Patih, layang banjur diwaos kiyai Patih, mungguh surasaning layang. Menak Tunjungpura ing Pathi ngaturi uninga, yen Adipati ing Dêmak, iya iku Babah Patah, wis madêg Ratu ana ing Dêmak, dene kang ngêbang- êbang adêging Nata, iya iku Sunan Benang lan Sunan Giri, para Bupati pasisir lor sawadyane kang wis padha Islam uga padha njurungi, dene jêjuluking Ratu, Senapati Jimbuningrat, utawa Sultan Syah 'Alam Akbar Siru'llah Kalifatu'rrasul Amiri'lmukminin Tajudi'l'Abdu'lhamid Kak, iya Sultan Adi Surya 'Alam, ing Bintara.
    Ing samêngko Babah Patah sawadya-balane wis budhal nglurug marang Majapahit, sêdya mungsuh ingkang rama, Babah Patah abot mênyang gurune, ngenthengake ingkang rama, para Sunan lan para Bupati padha ambiyantu anggone arêp mbêdhah Majapahit. Babah Patah anggone nggawa bala têlung lêksa miranti sapraboting pêrang, mungguh kature Sang Prabu amborongake kiyai Patih. Layang kang saka Pathi mau katitimasan tanggal kaping 3 sasi Mulud taun Jimakir 1303, masa Kasanga Wuku Prangbakat. Kiyai Patih sawise maos layang, njêtung atine, sarta kêrot, gêrêng-gêrêng, gedheg-gedheg, bangêt pangungune, banjur tumênga ing tawang karo nyêbut marang Dewa kang Linuwih, bangêt gumune mênyang wong Islam, dene ora padha ngrêti mênyang kabêcikane Sang Prabu, malah padha gawe ala. Kyai Patih banjur matur Sang Prabu, ngaturake surasane layang mau.

    Sang Prabu Brawijaya midhangêt ature Patih kaget bangêt panggalihe, njêgrêg kaya tugu, nganti suwe ora ngandika, jroning panggalih ngungun bangêt marang putrane sarta para Sunan, dene padha duwe sêdya kang mangkono, padha diparingi pangkat, wêkasane malah padha gawe buwana balik, kolu ngrusak Majapahit. Sang Prabu nganti ora bisa manggalih apa mungguh kang dadi sababe, dene putrane lan para ngulama têka arêp ngrusak karaton, digoleki nalar-nalare tansah wudhar, lair batin ora tinêmu ing nalar, dene kok padha duwe pikir ala.

    Ing wêktu iku panggalihe Sang Prabu pêtêng bangêt, sungkawane ratu Gêdhe kang linuwih, sinêmonan dening Dewa, kaya dene atining kêbo êntek dimangsa ing tumaning kinjir. Sang Prabu banjur andangu
    marang Patih, apa ta mungguh kang dadi sababe, dene putrane lan para ngulama apa dene para Bupati kolu ngrusak Majapahit, ora padha ngelingi marang kabêcikan.

    Ature Patih, mratelakake yen uga ora mangêrti, amarga adoh karo nalare, wong dibêciki kok padha malês ala, lumrahe mêsthi, padha malês bêcik. Ki Patih uga mung gumun, dene wong Islam pikire kok padha
    ora bêcik, dibêciki walêse kok padha ala.

    Sang Prabu banjur ngandika marang patih, bab anane lêlakon kaya mangkono iku amarga saka lêpate sang nata piyambak, dene nggêgampang marang agama kang wis kanggo turun-tumurun, sarta ênggone kêgiwang marang ature Putri Cêmpa, ngideni para ngulama mêncarake agama Islam. Sang Nata saka putêking panggalihe nganti kawêdhar pangandikane ngêsotake marang wong Islam: Sun-suwung marang Dewa Gung, muga winalêsna susah-ingsun, wong Islam iku besuk kuwalika agamanira, manjalma dadi wong kucir, dene tan wruh kabêcikan, sun-bêciki walêse angalani". "Sabdaning Ratu Agung sajroning kasusahan, katarima dening Bathara, sinêksen ing jagad, katandhan ana swara jumêgur gêtêr patêr sabuwana, iya iku kawitane manuk kuntul ana kang kucir. Sunan, ngulama kabeh ngrangkêp jênêng walikan, katêlah tumêka saprene, ngulama jênênge walian, kuntul kucir githoke.

    Sang Prabu banjur mundhut pamrayoga marang Patih, prakara têkane mungsuh, santri kang ngrêbut nagara, iku dilawan apa ora? Sang Nata rumaos gêtun lan ngungun, dene Adipati Dêmak kapengin mêngkoni Majapahit bae kok dirêbut sarana pêrang, saupama disuwun kalayan aris bae mêsthi diparingake, amarga Sang Nata wis sêpuh. Ature Patih prayoga nglawan têkaning mungsuh. Sang Prabu ngandika, yen nganti nglawan rumaos lingsêm bangêt, dene mungsuh karo putra, mula dhawuhe Sang Prabu, yen mapag pêrang kang sawatara bae, aja nganti ngrusakake bala.

    Patih didhawuhi nimbali Adipati Pêngging sarta Adipati Pranaraga, amarga putra kang ana ing Majapahit durung wanci yen mapagake pêrang, sawise paring pangandika mangkono. Sang Prabu banjur lolos arsa têdhak marang Bali, kadherekake abdi kêkasih, Sabdapalon lan Nayagenggong. Sajrone Sang Prabu paring pangandika, wadya-bala Dêmak wis pacak baris ngêpung nagara, mula kasêsa tindake. Wadya Dêmak banjur campuh karo wadya Majapahit, para Sunan banjur ngawaki pêrang, Patih Majapahit ngamuk ana samadyaning papêrangan.

    Para Bupati Nayaka wolu uga banjur melu ngamuk. Pêrange rame bangêt, bala Dêmak têlung lêksa, balang Majapahit mung têlung ewu, sarehne Majapahit karoban mungsuh, prajurite akeh kang padha mati, mung Patih sarta Bupati Nayaka pangamuke saya nêsêg. Bala Dêmak kang katrajang mêsthi mati. Putrane Sang Prabu aran Raden Lêmbupangarsa ngamuk ana satêngahing papêrangan, tandhing karo Sunan Kudus, lagi rame-ramene têtandhingan pêrang, Patih Mangkurat ing Dêmak nglambung, Putra Nata tiwas, saya bangêt nêpsune,
    pangamuke kaya bantheng kataton, ora ana kang diwêdeni, Patih ora pasah sakehing gêgaman, kaya dene tugu waja, ora ana braja kang tumama marang sarirane, ing ngêndi kang katrajang bubar ngisis,
    kang tadhah mati nggêlasah, bangkening wong tumpang tindhih, Patih binendrongan saka kadohan, tibaning mimis kaya udan tiba ing watu. Sunan Ngudhung mapagake banjur mrajaya, nanging ora pasah, Sunan
    Ngudhung disuduk kêna, barêng Sunan Ngudhung tiwas, Patih dibyuki wadya ing Dêmak, dene wadya Majapahit wis êntek, sapira kuwate wong siji, wêkasan Patih ing Majapahit ngêmasi, nanging kuwandane sirna, tinggal swara: "Eling-eling wong Islam, dibêciki gustiku walêse ngalani, kolu ngrusak nagara Majapahit, ngrêbut nagara gawe pêpati, besuk tak-walês, tak-ajar wêruh nalar bênêr luput, tak-damoni sirahmu, rambutmu tak-cukur rêsik".

    Sapatine Patih, para Sunan banjur mlêbu mênyang kadhaton. nanging sang Prabu wis ora ana, kang ana mung Ratu Mas, iya iku Putri Cêmpa, sang Putri diaturi sumingkir mênyang Benang uga karsa.

    Para prajurit Dêmak banjur padha mlêbu mênyang kadhaton, ana ing kono pada njarah rayah nganti rêsik, wong kampung ora ana kang wani nglawan. Raden Gugur isih timur lolos piyambak. Adipati Têrung
    banjur mlêbu mênyang jêro pura, ngobongi buku-buku bêtuwah Buddha padha diobongi kabeh, wadya sajroning pura padha bubar, beteng ing Bangsal wis dijaga wong Têrung. Wong Majapahit kang ora
    gêlêm têluk banjur ngungsi mênyang gunung lan alas-alas, dene kang padha gêlêm têluk, banjur dikumpulake karo wong Islam, padha dikon nyêbut asmaning Allah. Layone para putra santana lan nayaka padha kinumpulake, pinêtak ana sakidul-wetan pura. Kuburan mau banjur dijênêngake Bratalaya, jarene iku kubure Raden Lêmbupangarsa.

    Barêng wis têlung dina, Sultan Dêmak budhal mênyang Ngampel, dene kang dipatah tunggu ana ing Majapahit, iya iku Patih Mangkurat sarta Adipati Têrung, njaga kaslamêtan mbokmanawa isih ana pakewuh
    ing wuri, Sunan Kudus njaga ana ing kraton dadi sulihe Sang Prabu, Têrung uga dijaga ngulama têlung atus, sabên bêngi padha salat kajat sarta andêrês Kur'an, wadya-bala kang saparo lan para Sunan padha
    ndherek Sang Prabu mênyang Ngampelgadhing, Sunan Ngampel wis seda, mung kari garwane kang isih ana ing Ngampel, garwane mau asli saking Tuban, putrane Arya Teja, sasedane Sunan Ngampel, Nyai Agêng kanggo têtuwa wong Ngampel. Sang Prabu Jambuningrat satêkane ing Ngampel, banjur ngabekti Nyai Agung, para Sunan sarta para Bupati gênti-gênti padha ngaturake sêmbah mênyang Nyai Agêng. Prabu Jimbuningrat matur yen mêntas mbêdhah Majapahit, ngaturake lolose ingkang rama sarta Raden Gugur, ngaturake patine Patih ing Majapahit lan matur yen panjênêngane wis madêg Nata mêngku tanah Jawa, dene jêjuluke: Senapati Jimbun, sarta Panêmbahan Palembang, ênggone sowan mênyang Ngampel iku, prêlu nyuwun idi, têtêpa jumênêng Nata nganti run-tumurun aja ana kang nyêlani.

    Nyai Agêng Ngampel sawise mirêng ature Prabu Jimbun, banjur muwun sarta ngrangkul Sang Prabu, Nyai Agêng ing batos karaos-raos, mangkene pangudaraosing panggalih: "Putuku, kowe dosa têlung prakara, mungsuh Ratu tur sudarmane, sarta kang aweh kamukten ing dunya, têka dirusak kang tanpa prakara, yen ngelingi kasaeane uwa Prabu Brawijaya, para ngulama padha diparingi panggonan kang wis anggawa pamêtu minangka dadi pangane, sarta padha diuja sakarêpe, wong pancene rak sêmbah nuwun bangêt, wusana banjur diwalês ala, seda utawa sugênge ora ana kang wêruh".

    Nyai Agêng banjur ndangu Sang Prabu, pangandikane: "Êngger! aku arêp takon mênyang kowe, kandhaa satêmêne, bapakmu tênan kuwi sapa? Sapa kang ngangkat kowe dadi Ratu tanah Jawa lan sapa kang ngideni kowe? Apa sababe dene kowe syikara kang tanpa dosa?"

    Sang Prabu banjur matur, yen Prabu Brawijaya iku jarene ramane têmênan. Kang ngangkat sarirane dadi Ratu mêngku tanah Jawa iku para Bupati pasisir kabeh. Kang ngideni para Sunan. Mulane nagara Majapahit dirusak, amarga Sang Prabu Brawijaya ora karsa salin agama Islam, isih ngagêm agama kapir kupur, Buddha kawak dhawuk kaya kuwuk.

    Nyai Agêng barêng mirêng ature Prabu Jimbun, banjur njêrit ngrangkul Sang Prabu karo ngandika: "Êngger! kowe wêruha, kowe iku dosa têlung prakara, mêsthi kêsiku ing Gusti Allah. Kowe wani mungsuh Ratu tur wong tuwamu dhewe, sarta sing aweh nugraha marang kowe, dene kowe kok wani ngrusak kang tanpa dosa. Anane Islam lan kapir sapa kang gawe, kajaba mung siji Gusti Allah piyambak. Wong ganti agama iku ora kêna dipêksa yen durung mêtu saka karêpe dhewe. Wong kang nyungkêmi agamane nganti mati isih
    nggoceki tekade iku utama. Yen Gusti Allah wis marêngake, ora susah nganggo.

    BalasHapus
  36. Nama : Ulfatul Faiqoh
    NIM : 2102408121
    Rombel : 4

    SERAT KALATIDA
    Tuesday, 31. March 2009, 08:40:23
    SINOM
    Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda (Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot. Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.)
    Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara (Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan. Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan maksudnya.)
    Katetangi tangisira, Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, atamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiweka (Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang. Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.)

    Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka (Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu. Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali. Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin ? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.)
    Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni, Pedah apa amituhu, Pawarta lolawara, Mundhuk angreranta ati, Angurbaya angiket cariteng kuna (Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada peringatan. Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya kisah jaman dahulu kala.)
    Keni kinarta darsana, Panglimbang ala lan becik, Sayekti akeh kewala, Lelakon kang dadi tamsil, Masalahing ngaurip, Wahaninira tinemu, Temahan anarima, Mupus pepesthening takdir Puluh-Puluh anglakoni kaelokan (Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala, guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul. Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama, mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya "nrima" dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan. Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.)
    Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada (Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.)
    Semono iku bebasan, Padu-padune kepengin, Enggih mekoten man Doblang, Bener ingkang angarani
    Nanging sajroning batin, Sejatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma (Yah segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ? Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian. Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua, apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari Tuhan.)
    Beda lan kang wus santosa, Kinarilah ing Hyang Widhi, Satiba malanganeya, Tan susah ngupaya kasil
    Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, Marga samaning titah, Rupa sabarang pakolih, Parandene maksih taberi ikhtiyar (Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan. Bagaimanapun nasibnya selalu baik. Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah. Namun demikian masih juga berikhtiar.)
    Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma (Apapun dilaksanakan. Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan persoalan. Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ikhtiar, hanya harus memilih jalan yang baik. Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.)
    Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi aparinga, Pitulung ingkang martani
    Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi
    Mula mugi wontena pitulung Tuwan (Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih, mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini. Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana. Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.)
    Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruraha, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badharing sapudhendha, Antuk mayar sawetawis, BoRONG angGA saWARga meSI marTAya (Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa, seolah-olah dapat mati didalam hidup. Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan. Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya. Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami

    BalasHapus
  37. Nama : Novita mustikaningrum
    NIM : 2102408103
    Rombel: 04

    Serat Manik Maya

    Kalanipun taksih awang uwung dereng wonten bumi kaliyan langit, ingkang kocap rumiyin namung Sang Hyang Wasesa. Punika ingkang wonten, kendel satengahing jagad, mboten ebah-ebah. Salebeting batos angeningaken pujinipun, nyatakaken karsanipun ingkang Mahapasti, wiwit wontenipun lelampahan. Menggah ciptanipun ing batos Sang Hyang Wasesa wau, mboten wonten sanes namung wontenipun piyambak. Tumunten mireng wonten swara, ungelipun tetela kados gentha. Sakedhap Sang Hyang Wasesa kaget, nunten sumerep wonten gumandhul ing awang-awang, rupinipun kados tigan. Enggal cinadhak sinangga ing tangan, dipun cipta dados tigang prakawis. Saprakawisipun dados bumi langit, kalih prakawisipun dados teja tuwin cahya, tigang prakawisipun dados Manik tuwin Maya. Punika sedaya sami sujud dhateng Sang Hyang Wasesa.

    ITULAH awal kisah terjadinya Semar yang diceritakan dalam Serat Manikmaya, salah satu kitab Jawa Kuna yang mengungkap tentang keberadaan Manik (Bathara Guru) dan Maya (Semar). Lebih lanjut Sang Hyang Wasesa berkata kepada Manik, ”Sira sumurupa, yen sira iku kahanan ingsun, ingsun kahananira. Ingsun wis ngandel ing sira, Sarupane kang padha kumelip ing isine jagad kabeh, sira wenang ndadekake.”
    Sementara itu kepada Maya, Sang Hyang Wasesa berkata, ”Maya, sira sumurupa, iku wis karsane Kang Mahapasti. Aja banget ing prihatinira, sira sunparingi mustikaning retna, aran Retnadumilah, ora ana kang madhani, barang sacitanira dadi, sundokokne ing kuncungira. Lan maninge mungguh cahyanira ireng kaya wedelan, iku kanyatan kang ora owah-owah, kayata upamane rembulan, suda mundhak ing sadina sawengine, srengeng ora owah salawase. Ireng iku satemene ginawe nylamur. Sing ana iku sanyatane ora ana, sing satemene ana ditarka dudu, sing dudu ditarka iya. Sing wanter atine ilang kawanterane, sabab wedi manawa keliru. Si Manik sunarani Bathara Guru, sira Maya sunarani Semar, nata ing marcapada.”
    Ir Sri Mulyono dalam bukunya Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya (1975) menyebutkan bahwa dalam Serat Manikmaya tersebut telah terjadi simpang-siur penulisan tentang keberadaan Semar. Bahkan Sri Mulyono menyebut Serat Manikmaya yang ditulis oleh Kartamusadah sebagai buku yang keruh dan kacau. Meskipun demikian, bagaimanapun keruhnya, dalam serat Manikmaya tetap ada ‘sutra kencana’ yang menerangkan bahwa Maya, Sang Hyang Tunggal, Semar, adalah aspek dari Sang Hyang Wasesa. Bahkan makna filosofi telur (tigan) yang menjadi tiga perkara (bumi dan langit, teja dan cahaya), serta Manik dan maya), memiliki kemiripan dengan trilogi Sat, Cit, dan Ananda, atau Keberadaan, Kesadaran dan Kebahagiaan, atau Brahma, Wisnu dan Siwa, atau Surga, Langit dan Bumi.
    Menurut Sri Mulyono, adanya keanekaragaman dan perbedaan-perbedaan dalam penulisan kitab-kitab pewayangan tersebut dimungkinkan karena latar belakang penulisan buku antara lain adalah sebagai puja sastra, sebagai histori, untuk melempangkan kepercayaan (religius filosofis), untuk kepentingan politis, untuk menentramkan kehidupan (psikologis), sebagai justification, serta membangun estetika dan etika. Yang perlu diperhatikan ketika membaca kitab-kitab Jawa Kuna pada umumnya serta kitab pewayangan khususnya, dan terutama kitab Pustaka Raja karya Raden Ngabehi Rangga Warsita, ada kalanya memang mengandung sindiran dan ada sisipan amanat sejati. Apabila kita hanya melihat peristiwa yang diceritakan dan angka-angka tahun yang terdapat dalam karya-karya Jawa Kuna tersebut, berarti kita hanya akan melihat kulitnya saja. Apabila kita ingin memahami secara mendalam mengenai makna yang tersurat dan tersirat dalam karya-karya Jawa Kuna, maka kita harus dapat mengupasnya dan mampu menemukan hakikat, kasunyatan atau kajaten yang terkandung di dalamnya.
    ***
    ADANYA beberapa versi mengenai asal-usul Semar, menurut guru Pamulangan Padhalangan Habiranda Kraton Yogyakarta, Ki Cerma Sutejo, sebenarnya hanya karena adanya perbedaan penggarapan sanggit dari masing-masing empu, pujangga dan dalang. Dalam lakon Gatutkaca Sraya yang ditulis Empu Panuluh, terdapat nama Jurudyah Prasanta Punta. Nama ini kemudian menjadi Jodek Santa, selanjutnya menjadi Lurah Den Mas Prasanta, dan akhirnya dalam cerita Panji menjadi Semar. Dalam Kitab Sudamala, Ki Semar adalah pendamping Sakula (Nakula) ketika meruwat Bathari Durga.
    Dalam Serat Manikmaya, Sang Manik menjadi Batara Guru dan Sang Maya menjadi Semar.
    Dalam Serat Pustaka Raja Purwa (Raja Watara), Semar adalah cucu Ismaya. Diceritakan, ketika Sang Hyang Wasesa mukswa, kemudian muncul sosok misterius yang berlari ke Sapta Arga. Namun ia dikejar oleh harimau, dan ditolong oleh Resi Manumanasa. Karena merasa berutang budi, maka sosok tersebut ingin nyuwita kepada Sang Resi. Ketika ditanya, ia mengaku bernama Wasta Janggan Smara (anak Bathara Wungku, cucu Ismaya). Sementara itu dalam Serat Kandha, diceritakan bahwa Nabi Adam mempunyai anak bernama Sis. Nabi Sis kemudian punya anak bernama Anwas (Nurcahya). Sang Nurcahya kemudian punya anak bernama Nur Rasa. Sang Hyang Nur Rasa punya anak bernama sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Tunggal (Semar), sedangkan Sang Hyang Wenang punya anak bernama Bathara Guru.
    Hal inipun juga diakui oleh Ki Cermo Subali, dalang sepuh yang kini tetap eksis sebagai dalang ruwat dan tinggal di Jatimulyo, Girimulyo Kulonprogo. Namun menurutnya, dalam kepustakaan yang ia pakai sebagai sumber lakon, disebutkan bahwa Semar adalah anak Sang Hyang Tunggal dengan Bathari Wahyuni. Hampir sama dengan cerita dalam Serat Manikmaya, kepustakaan yang dipakai Ki Subali menyebutkan bahwa setelah menikah dengan Sang Hyang Tunggal maka Bathari Wahyuni melahirkan anak berupa telur. Setelah diusadani Hyang Nu Rasa, maka kuning telur menjadi bayi yang diberi nama Tejamaya (Tejamantri?) atau Togog. Putih telur menjadi bayi yang kemudian diberi nama Manikmaya. Sedangkan kulit ari (klamar) telur menjadi bayi yang kemudian diberi nama Ismaya (Semar). ”Lajer lakonnya memang berbeda-beda seperti itu, tetapi cak-cakan di pakeliran terserah masing-masing dalang,” tegas Ki Cipto Subali.
    Masih banyak lagi ahli dan empu yang menguraikan sosok Semar dengan versi yang berbeda-beda. Bahkan di antara pendapat-pendapat tersebut banyak juga yang saling berlawanan. Karena banyaknya versi yang berlainan dan tidak ada kesepahaman mengenai sosok Semar, maka Ir Sri Mulyono menyimpulkan bahwa jumlah huruf, kata dan kalimat di dunia tidak cukup mampu untuk melukiskan Kyai Lurah Semar yang misterius dan mengandung unsur serba berlawanan. Meskipun demikian, semuanya itu juga melebur sekaligus menyelaraskan semua pertentangan.
    ***
    SEMUA pendapat mengenai sosok Semar yang kelihatan simpang siur, keruh dan kacau itu, tegas Sri Mulyono, kemudian justru menjadi jernih pada diri Sang Hyang Semar. Semua nama yang dianugerahkan kepada Semar ternyata menyatu pada sunya samar. Namun untuk memahaminya juga harus digunakan alat, akal dan budi yang jernih pula. Weninging cipta, meneping kalbu, tanpa campur jlantahing kanepson. Justru dalam kesimpangsiuran itulah dapat ditemukan makna falsafah Semar.
    Dalam berbagai kepustakaan dan pergelaran wayang kulit saat ini, Semar memiliki bentuk tubuh dan wajah yang serba tidak teratur dan serba tidak jelas, namun mampu menyatukan dua hal yang bertentangan secara radikal. Ora lanang ora wadon. Ora nangis ora ngguyu. Ora papan ora dunung. Ora adoh ora cedhak, nanging mesthi ana. Dudu dewa dudu manungsa. ”Semar adalah gambaran manusia bahkan dzat yang sudah tidak membedakan susah-bungah, kaya-miskin. Nama panakawan ini disebut Semar, karena ia adalah makhluk yang sudah tidak ragu-ragu atau samar terhadap segala persoalan. Semar telah melebur dan menyelaraskan semua pertentangan. Wus tak kasamaran marang samobah-mosiking jagad,” urai Sri Mulyono.
    Di antara sekian banyak uraian mengenai Semar, baik mengenai watak atau sifat, fungsi atau peranan, maupun nama atau sebutan yang bermacam-macam, sebutan Semar sebagai Ki Badranaya atau Nayantaka cukup menarik untuk dipahami. Sebutan Badranaya konon berasal dari badra (bulan, sinar, terang, cahaya) dan naya (pimpinan, tuntunan, wajah). Jadi Semar diimajinasikan sebagai bulan purnama yang bersinar terang. Sedangkan Nayantaka berasal dari naya dan taka atau antaka (pucat, mayat). Artinya wajah semar adalah pucat seperti mayat.
    Sosok Semar saat ini lebih banyak kita kenal sebagai sosok punakawan (panakawan) atau pamomong para satria yang selalu mengutamakan kejujuran, bijaksana dan selalu berhasil. Fungsi, tugas dan peranan Semar sebagai punakawan, menurut Ir Sri Mulyono, secara lahiriah adalah (1) sebagai penasihat atau cahaya ketika satria sedang dalam kesulitan, kebimbangan atau kegelapan. (2) Penyemangat ketika satria yang diikutinya sedang putus asa. (3) Penyelamat ketika satria yang diikutinya dalam keadaan bahaya. (4) Penghalang ketika satria yang diikutinya sedang emosional. (5) Sebagai teman ketika satria yang diikutinya sedang kesepian. (6) Penyembuh ketika satria yang diikutinya sedang sakit. Dan (7) sebagai penghibur ketika satria yang diikutinya sedang susah.

    BalasHapus
  38. Nama : FAHRUL MOHAMAD ZEIN
    NIM : 2102408091
    Rombel : 3




    Alang Alang Kumitir
    SULUK WUJIL

    April 19, 2008 pada 8:12 am (SULUK WUJIL)

    1
    Inilah ceritera si Wujil
    Berkata pada guru yang diabdinya
    Ratu Wahdat
    Ratu Wahdat nama gurunya
    Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
    Yang tinggal di desa Bonang
    Ia minta maaf
    Ingin tahu hakikat
    Dan seluk beluk ajaran agama
    Sampai rahsia terdalam
    2
    Sepuluh tahun lamanya
    Sudah Wujil
    Berguru kepada Sang Wali
    Namun belum mendapat ajaran utama
    Ia berasal dari Majapahit
    Bekerja sebagai abdi raja
    Sastra Arab telah ia pelajari
    Ia menyembah di depan gurunya
    Kemudian berkata
    Seraya menghormat
    Minta maaf
    3
    “Dengan tulus saya mohon
    Di telapak kaki tuan Guru
    Mati hidup hamba serahkan
    Sastra Arab telah tuan ajarkan
    Dan saya telah menguasainya
    Namun tetap saja saya bingung
    Mengembara kesana-kemari
    Tak berketentuan.
    Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
    Bosan sudah saya
    Menjadi bahan tertawaan orang
    4
    Ya Syekh al-Mukaram!
    Uraian kesatuan huruf
    Dulu dan sekarang
    Yang saya pelajari tidak berbeda
    Tidak beranjak dari tatanan lahir
    Tetap saja tentang bentuk luarnya
    Saya meninggalkan Majapahit
    Meninggalkan semua yang dicintai
    Namun tak menemukan sesuatu apa
    Sebagai penawar
    5
    Diam-diam saya pergi malam-malam
    Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
    Semua pendeta dan ulama hamba temui
    Agar terjumpa hakikat hidup
    Akhir kuasa sejati
    Ujung utara selatan
    Tempat matahari dan bulan terbenam
    Akhir mata tertutup dan hakikat maut
    Akhir ada dan tiada

    6
    Ratu Wahdat tersenyum lembut
    “Hai Wujil sungguh lancang kau
    Tuturmu tak lazim
    Berani menagih imbalan tiggi
    Demi pengabdianmu padaku
    Tak patut aku disebut Sang Arif
    Andai hanya uang yang diharapkan
    Dari jerih payah mengajarkan ilmu
    Jika itu yang kulakukan
    Tak perlu aku menjalankan tirakat
    7
    Siapa mengharap imbalan uang
    Demi ilmu yang ditulisnya
    Ia hanya memuaskan diri sendiri
    Dan berpura-pura tahu segala hal
    Seperti bangau di sungai
    Diam, bermenung tanpa gerak.
    Pandangnya tajam, pura-pura suci
    Di hadapan mangsanya ikan-ikan
    Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
    Namuni isinya berwarna kuning
    8
    Matahari terbenam, malam tiba
    Wujil menumpuk potongan kayu
    Membuat perapian, memanaskan
    Tempat pesujudan Sang Zahid
    Di tepi pantai sunyi di Bonang
    Desa itu gersang
    Bahan makanan tak banyak
    Hanya gelombang laut
    Memukul batu karang
    Dan menakutkan
    9
    Sang Arif berkata lembut
    “Hai Wujil, kemarilah!”
    Dipegangnya kucir rambut Wujil
    Seraya dielus-elus
    Tanda kasihsayangnya
    “Wujil, dengar sekarang
    Jika kau harus masuk neraka
    Karena kata-kataku
    Aku yang akan menggantikan tempatmu”

    11
    “Ingatlah Wujil, waspadalah!
    Hidup di dunia ini
    Jangan ceroboh dan gegabah
    Sadarilah dirimu
    Bukan yang Haqq
    Dan Yang Haqq bukan dirimu
    Orang yang mengenal dirinya
    Akan mengenal Tuhan
    Asal usul semua kejadian
    Inilah jalan makrifat sejati”
    12
    Kebajikan utama (seorang Muslim)
    Ialah mengetahui hakikat salat
    Hakikat memuja dan memuji
    Salat yang sebenarnya
    Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
    Tetapi juga ketika tafakur
    Dan salat tahajud dalam keheningan
    Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
    Dan termasuk akhlaq mulia
    13
    Apakah salat yang sebenar-benar salat?
    Renungkan ini: Jangan lakukan salat
    Andai tiada tahu siapa dipuja
    Bilamana kaulakukan juga
    Kau seperti memanah burung
    Tanpa melepas anak panah dari busurnya
    Jika kaulakukan sia-sia
    Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
    14
    Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
    Dengar: Walau siang malam berzikir
    Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
    Zikirmu tidak sempurna
    Zikir sejati tahu bagaimana
    Datang dan perginya nafas
    Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
    Hayat melalui yang empat

    15
    Yang empat ialah tanah atau bumi
    Lalu api, udara dan air
    Ketika Allah mencipta Adam
    Ke dalamnya dilengkapi
    Anasir ruhani yang empat:
    Kahar, jalal, jamal dan kamal
    Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
    Begitulah kaitan ruh dan badan
    Dapat dikenal bagaimana
    Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
    16
    Anasir tanah melahirkan
    Kedewasaan dan keremajaan
    Apa dan di mana kedewasaan
    Dan keremajaan? Dimana letak
    Kedewasaan dalam keremajaan?
    Api melahirkan kekuatan
    Juga kelemahan
    Namun di mana letak
    Kekuatan dalam kelemahan?
    Ketahuilah ini

    17
    Sifat udara meliputi ada dan tiada
    Di dalam tiada, di mana letak ada?
    Di dalam ada, di mana tempat tiada?
    Air dua sifatnya: mati dan hidup
    Di mana letak mati dalam hidup?
    Dan letak hidup dalam mati?
    Kemana hidup pergi
    Ketika mati datang?
    Jika kau tidak mengetahuinya
    Kau akan sesat jalan
    18
    Pedoman hidup sejati
    Ialah mengenal hakikat diri
    Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
    Oleh karena itu ketahuilah
    Tempat datangnya yang menyembah
    Dan Yang Disembah
    Pribadi besar mencari hakikat diri
    Dengan tujuan ingin mengetahui
    Makna sejati hidup
    Dan arti keberadaannya di dunia
    19
    Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
    Tubuh kita sangkar tertutup
    Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
    Jika kau tidak mengenalnya
    Akan malang jadinya kau
    Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
    Sia-sia semata
    Jika kau tak mengenalnya.
    Karena itu sucikan dirimu
    Tinggalah dalam kesunyian
    Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia

    20
    Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
    Ia ada dalam dirimu sendiri
    Seluruh isi jagat ada di sana
    Agar dunia ini terang bagi pandangmu
    Jadikan sepenuh dirimu Cinta
    Tumpukan pikiran, heningkan cipta
    Jangan bercerai siang malam
    Yang kaulihat di sekelilingmu
    Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
    21
    Dunia ini Wujil, luluh lantak
    Disebabkan oleh keinginanmu
    Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
    Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
    Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
    Bentangan pengetahuan ini luas
    Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
    Orang yang mengenal hakikat
    Dapat memuja dengan benar
    Selain yang mendapat petunjuk ilahi
    Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini

    22
    Karena itu, Wujil, kenali dirimu
    Kenali dirimu yang sejati
    Ingkari benda
    Agar nafsumu tidur terlena
    Dia yang mengenal diri
    Nafsunya akan terkendali
    Dan terlindung dari jalan
    Sesat dan kebingungan
    Kenal diri, tahu kelemahan diri
    Selalu awas terhadap tindak tanduknya
    23
    Bila kau mengenal dirimu
    Kau akan mengenal Tuhanmu
    Orang yang mengenal Tuhan
    Bicara tidak sembarangan
    Ada yang menempuh jalan panjang
    Dan penuh kesukaran
    Sebelum akhirnya menemukan dirinya
    Dia tak pernah membiarkan dirinya
    Sesat di jalan kesalahan
    Jalan yang ditempuhnya benar
    24
    Wujud Tuhan itu nyata
    Mahasuci, lihat dalam keheningan
    Ia yang mengaku tahu jalan
    Sering tindakannya menyimpang
    Syariat agama tidak dijalankan
    Kesalehan dicampakkan ke samping
    Padahal orang yang mengenal Tuhan
    Dapat mengendalikan hawa nafsu
    Siang malam penglihatannya terang
    Tidak disesatkan oleh khayalan
    35
    Diam dalam tafakur, Wujil
    Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
    Memuja tanpa selang waktu
    Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
    Disebabkan oleh makrifat
    Tubuhnya akan bersih dari noda
    Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
    Dari orang arif yang tahu
    Agar kau mencapai hakikat
    Yang merupakan sumber hayat
    36
    Wujil, jangan memuja
    Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
    Juga sia-sia orang memuja
    Tanpa kehadiran Yang Dipuja
    Walau Tuhan tidak di depan kita
    Pandanglah adamu
    Sebagai isyarat ada-Nya
    Inilah makna diam dalam tafakur
    Asal mula segala kejadian menjadi nyata
    38
    Renungi pula, Wujil!
    Hakikat sejati kemauan
    Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
    Berpikir dan menyebut suatu perkara
    Bukan kemauan murni
    Kemauan itu sukar dipahami
    Seperti halnya memuja Tuhan
    Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
    Pun tidak membuatmu membenci orang
    Yang dihukum dan dizalimi
    Serta orang yang berselisih paham
    39
    Orang berilmu
    Beribadah tanpa kenal waktu
    Seluruh gerak hidupnya
    Ialah beribadah
    Diamnya, bicaranya
    Dan tindak tanduknya
    Malahan getaran bulu roma tubuhnya
    Seluruh anggota badannya
    Digerakkan untuk beribadah
    Inilah kemauan murni
    40
    Kemauan itu, Wujil!
    Lebih penting dari pikiran
    Untuk diungkapkan dalam kata
    Dan suara sangatlah sukar
    Kemauan bertindak
    Merupakan ungkapan pikiran
    Niat melakukan perbuatan
    Adalah ungkapan perbuatan
    Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
    Keduanya buah dari kemauan

    Karya : Kanjeng Sunan Bonang

    BalasHapus
  39. Nama : FAHRUL MOHAMAD ZEIN
    NIM : 2102408091
    Rombel : 3


    Suluk Wujil
    4 07 2007

    Suluk Wujil Pesan Kanjeng Sunan Bonang,

    1
    Inilah ceritera si Wujil
    Berkata pada guru yang diabdinya
    Ratu Wahdat
    Ratu Wahdat nama gurunya
    Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
    Yang tinggal di desa Bonang
    Ia minta maaf
    Ingin tahu hakikat
    Dan seluk beluk ajaran agama
    Ssampai rahsia terdalam
    2
    Sepuluh tahun lamanya
    Sudah Wujil
    Berguru kepada Sang Wali
    Namun belum mendapat ajaran utama
    Ia berasal dari Majapahit
    Bekerja sebagai abdi raja
    Sastra Arab telah ia pelajari
    Ia menyembah di depan gurunya
    Kemudian berkata
    Seraya menghormat
    Minta maaf
    3
    “Dengan tulus saya mohon
    Di telapak kaki tuan Guru
    Mati hidup hamba serahkan
    Sastra Arab telah tuan ajarkan
    Dan saya telah menguasainya
    Namun tetap saja saya bingung
    Mengembara kesana-kemari
    Tak berketentuan.
    Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
    Bosan sudah saya
    Menjadi bahan tertawaan orang
    4
    Ya Syekh al-Mukaram!
    Uraian kesatuan huruf
    Dulu dan sekarang
    Yang saya pelajari tidak berbeda
    Tidak beranjak dari tatanan lahir
    Tetap saja tentang bentuk luarnya
    Saya meninggalkan Majapahit
    Meninggalkan semua yang dicintai
    Namun tak menemukan sesuatu apa
    Sebagai penawar
    5
    Diam-diam saya pergi malam-malam
    Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
    Semua pendeta dan ulama hamba temui
    Agar terjumpa hakikat hidup
    Akhir kuasa sejati
    Ujung utara selatan
    Tempat matahari dan bulan terbenam
    Akhir mata tertutup dan hakikat maut
    Akhir ada dan tiada

    6
    Ratu Wahdat tersenyum lembut
    “Hai Wujil sungguh lancang kau
    Tuturmu tak lazim
    Berani menagih imbalan tiggi
    Demi pengabdianmu padaku
    Tak patut aku disebut Sang Arif
    Andai hanya uang yang diharapkan
    Dari jerih payah mengajarkan ilmu
    Jika itu yang kulakukan
    Tak perlu aku menjalankan tirakat
    7
    Siapa mengharap imbalan uang
    Demi ilmu yang ditulisnya
    Ia hanya memuaskan diri sendiri
    Dan berpura-pura tahu segala hal
    Seperti bangau di sungai
    Diam, bermenung tanpa gerak.
    Pandangnya tajam, pura-pura suci
    Di hadapan mangsanya ikan-ikan
    Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
    Namuni isinya berwarna kuning
    8
    Matahari terbenam, malam tiba
    Wujil menumpuk potongan kayu
    Membuat perapian, memanaskan
    Tempat pesujudan Sang Zahid
    Di tepi pantai sunyi di Bonang
    Desa itu gersang
    Bahan makanan tak banyak
    Hanya gelombang laut
    Memukul batu karang
    Dan menakutkan
    9
    Sang Arif berkata lembut
    “Hai Wujil, kemarilah!”
    Dipegangnya kucir rambut Wujil
    Seraya dielus-elus
    Tanda kasihsayangnya
    “Wujil, dengar sekarang
    Jika kau harus masuk neraka
    Karena kata-kataku
    Aku yang akan menggantikan tempatmu”

    11
    “Ingatlah Wujil, waspadalah!
    Hidup di dunia ini
    Jangan ceroboh dan gegabah
    Sadarilah dirimu
    Bukan yang Haqq
    Dan Yang Haqq bukan dirimu
    Orang yang mengenal dirinya
    Akan mengenal Tuhan
    Asal usul semua kejadian
    Inilah jalan makrifat sejati”
    12
    Kebajikan utama (seorang Muslim)
    Ialah mengetahui hakikat salat
    Hakikat memuja dan memuji
    Salat yang sebenarnya
    Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
    Tetapi juga ketika tafakur
    Dan salat tahajud dalam keheningan
    Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
    Dan termasuk akhlaq mulia
    13
    Apakah salat yang sebenar-benar salat?
    Renungkan ini: Jangan lakukan salat
    Andai tiada tahu siapa dipuja
    Bilamana kaulakukan juga
    Kau seperti memanah burung
    Tanpa melepas anak panah dari busurnya
    Jika kaulakukan sia-sia
    Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
    14
    Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
    Dengar: Walau siang malam berzikir
    Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
    Zikirmu tidak sempurna
    Zikir sejati tahu bagaimana
    Datang dan perginya nafas
    Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
    Hayat melalui yang empat

    15
    Yang empat ialah tanah atau bumi
    Lalu api, udara dan air
    Ketika Allah mencipta Adam
    Ke dalamnya dilengkapi
    Anasir ruhani yang empat:
    Kahar, jalal, jamal dan kamal
    Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
    Begitulah kaitan ruh dan badan
    Dapat dikenal bagaimana
    Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
    16
    Anasir tanah melahirkan
    Kedewasaan dan keremajaan
    Apa dan di mana kedewasaan
    Dan keremajaan? Dimana letak
    Kedewasaan dalam keremajaan?
    Api melahirkan kekuatan
    Juga kelemahan
    Namun di mana letak
    Kekuatan dalam kelemahan?
    Ketahuilah ini

    17
    Sifat udara meliputi ada dan tiada
    Di dalam tiada, di mana letak ada?
    Di dalam ada, di mana tempat tiada?
    Air dua sifatnya: mati dan hidup
    Di mana letak mati dalam hidup?
    Dan letak hidup dalam mati?
    Kemana hidup pergi
    Ketika mati datang?
    Jika kau tidak mengetahuinya
    Kau akan sesat jalan
    18
    Pedoman hidup sejati
    Ialah mengenal hakikat diri
    Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
    Oleh karena itu ketahuilah
    Tempat datangnya yang menyembah
    Dan Yang Disembah
    Pribadi besar mencari hakikat diri
    Dengan tujuan ingin mengetahui
    Makna sejati hidup
    Dan arti keberadaannya di dunia
    19
    Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
    Tubuh kita sangkar tertutup
    Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
    Jika kau tidak mengenalnya
    Akan malang jadinya kau
    Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
    Sia-sia semata
    Jika kau tak mengenalnya.
    Karena itu sucikan dirimu
    Tinggalah dalam kesunyian
    Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia

    20
    Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
    Ia ada dalam dirimu sendiri
    Seluruh isi jagat ada di sana
    Agar dunia ini terang bagi pandangmu
    Jadikan sepenuh dirimu Cinta
    Tumpukan pikiran, heningkan cipta
    Jangan bercerai siang malam
    Yang kaulihat di sekelilingmu
    Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
    21
    Dunia ini Wujil, luluh lantak
    Disebabkan oleh keinginanmu
    Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
    Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
    Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
    Bentangan pengetahuan ini luas
    Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
    Orang yang mengenal hakikat
    Dapat memuja dengan benar
    Selain yang mendapat petunjuk ilahi
    Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini

    22
    Karena itu, Wujil, kenali dirimu
    Kenali dirimu yang sejati
    Ingkari benda
    Agar nafsumu tidur terlena
    Dia yang mengenal diri
    Nafsunya akan terkendali
    Dan terlindung dari jalan
    Sesat dan kebingungan
    Kenal diri, tahu kelemahan diri
    Selalu awas terhadap tindak tanduknya
    23
    Bila kau mengenal dirimu
    Kau akan mengenal Tuhanmu
    Orang yang mengenal Tuhan
    Bicara tidak sembarangan
    Ada yang menempuh jalan panjang
    Dan penuh kesukaran
    Sebelum akhirnya menemukan dirinya
    Dia tak pernah membiarkan dirinya
    Sesat di jalan kesalahan
    Jalan yang ditempuhnya benar
    24
    Wujud Tuhan itu nyata
    Mahasuci, lihat dalam keheningan
    Ia yang mengaku tahu jalan
    Sering tindakannya menyimpang
    Syariat agama tidak dijalankan
    Kesalehan dicampakkan ke samping
    Padahal orang yang mengenal Tuhan
    Dapat mengendalikan hawa nafsu
    Siang malam penglihatannya terang
    Tidak disesatkan oleh khayalan
    35
    Diam dalam tafakur, Wujil
    Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
    Memuja tanpa selang waktu
    Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
    Disebabkan oleh makrifat
    Tubuhnya akan bersih dari noda
    Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
    Dari orang arif yang tahu
    Agar kau mencapai hakikat
    Yang merupakan sumber hayat
    36
    Wujil, jangan memuja
    Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
    Juga sia-sia orang memuja
    Tanpa kehadiran Yang Dipuja
    Walau Tuhan tidak di depan kita
    Pandanglah adamu
    Sebagai isyarat ada-Nya
    Inilah makna diam dalam tafakur
    Asal mula segala kejadian menjadi nyata
    38
    Renungi pula, Wujil!
    Hakikat sejati kemauan
    Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
    Berpikir dan menyebut suatu perkara
    Bukan kemauan murni
    Kemauan itu sukar dipahami
    Seperti halnya memuja Tuhan
    Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
    Pun tidak membuatmu membenci orang
    Yang dihukum dan dizalimi
    Serta orang yang berselisih paham
    39
    Orang berilmu
    Beribadah tanpa kenal waktu
    Seluruh gerak hidupnya
    Ialah beribadah
    Diamnya, bicaranya
    Dan tindak tanduknya
    Malahan getaran bulu roma tubuhnya
    Seluruh anggota badannya
    Digerakkan untuk beribadah
    Inilah kemauan murni
    40
    Kemauan itu, Wujil!
    Lebih penting dari pikiran
    Untuk diungkapkan dalam kata
    Dan suara sangatlah sukar
    Kemauan bertindak
    Merupakan ungkapan pikiran
    Niat melakukan perbuatan
    Adalah ungkapan perbuatan
    Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
    Keduanya buah dari kemauan

    BalasHapus
  40. NAMA : SITI SAPARIDAH
    NIM : 2102408047
    ROMBEL : 02


    Serat Nitiprana Piwulang Budi Luhur

    Serat Nitiprana anggitane R. Ng. Yasadipura (1729-1803), mujudake salah sijine serat piwulang tumrap para mudha tumuju marang budi kang luhur. Karya sastra iki mung cendhak wae, yaiku mung sak pupuh (Dhandhanggula), dumadi saka 48 pada. Saka babon asline kang tinulis mawa aksara Jawa, dening Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ing taun 1979, kawetokake edisi aksara Latine kang transliterasine ditindakake dening Kamajaya.

    Ing pada kapisan kaandharake menawa karya sastra iki tetembungane kawangun tetembangan, kanthi sastra campuran antarane Jawa lan Arab. Dene babon piwulange saka tanah Arab kasempalake saka kitab Sifat Ul Ulaka. Piwulang antarane Jawa lan Islam ora ana sisip sembire, sakarone jumbuh, kepara tumbu oleh tutup.

    Para mudha menawa niyat nggayuh budi kang luhur, kang sepisanan den lakoni, yaiku tansaha laku becik. Tumindak kang bener, linambaran ati sabar. Ati kang sabar nyengkakake nggayuh ati kang suci. Saka ati kang suci iki bakal mancar kasukcen marang dhiri pribadhi lumeber mring kiwa tengene. Ati kang suci bisa nulak tekane azab kang ala.

    Ati kang suci minangka kuncine. Ngendhaleni nafsu kang ala, cumaket marang samubarang kabecikan lan bebener. Ora tedhas klawan pambujuke setan. Ati kang suci minangka pawitane. Nyedhak ndedonga mring Ingkang Kuwasa. Gusti enggal ngijabahi mring sadhengah panyuwunan.
    SIFAT PITU

    Kajlentrehake yen wong kang luhur utawa asor budine iku bisa kasemak saka tandha-tandha ing badane, yaiku solah tingkah lan tetembungane. Wong kang wis putus bebudene, katandha nduweni sifat pitu, yaiku:

    1. Nadyan diala-ala dening liyan, ora nedya genti gawe ala, malah kepara males kabecikan. Atine tansah binuka mring sasami lan sugih pangapura.

    2. Atine tansah madhep manteb mring Gusti Allah. Ngregani marang wong kang gawe kabecikan marang dheweke. Andhap asor marang sapa wae. Ora nedya gawe pitunaning liyan.

    3. Seneng marang solah tingkah kang becik lan nyingkiri panggawe kang ala.

    4. Bisa ndhahar ature liyan kanthi tetimbangan kang permati.

    5. Apa kang ingucap tansah dhidhasari dening tetimbangan kang gumathok.

    6. Seneng olah pikir, tansah ndedonga, lan eling yen wong urip iku tekane ngendon bakal kapundhut.

    7. Menawa ngalami musibah dilakoni kanthi sabar minangka ujian saka Gusti Allah.

    Semono uga tandhane wong kang asor ing budi, uga dumadi saka sifat pitu, yaiku:

    1. Yen guneman cal-cul ora dipikir kanthi permati lan sak gunem-guneme tansah natoni atine liyan.

    2. Sombong, congkak, geleme srawung milih-milih wong, mung sing dianggep padha drajate wae sing disrawungi.

    3. Kurang sopan santun, kepara gonyak-ganyuk ing pasrawungan.

    4. Gampang nesu lan aten-atene keras marang sapa wae.

    5. Drengki, srei, jahil, methakil, seneng pradul, adu-adu, lan adol gunem.

    6. Sarwa sulaya yen diajak gawe becik.

    7. Yen ketaman musibah kakehan sambat, ora sabaran.


    MAKSIYAT TELU

    Sabanjure katerangake, klebu laku utama jroning nggayuh budi luhur, ing antarane yaiku sifat tinarbuka lan ora ana kesele luru ngelmu, becik ngelmu kadonyan apa dene ngelmu agami. Drajat pangkat kang dhuwur durung njamin kamukten lan kamulyan. Kabeh iku mau isih kudu linambaran kanthi madhep manteb pasrah mring Gusti Allah. Manteb anggone bekti marang Gusti, pasa saperlune, tafakur kanthi ngurangi turu, sarta ndonga kanthi khusuk.

    Saliyane iku, den simpangi anane maksiyat kang telu. Sing jeneng maksiyat iku ora mung malima (main, minum, madon, madat, maling), isih ana maksiyat sing luwih mbebayani tumrap jiwa. Maksiyat cacah telu mau yaiku potang kanthi nganakake dhuwit (lintah darat), nampa punjungan kanthi sarat (suap/pungli), lan goroh jroning bakulan (ngelongi timbangan). Maksiyat kang telu iku ngasilake dhuwit riba, kang ora pantes tumrap wong kang nggayuh bebuden luhur.

    Dhuwit riba bisa njalari dalane pepati dadi peteng. Jroning sakaratul maut, riba ngaling-alingi lakune ati kang padhang, nuwuhake rasa bingung, samubarang dadi rumit, nyawa mlayu tanpa tujuwan, tanpa gondhelan, ora ana sing paring pitulungan. Mula diati-ati, amrih dalane pepati mengko padhang jingglang. Bener lan pener lakune ruh.

    Budi luhur tumuju mring pepati kang padhang. Padhang atine, padhang dalane. Piwulang marang pepati kang padhang ora bisa digawe gampang. Sarate ngudi ngelmu lan kawruh rina klawan wengi, tarak brata ngedohke laku asor, ngendhaleni aluamah, nggusah sombong lan srakah, nyencang amarah lan supiah.

    Ana maneh kang kudu disiriki. Aja sepisan-pisan ngehaki barang kang ora sah manut hukum, yaiku warisane wong cethil lan wong kang seneng gawe pitenah. Amrih ora nemoni kacilakan lan kasangsaran selawase.

    Duwea watak sabar lan tawakal. Wong sabar lan tawakal bakale nemoni kabahagyan lan keslametan. Slamet lan bahagya iku mancarake kabecikan. Sing becik bakale nggawa manfaat, nekakake anugrah kang agung. Anugrah iku wahyu petunjuk saka Gusti Allah. Iki sing utama. Anugrah Gusti asipat asih lan rahman. Asih lan rahman mancarake eling. Eling mancarake makrifat. Makrifat ora liya mujudake asih saka Gusti Allah.

    Sabanjure, laku kang kudu linakonan dening para mudha kang nedya nggayuh luhure bebuden, nuladhaa marang tindak-tanduke Nabi Muhammad SAW. Uga aja nganti keri nyinau sifate Gusti Allah cacah 20. Iku kabeh minangka jangkepe piwulang marang bebuden luhur tumrap wong Jawa kang ngrasuk agama Islam.

    BalasHapus
  41. Latifah Nur Hasanah14 April 2009 pukul 17.18

    Nama :Latifah Nur Hasanah
    NIM :2102408125
    Rombel :4



    SERAT NITIPRAJA

    April 30, 2008 pada 9:11 am (SERAT NITIPRAJA)

    WAWASAN KENEGARAAN
    SERAT NITIPRAJA

    Karya Sultan Agung Hanyakrakusuma

    A. KEWAJIBAN APARAT NEGARA
    Dandanggula

    1.
    Kandya ing sagaraagni
    rasaning driya ika sangkala
    duk linakwan panyarike
    Nitipraja ingapu
    punang minda prasida ngawi
    amiyateng sarira
    anglengkara punggung
    kuwawi peksa utama
    kyehning jana prawita tan wigati
    kedah ingalem bisa.

    2.
    Arti artati palupa lupi
    jurang sengkan daratan linakyan
    ewuh kang munggeng sanane
    mangkana ing tumuwuh
    dipun emut kramaning dadi
    satataning wong praja
    den kapti kawengku
    reh nin amawi sujana
    silakrama rembugen dipun nastiti
    dadi saekapraya.

    3.
    Sampun gingsir silakrama yekti
    ilang kelangan dadya kapapan
    puwara nista regane
    dumadak api tan wruh
    lamun sira wruh ing paranti
    raganira lir retna
    ing sela dinulu
    dadaren sadina-dina
    sampun tungkul ing silakrama prayogi
    yadyan delinging raga.

    4.
    Yensira tiningkah ing bupati
    rinaket ing nata raganira
    den kadi surya padange
    gumantya dipun anut
    manahira dipun aening
    myang kadi ta samudra
    pamotireng uruh
    rehira menawi santana
    kawruhana lwir arsaning taru malih
    mangsaning labuh kapat.

    5.
    Mendung gledek tibaning riris
    kang den pinta dening bala kuswa
    den tahenaken awake kajawahan angrembuyung
    enggar inggar gambira amrih
    kula busana boga
    wanita denyungyun
    iku den sabda ing bala
    dinadara ing danakramaning dasih
    supaya janma sunya.

    6.
    Pangging panggihaning jalma singgih
    yen sinewaka ing panangkilan
    pepak satanda mantrine
    sampun age amuwus
    lamun sira tan pesthi linggih
    dalanipun tan kontap
    dening bala sewu
    rakiten dukaning tingal
    den agalak amanis liyeping aksi
    sawungen ing jro nala.

    7.
    Adeping tyas ing bala den kaksi
    saderenge matur den kadriyan
    wit tan tekeng wekasane
    den pasti sira lungguh
    lamun angling sita den angayuh amakanka ing ati
    pamunahing wardaya.

    8.
    Antinen aturing tanda mantri
    lamun tan kari anuhun nabda
    wongen saatur sembahe
    mangkana reh ing prabu
    anemahi lara tan angling
    reh ing agnyana moda
    solahe den wengku
    among winong sanaliko
    tinalika panalika den prayogi
    sampun lali pinangka.

    9.
    Geleng-gelenging nala kalingking
    sakyehing pancadriyan ing jagad
    iku minangka mungsuhe
    muwah kyehning pakewuh
    lamun ana putusan prapti
    layang diksura basa
    tanukseng pupucuk
    coba-cobaning widagda
    saandika upayane wong tan yukti
    wruh saingering jagad.

    10.
    Lamun sira tinitah nrepati
    wonten ta kecaping nitipraja
    nista madya utamane
    nista reke jentan wruh
    ing durgama mungsuhe prati
    katungkul ing pamgulah
    den reksa ing ayun
    ajrih kang wong kalungsura
    jenegipun gara-gara babo wani
    asanggup ing ayunan.

    11.
    Punika reke nistaning patih
    api tan wruh yen dadi ngayunan
    tur tan kena ing atine
    sanggupipun maledug
    abang lambe waduk maleting
    waduk sadaya-daya
    kanggep aturipun
    tan etang rusaking praja
    pikiripun rusaking kawula alit
    agnyananebrahala.

    12.
    Ambek katah atur angenteni
    amrih keringan rewang sapangan
    kumingsung peksa angene
    lali ulahing mungsuh
    tan samnya kalawan mantri
    kadi ulung muluk ing tawang tumiling
    anambar ing mangsanya.

    13.
    Gelehing jaba ing jronya mesi
    nagasesa upacara dunya
    patining wong kang den-ame
    dunyane kang den itung
    lir adagang pangidepneki
    pangalape parentah
    pawitane sanggup
    panganyanging pangayunan
    atur setya lenggananipun tan sipi
    wetek denya mikena.

    14.
    Patih madya den tuhu nastiti
    anglampahi saandikanira
    rumeksa ing bala kabeh
    tan mengeng ring sakayun
    giwang-giwang nala tan wingwrin
    anulad trepning praja
    amrih beneripun
    tan aderbe manab purba
    nora alpa tan amisesa ing alit
    trus arjaning jagad.

    15.
    Patih utama yen animbangi
    tampa tumampa sahinggekira
    wruh kramaning rat semune
    solah sengel ing tuwuh
    wus gumanti ana ing patih
    rehning anata praja
    prayane pakewuh
    iku utameng utama
    yeku reke patih kang amengku bumi
    amrih arjaning jagad

    B. HUBUNGAN RAKYAT DENGAN NEGARA

    16.
    Tan asimpen ing arta sademi
    ratna salaka busaneng mulya
    lumrah ing nata prabune
    tuhu setya mring ratu
    tyasnya pejabaperang sabil
    tan adarbe wong sanak
    tan anacad satru
    sami tan amilih papan
    yen ginunggung tan giwang cinacad sami
    dening suka pracaya.

    17.
    Tata tate pingging
    bobot repoting suka kaliwat
    wani lagaweng patine
    ambek susila ayu
    karaketaning wong kaswasih
    wateknya dana dina
    donyane tan ketung
    dening wong ingkang pradana
    tuwin bala santana myang tonda mantri
    sinaosan karsanya.

    18.
    Sakatahing tonda mantri asih
    Rukun-rukun lir saudaranya
    Rempu rineping ratune
    Mamulenira tulus
    Datan wonten kang manah jail
    Sakyehning bala kuswa
    Padha jrih alulut
    Pangengeting nitipraja
    Sampung tungkul ing patih ambek sudarmi
    Keneng sandi upaya.

    19.
    Wonten ta papatih rajeng Mesir
    umung kaloka tinpenepa
    koja jajahan wastane
    saha bala kawengku
    saparentahira ngecani
    para ratu kabala
    samya jrih alulut
    sakatahing para nata yen sewaka sinamudaneng
    anulya sinambrama.

    20.
    Sinugatan kyehing tonda mantri
    para ratu ayun aseba
    tiniwukan sakarsane
    busana wastra duwung
    sabuk gonda sekar sumaji
    tekeng jawi kawratan
    baksana lumintu
    samampune andrawina
    samya medal asewaka sri bupati
    koja limayeng wuntat.

    21.
    Titiga panakawanireki
    kang ambekta cis upacaranya
    kaskul lawan lulungguhe
    akampuh wastra lusuh
    akulambi tambal respati
    sabukipun kalekah
    sampetipun wulung
    akris landeyan bengukan denya patih katungkul susilanya di
    patine keneng cidra.

    22.
    Sayogyane ing rekyana patih
    sampung katungkul ing manab tunggal
    rasanane ing karone
    jroning tyas den rahayu
    wajangena isineng bumi
    myang sakotanging singa
    prayatneng pakewuh
    away gampangaken mongsa
    yen andhikep gajah banteng
    lawan kancil
    den sami prayitnanta.

    23.
    Lamun sira ingandel ing gusti
    kinarya jaksa dening sang nata
    den traju lumehe
    den-tajem timbangipun
    papakemesampun gumingsir
    aja melik ing dunya
    yen tan beneripun
    away kengser ing sarana
    yen gingsira dadya sureming nagari
    sampun simpen welasan.

    24.
    Wruha sira ing arta sademi
    gora sabda wisa madukara
    estri ayu cendalane
    jaksa lir geni murub
    paliwara lir wreksa aking
    jajeneng kadi tumang
    wangwanepamuwus
    kukusipun lamat-lamat
    kang apadu lir mina aneng jro warih
    kalebu ing babara.

    25.
    Linudang mentas keneng piranti
    pinecatan ginirah ing toya
    den-berasih kukumbahe
    ratengana lan tutur
    ragenana kalawan said
    panggangen lan pariksa
    godog geni murub
    urube nirna nirmala
    ing ajeksa jajeneng paliwareki
    tan dora setyeng nata.

    26.
    Jeksa jajeneng paliwareki
    rumangsaa yen sinilah sabda
    eningi ratu adile
    jaksa angganing ratu
    amariksa sing sanagari
    srem sureming praja
    yen tan beneripun
    kang kocap ing nitipraja
    nista madya utama yen jeksa ening
    tan ayun ing ruruba.

    27.
    Madyaning jeksa lamun lumiring
    atari-atari atatarenan
    amrih bener
    ing wong akeh
    sakyehning jaksa pungkur
    angriringa denya met asil
    kadya merang ingobar
    sinebar ing ranu
    lir pagul denya met mongsa
    jroning toya jembare den dalajahi
    tan liyan saking toya.

    28.
    Nistanya lamun jeksa miranti
    arakit basa kramaning cidra
    anunuwe tan aserah
    alingan ing gumunggung
    apa sira ta kaya mami
    denya amet pasilan
    sajroning alungguh
    buktine daun salembar
    iya dening taneman kang den-ulahi
    angulap bawaning lyan.

    29.
    Akeh bawane wong amet kasil
    panyarikan alingan karopak
    pucuking pangot pamete
    sarati lingan angkus
    pande emas alingan agni
    sungging alingan warna
    lwiring tuwaburu
    malah mung anilih wana, upamane
    angidang wruh anjaringi
    amasang kalitida.

    30.
    Agung alit myang titindih wukir
    maya-maya denya ngungsi guna
    waneh alingan tapane
    tunggal kang dipuntenung
    kadi peksi krenda tumiling
    denya amet kasab
    lir mina gegenjonglemesing raga lit
    anungkelang tajinya.

    C. DESENTRALISASI KEWENANGAN

    31.
    Enget-engeten kramane dadi
    atwa tungkul ing suka kawiryan
    den wruh pranataning raje
    tata titining ratu
    ingkang lumrah ing sanagari
    saringen jroning nala
    lumrah tekeng dusun
    subakramaninging sarira
    away sanak lan durjana away kongsi
    kidang kari alasnya.

    32.
    Aparek kalawan wong sinelir
    kang kaparek denira nata
    bebetnya kullabangsane
    palane yen amuwus
    yen kawetu dipunlinggihi
    kadi kengser ing singa
    sang nata anut
    kengsering singa agalak
    kang den mongsa yekti naga boganeki
    wija-wija putranya.

    33.
    Pratamaning janma kang sinelir
    angawula ing prabu satmata
    sampun langganeng karsane
    kinena sira mengkul
    ing gulune singa den aglis
    rangkulen aja kemba
    yen kinen angambung
    pipining naga angelak
    nulyambungen aywa gumingsir ing ati
    antuk jenenging praja.

    34.
    Wija tuwuh patra tiksna lungid
    aglar ing sira kinen narajang
    trajangen aja suwe
    tan ana bayinipun
    nadyan sira tumekeng pati
    amanggih karaharjan
    ing delahan besok
    angrasaa pakoning hyang
    nata prabu kinarya jalaning sih
    darma mona kewala.

    35.
    Eling pakeling away ta lali
    ing duduga kalawan prayoga
    pinet saking panengare
    myang cipta nateng semu
    lamun wonten ujungan ing ling
    gutuk lor kena wetan
    kulon kena kidul
    enggok wangsul amikena
    kedap-kedap kocaking netra lan alis
    wus karsa wisakrama.

    36.
    Tatraping tyas wruh kang pinilih
    ing sujana wigneng parahita
    lumaya minuladi lide
    sandining krada nempuh
    saha ganda prananing aksi
    amunah-munah krama
    saekaning guyu
    pracara oneng sadina
    nirantara soba sobanira amrih
    byak krasa wisakrama.

    37.
    Darma darma ing asaba puri
    Lamun ingandela saba pura
    Den kadi wana sonyane
    Anglila-ngila mangu
    Sirnakena rasaning ati
    Jumen paninggalira
    Celekeneng ratu
    Sakatahe kang kawuryan
    Tunggalena lan warnaning sri bupati
    Yeku wignyaning nata.

    38.
    Sampun araket dening pawestri
    jroning pura yeku madu wisa
    estr pura sakarsane
    estri salokanipun
    tirta suda sagara agni
    bahni wresa angarang
    puspa wiguneku
    antya wilewi lwirwira
    tirta banyu sagara wus angarani
    tan wareg deneng toya.

    39.
    Bahni tan wareg ing kayu aking
    wus pandita guna kagunanya
    antya wilewih karsane
    myang wiku pandita gung
    nora nana wareg ing ngelmi
    mangkana ing wanita
    tan amilih kakung
    kakung tan anampik ing dyah
    wisanipun kakung araket pawestri
    yen tan tajem ing praja.

    40.
    Kadi sela panggarisan rukimi
    teguh tuhu sungana dana
    ingriku reke pawore
    sarasane katemu
    gatra-gatra susah kang ati
    anyipta nora natya
    tuwin yen amungsuh
    dening wani tantya mukya
    kang tinohan
    tinuku kalawan jurit
    tan etang patyan pinatyan.

    41.
    Lamun sira rineka pawestri
    kinaryan gedong dening sang nata
    samunira den alumeh
    den lila ing sakayun
    myang salokanira kapanggih
    dadi garwa pawitan
    netyanireng kakung
    angrasaa yen amungsuh
    dening wani tantya mukya
    kang tinohan
    tinuku kalawan jurit
    tan etang patyan pintyan.

    42.
    Ajwa ngangge wastra ingkang adi
    anganggeya langsaran sadina
    sampun awiraga mangke
    lawan sampun akusut
    den prasetya ing manah anglih
    asaji-saji karsa
    nira sang aulun
    nilik tiliken jro pura
    den kareksa ulah kawanen jro puri
    samaptanen ing karsa.

    43.
    Wibuhing dunya ambekta lalis
    kedaping tyas sinukan sarana
    gumunggung tan wrin mulane
    lega umpeging kayun
    dene dereng manah kang jati
    anggungaken sasira
    mungkureng rahayu
    gingsiring apawong-sanak
    kang kadulu manising retna sakundri
    gumiwang ing prasetya.

    44.
    Sudra-sudraning kang cidra singgih
    papa ing papa pinapa ing rat
    lir dangdang amongsa wangke
    munggeng setra anguwuh
    mencok ing pang ragas tur aking
    tur sarya anggaruda
    wankenya den-gilut
    tumiling sarya anglayang
    lincak-lincak den antun panganereki
    medun anucuk singgat.

    45.
    Kawruhana ing dunya puniki
    ingkang dadi wigenaning raga
    yen luputa prakarane
    lir kembang palwe ranu
    dadya labuhpalwanya miring
    gonjing katempuh ngalang
    ombak aggung nempuh
    prayogane darbe arta
    priyen dadi layar kamidining amrih
    prapta ingkang senedya.

    D. KETANGGUHAN BIROKRASI

    46.
    Ewuh ing dunya yen tan kalingling
    kaba-kaba ingaksi kawuryan
    dereng wruh yateng sangkane
    brahala munggeng tuwuh
    lilinyokan denira angling
    gumunggung sapa sira
    tan kaya kadingsun
    kebek matingting mutingkrak
    lamugawa amrih kalokeng sabumi
    artane dadi pikat

    47.
    Datan mangkana kang sampun singgih
    tan kumedap tinggale ing dunya
    sugih datanpa duduwe
    tuhu arjeng tuwuh
    ing praja kasusilanya
    asiluman ing boga wastra pawestri
    paesaning narendra.

    48.
    Gati-gati pranata atiti
    lamun sira kinarya kongkonan
    iku apringga tindake
    imba caraning ratu
    anambada karsanya mesi
    rakiten semunira
    angrasaa sri bupati
    salirning prakaranya.

    49.
    Lamun sira angutus amawi
    layang pupucuking dura praja
    den kawengku pilepase
    tindake den kadulu
    away sira ngumbar praniti
    ing watara duduga
    prajaga den-ketung
    iku traping nitipraja
    yen ingutus angambah liyanagari
    nagara lyan sasmita.

    50.
    Andhingineno loka den titi
    amengkuwa saking awakira
    prapta mring prajane dewek
    lamun sira wis rawuh
    ing jajahan myang tepis iring
    angrungukena warta
    den ragi asamun
    ing semu dipun asamar
    away metu ing tutuk denira amrih
    taping tindak lir angsa.

    51.
    Sampun adres anggupita angling
    asring gumuyu ilang titinya
    sigung kasigug temahe
    mangkana yen wus rawuh
    ing nagara dipun respati
    tan pen tindak lakunya
    away nolih pangkur
    sampun amicareng marga
    layangira embanen kalawan samir
    taping tindak lir angsa.

    52.
    Ulatira den darpa amanis
    pangucapira den tibeng madya
    den atambuh aywa gupe
    ing semu den aruhur
    yen tinampan layangereki deng angriringen nala
    ya iku pakewuh
    upamane lir antiga
    ingapit ing sela sumaya arti
    jabang mangilo jurang

    53.
    Turukena layangireki
    den kadi paksi teka ing tawang
    anglayang mencok aleren
    ing tahen sekaripun
    tunjung-tunjung telaga sari
    ibek madune kentar
    kabyaktan tumiyung
    tumampa ing wilapanya
    kang pinaran prihen sukanira wrinwrin
    duga-duga wilasa.

    54.
    Parekena lan dohena ing sih, kareketana
    saking kadowan sira tanpa ling-aling
    away kabenten gelar
    ginutuk lor kidul
    mangulon den-prih kang wetan
    kang wetan yen mangalor kang kidul dipun kaaksi
    den anyraka.

    55.
    Yen sira lungguh dipun nastiti
    kula dyatmika susila krama
    ikuduta kang angene
    imba caraning ratu
    yen atanggap wawales gipih
    tumulya pinamitan
    tan itung ing enu
    rahinten dalu lumampah
    tanpa yun asalah kapti sireng margi
    datan mampir ing wisma.

    56.
    Lamun prapta ngayunaning gusti
    dipun samepa ing tinggal tunggal
    matura ing tingalane
    sarta pupuk semu
    mamandapanira den aglis
    dipun ririh ingarsa
    nira sang aulun
    atur serat wawalesnya
    layangira iriden pucuk ing wuri
    yen kagyana turena.

    57.
    Muwah kawula amonca bumi
    tan beda mangkana lekasira
    ewuh yen lan sasamine
    kang samya bupatya gung
    asisyan asilih ukih akintun-kinintunan
    myang ujungan semu
    tan wonten kang kasorana
    madyantara iku layange yen prapti
    katoreng narendranya.

    58.
    Titi yen gusti mareng kang alit
    tewi kawula matur sang nata
    titi tata sasane
    mangkana ing liripun
    ing amawi layang kikirim
    mareng sanak wong sanak
    sampun salah liru
    ing guru gusti sasamanya
    wong atuwa sinama kramanireki
    titi lwir ing kramanya.

    59.
    Pranatane angawula singgih
    lamun sira ayun asewaka
    bilasen ragane kabeh
    ngambila toya wulu
    anganggeya kang sarwa suci
    acalanaa petak
    asabuka dadu
    krisa parung rarancaban
    asubuka ubed tiga sira kaki
    lilisaha gagonda.

    60.
    Lamun prapta pasowan asri
    apalinginyan rowang sapangan
    amiliya satimbange rewangira alungguh
    kang prasama sama nampani
    dadya saeka prana
    tunggal sabayantu
    sampun arebat kawignyan
    silih ukih akudon arebut kawi
    pala cacengilan.

    E. MEWUJUDKAN NEGARA SEJAHTERA

    61.
    Jeroning paseban adep ing pati
    weruhanira gening pasamuan
    arsaning ratu unguhe
    suko duka tinemu
    ing ayunanira nrepati
    iya kudu winenang
    anggunganing tuwuh
    asung jenenging kawiryan
    anurada anrapaken larapati ratu jalaraning jiwang

    62.
    Away kandag denira aningali
    trusa rena kebing panarima
    den kadi ringgit regane
    duk aneng keliripun
    pandan muncar sira tinggali
    wayang kelir kawangwang
    gamelane umung
    tan pegat denya welasan
    kang anonton asmara kandenging kingkin
    waneh kandeg ing wayang

    63.
    Kang sawaneh kandeg aningali
    kandeg dening swaraning gamelan
    waneh kandeg ing damare
    waneh kayon dinulu
    tanpa ngucap anukmeng kelir
    dalang ing tan kuningan
    aringgit sawegung
    rainten dalu awayang
    paringgite dalang wignya tanpa tanding
    cipta wibuh ing praja

    64.
    Amuroni pawayangereki
    awalesan ing sapta akasa
    ing sapta bumi wignyane
    apadudon dinulu
    tan seng tunggal lamun kaaksi
    tunggalipun tan tunggal
    lwir nitir parajeku
    kang raga aglar ing bala
    kyan rakyana apatih timbalaning sih
    aparentah ing praja

    65.
    Tumibeng bala punggawa sami
    anubon ing timbalnira
    apatih sawangkone
    wong dadosan yan tuhu
    tinrapaken ing lara pati
    lamun tuhu ginanjar
    winehan sakayun
    kalabe sang niti praja
    sing sapa weruh ing raga sasamaneki
    pakartine raharja.

    66.
    Kaya ta sira yen amatinggi
    lumakyeng desa aseba karang
    den karesa drigamane
    galeng wates ing dusun
    langlangana rabina wengi
    dursila den kareksa
    anudaa laku
    anggempala sakaraman
    kang atunggu rumekseng watesireki
    lalaren saben dina

    67.
    Anjenengana langar den apti
    arepana karajan ing doya
    ingkang awening bejine
    angungkurena gunung
    myang pagagan tegal kang asri
    munggeng ayuning desa
    myang walabar agung
    mungeng tepine kang desa
    peringena rawa susukuning wukir
    yeku sira sedya.

    68.
    Legawaa ing boga myang bukti
    ing rewangira wong adedesan
    turutana sakarsane
    ing kasenenganipun
    karang pecal lebak lan wukir
    tunggulana kalawan
    sela watesipun
    myang wana ing parungbutan
    sampun cidra ing reh denira marinci
    tambangen lalakonya.

    69.
    Buktining kaum dipun kapeksi
    kang rumeksa ing wektu lilima
    den tulus pakarangane
    pencinipun den gemuh
    lan srahena jakatireki
    muwah lan pitrahira
    srahena ing kaum
    myang kadi kadi tanem tuwuhnya
    sedyakena ing ratu myang panditeki
    den anggunggung wong tapa.

    70.
    Lan sedyakena ing pikir miskin
    kawula ina kang kapradana
    ing anak yatim prenahe suka wirya ng tuhu
    yen arekat lan wong kaswasih
    teluk ing apadita
    sumungkem ing ratu
    parikudu ing tamiyan
    sasamine islam den sugata gati
    sakrama dipun enggal.

    71.
    Lan mailih ing wong karama rahi
    anggung gumunggung buru aleman
    angulati satimbange wales winalesing yung
    urmat ingurmatan sireki
    iku wateking setan
    brahala den-temu
    adoh ing pekir kasiyan
    kasengite andulu wong kawla-asih
    raket ing wong sudagar

    72.
    Pemut ing nitipraja den kesti
    sayogyane ing jalma katilar
    ing yayah rena regane
    away sira andunung
    wong acukit adulit sami
    akumbah akarakah
    amutrah angebur
    anurun tejaning muka
    sampun sira kadunung sudagar singgih
    angayar-ayar dunya.

    BalasHapus
  42. NAMA : EMUT SUBEKTI NINGSIH
    NIM : 2102408029
    ROMBEL : 1

    WIRAYAT JATI

    Translation by M. M. Medeiros and Mastoni


    Anenggih punika pituduh ingkang sanyata, anggelaraken dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, winiwih saking pamejangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitedhah kasajatining kawruh kasampurnan, tutuladhan saking Kitab Tasawuf.

    Panggelaring wejangan wau thukul saking kaweningan raosing panggalih, inggih cipta sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wedha ing pangandikaning Pangeran dhumateng Nabi Musa, Kalamolah, ingkang suraosipun makaten:

    "Ing sabener-benere manungsa iku kanyatahaning Pangeran, lan Pangeran iku mung sawiji."

    Pangandikaning Pangeran ingkang makaten wau, inggih punika ingkang kawedharaken dening para gurunadi dhumateng para ingkang sami katarimah puruitanipun.

    Dene wonten kawruh wau, lajeng kadhapuk 8 pangkatan, sarta pamejanganipun sarana
    kawisikaken ing talingan kiwa.

    Mangêrtosipun asung pepenget bilih wedharing kawruh kasampurnan, punika boten kenging kawêjangaken dhateng sok tiyanga, dene kengingipun kawejangaken namung dhumateng tiyang ingkang sampun pinaringan ilhaming Pangeran, tegesipun tiyang ingkang sampun tinarbuka papadhanging budi pangangen-angenipun (ciptanipun).

    Awit saking punika, pramila ingkang sami kasdu maos serat punika sayoginipun sinembuha nunuwun ing Pangeran, murih tinarbuka ciptaning saged anampeni saha angecupi suraosing wejangan punika, awit suraosipun pancen kapara nyata yen saklangkung gawat.

    Mila kasêmbadanipun saged angecupi punapa suraosing wejangan punika, inggih muhung dumunung ing ndalêm raosing cipta kemawon.

    Mila inggih boten kenging kangge wiraosan kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos, inggih ingkang dereng kepareng angsal ilhaming Pangeran.

    Hewadene sanadyana kangge wiraosing kaliyan tiyang ingkang dereng nunggil raos, wedaling pangandika ugi mawia dudugi lan pramayogi, mangertosipun kedah angen mangsa lan empan papan saha sinamun ing lulungidaning basa.

    Menggah wontening wewejangan 8 pangkat wau, kados ing ngandhap punika:

    Wewejangan ingkang rumiyin, dipun wastani: pitedahan wahananing Pangeran, sasadan pangandikanipun Pangeran dhateng Nabi Muhammad s.a.w. Makaten pangandikanipun:

    Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun sajatine kang urip luwih suci, anartani warna aran lan pakartiningsun (dat, sipat, asma, afngal).

    Menggah dunungipun makaten: kang binasakake angandika ora ana Pangeran anging Ingsun.

    Sajatine urip kang luwih suci, sajatosipun inggih gesang kita punika rinasuk dening Pangeran kita, mênggahing warna nama lan pakarti kita.

    Punika sadaya saking purbawisesaning Pangeran kita, inggih kang sinuksma, tetep tinetepan, inggih kang misesa, inggih kang manuksma, umpami surya lan sunaripun, mabên lan manisipun, sayekti boten saged den pisaha.

    Wewejangan ingkang kaping kalih, dipun wastani: Pambuka kahananing Pangeran.

    Pamejangipun amarahakên papangkatan adeging gesang kita dumunung ing dalem pitung kahanan, sasadan pangandikanipun Pangeran dhateng Nabi Muhammad s.a.w. Makaten pangandikanipun: Satuhune ingsun Pangeran sajati, lan kawasan anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika saka karsa lan pêpêstheningsun, ing kono kanyatahane gumelaring karsa lan pakartiningsun, kang dadi pratandha.

    Kang dhihin,
    Ingsun gumana ing dalem awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa wekasan, iya iku alam Ingsun kang maksih piningit.

    Kapindho,
    Ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun dumunung ana ing alam pasenedaningsun.

    Kaping telu,
    Ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan dadi rahsaningsun, dumunung ana ing alam pambabaraning wiji.

    Kaping pat,
    Ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaningsun, dumunung ana ing alaming getih.

    Kaping lima,
    Ingsun anganakake angen-angen kang uga dadi warnaningsun, ana ing dalêm alam kang lagi kena kaumpamaake bae.

    Kaping enem,
    Ingsun anganakake budi, kang minangka kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing dalem alaming badan alus.

    Kaping pitu,
    Ingsun anggelar warana kang minangka kakandhangan sakabehing paserenaningsun. Kasebut nem prakara ing dhuwur mau tumitah ana ing donya iya iku sajatining manungsa.

    BalasHapus
  43. Nama : Rizka Dwi Febrianingrum
    NIM : 2102408095
    Rombel : 4



    Yasadipura

    Salah satu karya terkenal dari pujangga Yasadipura I adalah Serat Bratayuda. Karya pujangga yang secara konvensional dianggap sebagai pelopor renaisans kesusasteraan Jawa itu adalah karya terjemahan abad delapan belas dari kakawin klasik Jawa Kuno abad kedua belas. Kakawin klasik yang diterjemahkan Yasadipura ini sendiri sebenarnya adalah suatu terjemahan dari klimaks wiracarita Mahabharata.

    Serat Baratayuda versi Yasadipura I ini mengilhami seorang sarjana Belanda bernama A.B. Stuart Cohen untuk menyusun sebuah edisi filologi atas karya sastra Jawa. Karya Cohen terbit pada 1860 dengan judul Brata-Joeda, Indisch Javaansch Heldendicht. Ternyata, edisi filologi ini merupakan edisi filologis atas karya sastra Jawa yang terbit pertama kali. Untuk karyanya ini, Stuart Cohen diberi penghargaan oleh sementara orang sebagai salah seorang yang paling layak untuk ditahbiskan sebagai “Bapak Filologi Jawa”.

    Tapi bagi Cohen sendiri, karya filologisnya itu justru dianggap sebagai karya yang tak terlalu penting, bahkan ia sendiri memandangnya sangat memalukan. Di bagian pendahuluannya, Cohen bahkan menyebut Yasadipura I sebagai pujangga yang terlalu dungu untuk diserahi tugas menerjemahkan sastra Jawa klasik ke dalam sastra Jawa baru.

    Cohen berkali-kali meminta maaf karena telah menyajikan suatu telaah atas materi sastra yang dianggapnya begitu rendah, membingungkan dan hanya bermutu blasteran. Dia juga menerangkan bahwa dirinya jauh lebih senang mengerjakan telaah atas syair-syair sastra dari abad dua belas masehi. Cohen berdalih bahwa ia melakukan itu karena perintah dari kantor Masyarakat Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan (Verhandelingen van het Bataviassch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen).

    Pernyataan Cohen di atas, yang menyatakan jauh lebih menyenangi menelaah karya sastra Jawa abad dua belas (Jawa Kuno), adalah bibit-bibit pendistorsian secara sistemik atas khasanah kesusastraan Jawa Baru. Kesusastraan Jawa Baru adalah sebutan untuk perkembangan mutakhir sastra Jawa yang lahir pasca perjanjian Giyanti (1755) yang secara permenen membagi Jawa ke dalam tiga teritori berdaulat (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran). Sastra Jawa Baru ini dicirikan oleh gelombang besar penerjemahan sastra Jawa Kuno ke dalam syair Jawa Baru.

    Dari situlah konsep reanaisans kesusasteraan Jawa muncul. Sesuai dengan namanya, renaisans kesusasteraan Jawa adalah masa di mana keagungan sastra Jawa Kuno yang telah lama sirna telah terlahir kembali. Renaisans ini ditandai oleh, itu tadi, penerjemahan nakah-naskah kuno ke dalam syair Jawa Baru oleh para pujangga Kraton Surakarta. Seperti yang akan kita lihat, konsep renaisans ini ternyata bias. Bias ini terlihat secara implisit dalam kata-kata Theodore Pigeaud tentang renaisans kesusasteraan Jawa sebagai “keberpalingan perhatian para cendekiawan Jawa dari naskah-naskah keIslaman ke kakawin-kakawin Jawa Kuno”.

    Islam kemudian menjadi terhukum dari apa yang disebut oleh sarjana-sarjana Belanda itu sebagai “kemunduran kesusastraan Jawa”. Di awal menguatnya Islam, elit-elit agama itu dianggap bertanggungjawab atas lenyapnya sejumlah besar naskah-naskah sastra Jawa kuno. Banyak cerita-cerita (yang setengah legenda) menuturkan bahwa ketika Sultan Demak berhasil merebut kraton Majapahit, sultan itu lantas menyerahkan kraton dan seisinya kepada para pengikutnya untuk dirampok dan atas perintahnya smeua buku buda dibakar. Yang dimaksud buku buda adalah naskah dari periode Hindu-Jawa yang dianggap keramat.

    Sejak itulah, sastra Jawa dianggap berpaling dari keasliannya, dan berpindah ke corak Islam yang dianggap blasteran, tak bermutu, tak mencerminkan kepribadian Jawa karena tercemar dengan bunyi-bunyian dan kata-kata dari bahasa Arab. Sejak kedatangan Islam (awal abad 16) hingga akhir abad 18 itulah yang oleh sarjana Belanda dianggap sebagai masa kegelapan kesusasteraan Jawa yang dicirikan oleh suatu budaya sastra Islami yang merambat dari daerah pesisir. Beberapa naskah Jawa yang dipengaruhi Islam itu diantaranya Kitab Sunan Bonang, Primbon Islam, Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Serat Yusup hingga Serat Kanda.

    Maka, ketika terjadi gelombang penerjemahan naskah-naskah Kuno, sejumlah sarjana Belanda yang kebanyakan bernaung di bawah Institut Bahasa dan Sastra Jawa yang dibentuk pemerintah kolonial menyambutnya dengan baik dan menyebutnya sebagai kelahiran kembali keagungan kesusasteraan Jawa Kuno. Hanya saja, penting untuk dicatat bahwa sambutan hangat sarjana-sarjana Belanda itu bukan semata-mata cerminan semangat intelektual yang tulus, melainkan mencerminkan dengan sangat terang bias kolonialisme Belanda.

    Belajar dari kasus pemberontakan Diponegeoro yang membikin Hindia Belanda jadi remuk redam, pemerintah kolonial kian menyadari bahwa sebagai sebuah kekuatan, Islam betul-betul berbahaya. Kesadaran itu berpangkal dari analisis bahwa pemberontakan Diponegoro menjadi dahsyat karena didukung oleh jaringan para kyai di desa yang berhasil mengerahkan demikian banyak penduduk pribumi.

    Ada dua strategi yang diambil Belanda untuk melemahkan potensi subversi kekuatan pribumi. Dengan doktrin pax Neerlandica, kraton-kraton di Jawa dimasukkan dalam hierarki kekuasaann kolonial dan memerlakukan para bangsawan dan priyayi Jawa ke dalam struktur kepegawaian kolonial. Praktis, setelah pemberontakan Dipoengoro, elit-elit Jawa mulai membuang jauh peikiran untuk terlibat dalam urusan-urusan politik (pemberontakan), dan lebih memilih menyalurkan energinya ke ranah kebudayaan.

    Inilah yang menyebabkan strategi kedua pemerintah kolonial berjalan mulus. Strategi ini adalah dengan menempatkan kraton tak lebih sebagai “cagar budaya Jawa” yang terisolir dan terpisah dari massa Islam yang fanatik dan radikal. Di sinilah garis batas itu dibentangkan: kraton berikut berhimpun unggah-ungguh yang feodal sebagai representasi budaya Jawa yang adiluhung di satu sisi dan kebudayaan Islam sebagai entitas kebudayaan rendah yang memang relatif egaliter.

    Maka dibangkitkanlah kembali sastra Jawa Kuno lewat konsep renaisans kesusasteraan Jawa yang menandai berbaliknya perhatian para cendekiawan Jawa ke sumber-sumber “asli” mereka yaitu budaya dan sastra Jawa Kuno pra-Islam. Renaisans ini digembar-gemborkan sebagai proses di mana orang-orang Jawa kembali ke jati dirinya yang asli dan jauh dari pesan-pesan Islam yang penuh kebencian terhadap kolonialisme Belanda.

    Tidak aneh jika muncul pendapat bahwa konstruksi pemerintah kolonial melalui tangan para sarjana Belanda (para filolog) merupakan konstruk ideologis yang membenarkan tindakan kolonialisasi atau penerapan imperium. Benedecit Anderson pernah dengan sangat baik menjelaskan alasan yang mendasari nalar filologi kolonial ini. Menurut Anderson, pemerintah kolonial beranggapan bahwa rakyat Hindia Belanda (Jawa) pernah mencapai puncak kebudayaannya, tetapi kemudian runtuh karena kedatangan dan penetrasi kebudayaan Arab-Islam. Maka, sebagai pemerintah dan penguasa “yang baik”, pemerintah kolonial merasa berkwajiban untuk mengembalikan kurun puncak kebudayaan “rakyatnya”.

    Tapi, para filolog Belanda itu akhirnya menjilat ludahnya sendiri. Setelah beberapa tahun memuji-muji proyek penerjemahan naskah Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru sebagai tanda renaisans kesusasteraan Jawa, mereka kemudian menjelek-jelekkan karya-karya itu sebagai dekaden, jungkir balik dan tak lebih sebagai karya involutif yang merupakan turunan belaka. Persis seperti cemoohan Stuart Cohen terhadap Serat Bratayudha karya Yasadipura I.

    Titik balik ini dimulai kurang lebih pada 1860, persis ketika edisi filologi Cohen terbit. Sejak itulah kesusasteraan Jawa Baru mengalami titik balik di mata para filolog Belanda. Naskah sastra Jawa yang lahir pada periode pertengahan abad 18 hingga akhir akhir abad 19 dianggap tak cukup berharga untuk kajian ilmiah yang serius dan tak laku di pasaran filologi negeri Belanda.

    Itu tercermin dari bibliografi yang disusun E.M. Uhlenbeck. Menurutnya, 79 tahun setelah karya Cohen terbit, sarjana-sarjana Belanda hanya menerbitkan 31 karya sastra Jawa Baru. Itu pun hanya sedikit sekali yang berupa kajian yang serius dan ilmiah. Pada kurun yang sama, para sarjana Belanda itu justru menerbitkan 40 edisi serius karya sastra Jawa Kuno. Dari 40 karya itu kebanyakan merupakan disertasi di Universitas Leiden!

    Di titik inilah kita mesti waspada dalam memandang kesusasteraan Jawa, baik karya dari periode Jawa Kuno maupun Baru. Cukup jelas bahwa tangan-tangan kolonial secara aktif, massif dan ideologis turut campur terhadap wacana kesusasteraan Jawa berikut tahapan-tahapan perkembangannya. Melalui merekalah apa yang disebut sebagai bentuk-bentuk ideal kesusasteraan Jawa tersusun. Inilah yang disebut kanonisasi.

    Rumusan para filolog Belanda bahwa renaisans kesusasteraan Jawa lahir di Surakarta pun tak lepas dari bias kanonisasi tadi. Praktik itu sejajar dengan kebijakan pemerintah kolonial pada 1872 yang mengumumkan bahwa bahasa Jawa yang paling murni adalah bahasa Jawa yang digunakan di Surakarta, bahasa Sunda yang paling murni seperti yang dipakai di Bandung, bahasa Batak yang paling murni adalah dialek Mandailing dan bahasa Melayu yang paling murni adalah Melayu yang dituturkan di Riau dan Malaka. Bahasan dan dialek yang apling murni itulah yang lantas ditahbiskan sebagai bahasa resmi. Lewat pentahbisan itu, maka dialek-dialek Jawa non Surakarta, Sunda non Bandung, Batak non Mandailing atau Melayu non Riau, dipaksa minggir sebagai bahasa pinggiran yang tak resmi dan tak murni.

    Dan, dari semua unit kebudayaan tersebut, Jawa adalah yang paling kompleks. Di sinilah, seperti yang pernah dinyatakan Dennys Lombard terjadi konforntasi yang sangat kuat antara bentuk lama dan bentuk baru. Para filolog kolonial hanyalah salah satu pemain yang tentu saja tak selalu menang dalam arus konfrontasi itu.

    Tradisi seni-sastra di dunia pesantren adalah contoh dari tradisi yang tak pernah dijamah dan ditundukkan para filolog kolonial.

    BalasHapus
  44. NAMA : Much Arsyad Fardani
    NIM : 2102408015
    Rombel : 2


    MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI 2

    Martabat Ke dua, Martabat Wahdah

    Martabat kedua, dari martabat tujuh adalah al-Wahdah, yaitu al-Ta’ayyun Awal. Tingkat perbedaan pertama, atau awal ada dalam tingkatan ini. Tegasnya mulai adanya batas perbedaan. Tetapi, walau ada tingkat perbedaan awal, namun Zat-Nya masih dalam keadaan universal yang masih menyatu dalam alam ketuhanan-Nya, yang disebut al-Martabah Ilahiyyah.

    Hal tersebut di atas diiraikan dalam nukilan terjemahan Suluk Sujinah;

    Dan martabat kedua adalah Wahdah. Nama-nama sifat yang awal diuraikan. Awalnya ruh yang akan menguraikan nama-nama roh yang wujudnya masih dalam bentuk hak. Dan Cahaya-Nya dinamakan Nur Muhammadiyah. Wujud ilmu dari nur adalah ibadah pengetahuan yang sejati. Pada tingkatan ini belum dapat diuraikan. Pengetahuan sejatinya adalah dalam tingkatan Wahdat. Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun diri-Nya adalah kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah yang tunggal. Tunggal wujud-Nya. Dia yang memberikan penghidupan. Dia yang menjadikan sesuatu.

    Sementara, menurut nukilan terjemahan Serat Wiirid Hidayat Jati;

    Nur Muhammad yaitu cahaya yang terpuji. Diceritakan di dalam Hadist; rupanya seperti burung merak yang berada di dalam permata putih, dan berada dalam arah Syajaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui sebagai tajjalinya zat, berada dalam nukat gaib, merupakan sifat atma yang menjadi tempatnya alam Wahdah.

    Sejatinya, ruh adalah pralambang pertama yang mendahului segala penciptaan-Nya. Ruh dalam tingkatan ini bersifat al-Ruh, yaitu ruh yang universal, atau ruh dalam kejamakan-Nya. Tuhan menciptakan hakikat Muhammadiyah ibarat penciptaan-Nya terhadap pena yang Agung, yaitu, al Qalam al-Ala. Dan menurut hadist, pertama kali wujud yang diciptakan Allah adalah ruh.

    Di dalam tingkatan ini belum ada penguraian atau pembedaan zat. Zat-Nya adalah sifat kejamakan-Nya. Bahkan dalam ta-Ayyun awal-Nya, dikenal dengan empat hal yang tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, yaitu, ilmu, wujud, syuhud dan nur. Keempat hal tersebut merupakan satu kesatuan atau manunggal — karena dari ilmu-Nya, maka, alim dan mak’lum menjadi nyata. Karena wujud, maka, yang mengadakan dan yang diadakan menjadi nyata, dan syuhud, menjadikan yang melihat dan yang dilihat menjadi nyata. Sementara, karena cahaya-Nya, maka, yang menerangkan dan yang diterangkan menjadi nyata.

    Dan keempat hal tersebut di atas adalah suatu perkembangan Allah dari hakikat yang tidak terinci lewat hakikat yang mempunyai sifat-sifat, dan pengetahuan-Nya disebut menuju perkembangan pengetahuan tentang berbagai rincian dari Ada-Nya Allah dalam karya-Nya yang disebut kenyataan ada-Nya Nur Muhammad.

    Konsep adanya Nur Muhammad sebagai kenyataan karya Allah dalam tajjali-Nya yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Husin bin Mansur Al-Hallaj, kelahiran Parsi, yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam pengembangan Wadhatul al-Wujud. Menurut Al-Hallaj, adanya alam pada mulanya ialah dari adanya hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah asalnya zat yang Hadrah al-’Ama’iyyah yaitu hadrah yang tidak diketahui. Allah ada dalam kenisbian-Nya, atau, ada-Nya dalam ketiadaan.

    Pada perkembangan selanjutnya, para sufi pun percaya bila nabi Muhammad memiliki dua rupa. Rupa pertama disebut dengan qadim dan yang kedua adalah ajali. Rupa qadim adalah ujud yang terawal dari adanya segala zat, ia tak terikat atau terpengaruh oleh masa. Dia telah terjadi sebelum terjadinya semua yang ada. Rupanya yang qadim itulah sumber terciptanya segala nabi-nabi, rasul-rasul dan aulia. Cahayanya menyinari segala kehidupan dan tak ada cahaya yang lebih terang dari pada Nur Muhammad.

    Rupa kedua adalah bersifat Azali. Adalah rupa dari Muhammad yang berujud sebagai manusia yang terikat oleh masa dan mengalami pemunahan. Ia juga mengalami suka duka, kecewa dan bercita-cita serta bergaul dengan manusia lainnya.

    Sementara, di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Nur Muhammad adalah tajjali Allah yang kedua. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ahadiyah, kemudian dijadikan Nur Muhammad. Nur tersebut terbuat dari permata putih yang bening dan berasal dari alam Jabarut. Adapun wujud dari nur tersebut bagaikan burung Merak. Setelah Tuhan menciptakan Nur Muhammad yang wujudnya bagaikan burung Merak, maka, diletakkan Merak tersebut di dahan pohon kehidupan yang disebut Syajaratul Yakin.

    Nur Muhammad itu adalah bakal wajib dari segala kehidupan yang sifatnya masih gaib, pengertian gaib di sini adalah, belum dapat dilihat dengan indra sebab sifatnya dalam keadaan batin. Di samping itu, zat Nur Muhammad, masih dalam kesatuan yang manunggal dengan zat-Nya.

    Dengan kata lain, Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad merupakan tajjali dari Hayyu — sebab sifat-sifat kehidupannya disinari dan berasal dari Hayyu (Syajaratul Yakin). Syajaratul atau pohon kehidupan (Hayyu), adalah sumber mengalirnya sifat-sifat hidup. Hayyu disebut juga dengan kuasa atma. Maka, Hayyu dijadikan sandaran hidup Nur Muhammad. Namun, keduanya saling mempengaruhi pada kehidupan, hal itu ditamsilkan dengan pohon tunjung dan air. Artinya, di mana ada tunjung tumbuh dan berkembang, maka, di situ pasti ada sumber air.

    Dalam alam ini, sifat atmanya dalam bentuk kejamakan. Karena jamak, maka, di sini belum ada batas-batas pemisahan meski sudah adanya kenyataan-kenyataan yang awal yang disebut dengan ta’yun awal.

    Martabat Ke tiga, Martabat Wahadiyah

    Martabat ketiga di dalam Martabat tujuh adalah Wahadiyah yang biasa diungkapkan dengan kata-kata A’yan Thabitah (realitas-realitas terpendam). Dan alam ini juga disebut sebagai Hakikat Adam. Ma’lumat Ilahiyah (ketentuan yang bersifat ketuhanan), al-Ta’ayyun al-Thani (tingkatan perbedaan kedua), al-Ta’ayyunat al-Kuliyyah (realitas-realitas yang universal), al-Barzakh al-Sughra (batas antara kecil dan besar), al-Falakiyyah al-Uluwiyyah (kehidupan yang tertinggi), Zakir al-Wujud (zakir segala yang wujud), Hadrah al-Wujud (hadrah yang wujud), dan Zakir Ilm (ilmu zakir).

    Pada martabat ini, Zat-Nya bertajjali lewat nama-nama-Nya yang dikenal dengan Asma ul’Husna di mana Tuhan mulai muncul dalam al-A’yan Thabitah atau realitas-realitas yang terpendam yang sudah tidak mengandung kejamakan. Dalam tahap ini, segala sesuatu yang terpendam sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, meskipun Zat-Nya belum muncul dalam wujud kenyataan.

    Di dalam terjemahan Suluk Sujinah tersurat;

    Tiada Tuhan selain Allah yang dikatakan sejati, tingkatannya berada dalam Wahadiyah, wujudnya mutlak, meski dalam kondisi kekosongan akan Diri-Nya. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan nama-namanya. Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat sahadat, yaitu kalimah pengetahuan tentang Diri-Nya, di mana pengertian kalimatnya dibagi dua. Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta jagat raya. Sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tentang Muhammad. Muhammad adalah panutan manusia. Muhammad sangat dicintai Allah. Dan keduanya telah menyatu dalam rasa yang tunggal.

    Sementara Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;

    Miratul Haya’i, artinya kaca wara’i. Diceritakan di dalam Hadist, bila alam tersebut terdapat di depan Nur Muhammad. Itulah hakikat pramana, yang disebut rahsa zat, sebagai asmanya atma dan menjadi tempatnya alam wahadiyah.

    Di dalam alam Wahadiyah, Allah dalam kesejatiannya yang dikenal dengan ucapan “tiada Tuhan selain Allah”. Persaksian keeksistensian-Nya adalah hal yang berada dalam kedudukan yang tertinggi. Wujud Tuhan masih dalam kekosongan yang mutlak, meski Allah sudah mulai memberikan pengetahuan lewat nama-namanya satu persatu.

    Dalam kalimat persaksian tersebut, keluhuran-Nya terbagi dalam dua pengetahuan. Persaksian yang pertama mengandung Syahadah Tauhid, sedang yang kedua adalah syahadat Rasul. Pengertian syahadat Tauhid berbunyi; “Ashadu an la illaha illallah”, yang bermakna saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dan kalimat ini biasa juga disebut dengan kalimat Taqwa. Allah adalah al-Falakiyyah al-Huliyyah, yaitu, keeksistensiannya berada dalam tahap tertinggi. Ia adalah kehidupan yang tertinggi.

    Sementara, menurut Serat Wirid Hidayat Jati, tajjali Allah yang ketiga adalah Mir’atul Haya’i yang tercipta dari alam Nur Muhammad. Maka, dalam alam Mir’atul Haya’i yang dipersamakan dengan pramana atau sir atau rahsa disebut juga sebagai tajjalinya dari alam Nur Muhammad.

    Pengertian pramana atau sir adalah suatu zat yang berada dalam tubuh manusia. Zat tersebut tiada turut rasa sedih, susah, dan juga tidak turut makan dan minum atau segala kegiatan yang berwujud fisik. Makanan dan minuman utama pramana adalah dzikir, atau menciptakan rasa ingat kepada Allah dengan melakukan do’a-do’a atau hal-hal yang bersifat religius.

    Sejatinya, fungsi utama pramana di dalam tunbuh adalah untuk menegakkan jasmani. Jadi, apabila pramana berpisah dengan tubuh, maka, tubuh akan menjadi lemah dan lemas, tiada berdaya apa-apa. Hal itu disebabkan karena pramana adalah rahsa zat, dan pramana mendapat hidup dari Nur Muhammad yang dijadikan sebagai perantaranya Hayyu.

    Martabat Ke empat, Alam Arwah

    Martabat yang ke empat dari Martabat tujuh adalah alam al-Arwah (alam ruh) yang hampa bagi manusia yang juga dinamakan sebagai alam al-Malakut al-adna (alam yang terdiri dari akal dan jiwa yang rendah), Awwal al-tanazzulat li’l-Dhat al-Mujarrad al-Basit (alam peninggalan terhadap kehampaan yang menengah), al-Martabat al-Imkaniyyah (martabat kekuatan). Dan alam ini juga biasa disebut sebagai alam al-Af’al (alam perbuatan Allah), al-Ta-thirat (alam kenyataan), alam Ghayb (alam gaib), alam al-Amr (alam yang diciptakan Allah tanpa perantara), al-Ashya al-Kawiyyah (segala sesuatu di alam semesta).

    Hal tersebut di atas, tersurat dengan apik di dalam Suluk Sujinah;

    Hakiki alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut af’al, yang sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur Muhammad yang agung mendahului nama dan penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa. Hakikatnya adalah Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal.

    Yang mana hakiki Muhammad. Ketahuilah oleh kamu dengan jelas, bahwa nama Muhammad adalah ada dalam kesatuan atau ketunggulan dengan Allah.

    Itulah hakikat yang sesungguhnya, dan kemudian bernama Nabi Muhammad. Mengenai kejadian terbentuknya Nur Muhammad hendaknya dimengerti yang ujud, khayal dan hak. Jangan sembrono.

    Sedang Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;

    Ruh Idlafi; artinya nyawa yang jernih. Diceritakan dalam Hadist berasal dari Nur Muhammad. Itulah hakikat suksma yang dakui keadaan Zat, yang merupakan af’al atma, menjadi tempatnya alam Arwah.

    Dalam martabat ini ditandai dengan keberadaan al-Arwah dalam bentuk jamak. Sejatinya, semua ruh dibentuk dan berasal dari alam al-Arwah. Alam al-Arwah yang berujud nurani adalah alam yang diciptakan oleh Allah tanpa perantara. Allah menciptakan melalui perbuatan-Nya sendiri yang disebut dengan Af’al — Allah menciptakan al-Arwah dari uap pilihan yang bersumber dari Jauhar. Di samping itu al-Arwah dibentuk oleh nur, sifat kebakaan, hayat, ilmu, dan dari alam Uluwwi.

    Tentang alam al-Arwah, tak ada sesuatu yang mengetahui keberadaannya. Kerahasiaan dan keberadaan alam al-Arwah hanya Tuhan yang bisa menyingkap tabirnya. Sebab jika tidak dirahasiakan, maka, sujudlah semua kafir kepada-Nya, karena semua makhluk hidup yang ada berasal dari alam Uluwwi yang hakikatnya adalah murni. Dengan kata lain, al-Arwah berasal dari Zat Hakk Ta’ala.

    Tegasnya, pengertian alam ruh al-Arwah karena semua arwah terjadi dari padanya di mana wujudnya masih dalam bentuk kejamakan. Dalam alam ini belum ada individuasi kehidupan bagi makhluk. Oleh karena itu, segala bentuk kehidupan, baik malaikat, manusia, hewan dan tumbuhan berasal dari alam al-Arwah.

    Di dalam sifat al-Arwah yang digolongkan dalam empat kelompok, yakni, Namiya, Mutaharrika, Natika dan Ruh Kudus. Ruh Namiya adalah membentuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya memelihara dan menumbuhkan, sedang Ruh Mutaharrika yang kelak bersemayam dalam diri manusia dan hewan. Sedang Ruh Mutaharikka juga disebut sebagai ruh hewani, sebab semua hewan bergerak karenanya. Sementara, Ruh Natika yang disebut juga sebagai ruh insani adalah pencipta dan penggerak kehidupan manusia — Ruh Natika berasal dari alam Amr, tempat asalnya ruh dan nafsu yang merupakan pralambang dari Adam dan Hawa.

    Sedang yang disebut dengan Ruh Kudus yaitu Faid nur zat Allah. Ruh di mana merupakan penggerakl bagi semua nabi dan rasul yang bersifat mu’jizat dan keramat; mereka faham akan semua ma’ani dan batin. Dan kesemuanya ini dari la’thir ruh Kudus. Disebut fa’id nur zat Allah karena ruh tersebut terbuat dari cahaya pilihan, maka manusia-manusia tersebut faham dan mengetahui berbagai hal yang tersembunyi, yang bersifat batin sebab jiwanya tak terpengaruh atau terbebas dari hal-hal yang bersifat batil.

    Alam al-Arwah terbentuk dari Tajjali dan penyinaran dari Nur Muhammad dari zat ilahi. Dalam alam kabir tersebut, alam besar, Nur Muhammad menenrangi segala alam dan nur tersebut semua makhluk Allah hidup dan bergerak. Nur tersebut meliputi alam, tiada satu daerah pun yang tidak dilingkarinya. Ia yang memelihara alam dan melingkarinya. Nur Muhammad yang juga hakikat rasa, adalah wali Allah, dan keduanya tak dapat dipisahkan. Keduanya dalam bentuk nama yang berbeda, namun, hakikatnya adalah kesatuan-Nya. Keduanya ada dalam kesatuan.

    Alam al-Arwah adalah Haakk Taala dengan sifat-sifatnya. Sekalian alam itu A’rad (kejadian-kejadian atau penciptaan-penciptaan), yang terhimpun pada Zatnya yang Esa. Oleh sebab itu, al-Arwah mempunyai sifat-sifat Allah, seperti mendengar, melihat, mengerti, berkehendak dan baka.

    Alam al-Arwah disebut juga alam kejiwaan, yaitu, tempatnya jiwa dan nyawa berkumpul dalam wujud kesatuan sebelum manusia menjelma ke dunia. Dalam alam al-Arwah itulah kita mengikat janji dengan Allah dan mengakui bahwa Dia-lah Allah yang disembah. Tiada yang lainnya! Sedang pengertian majaji, adalah pralambang dari sifat yang metaforis. Dengan kata lain, majaji dipakai untuk menunjukkan ada-Nya yang Ada yaitu ada-Nya yang ilahi. Atau, sebagai simbol adanya makhluk sudah menunjukkan adanya Khalik sebagai pencipta — sebab, makhluk muncul dari adanya yang mengalir, yaitu Zat-Nya yang Ada sebelum zat yang lain ada.

    Oleh karena itu, pengertian umum dari konsep majaji bermakna dua. Pertama, adalah penunjukkan pada sang pencipta, sebagai bukti Allah menciptakan alam Arwah sebagai petunjuk akan keberadaan-Nya. Sedangkan pengertian kedua adalah hal-hal yang diciptakan-Nya, yaitu, makhluk-makhluk-Nya yang merupakan lambang atau simbol dari kekuasaan-Nya.

    Di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ruh Idlafi adalah tajjali Allah yang keempat. Setelah bertajjali dalam alam Mir’atul Haya’i, kemudian bertajjali dalam bentuk Ruh Idlafi. Ruh Idlafi disebut juga tajjali dari pramana atau sir. Hal itu disebabkan Ruh Idlafi mendapatkan sinar dari kuasa rahsa atau pramana — sedang letaknya di luar lingkaran pramana. Dalam martabat tujuh, Ruh Idlafi dipersamakan dengan alam al-Arwah, wujud kejamakan ruh. Di mana hakikat Ruh Idlafi atau al-Arwah tiada satu pun makhluk yang mentetahui, kecuali Allah yang Khalik. Oleh karena itu, Ruh Idlafi juga disebut sebagai nyawa atau suksma — dan disebut Ruh Idlafi karena ia berhadapan dengan Hak Taa’ala. Ruh Idlafi juga sama dengan ruh utusan, ruh yang pancarannya bagaikan mutiara dan menyinari segala hidup dan kehidupan di dunia. Ruh Idlafi merajai segala sesuatu yang nampak dan sinar-sinarnya menerangi semesta alam, dan bidang-bidang kenisbian.

    Martabat Ke lima, Alam Mitsal

    Martabat ke lima dari martabat tujuh adalah alam al-Mithal (alam bentuk), yang diungkapkan sebagai awal Misal begi bentuk zat yang disucikan dengan makna al-Surah al-Thaniyyah (gambaran kedua) dari al-Tanazzulat li’l Dhat (peninggalan bagi zat), Surah Jami al-ashya al-Kawaniyyah (gambaran segala sesuatu di alam semesta), Surah al-Rahman (bentuk Rahman), Surah al-Haq (bentuk hak), Surah al-Illah (bentuk Ilahi), Surah al-Wujud al Ilahi (bentuk wujud Ilahi), Surah al-Shu’un (bentuk keadaan), Surah al Ula al Zahirah al-Asma (bentuk utama zahir nama-nama).

    Di dalam terjemahan Suluk Sujinah, ajaran martabat tujuh tersebut dapat dilihat pada berikut ini:

    Tersebutlah alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad raya yang bersifat kalam, meski pengucap dan pencium, pendengaran dan penglihatan belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut, wujud mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.

    Sementara, dalam Serat Wirid Hidayat Jati disuratkan:

    Kandil: artinya lampu tanpa api, diceritakan dalam Hadist berupa permata yang cahayanya berkilauan, tergantung tanpa kaitan, itulah keadaan Nur Muhammad, dan tempatnya semua ruh. Adalah hakikat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Zat, yang menjadi bingkai atma dan menkjadi tempatnya alam Mitsal.

    Alam Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana tiap diri insan ada di dalam ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam jisim. Dan alam Mitsal adalah sebagai awal wujud fisik manusia dan makhluk lainnya. Walau keadaannya sudah mempunyai sifat, bentuk dan warna, tetapi belum bisa dikenali baik secara batin maupun lahir.

    Pada Serat Wirid Hidayat Jati, Kandil, adalah tajjali Allah yang ke lima. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ruh Idlafi, kemudian bertajjali dalam alam Kandil yang dalam kata bahasa mempunyai arti lampu. Uraian di atas, angan-angan diibaratkan sebagai Kandil atau lampu yang tergantung tanpa kaitan. Yang bila dipersamakan dengan aajaran martabat tujuh, Kandil digambarkan sebagai alam Mitsal — nafsu atau kandil merupakan tajjalinya ruh karena menerima sinar dari suksma atau Ruh Idlafi.

    Kandil juga digambarkan sebagai api yang berkobar di tengah lautan, artinya, suatu keajaiban bila api dapat menyala di tengah-tengah lautan. Oleh karena itu, dalam martabat ini disebut Ayan Mukawiyah, karena telah benar hidup keadaannya. Dan Nafsu atau Kandil bermakna angkara yang terletak di luar suksma.

    Martabat Ke enam, Alam Ajsam

    Martabat ke enam adalah Alam Ajsam, atau alam jasmani. Alam ini juga disebut sebagai bagian dari al-Tanazzulat li’l-Dhat (peninggalan bagi zat), Alam al-Mahsus (alam rasa), Akhir al-Tanazzulat li’l Dhat (akhir peninggalan bagi zat), yaitu, Alam al-Sufliyyah (alam dunia), al-Anam (manusia), al-Ajsam (jasmani), al-Shahadah (nyata), al-khalq (manusia), al-Zahir (lahir), al-Kashit (alam terbuka), al-Ajram (tubuh), al-Majsum (terkungkung), al-Mahsusat (alam rasa).

    Di dalam terjemahan Suluk Sujinah ajaran martabat tujuh yang ke enam dapat dilihat pada nukilan di bawah ini:

    Alam Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada batasnya. Itu dasar sifatnya. Memang begitu kenyataannya yang disebut jisim nama wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.

    Sementara, terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;

    Dharah artinya permata. Tersebut dalam Hadist punya sinar beraneka warna, kesemuanya ditempati malaikat. Itulah hakikat budi, yang diakui sebagai perhiasan Zat. Dan merupakan pintu atma. Dharah menjadi tempatnya alam Ajsam.

    Pada Suluk Sujinah, alam Acesan adalah tajjali Allah yang ke enam, yang di dalam martabat tujuh alam Acesan dipersamakan dengan ajaran alam Ajsam. Alam ini adalah tajjalinya dari alam Mitsal. Wujud alam Acesan berbentuk segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus — alam tersebut teramat luas, sehingga tak diketahui di mana batas-batasnya. Dan yang mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui.

    Meski wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi, alam ini sudah menampakkan bentuk lahir yang ke tiga, yaitu, wujud yang sudah dapat diindra. Sebab, dasar sifatnya adalah jisim, atau, tubuh dalam bentuk wadag.

    Sedang Serat Suluk Hidayat Jati menyebutkan bahwa tajjali Allah yang ke enam disebut dengan Dharah yang memiliki pengertian atau arti permata. Diceritakan, bahwa permata tersebut mengeluarkan cahaya atau sinar yang beraneka warna, di mana, setiap warnanya ditempati oleh malaikat yang menjaga pancaran dari sinar tersebut. Dan disebutkan juga bahwasanya bila hakikat dari Dharah adalah budi, di mana budi dijadikan sebagai perhiasan zat.

    Martabat Ke tujuh, Alam Insan Kamil

    Martabat ke tujuh adalah Alam Insan Kamil, alam manusia dalam kesempurnaannya. Alam ini disebut juga sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan), Khatim al-Mawjudat (puncak dari segala yang ada) atau gabungan lahir dan batin, al-Khamsah al-Muhit, yaitu, terbentuknya alam, segala yang bersifat rohani, jasmani dan benda tak bernyawa. Di dalam alam ini, Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi guna mengelola alam beserta dengan segala isinya. Ia juga bergelar sebagai khalifah di bumi.

    Ajaran Insan Kami di dalam martabat tujuh ini bisa disimak di dalam terjemahan Suluk Sujinah di bawah ini:

    Sifat yang terlihat berujud manusia. Wujudnya juga yang bernama mukinat (makanah), yaitu dalam wujud yang berada di martabat ini. Selesailah penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua orang wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu tergolong kafir, dan belum mengerti sahadat.

    Sedang terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan:

    Hijab: disebut dinding jalal, artinya, tabir yang agung, Diceritakan dalam Hadist timbul dari permata yang beraneka warna, pada waktu gerak menimbulkan buih asap, dan air. Itulah hakikat jasad, merupakan tempat atma, menjadi tempatnya alam Insan Kamil.

    Dalam Insan kamil, Allah menemukan manifestasi-Nya yang definitif dan sempurna, sebaliknya, dalam Insan Kamil itu dunia yang ke luar dari Allah menurut garis emanasi yang menurun, dan naik kembali ke Allah. Insan Kamil (manusia sempurna) adalah merupakan pusat semesta alam serta titik pertemuan antara Allah dan dunia sebagaimana contoh yang diperagakan dalam garis lurus berikut ini;

    Allah

    !

    !

    Ahadiyah

    !

    !

    Wahdah

    !

    !

    Wahadiyah

    !

    !

    Alam Arwah

    !

    !

    Alam Mitsal

    !

    !

    Alam Ajsam

    !

    !

    Alam Insan Kamil

    Berdasarkan uraian di atas, maka, manusia yang sempurna merupakan ulangan atau perkalian numerik mengenai Akal Awal — karena akal itupun merupakan akibat dari materi Awal yang diterangi oleh cahaya Allah. Tak pelak, oleh Ibn Arabi, Akal Awal itu dinamakan sebagai manusia Universal Agung. Yaitu, wujud yang telah mencapai kesempurnaan dengan melalui tujuh tingkatan.

    Demikian sekelumit sajian Martabat Tujuh yang diangkat dari Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati. Sudah barang tentu, semuanya tak luput dari kekurangan, maka, akan terasa lebih sempurna bila ada tulisan-tulisan lain yang akan mampu menambah khasanah perbendaharaan ilmu kita dengan tujuan mencari ridho Allah semata. Semoga.

    BalasHapus
  45. NAMA :INDARTO NUGROHO
    NIM :2102408054
    ROMBEL:03


    SULUK WUJIL
    Suluk Wujil Pesan Kanjeng Sunan Bonang,

    1
    Inilah ceritera si Wujil
    Berkata pada guru yang diabdinya
    Ratu Wahdat
    Ratu Wahdat nama gurunya
    Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
    Yang tinggal di desa Bonang
    Ia minta maaf
    Ingin tahu hakikat
    Dan seluk beluk ajaran agama
    Ssampai rahsia terdalam
    2
    Sepuluh tahun lamanya
    Sudah Wujil
    Berguru kepada Sang Wali
    Namun belum mendapat ajaran utama
    Ia berasal dari Majapahit
    Bekerja sebagai abdi raja
    Sastra Arab telah ia pelajari
    Ia menyembah di depan gurunya
    Kemudian berkata
    Seraya menghormat
    Minta maaf
    3
    “Dengan tulus saya mohon
    Di telapak kaki tuan Guru
    Mati hidup hamba serahkan
    Sastra Arab telah tuan ajarkan
    Dan saya telah menguasainya
    Namun tetap saja saya bingung
    Mengembara kesana-kemari
    Tak berketentuan.
    Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
    Bosan sudah saya
    Menjadi bahan tertawaan orang
    4
    Ya Syekh al-Mukaram!
    Uraian kesatuan huruf
    Dulu dan sekarang
    Yang saya pelajari tidak berbeda
    Tidak beranjak dari tatanan lahir
    Tetap saja tentang bentuk luarnya
    Saya meninggalkan Majapahit
    Meninggalkan semua yang dicintai
    Namun tak menemukan sesuatu apa
    Sebagai penawar
    5
    Diam-diam saya pergi malam-malam
    Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
    Semua pendeta dan ulama hamba temui
    Agar terjumpa hakikat hidup
    Akhir kuasa sejati
    Ujung utara selatan
    Tempat matahari dan bulan terbenam
    Akhir mata tertutup dan hakikat maut
    Akhir ada dan tiada

    6
    Ratu Wahdat tersenyum lembut
    “Hai Wujil sungguh lancang kau
    Tuturmu tak lazim
    Berani menagih imbalan tiggi
    Demi pengabdianmu padaku
    Tak patut aku disebut Sang Arif
    Andai hanya uang yang diharapkan
    Dari jerih payah mengajarkan ilmu
    Jika itu yang kulakukan
    Tak perlu aku menjalankan tirakat
    7
    Siapa mengharap imbalan uang
    Demi ilmu yang ditulisnya
    Ia hanya memuaskan diri sendiri
    Dan berpura-pura tahu segala hal
    Seperti bangau di sungai
    Diam, bermenung tanpa gerak.
    Pandangnya tajam, pura-pura suci
    Di hadapan mangsanya ikan-ikan
    Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
    Namuni isinya berwarna kuning
    8
    Matahari terbenam, malam tiba
    Wujil menumpuk potongan kayu
    Membuat perapian, memanaskan
    Tempat pesujudan Sang Zahid
    Di tepi pantai sunyi di Bonang
    Desa itu gersang
    Bahan makanan tak banyak
    Hanya gelombang laut
    Memukul batu karang
    Dan menakutkan
    9
    Sang Arif berkata lembut
    “Hai Wujil, kemarilah!”
    Dipegangnya kucir rambut Wujil
    Seraya dielus-elus
    Tanda kasihsayangnya
    “Wujil, dengar sekarang
    Jika kau harus masuk neraka
    Karena kata-kataku
    Aku yang akan menggantikan tempatmu”

    11
    “Ingatlah Wujil, waspadalah!
    Hidup di dunia ini
    Jangan ceroboh dan gegabah
    Sadarilah dirimu
    Bukan yang Haqq
    Dan Yang Haqq bukan dirimu
    Orang yang mengenal dirinya
    Akan mengenal Tuhan
    Asal usul semua kejadian
    Inilah jalan makrifat sejati”
    12
    Kebajikan utama (seorang Muslim)
    Ialah mengetahui hakikat salat
    Hakikat memuja dan memuji
    Salat yang sebenarnya
    Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
    Tetapi juga ketika tafakur
    Dan salat tahajud dalam keheningan
    Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
    Dan termasuk akhlaq mulia
    13
    Apakah salat yang sebenar-benar salat?
    Renungkan ini: Jangan lakukan salat
    Andai tiada tahu siapa dipuja
    Bilamana kaulakukan juga
    Kau seperti memanah burung
    Tanpa melepas anak panah dari busurnya
    Jika kaulakukan sia-sia
    Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
    14
    Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
    Dengar: Walau siang malam berzikir
    Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
    Zikirmu tidak sempurna
    Zikir sejati tahu bagaimana
    Datang dan perginya nafas
    Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
    Hayat melalui yang empat

    15
    Yang empat ialah tanah atau bumi
    Lalu api, udara dan air
    Ketika Allah mencipta Adam
    Ke dalamnya dilengkapi
    Anasir ruhani yang empat:
    Kahar, jalal, jamal dan kamal
    Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
    Begitulah kaitan ruh dan badan
    Dapat dikenal bagaimana
    Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
    16
    Anasir tanah melahirkan
    Kedewasaan dan keremajaan
    Apa dan di mana kedewasaan
    Dan keremajaan? Dimana letak
    Kedewasaan dalam keremajaan?
    Api melahirkan kekuatan
    Juga kelemahan
    Namun di mana letak
    Kekuatan dalam kelemahan?
    Ketahuilah ini

    17
    Sifat udara meliputi ada dan tiada
    Di dalam tiada, di mana letak ada?
    Di dalam ada, di mana tempat tiada?
    Air dua sifatnya: mati dan hidup
    Di mana letak mati dalam hidup?
    Dan letak hidup dalam mati?
    Kemana hidup pergi
    Ketika mati datang?
    Jika kau tidak mengetahuinya
    Kau akan sesat jalan
    18
    Pedoman hidup sejati
    Ialah mengenal hakikat diri
    Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
    Oleh karena itu ketahuilah
    Tempat datangnya yang menyembah
    Dan Yang Disembah
    Pribadi besar mencari hakikat diri
    Dengan tujuan ingin mengetahui
    Makna sejati hidup
    Dan arti keberadaannya di dunia
    19
    Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
    Tubuh kita sangkar tertutup
    Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
    Jika kau tidak mengenalnya
    Akan malang jadinya kau
    Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
    Sia-sia semata
    Jika kau tak mengenalnya.
    Karena itu sucikan dirimu
    Tinggalah dalam kesunyian
    Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia

    20
    Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
    Ia ada dalam dirimu sendiri
    Seluruh isi jagat ada di sana
    Agar dunia ini terang bagi pandangmu
    Jadikan sepenuh dirimu Cinta
    Tumpukan pikiran, heningkan cipta
    Jangan bercerai siang malam
    Yang kaulihat di sekelilingmu
    Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
    21
    Dunia ini Wujil, luluh lantak
    Disebabkan oleh keinginanmu
    Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
    Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
    Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
    Bentangan pengetahuan ini luas
    Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
    Orang yang mengenal hakikat
    Dapat memuja dengan benar
    Selain yang mendapat petunjuk ilahi
    Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini

    22
    Karena itu, Wujil, kenali dirimu
    Kenali dirimu yang sejati
    Ingkari benda
    Agar nafsumu tidur terlena
    Dia yang mengenal diri
    Nafsunya akan terkendali
    Dan terlindung dari jalan
    Sesat dan kebingungan
    Kenal diri, tahu kelemahan diri
    Selalu awas terhadap tindak tanduknya
    23
    Bila kau mengenal dirimu
    Kau akan mengenal Tuhanmu
    Orang yang mengenal Tuhan
    Bicara tidak sembarangan
    Ada yang menempuh jalan panjang
    Dan penuh kesukaran
    Sebelum akhirnya menemukan dirinya
    Dia tak pernah membiarkan dirinya
    Sesat di jalan kesalahan
    Jalan yang ditempuhnya benar
    24
    Wujud Tuhan itu nyata
    Mahasuci, lihat dalam keheningan
    Ia yang mengaku tahu jalan
    Sering tindakannya menyimpang
    Syariat agama tidak dijalankan
    Kesalehan dicampakkan ke samping
    Padahal orang yang mengenal Tuhan
    Dapat mengendalikan hawa nafsu
    Siang malam penglihatannya terang
    Tidak disesatkan oleh khayalan
    35
    Diam dalam tafakur, Wujil
    Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
    Memuja tanpa selang waktu
    Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
    Disebabkan oleh makrifat
    Tubuhnya akan bersih dari noda
    Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
    Dari orang arif yang tahu
    Agar kau mencapai hakikat
    Yang merupakan sumber hayat
    36
    Wujil, jangan memuja
    Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
    Juga sia-sia orang memuja
    Tanpa kehadiran Yang Dipuja
    Walau Tuhan tidak di depan kita
    Pandanglah adamu
    Sebagai isyarat ada-Nya
    Inilah makna diam dalam tafakur
    Asal mula segala kejadian menjadi nyata
    38
    Renungi pula, Wujil!
    Hakikat sejati kemauan
    Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
    Berpikir dan menyebut suatu perkara
    Bukan kemauan murni
    Kemauan itu sukar dipahami
    Seperti halnya memuja Tuhan
    Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
    Pun tidak membuatmu membenci orang
    Yang dihukum dan dizalimi
    Serta orang yang berselisih paham
    39
    Orang berilmu
    Beribadah tanpa kenal waktu
    Seluruh gerak hidupnya
    Ialah beribadah
    Diamnya, bicaranya
    Dan tindak tanduknya
    Malahan getaran bulu roma tubuhnya
    Seluruh anggota badannya
    Digerakkan untuk beribadah
    Inilah kemauan murni
    40
    Kemauan itu, Wujil!
    Lebih penting dari pikiran
    Untuk diungkapkan dalam kata
    Dan suara sangatlah sukar
    Kemauan bertindak
    Merupakan ungkapan pikiran
    Niat melakukan perbuatan
    Adalah ungkapan perbuatan
    Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
    Keduanya buah dari kemauan

    BalasHapus
  46. NAMA;INDARTO NUGROHO
    NIM:2102408054
    ROMBEL:03

    Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar (1)
    Kisah ini dimulai ketika Raden Ketib, seorang putra dari Pangeran Surodirejo Adipati Palembang , menimba ilmu sebagai santri di Giri Amparan Jati yang terletak di lereng gunung Sembung di tlatah Kasunanan Cirebon Girang.
    Sebagai salah satu pesantren yang ada di Nusa Jawa ini, Giri Amparan Jati juga tak luput dari prahara yang melanda kaum muslim yaitu antara pengikut Syaikh Siti Jenar (Syaikh Lemah Abang ) yang disebut sebagai "Islam Abangan" dengan para santri Islam fundamentalis yang disebut "Islam Putihan".
    Perseteruan dua kelompok ini telah menimbulkan banyak korban jiwa, iblis telah menebarkan prahara di bumi dan darah terbanyak yang membasahi bumi adalah di pihak santri abangan yang di anggap telah keluar dari jalur Islami akibat ajaran sang wali yang dianggap sesat dengan mengajarkan ajaran "Manunggaling Kawula Gusti"
    Giri Amparan Jati pada saat itu (paro pertama abad 16) menerapkan aturan sangat keras yaitu melarang para santrinya untuk membicarakan perihal Syaikh Siti Jenar, apalagi mengenai ajarannya. Karena yang menetapkan larangan adalah Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, pengasuh pesantren dan sekaligus juga Susuhunan Cirebon Girang maka peraturan itu harus ditaati oleh semua santri tanpa terkecuali.
    Sebagai seorang santri yang berusia 16 tahun dan punya bakat yang pintar dan kritis, Raden Ketib saat itu menyadari ada sesuatu yang ditutup-tutupi dan ada ketidak wajaran tentang aturan yang satu itu.
    Sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, semakin dilarang semakin keras rasa ingin tahunya tentang kisah prahara yang dramatis dalam sejarah Islam di Nusa Jawa, tragedi manusia memakan manusia, Islam membunuh Islam.
    Dengan berbagai upaya yang tidak mudah dan atas bantuan kakeknya (Pangeran Pamelakaran) akhirnya secara sembunyi-sembunyi Raden Ketib dapat berjumpa dengan orang yang bernama Ki Gedeng Pasambangan, sahabat dekat Syaikh Datuk Abdul Jalil yang lebih dikenal dengan Syaikh Siti Jenar.
    Dari Ki Gedeng Pesambangan inilah cerita sang Wali yang dianggap sesat oleh sebagaian orang itu mengalir :
    Dikisahkan seorang santri yang bernama San Ali tengah menimba ilmu di Pondok (saat itu belum bernama Pesantren) Giri Amparan Jati. Sebagaimana santri-2 lainnya San Ali yang baru berumur 6 tahun menimba ilmu agama bersama-sama, mengikuti aturan-aturan dan tugas-tugas yang ditetapkan dibawah bimbingan gurunya Syaikh Datuk Kahfi.
    San Ali adalah putera dari Ki Danusela sang kuwu Caruban dan sejak kecil sudah menjadi yatim piatu. Sejak awal gurunya sudah melihat ada keanehan pada diri San Ali yang senang menyendiri. Hal ini berbeda dengan teman-2nya yang suka bermain-main setelah melaksanakan tugas pondok. Sebagai seorang guru yang khowas (mumpuni) Syaikh Datuk Kahfi menyadari bahwa San Ali mempunyai bakat dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya.
    Kesendirian San Ali tidak ada hubungannya dengan statusnya sebagai anak yatim piatu, tetapi ini terkait dengan kesukaannya mengamati kebiasaan penduduk sekitar pondok Giri Amparan Jati yang mempunyai kebiasaan membuat sesaji buat persembahan. Menurut mereka sesaji itu sengaja mereka sembahkan pada saat-sat tertentu buat penguasa jagat raya (Tuhan) agar diberi keselamatan dan diberikan hasil panen yang melimpah.
    Tentu saja ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak San Ali kecil, bukankah gurunya mengatakan bahwa manusia hanya diwajibkan percaya dan menyembah Tuhan, tidak ada perintah untuk membuat persembahan apalagi sesaji.
    Seiring perjalanan waktu, San Ali telah tumbuh dewasa dan mulai dapat menggunakan nalarnya tentang keberadaan Tuhannya, gurunya semakin dapat melihat dengan jelas kelebihan yang dimiliki oleh murid sekaligus cucu angkat tersayangnya itu. Hanya saja Syaikh Datuk Kahfi seringkali menangis dalam hatinya karena sebagai guru yang agung dia menyadari bahwa kelebihan yang dimiliki San Ali justru akan membuat muridnya itu ke jurang pertikaian antar manusia dan antar agama. Hal ini mengingat pendalaman tentang agama yang dimiliki San Ali belum tentu bisa dijabarkan dan dimengerti oleh orang kebanyakan pada saat itu.
    Mereka yang masih dalam taraf belajar Islam pada saat tentu saja tidak bisa mengikuti jalan pikiran muridnya itu dan justru seringkali diskusi yang dilakukan bersama-sama santrinya, mereka dibuat bingung oleh pertanyaan-2 dan argumen yang dilontarkan oleh San Ali.
    Akhirnya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, San Ali diasuh secara langsung oleh Syaikh Datuk Kahfi dan tidak boleh menyebarkan pendapatnya kepada para santri lainnya.
    Semakin lama jiwa San Ali mengalami kegelisahan yang mendalam, bagai jiwa yang haus ilmu pengetahuan keTuhanan dia berada dalam alam kebingungan menyadari hakekat "aku" pada dirinya. Bukankah agama mengajarkan intisari hakekat "inna li Allahi wa inna ilaihi rajiun ", yang bermakna sesungguhnya semua "aku" berasal dari "AKU" dan semua 'aku" akan kembali ke "AKU" sebagai asal segala "aku".
    Dia mulai mempertanyakan segala ibadah yang selama ini telah ia lakukan, untuk siapakah ibadahnya selama ini ? Untuk "aku", tapi "aku" yang mana ? Jika keberadaan / hakekat "aku" saja belum bisa dimengerti, bagaimana bisa sampai ke "AKU" yang menyelimuti alam semesta.
    Mengerti kondisi muridnya itu, secara bijak gurunya menyarankan agar San Ali untuk pergi mencari sang "AKU" yang selama ini di rindukannya dengan cara merantau. Diiringi isak tangis pilu dan hati yang pedih Syaikh Datuk Kahfi merelakan kepergian cucu satu-satunya itu untuk menggali ilmu lebih dalam dan memuaskan rasa dahaganya akan ilmu agama demi pencarian sejati dari hakekat "aku".
    Berbekal ilmu yang diperolehnya selama dalam pondok, baik ilmu agama maupun ilmu kanoragan yang dimiliki, dimulailah perjalanan seorang anak manusia mengikuti arah angin yang membawa langkah kakinya menuju puncak yang tidak ada batasnya demi mencari "kebenaran sejati".

    BalasHapus
  47. NAMA : MUCH ARSYAD FARDANI
    NIM :2102408015
    ROMBEL :2


    Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar (2)

    Tubuhnya jangkung, tegap, dan berotot. Kulitnya putih kemerahan, hidungnya mancung, alis matanya tebal. Matanya setajam elang. Postur tubuhnya yang lain dari kebanyakan orang pribumi membuat San Ali mudah dikenali. Apalagi mendengar namanya yang sangat asing ditelinga menunjukkan bahwa dia adalah salah satu peranakan Melayu-Gujarat.
    San Ali adalah sebuah nama yang mulai banyak dikenal karena seringnya dia keluar masuk hutan, berkunjung dari satu desa ke desa lainnya dan bergaul dengan berbagai kalangan untuk mencari Tuhannya. Para Brahmin (pendeta Hindu) tidak keberatan malah dengan suka cita berdiskusi dengan San Ali tentang masalah keTuhanan sesuai dengan ajarannya masing-masing. Tidak ada yang merasa dipojokkan untuk mempertahankan kebenaran agamanya. Malah sebaliknya semakin bertambah wawasan ilmu untuk menemukan kebenaran sejati.
    Dari beberapa pengamatan tentang kehidupan selama perantauannya, San Ali semakin merasa penasaran dengan apa yang dia peroleh. Misalnya tentang perbedaan antara orang-orang durhaka dan celaka, seperti : penjudi, pemabuk, pencuri, perampok, pelacur, penipu, pembunuh dan pemuja berhala yang bakal menempati neraka. Sebaliknya orang-orang yang saleh dan beruntung yang bakal menghuni surga.
    San Ali melihat, bahwa persoalan ini hanyalah masalah penundaan waktu belaka. Intinya orang yang masuk neraka sudah melaksanakan hal-hal yang dilarang agama pada saat di dunia, sedang orang yang masuk surga melakukannya pada saat orang itu sudah meninggal dan masuk surga, karena di surga mereka bebas minum khamr, menikmati 40 bidadari, bersenang-senang dan tidak ada larangan apapun.
    Jadi apa bedanya perbuatan itu ? Yang satu dilampiaskannya di dunia, yang lainnya menunggu di akherat.
    Yang di neraka pasti mendapat siksa, sedang yang di surga bisa berbuat apapun yang disuka. Atas dasar apa Gusti Allah menentukan golongan manusia yang akan masuk neraka (celaka) sedangkan golongan lain masuk surga (beruntung). Bukankah Gusti Allah itu Maha Adil ? Kenapa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain ? Bukankah mereka itu lahir kedunia bukan atas kehendaknya sendiri kemudian setelah mati harus mendapat siksa di neraka. Kenapa Gusti Allah yang mempunyai sifat Ar- Rahman & Ar-Rahim begitu tega menyiksa ?
    Bagaimana dengan aku (San Ali) ? Kalau aku masuk neraka, berarti AKU (Tuhan) juga masuk neraka ? Bukankah dalam diri aku juga ada AKU ?
    Petualangan San Ali dalam mencari Tuhannya masih diselimuti kabut tebal dan membingungkan. Setiap kali ditemukan jawaban atas satu persoalan selalu diikuti oleh pertanyaan lain yang lebih rumit dan menemui jalan buntu untuk memperoleh jawaban atas hakekat hidup manusia.
    Suatu saat sekeluarnya dari hutan, San Ali bertemu dengan salah satu Brahmin tua yang sedang mempersembahkan sesaji di altar dewa. Terlintas di benaknya bahwa sangat mustahil arca dewa bisa makan sesaji yang disiapkan sang Brahmin. Namun terlintas pula di benaknya tentang ibadah qurban di dalam agama Islam. Bukankah Gusti Allah yang tak terpikirkan dan tak terjangkau panca indra itu sesungguhnya juga tidak membutuhkan darah dan daging domba ? Namun kenapa umat Islam setiap hari Raya Idhul Adha itu menyembelih domba ? Apa bedanya ibadah sang Brahmin tua tadi dengan ibadah umat Islam dalam hal persembahan ?
    Dalam benak San Ali muda bergelayut tanda tanya yang tak ada habisnya : “ untuk menguak hakekat manusia saja sudah sedemikian sulitnya, bagaimana bisa aku mampu mengerti keberadaan Gusti Allah yang aku sembah “ ?
    Tak jarang San Ali merenung malam hari di bawah pohon besar, sambil merenung dan menunggu datangnya kantuk dia menerawang jauh melihat bintang-bintang di atas langit. Benarkah ‘Arsy singgasana Allah terletak di salah satu bintang di langit itu ? Kalau Gusti Allah ada di langit itu, bagaimana aku bisa menemui DIA yang aku sembah selama ini ? Alangkah jauh jaraknya antara aku yang di bawah sini dengan DIA yang di atas sana.
    San Ali teringat ajaran guru agungnya Syaikh Datuk Kahfi yang sangat keras melarangnya untuk membayang-bayangkan, membanding-bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah. Bagaimana orang bisa mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan, membandingkan apalagi memikirkan-Nya ?
    Gumpalan awan hitam pekat yang lewat menutupi pandangannya seolah merupakan jawaban atas gejolak jiwanya dan angin malam yang berhembus semilir telah mengantarnya ke dalam buaian mimpi dengan segudang pertanyaan yang membutuhkan jawaban atas keberadaan Sang AKU.
    Sebuah skenario atas diri anak manusia tengah dipersiapkan oleh sang Maha Pencipta

    BalasHapus
  48. Riska Alviani
    2102408111
    Rombel 4

    PANEMBAHAN SENOPATI DAN KANJENG RATU KIDUL

    Cerita Kemenangan Jawa atas kaum radikal dituturkan dalam Babad Tanah Jawi (the Story of the Land of Java), yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia yang puitis merupakan bagian dari kampanye untuk mendukung kultur-kultur Islam lokal, pribumi yang terancam oleh ekstremisme religius.

    KINANTHI

    (1) Alon tindak kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya apepanggya, Senapati samar ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau wanci nini-nini.

    Perlahan jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama mereka bertemu, Senopati sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang Dewi, seperti terlihat nenek-nenek tadi.

    (2) Mangke dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan sang dewi.

    Lalu nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat menarik hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti Ratih, mereka saling mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.

    (3) Sakpraptanira kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lenggah, mungging kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga, Senapati tansah ngliring.

    Setelah sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi melepas genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.

    (4) Mring warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil jroning driya, yen narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa, mider wrin langening puri.

    Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam hatinya, teringat bahwa si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang keinginannya, Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi.

    (5) Udyana asri dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang rinebat, Gathutkaca lan wre (k.238) putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jeladri,

    Keasrian/keindahan taman dipuja-puja, ranjang emas kuno, jaman ketika Gathutkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.

    (6) Dhawah teleng samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri plataran rinengga, sinebaran gung retna di, widuri mutyara mirah, jumanten jumrut mawarni.

    Jatuh di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh mahluk halus, halaman yang asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah, dan bermacam-macam batu jamrud.

    (7) De jubine kang bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan kencana, ing tepi selaka putih, sinung ceplok pan rinengga, rukma tinaretes ngukir.

    Lantainya agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas putih, berbentuk bunga-bunga mekar dan hiasan berukir-ukiran

    (8) Tinon renyep ting pelancur, rengganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa, gebyaireng renggan adi, surem ponang diwangkara, kasorotan langen puri.

    Terasa sejuk berkilauan, hiasan di ranjang terlihat bercahaya yang sampai menyentuh angkasa, gemerlap cahaya megah, matahari terlihat meredup terkena sorotan cahaya dari puri si Dewi.

    (9) Gapurane geng aluhur, sinung pucak inten adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah soroting awi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.

    Gapura tinggi megah, diatas puncak berhias intan sangat indah, memancarkan cahayanya, seperti sinar matahari, jika malam seperti siang, siang dan malam menjadi sama.

    (10) Sigeg rengganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kelawan sang narpaning dyah, tan kena pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.

    Cukup dulu cerita dalam keadaan istana si Dewi, tadi tersebut sang senopati, dan sang Dewi, tidak bias dipisahkan, seperti Mimi dan Mintuno, mereka saling membuka hati.

    (11) Yen tinon warna Jeng Ratu, wus wantah habsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama, kadya murca yeng ingeksi, sakpolahe karya brangta, ayune mangrespateni.

    Ketika terlihat wajah sang ratu, sudah melebihi wajah Dewi Habsari di surga, sama persis seperti sang Dewi Wilutama, keluar terlihat tingkah lakunya membangkitkan birahi, kecantikannya menawan hati.

    (12) Kadigbyaning warna sang ru- (k.239) m, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan, terkadhang sepuh nglangkungi, yen mijil pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.

    Sang Ratu mempunyai kesaktian berubah wujud, berubah 7 kali sehari, kecantikan yang terpancar sempurna, terkadang sangat tua, jika terdengar musik tingkah laku si Dewi berubah enjadi seperti gadis kelingsari.

    (13) Yen sedhawuh jwaleng sang rum, lir randha kepaten siwi, yen praptaning lingsir wetan, warna wantah widadari, tengange lir dyah Ngurawan, Kumuda duk nujwa kingkin.

    Apabila sedang memberi perintah, seperti janda yang anaknya meninggal, ketika menjelang ufuk timur muncul wujud berubah seperti bidadari, seperti dewi dari Kurawa, berkuda seperti sedang susah.

    (14) Lamun bedhug kusuma yu, mirip putri ing Kedhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun asar pindha Ratih, cumpetingsapta sadina, yen latri embah nglangkungi.

    Ketika tabuh bedug, mirip putrid di kedhiri, ketika matahari terbenam seperti Banowati, ketika asar berubah seperti Dewi Ratih, 7 kali sehari, ketika malam semakin bertambah cantik.

    (15) Lawan sinung sekti punjul, dyah lawan samining ejim, warna wigya malih sasra, mancala putra pan bangkit, mila kedhep ing sakjagad, sangking sektining sang dewi.

    Serta mempunyai kesaktian tinggi, Ratu dengan sesame mahluk halus, mampu berubah wujud 1000 kali, bias berubah menjadi laki-laki, sehingga berada di seluruh dunia, karena sangat saktinya sang Dewi.

    (16) Sinten ingkang mboten teluk, gung lelembut Nungsa Jawi, pra ratu wus teluk samya, mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bekti saben warsi.

    Siapa yang tidak tunduk, seluruh mahluk halus dan bangsa manusia di Jawa, para Raja-raja sudah takluk semua, hanya kepada Ratu Kidul saja, mereka takut dan mengabdi, memberi pengabdian setiap tahun.

    (17) Ngardi Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk napra ing jeladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kelut ngarga miwah Wilis, Tuksanga Bledhug sumewa, ratu kuwu sami nangkil.

    Gunung Merapi dan gunung Lawu, bermahkota di samudera, Raja Pace dan Nglodhaya, Gunung Kelut dan gunung Wilis, Mata air sembilan Bledug dan Ratu Kuwu semua hadir.

    (18) Wringinpitu Wringinrubuh, Wringin-uwok, Wringinputih, ing landheyan Alas Ngroban, sedaya wus kereh jladri, Kebareyan Tega- (k.240) l layang, ing Pacitan miwah Dlepih.

    7 Beringin, Beringin tumbang, Beringin besar, Beringin putih, di tengah-tengah alas Ngroban, semua sudah dikuasai samudera, Kebareyan tegal laying, di Pacitan serta Dlepih.

    (19) Wrata kang neng Jawa sagung, para ratuning dhedhemit, sami atur bulubektya, among Galuh kang tan nangkil, kereh marang Guwatrusan, myan Krendhawahana aji.

    Merata di seluruh Jawa, para Raja-raja mahluk halus, semua memberi pengabdian, hanya Galuh yang tidak hadir, diperintah oleh Guwatrusan, menghadapi Krendhawahana aji.

    (20) Wuwusen malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman keras myang manis, kang ngladosi pra kenyendah, sangkep busana sarwa di.

    Menceritakan kembali tentang Ratu Kidul dengan sang senopati, lengkap dengan makanan, minuman keras dan minuman manis, yang melayani para gadis-gadis yang berpakaian bagus-bagus.

    (21) Bedhaya sumaos ngayun, gendhing Semang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa, wileting be (ksa) mrak ati, keh warna solahing beksa, warneng bedhaya yu sami.

    Para penari bedhaya maju kedepan, musik gending semang berbunyi nyaring, yang melihatnya membuat rasa hati tenteram, gerakannya menawan hati, bermacam-macam gerakan penari.

    (22) Senapati gawok ndulu, mring solahe dyah kang ngrangin, runtut lawan kang bredangga, wilet rarasnya ngrespati, acengeng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.

    Senopati terheran-heran terpesona melihat gerakan-gerakan yang gemulai, sesuai dengan alunan irama musik, irama tembangnya menentramkan hati, sampai lama terpana melihatnya, wajah dewi-dewi yang cantik-cantik.

    (23) Tan lyan kang pineleng kayun, mung juga mring narpa dewi, brangteng tyas saya kawentar, de sang dyah punjul ing warni, kenyataning waranggana, sorote ngemas sinangling.

    Tiada yang lain yang dipikirkan hanya di depannya, juga hanya kepada Ratu Kidul, hatinya semakin berdebar-debar, karena sang Dewi lebih unggul kecantikannya dibandingkan penyanyi, Dewi bercahaya seperti emas dicuci.

    (24) Wuyunging driya sinamun, tan patya magumbar liring, tan pegat sabil ing nala, wau Risang Senapati, enget yen dene jinisnya, dyah narpa tuhuning ejim.

    Senopati menutup-nutupi asmara dalam hatinya, tidak terus mengumbar pandangannya hanya sebentar-bentar saja memandang Ratu, tidak berhenti pula perang dalam bathin hatinya, sang senopati teringat bahwa Ratu Kidul bukan dari golongan sejenisnya, sang Ratu yang sebenarnya adalah mahluk halus/jin.

    (25) Rianos jroning kung, 1) kagugu saya ngranuhi, temah datan antuk karya, (k.241) nggenira mrih mengku bumi, nging narpeng dyah wus kadriya, mring lungite Senapati.

    Dalam perasaan senopati terdalam, 1) mengikuti rasa penasaran, agar berhasil tujuan, (k.241) untuk menguasai bumi, akan tetapi sang Ratu sudah tahu, dengan apa yang dipikirkan senopati.

    (26) Ngunandika dalem kalbu, narpaning dyah ing jeladri, “ Yen ingsun tan nggango krama, nora kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mejanani.

    Berbicara dalam hati, sang Ratu di samudera, “Jika saya tidak perlu menikah, tidak harus menjadi permaisuri, lebih baik mejadi laki-laki, tidak ada yang mempengaruhi.

    (27) De wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pengajapan, temah arsa ngapirani, sunbekane mengko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.

    Sudah menjadi sumpah saya, berniat untuk menyendiri selamanya, menanti-nanti pengharapan, akan menjadi merepotkan, nanti aku mencoba, keangkuhannya menjadi-jadi.

    (28) Wong agunge ing Metarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra”, kawentar mesem sang dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.

    Orang besar di Mataram, agar lupa dengan negaranya, kerasan (suka tinggal) di samudera”, sang Dewi mengumbar senyum, kepala menunduk dengan mata menoleh sedikit melihat senopati, hati Senopati menjadi penasaran.

    (29) Duk liniring mring sanging rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, “Dhuh wong ayu karsa mami, wus dangu nggoningsun ningal, mring langene ing jro puri,

    Mencuri pandang kepada sang Dewi yang harum, menjadi tidak menentu perasaannya, sambil berbicara halus “Duh putri cantik yang kuinginkan, sudah lama aku memandang, kepada keindahan dalam puri,

    (30) Pesareyanta durung weruh, kaya ngapa ingkang warni”, nging dyah “Tan sae warninya, yen kedah sumangga karsi, sinten yogi ndarbenana, lun mung darmi anenggani.”

    Tempat tidurmu belum tahu, seperti apa kelihatannya tempat tidurmu itu”, Ratu menjawab, “Tidak bagus wujudnya, jika harus melihatnya terserah Anda, siapa yang pantas memiliki, saya hanya sekedar menjaga saja.”

    (31) Wusira gya jengkar runtung, Sang Sena lan narpa dewi, rawuh jrambah jinem raras, alon lenggah sang akalih, mungging babut pan rinengga, Se- (k.242) napati gawok ngeksi.

    Segera mereka beranjak bersama, sang senopati dan sang Dewi, datang ke tempat tidur yang nyaman, keduanya duduk pelan-pelan, diatas permadani yang rapi, Senopati terheran-heran melihatnya,

    (32) Warneng pajang sri kumendhung, tuhu lir suwargan ngalih, sang dyah matur marang priya, “Nggih punika ingkang warni, tilemane randha papa, labet tan wonten ndarbeni.”

    Bermacam-macan hiasan Sri Kumendhung dipajang, terasa seperti syurga berpindah, Sang Ratu berbicara pada sang senopati, “Ya begini lah wujudnya, tempat tidur si janda yang sengsara, karena tidak ada yang memiliki,”

    (33) Kakung mesem nglingira rum, ”Anglengkara temen Yayi, ujare wong randha dama, ing yektine angluwihi, kabeh purane pra nata, tan padha puranta Yayi.

    Senopati tersenyum sambil melirik si Dewi yang harum, “Kasihan sekali kamu Dik, katamu hanya seorang janda tapi kenyataanya melebihi semua istana, tidak ada yang menyamai istana dinda.

    (34) Pepajangan sri kumendhung, ingsun tembe nggonsun uning, pesareyan warna endah, pantes lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa temen ngrakit-ngrakit.

    Hiasan Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, tempat tidur serba indah, pantas sesuai yang memilikinya, bentuk yang sangat cantik, pandai sekali merangkainya.

    (35) Baya sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbea kakung becik.

    Aku menjadi malas pulang ke negeri Mataram, setelah melihat-lihat istana, rasa kecewa hanya satu, lebih bagus tidak ada lelaki, jika ada yang memiliki pria baik

    (36) Wanodyane dhasar ayu, imbang kakunge kang pekik, keng runtut bisa mong garwa, wonodyane bekti laki, tur dreman asugih putra”, Senapati denpleroki.

    Dasarnya wanitanya cantik seimbang dengan pria yang baik, yang setia kepada isteri, wanitanya juga setia pada suami, juga suka mempunyai anak banyak”, Senopati melirik menggoda dengan matanya.

    (37) Dyah merang lenggah tumungkul, sarwi mesem turira ris, “Sae boten mawi priya, mindhak pinten tyang akrami, eca mung momong sarira, boten wonten kang ngrego-(k.243) ni.

    Sang Dewi duduk dengan kepala menunduk, sambil tersenyum berbicara halus, “Bagus tidak memiliki suami, bertambah apa orang bersuami, enak sendirian saja, tidak ada yang mengganggu (k.243).

    (38) Eca sare glundhung-gundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronken keng ladosan”, Senapati mesem angling, “Bener Yayi ujarira, enak lamban sira Yayi.

    Enak tidur sendiri berguling kesana kemari, diatas tikar bersama guling, dan tidak ada yang harus dikerjakan”, Senopati terlihat tersenyum, Benar dinda katamu, enak sendirian kamu dinda.

    (39) Mung gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawelas arsa, lagya rena wrin in jladri, semang ginendeng pineksa, kinon kampir mring jro puri.

    Hanya heran saya kepada dinda, ada seorang lelaki di pesisir pantai, apalagi pria yang meminta belas kasihan, sedang melihat samudera, malah digandeng paksa, disuruh mampir/ singgah ke dalam puri.

    (40) Jeng Ratu kepraneng wuwus, merang tyas wetareng lungit, kakung ciniwel lambungnya, mlerok mesem datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.

    Sang Ratu terpana akhirnya, hatinya merasa tersentuh, lelaki itu dicubit perutnya, melirik tersenyum menggoda senopati, menyentuh hati senopati, selanjutnya berbicara lembut.

    (41) ”Ya sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jeladri, labet sun anandhang gerah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.

    “Ya aku ini berbicara secara mudahnya saja, aku datang ke samudera karena sedang sakit, sudah lama tidak mendapat obat, seperti apa syaratnya obat sakit asmara.

    (42) Mider ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika mirah, pantes yen dhukum premati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang mami.”

    Aku sudah keliling dunia untuk berusaha, yang menjadi penawar sakit tidak lain hanya kamu, pantas jika dihukum, yang bisa menyembuhkan sakit asmara, kasih sayang tulus kepadaku.”

    (43) Sang dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya, mangkana usik sang dewi, “Wong iki mung lamis ujar, sunbatanga nora slisir

    Sang Dewi cemberut menunduk, sambil memandang Senopati, tapi selalu berani dengan lelaki, demikian goda sang Dewi kepada senopati, “ Anda ini hanya berbicara bohong, perkiraan saya tidak lah salah.

    (44) Minta tamba ujaripun, pan dudu lara sayekti, lara arsa madeg nata, ewuh mungsuh guru darmi, wus persasat ingkang yoga, kang amengku Pajang nagri.”

    Meminta obat katanya, tapi tidak sungguh-sungguh sakit, sakitnya karena berkehendak mejadi Raja, tidak enak bermusuhan dengan sesama guru, sudah dititahkan yang memegang kekuasaan negeri Pajang.”

    (45) Wusana dyah matur kakung, “Kirang punapa sang (k.244) pekik, kang pilenggah ing Mataram, lelana prapteng jeladri, tan saged lun sung usada, nggih dhateng keng gerah galih.

    Akhirnya sang Dewi berbicara kepada senopati, “Kurang apakah sang pangeran tampan, yang menduduki Mataram, berkelana sampai samudera, tidak bisa menyembuhkan yang menjadi sakit hatinya.

    (46) Yekti amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatenga palastra, tur badhe nalendra luwih, kang amengku tanah Jawa, keringan samining aji.

    Sungguh saya bukan dukun, api asmara yang anda pikirkan, tidak mungkin menyebabkan kematian, apalagi akan menjadi Raja dari para raja-raja, yang menguasai tanah jawa, ditakuti oleh sesame raja.

    (47) Kang pilenggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula estri punapi, sumedya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cethi.

    Yang menduduki Mataram tidak mungkin kekurangan wanita, yang cantik-cantik dan utama, kaum wanita yang bagaimanapun, tersedia para nyai, jika dibutuhkan secara pasti.

    (48) De selamen lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bekti praja, labet blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labet karibetan tapih.

    Selama saya menyendiri, pernah mempunyai keinginan bersuami, yang berbakti kepada kerajaan, karena malas seorang wanita, tidak pandai terhadap pria, karena terlilit kain.

    (49) Lamun kanggeya wak ulun, kalilan among anyethi, ngladosi Gusti Mataram”, wau ta Sang Senapati, sareng myarsa sebdeng sang dyah, kemanisan dennya angling.

    Meskipun badan saya dibutuhkan, diijinkan hanya untuk berbakti kepada Gusti Mataram,” Sang Senopati mendengarkan perkataan Dewi sambil menikmati melihat kemanisan Ratu Kidul.

    (50) Saya tan deraneng kayun, asteng dyah cinandhak ririh, sang retna sendhu turira, “Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyepeng driji.

    Semakin lama tidak bisa ditahan lagi hati Senopati, tangan Dewi dipegang pelan-pelan, sang Ratna Dewi berkata lembut manja, “Dhuh Pangeran nanti sakit, sebetulnya pangeran mau apa, tiba-tiba meremas-remas jari tangan saya.

    (51) Asta kelor driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan wong agung Mataram, mangsi saged karya driji”, kakung mesem lon delingnya, “Dhuh wong ayu sampun runtik.

    Jari tangan saya kecil-kecil, jika patah siapa yang akan mengganti, meskipun orang besar Mataram tidak mungkin menciptakan jari tangan”, Senopati tersenyum sambil berkata pelan, “Dhuh wanita cantik jangan marah.

    (52) Nggon sun nyepengasteng masku, Yayi aja salah tampi, mung yun u-(k.245) ning sotyanira”, dyah narpa nglingira aris, “Yen temen nggen uning sotya, sing tebih andene keksi.

    Saya memegang tanganmu, dinda jangan sampai salah terima, hanya mau melihat ( k.245) cincinmu”, Lalu Dewi berkata halus, “Jika benar Anda hanya mau melihat cincin saya, bisa melihat dari jauh saja.

    (53) Yekti dora arsanipun, sandinya angasta driji, yektine mangarah prana, ketareng geter ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cethi.”

    Pasti bukan kehendak sesungguhnya, berpura-pura memegang jemari, pasti berkehendak sesuatu, terlihat jelas dipikiran, beri lah janji cinta kasih yang pasti.”

    (54) Kakung mesem sarwi ngungrum, swara rum mangenyut galih, narpaning dyah wus kagiwang, mring kakung asihnya kengis, esemnya mranani priya, Senapati trenyuh galih.

    Senopati merayu dengan bernyanyi sambil tersenyum, suaranya merdu menggugah hati, Ratu cantik sudah terpesona, kepada senopati cintanya terbuka, senyum ratu menawan pria, Senopati tersentuh hatinya.

    (55) Narpaning dyah lon sinambut, pinangku ngras kang penapi, sang dyah tan lengganeng karsa, labet wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih,

    Sang Dewi disambut perlahan, diletakkan diatas pangkuan senopati, sang Dewi tidak menolak keinginan, yang tertuju kepada kekasih hati, terpenuhi keinginan mahluk-mahluk itu.

    (56) Lan titisnya Sang Hyang Wiku, kang mengkoni ngrat sekalir, Senapati nir wikara, karenan mring narpa dewi, tansah liniling ngembanan, de lir ndulu golek gadhing.

    Dan titisan Sang Hyang Wiku, yang menguasai dunia, Senopati tanpa halangan, kehendak kepada sang Dewi, saling melihat mesra dalam pangkuan, seperti boneka golek gadhing.

    (57) Binekta manjing jinem rum, tinangkeban ponang samir, kakung ndhatengaken karsa, datansyah bremara sari, mrih kilang mekaring puspa, kang neng madya kuncup gadhing.

    Dibawa masuk ke tempat tidur yang harum, tertutup kain selendang, senopati mendatangkan hasrat, selalu mesra, kepada ratu yang seperti bunga sedang mekar, yang berada ditengah kuncup gading.

    (58) Jim prayangan miwah lembut, neng jrambah sami mangintip, mring gusti nggen awor raras, kapyarsa pating kalesik, duk sang dyah katameng sara, ngrerintih sambate (k.246) lalis.

    Jin setan parahyangan serta mahluk halus, mereka mengintip, kepada gusti yang bercinta, terdengar saling berbisik, ketika sang Ratu terkena tajam, mengadu merintih (k.246).

    (59) Kagyat katemben pulang yun, sang dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam, ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe pura jeladri.

    Terkejut ketika sang Dewi kehilangan selaput daranya, pecah membanjiri di tempat tidur, sanggul rambutnya menjadi berantakan, tercium bau semerbak harum, rusaknya pura samudera.

    (60) Dyah ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal, sang dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah kalih.

    Dewi terbaring lemah di tempat tidur harum, selaput daranya hilang, Senopati memandang dengan belas kasihan, sang Dewi diambilnya pelan-pelan, lalu keduanya duduk.

    (61) Dyah sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipunarasi, mring kakung Sang Senapatya, nyengkah ngeses sang retna di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara di.

    Dewi tiduran diatas pangkuan Senopati, tidak henti-hentinya diciumi oleh Senopati, keduanya saling dekap erat, penuh cinta.

    (62) Cinendhak rengganing kidung, pasihane sang akalih dugi ngantya sapta dina, Senapati neng jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.

    Irama kidung yang pendek, kemesraan keduanya sampai tujuh hari, Senopati tinggal di dalam samudera, yang nanti akan pulag ke kerajaan Mataram.

    (63) Kakung nabda winor rungrum, “Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira karia arja, ingsun kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi,

    Senopati berbicara dengan bernyanyi, “Dhuh emas merahku, ya semoga kamu bahagia, aku pulang ke Mataram, sudah lama di samudera, pasti aku sudah ditunggu-tunggu,

    (64) Marang wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri”, narapaning dyah sareng myarsa, yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.

    Oleh rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri”, Dewi mendengarkan sambil merasa sedih jika senopati pamit pulang ke negerinya, menangis sedih, Rembulan menjadi menangis deras.

    (65) Dereng dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking pangkyan, udrasa sret dennya angling, “Kaya mengkono (k.247) rasanya, wong tresna dentimbangi.

    Belum sampai yang di pikirannya, kepada senopati yang dicintai, perlahan-lahan turun dari pangkuan, terdengar isak tangis Ratu, “ Seperti ini lah (k. 247) rasanya mencintai yang dibandingkan.

    (66) Kaya timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira, mesthi kanggo nggonsun nyethi”, kakung uning wus kadriya, mring udrasa sang retna di.

    Seperti membandingkan cintaku, seandainya aku bisa memberi, menuruti semua kehendakmu, pasti saya berguna”, Senopati sudah tahu dalam hati, atas tangisan sang Ratna.

    (67) Lon ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, dyah sinambut gya ingemban, binekta mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.

    Pelan-pelan melepas kain setagen, berhias bunga-bunga emas, Dewi disambut diemban/diangkat, dibawa keliling-keliling ke kebun taman sambil dinyanyikan oleh Senopati.
    M I J I L

    (1) “Dhuh mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira Angger, marcapada myang delahan Yayi, nggoningsun mangabdi, ditulus sihipun.

    “Dhuh emas merahku jangan khawatir hatimu, lihatlah saya, jika lupa kepadamu, dari dunia sampai akherat Dinda, aku mengabdi cinta tulus.

    (2) Nadyan ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, genging tresna wus tan liya Angger, ingkang dadi teleng ingsun kang sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.

    Walaupun saya sudah punya banyak isteri, dan cantik-cantik, besar cintaku tidak lain adalah kamu dinda, yang menjadi tanda kuat cinta, hanya dirimu adinda Gusti, kepadamu saya tergila-gila.

    (3) Malawija neng jro tilam sari, tan lengganing pangkon, mung pun kakang timbangana Angger, ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku,

    Kenapa saya berlebihan ditempat tidur, tidak melepaskan pangkuan, hanya kakanda pula daripada dinda, saya sungguh sedang menderita sakit, belum mendapatkan obat, tidak lain hanya lah kamu emasku,

    (4) Ambirata rentenging tyas kingkin, satemah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene, tan suminggah sakarsa mestuti, nging kapriye Yayi, solahe wadyengsun.”

    Yang bisa menghilangkan hati sedih, jadi saya tetap menunggu-nunggu, walaupun harus berjalan jauh sampai disini, tidak ingin sembunyi berusaha, tetapi bagaimana dengan rakyatku Dinda.”

    (5) Narpaning dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe, (k.248) dadya luntur sihira sang dewi, mring kakung lon angling, “Pangran nuwun tumrun.”

    Hati Ratu tersentuh, terpesona oleh perkataan senopati yang manis minta dimengerti, (k.248) menjadi pudar sihirnya sang Dewi, kepada senopati berkata pelan, “Pangeran saya minta turun.”

    (6) Sing ngembanan wus tumrun sang dewi, long lenggah sekaron, malih sang dyah matur mring kakunge, “Pangran nuwun ngapunten kang cehti, dene kumawani, dhoso gungan kakung.

    Sang Dewi turun dari pengembanan/ bopongan, kemudian duduk diatas bunga, kembali Dewi berbicara kepada senopati, “Pangeran, saya mohon sungguh-sungguh dimaafkan, karena terlalu berani banyak kepada lelaki/senopati.

    (7) Datan langkung panuwuning cethi, sih tresnanya yektos, sampun siwah putra wayah tembe, tinulusna darbe cethi mami”, kakung ngraketi ngling, dyah ingras pinangku.

    Tidak lebih permohonan saya, cinta kasih yang nyata, jangan berubah sampai anak cucu nanti, ketulusan menjadi milikku”, Senopati langsung memeluk, Dewi dipangku.

    (8) “Ya mas Mirah aja sumlang galih, sok bisaa klakon”, malih sang dyah matur mring kakunge, “Nggih Pangeran yen wus mangguh westhi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.”

    “Ya emas merahku jangan khawatir hatimu, nanti akan terjadi”, Dewi berbicara lagi kepada senopati, “Ya Pangeran jika sudah menjadi sungkan nanti menghadapi perang, segera saya tolong.”

    (9) Magut sang dyah kakung lon winangsit, ubayaning temon, “Sedhakepa myang megeng napase, anjejaka kisma kaping katri, yekti amba prapti, ngirit wadya lembut.

    Kepala Dewi mengangguk pelan sebagai tanda akhir pertemuan, “Sedekapkan tanganmu dengan menahan nafas, hentakkan kaki ke tanah 3 kali, saya pasti datang, membawa pasukan mahluk halus.

    (10) Lawan amba atur araneng jurit, mrih digbya kinaot, Tigan lungsungjagad nggih namine, dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yekti, kyating sara timbul.

    Bersama saya serahkan pasukan, agar kekuatannya unggul, Telur Lungsung Jagad namanya, mendapat pengaruh besar juga, panjang umur pasti, kekuatan tumbuh pesat.

    (11) Lawan Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong “, kalih sampun ngaturken kakunge, Senapati sawusnya nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.

    Dengan minyak Jayengkaton namanya, Dewa yang memberi padaku”, kedua hal itu sudah diberikan kepada senopati, sudah diterima oleh senopati, bertambah senang hatinya, mendapat sarana untuk perang.

    (12) Malih sang dyah mangsit marang laki, ngelmining kerato- (k.249) n, mrih kinedhep mring lelembut sakeh, Senapati wus kadriyeng wangsit, wusana sang dewi, ngraket weceng kakung.

    Kembali sang Dewi memberi pesan kepada senopati, ilmu dari keraton (k. 249), yang tersedia oleh semua mahluk halus, Senopati sudah menerima wangsit, selesainya Dewi memeluk erat Senopati.

    (13) “Dhuh Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong sampun age-age kondur mangke, wilangun lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.”

    “Dhuh Pangeran jika saya diperbolehkan meminta, saya minta jangan cepat-cepat pulang, menurut perhitungan saya belum sampai, seperti apa saya nanti, jika Paduka pulang.”

    (14) Raka ngimur mrih lipuri Yayi, “Adhuh mirah ingong kang sih tresna marang ing dasihe, myang sakjarwa wus sun trima Yayi, nging sun meksa amit, megat oneng masku.

    Kanda Senopati menghibur Dinda Ratu, “Adhuh emas merahku yang aku cintai, saya sudah jelas menerima Dinda, hanya saja saya harus pamit, berpisah dengan mu emas merahku.

    (15) Aja brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram prajeng, nora lama mesthi nuli bali, mring pureng jeladri, tuwi dika masku,

    Jangan sedih emas merah milikku, relakanlah saya, saya pulang ke kerajaan Mataram, tidak lama pasti akan kembali, ke puri samudera ini, menjenguk engkau emasku,

    (16) Saking labet datan betah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mengkoni prajeng”, sang dyah ngungsep pangkyan ngling ing laki, “Pangran sampun lami, nggih nuntena wangsul.”

    Saya sebenarnya sangat tidak kuat untuk berpisah dengan emasku, hanya karena berat beban saya menjaga menlindungi kerajaan”, Sang Dewi kemudian jatuh memeluk pangkuan Senopati, “Pangeran jangan lama, segera pulang kesini.”

    (17) Dugi nggusthi megat onenging sih, gya mijil sang anom Ratu Kidul ndherekken kondure, asarimbit kekanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.

    Sampai akhirnya Gusti Senopati mengakhiri kasih cinta, segera Ratu Kidul mengantarkan kepulangannya, saling menggandeng tangan harmonis, sampai di Srimanganti, Senopati segera melihat sang Dewi penuh rasa kasih.

    (18) “Wus suntrima sihira Mas Yayi, nggennya ngater mring ngong, among ingsun minta sihirangger, srana tumbal usadaning kingkin”, sang dyah manglegani, sih katresnane kakung.

    “Sudah saya terima sihir mu Dinda Mas, olehmu menghantar saya, hanya saya minta sihirmu, sebagai sarana tumbal obat sakit asmaraku”, Sang Dewi memberi cintanya kepada Senopati.

    (19) Atur gantyan manglungken sing lathi, tinampen waja (k.250) lon, geregetan ginigit lathine, sang dyah kagyat raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan lestantun.

    Bergantian memberi ciuman bibir, diterima gigi secara pelan, mencium menggigit mesra, Sang Dewi kaget pada Senopati, setelah bercumbu, kunjungan selesai.

    (20) Senapati praptanireng njawi, puranya sang sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.

    Senopati telah sampai diluar pura sang Dewi, kembali menghilang samudera dari penglihatan, Senopati berjalan diatas air, seperti memijak tanah, dia berjalan terus.

    (21) Senapati sakpraptaning gisik, wespadeng pandulon, kang pitekur neng Parangtritise, wus saestu lamun guru yekti, niyakaning Sunan Adilangu.

    Senopati sampai dipinggir pesisir pantai, melihat dengan waspada kepada seseorang yang berdiri tegak di Parangtritis, sudah merasa yakin bahwa dia adalah Guru Senopati, yaitu Sunan Adilangu.

    (22) Senapati gepah nggen mlajengi, mring guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane, pamidhangan ngasta mring sang yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.

    Senopati segera menghampiri maha guru, dengan segera memberi hormat tunduk, tangan guru menyentuh sang anak/ murid, sebagai tanda diterimanya bakti sang Senopati, bergeser duduk sopan.

    (23) Sunan Adi gya ngandika aris, “Jebeng sokur ingong, lamun sira katemu neng kene, sabab ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yekti, mrih arjaning laku.

    Sunan Adilangu berbicara dengan bijaksana, “Aku bersyukur anakku, aku bertemu denganmu disini, sebab aku menanti-nanti, apa yang sebenarnya terjadi dengan perjalananmu.

    (24) Sira sinung digdaya lan sekti, ngluwihi sagung wong, sun prelambang samodra pamane, kita ambah tan teles kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,

    Kamu sangat ampuh dan sakti, melebihi semua orang, misalnya saja tanda samudera yang kamu injak tanpa basah dengan air, seperti daratan saja, tetapi ingatlah hatimu jangan angkuh

    (25) Riya kibir sumengah tan keni, segahe Hyang Manon, nabi wali uliya sedene, yen neraka tuk sikuning Widi, karseng Hyang piningit, bab catur piyangkuh.

    Sombong, riya, congkak tidak boleh, dibenci oleh Hyang Manon, nabi wali Allah juga membenci, jika neraka mendapat laknat dari Hyang Widi, diharapkan oleh Hyang tersembunyi, bab pembicaraan yang angkuh.

    (26) (k.251) Wong gumedhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma kang murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalema luwih, keringan sawegung.

    (k.251) Orang yang sombong melebihi kibir. Barang siapa yang patuh pada larangan Hyang Sukma yang menciptakan alam dan seisinya, sombong dan riya adalah keangkuhan manusia, minta dipuji-puji berlebihan, semuanya itu tidak lah pantas

    (27) Amemadha marang ing Hyang Widi, wong pambeg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane, ujubira piyangkuh ngengkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.

    Mempersamakan diri dengan Hyang Widi, orang seperti itu disemayami derajat dari raja-raja yang lainnya, perlihatkanlah kepribadianmu yang tidak angkuh, terlihat mempesona, berjalan anggun berwibawa.

    (28) Saksolahe was tan darbe maning, mung legane batos, sakeh patrap ja mengkono Jeneng, Senapati tuhunen kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu

    Semua tingkah laku tidak ada yang mengganggu hati, tinggal tentramnya hati saja, banyak sekali perilaku jangan hanya menjadi nama saja, Senopati benar-benar hanya berfokus pada kehendak/cita-cita luhur, dan saya memperumpamakan lagi, yang tidak memiliki ilmu.

    (29) Aja sira pambeg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh, pan ya Kaki pambeganing langit, saengganing jalmi, ngendelken yen luhur.

    Jangan lah kamu menengadah seperti langit (angkuh), bumi gunung tinggi, dan samudera semua contoh, ya Kaki pemberian langit, bermacam-macam manusia, mengandalkan yang luhur.

    (30) Bumi kandel jembare ngluwihi, dwi lir pambeging wong, wus tan ana mung iku dayane, myang kang gunung digung geng inggil,sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,

    Tebalnya bumi dan luasnya itulah dua sifat manusia, sudah tidak ada yang melebihi kekuatannya selain itu, kepada gunung-gunung besar dan tinggi, dalamnya samudera, gumelarnya ombak,

    (31) Ngendelaken digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambeg jalma kabeh, wus tan ana polataning maning, sisip pambeg jalmi, kurang jembar kawruh.

    Mengandalkan kekuatan mereka, bumi samudera banjir, semua langit dan gunung seperti sifat manusia, sudah tidak ada perbedaannya lagi, sedikit berbeda dengan manusia yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.

    (32) Yen sira yun wigya dadi aji, mangreh sagunging wong, aja pegat istiyarmu Je- (k.252) beng, laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-ening, mrih uning Sukma Gung.

    Jika kamu menjadi orang tinggi/ Raja, memerintah semua orang, jangan berhenti ikhtiarmu (k.252) Nak, berpasrah kepada Kang Murbeng Bumi (Penguasa Yang menciptakan Bumi dan seisinya), menjadi sekutu terhadap Sukma Gung (Hyang Besar Sukma)

    (33) Ginampangan seka karseng Widi, di-terang pandulon, aja sereng sakpekoleh bae, ngibadaha nglungguhana gami, nging driya dieling, mrih manise wadu.

    Secara mudah terwujud kehendak dari Hyang Widi, berfokus lah pada pandangan/tujuanmu, jangan sembarangan bertingkah seenaknya saja, beribadah lah memeluk agama, selalu hati berwaspada kepada manisnya wanita.

    DHANDHANGGULA

    (1) Lawan Jebeng ya sun Tanya yekti, antuk apa sira seka sagra”, Senapati lon ature, “Inggih binektan ulun, Tigan lungsungjagat ken nedhi, lan Jayengkaton lisah”, dwi serana katur, sang wiku wrin lon delingya, “Katujone durung kongsi sira bukti, yen wisa dadi apa.

    Kepadamu anakku aku bertanya, kamu mendapat apa dari segoro/samudera”, Senopati menjawab pelan, “Ya saya diberi Telur Lungsung Jagad yang disuruh memakannya, dan Minyak Jayengkaton”, Keduannya adalah pemberian, sang Wiku sudah menyadarinya dan berkata secara halus, “Untung saja kamu belum membuktikannya, jika sudah dimakan mau jadi apa kamu Nak.

    (2) Temah antuk sengsareng ngaurip, yekti wurung sira dadi nata, nggonirarsa mengku ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan wikan, myang garwa putramu, labete wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul mesthi, sabab nir manungsanya.

    Hanya mendapat hidup yang sengsara, pasti gagal keinginanmu menjadi Raja memerintah kerajaan malah terperangkap di samudera luas, tidak bisa kembali ke Mataram, rakyatmu dan anak isterimu tidak akan melihatmu karena kamu sudah berubah wujud, karena kamu menjadi lelaki/suami Ratu Kidul, menjadi hilang wujud manusiamu.

    (3) Maneh Jebeng sun Tanya kang yekti, sira remen marang narpaning dyah, kaya ngapa suwarnane”, Senapati lon matur, “Wananipun ayu nglangkungi, saktuwuk dereng mriksa, keng (k.253) kadya Dyah Kidul”, sang wiku mesem ngandika, “Kesamaran kita Jebeng Senapati, kena ngayu sulapan.

    Kembali saya bertanya kepada mu dengan pasti, kamu suka kecantikan sang Ratu, seperti apa wajahnya”, Senopati menjawab pelan, “Wajahnya sangat cantik, seumur hidup saya belum pernah melihat, yang seperti (k.253) Dyah Ratu Kidul”, Sang Wiku tersenyum berbicara, “Kamu terkena sihirnya anakku, itu hanya wujud yang disulap.

    (4) Sabab sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing pura, dyah supine ya suncolong, neng jenthik driji sang rum, iki warna delengen Kaki”, kagyat Sang Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gengira, pan sakwengku tebok bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.

    Sebab kamu belum pernah melihat sebelumnya, dulu saya sudah pernah masuk ke pura, aku mencuri cincin dari jari kelingking sang Ratu, ini wujud sebenarnya sang Ratu silahkan melihat anakku”, senopati terkejut, melihat cincin yang sangat besar, sebesar “tebok” lubang cincin, Senopati merunduk memperhatikan.

    (5) Driya maksih maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas wus waskitha, Senapati tyas sandeyeng, wusana ngling sang wiku, “Payo Jebeng ya padha bali,mumpung narpeng dyah nendra,katon warna tuhu, mengko Jebeng wespadakna”, ri wusira Jeng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.

    Saya masih merasa ragu dalam hati, Sunan Adilangu menyadari dalam hatinya, hati senopati bimbang, lalu melihat kepada sang Wiku, “Ayo Nak kita pulang, mumpung Ratu sedang tidur, nanti kamu bisa memperhatikannya lagi” setelahnya Kanjeng Sunan Adilangu dan senopati berabjak meninggalkan samudera.

    (6) Sakpraptaning jro pureng jeladri, Ratu Kidul wus kepanggih nendra, nglenggorong langkung agenge, lukar ngorok mandhekur,rema gimbal jatha mangisis,panjangnya tigang kilan, sakcarak gengipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing warni, tansah legek tan nebda.

    Sesampainya di pintu samudera, diketahui bahwa Ratu Kidul sudah tidur, tidur telentang badannya sangat besar, tidur tanpa pakaian dan suara mendengkur, rambutnya gimbal/ gembel dan gigi siungnya keluar tajam, panjangnya 3 kali jengkal tangan, sebesar “carak”, payudaranya turun menggantung, Senopati menggigil ketakutan melihat wujudnya, sangat terkejut sampai tanpa bicara.

    (7) (k.254) Sunan Adi nebdeng Senapati, “Jebeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu mring Hyang Agung, lamun wungu sakarep dadi, bisa salin ping sapta, sakdina warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok menawi mengko tangi, gawe rengating driya.”

    (k.254) Sunan Adilangu berkata kepada Senopati, “Nak itu lah wujud sebenarnya Ratu Kidul, yang bisa berubah menjadi cantik karena sulapan sihir, “linulu” kepada Hyang Agung, ketika bangun berubah lagi, bisa berubah selama tujuh (7) kali, dalam satu hari, menjadi cantik, kalau kamu sudah puas melihantnya mari kita pulang, kemungkinan dia nanti bangun, membuat sakit hati.”

    (8) Wusnya nulya kentar pyagung kalih, ing semarga Sunan tansah jarwa, “Ya sun tan malangi Jebeng, nggonira kita wanuh, lan dyah narpa sakkarsa Kaki, wis bener karsanira, nging ta cegah ingsun, wenangira mung persobat, sabab iku kang rumeksa Pulo Jawi, wenang sinambat karsa.

    Setelah itu kedua pembesar beranjak pergi, di perjalanan Sunan berbicara, “Ya saya tidak menghalangi kamu berkenalan dengan Ratu Kidul, sudah benar keinginanmu, terserah kamu, hak kamu berteman, sebab itu yang menyatukan Pulau Jawa, berhak meminta bantuan.

    (9) Mayo padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wis manira”, wusnya dwi gancang tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekken lan Senapati, tindakira lir kilat, sakedhap prapta wus, njujug dalem pepungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati, arsa ngyektekken srana.

    Mari kita pulang ke Mataram, saya mau singgah di rumahmu”, ayo percepat perjalanan kita, Sunan Adilangu diikuti oleh Senopati, jalan mereka secepat kilat, sekejap sudah sampai, langsung menuju rumah belakang, Sunan Adilangu dan cucu Senopati akan membuktikan sarana (pemberian Ratu, telur dan minyak).

    (10) Juga juru taman Senapati, jalma tuwa madad karemannya, dadya mengguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu, sambat muji marang Hyang Widi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna (k.255) ngumur, samben muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale krengkangan.

    Juga juru taman Senopati, manusia tua yang suka menghisap candu, menjadi batuk dan badan rusak kurus kering, jika kumatnya datang tidak bisa tidur, mengadu kesakitan kepada Hyang Widi, meminta kekuatan dan panjang umur (k.255), setiap sedang memohon seperti itu seterusnya sampai tidak sadar kalau gusti majikannya menghampiri, dia turun dari bale dengan susah payah jatuh bangun.

    (11) Senapati wusnya lengah angling, “Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji mintakyate, iku ta apa tuhu, minta ing Hyang sarasing sakit, lan dawane murira”, Juru Kebon matur,”Nggih Gusti yektos amba, rinten dalu nenuwun maring Hyang Widi, pangjanging umur saras.”

    Setelah duduk Senopati berbicara, “Heh Ki Taman tadi aku mendengar kamu berdoa meminta kekuatan, apa itu betul, minta kepada Hyang untuk sembuh dari sakit dan panjang umurmu”, Juru Taman menjawab,”Ya Gusti, benar hamba, setiap malam meminta kepada Hyang widi, panjang umur dan sehat.”

    (12) “Yen wis mantep panuwunmu Kaki, sunparingi sesarating gesang, dimen sirna lara kabeh”, Ki Taman nembah nuwun, majeng sinung tigan tinampin, laju kinen nguntala, seksana nguntal wus, Ki Tamanmubeng angganya, lir gangsingan tantara jumeglug muni, wreksa sol sangking prenah.

    “Kalau sudah yakin permintaanmu Kaki, aku memberimu prasyarat hidup, agar hilang semua kesakitan”, Ki Taman menghaturkan sembah terimakasih, maju mendekat Senopati dan menerima telur, disuruh segera menelannya, sesudah menelan telur badan Ki Taman berputar-putar, seperti gangsingan berbunyi keras (gangsingan = mainan anak terbuat dari bamboo yang bergerak berputar-putar cepat seperti angina puyuh), arahnya dari pohon besar.

    (13) Gya jenggeleg warna geng nglangkungi, juru taman lir gunung anakan, jatha gimbal kalih kaged, wrin langkung tyasnya ngungun , sang wiku ngling mring Senapati, “Iku Jebeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul”, Sang Sena minggu tan nebda, mitenggengen gegetun uningeng warni, dekadya arga suta.

    Ki Taman berubah menjadi besar sekali seperti anak gunung, dua gigi siung dan rambut gembel, hatinya terkejut dan menangis, Sang Wiku melihat Senopati, “Itu lah jadinya Nak jika mengikuti kehendak Ni Kidul”, Sang Senopati selama tujuh (7) hari tidak mau berbicara, terpaku melihat wujud dan menyesal, Senopati berdiri kaku seperti anak gunung.

    (14) Sunan adi gya ngandika malih, “Kari siji Jebeng nyatakena, kang ran lenga Jayengkatong”, Sang Senapatya me-(k.256) stu, nulya dhawuh kinon nimbali, pawongan nguni emban, tengran Nini Panggung, lan gamel nami Ki Kosa, tan adangukalihnya wus tekap ngarsi,Sang Sena lon ngandika.

    Sunan Adilangu segera berbicara lagi, “Masih ada satu lagi yang harus dibuktikan Nak, yang bernama Minyak Jayengkatong”, Sang Senopati setuju (k.256), segera memberi perintah untuk memanggil emban abdi dalem/ pengasuh yang bernama Nini Panggung, dan tukang gamelan/ tukang musik yang bernama Ki Kosa, keduanya dipanggil dan tidak lama setelahnya mereka sudah ada di hadapan, Sang Senopati berbicara pelan.

    (15) “Bibi Panggung mula suntimbali, lan si Kosa ya padha sunjajal. Nggonen lenga Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sekti ngluwihi”, kang liningan wot sekar, tan lengganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan, Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.

    “Bibi Panggung kamu saya panggil dan Ki Kosa untuk saya coba. Pakailah Minyak Jayengkaton pemberian Ratu Kidul, jika sudah terbukti sangat sakti”, tidak menolak perintah, Panggung dan Kosa ditetesi Minyak jayengkaton segera keduanya hilang tidak kelihatan, sudah berubah menjadi siluman.

    (16) Saksirnanya ngungun Senapati, abdi tiga pan salah gedadyan, wusana lon ngandikane, “Heh Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi”, umatur kang sinebdan, “Inggih Gusti ulun, keng cethi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan lisah Gusti, de mawi tan katinggal.”

    Setelah hilangnya mereka, Senopati menangis, pada tiga abdi sudah terjadi kesalahan, setelahnya pelan bicaranya, “Heh Kosa dan bibi Panggung, perlihatkanlah diri kalian”, menjawablah mereka, “Baik Gusti saya, yang pasti kami tidak pergi-pergi dari Anda sejak diberi minyak oleh Gusti, walaupun saya tidak terlihat.”

    (17) Sunan Adi lon nambungi angling, “Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling gusti, dene jatining jalma, mengko tan kadulu, pan wis dadi ejim padha, nging ta sira aja lunga sing Matawis, emongen gustenira.

    Sunan Adilangu pelan menyahut, “Heh kamu Ni Panggung dan si Kosa, terimalah atas kehendak Hyang Agung, kalian menjadi tumbalnya Gusti, tetap menjadi sejatinya manusia sebelumnya sampai masadepan, walaupun sudah menjadi mahluk jin, janganlah pergi dari Mataram, asuhlah Gusti kalian.

    (18) Prayogane Jebeng (k.257) Senapati, bocahira telu ingsun prenah, Panggung Kosa ing enggone, anenga wringin sepuh, juru taman neng Gunung Mrapi, ngereha lembut ngarga,rumeksaa kewuh, mungsuh kirdha jroning praja, juru taman kang katempuh mapag jurit”, mestu kang sinung sebda.

    Sebaiknya Nak Senopati (k.257), ketiga abdimu aku tempatkan, Panggung Kosa di tempat Beringin Sepuh/ Tua, Juru Taman di gunung Merapi, menguasai mahluk halus di gunung, menjaga dari musuh dalam kerajaan, Juru Taman yang akan memimpin prajurit”, semua mematuhi perintah Sinuhun Senopati.

    (19) Katriya wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan juru taman, sang kalih dugi karsane, gya kondur dalemipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, “Senapati wismamu tan dipageri, kebo glar neng pegungan.

    Ketiganya sudah menuju tempatnya masing-masing, Panggung, Kosa dan ki Juru Taman. Keduanya sampai kehendaknya segera pulang kerumahnya, Senopati menangis hatinya, mengingat di dalam puri samudera, ternyata berbeda, Sunan Adilangu segera berbicara, “Senopati rumahmu tidak dilindungi pagar, kerbau di tikungan.

    (20) Tanpa kandhang ya kang kebo sapi, heh ta Jebeng Senapati Nglaga, iku sisip pasrahe, karena Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan ujub, kebo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru kridha.

    Tanpa kandang (rumah hewan) ya kerbau dan sapi, heh Nak Senopati Ngalaga, itu perbedaan pasrah, karena bukan, keangkuhanmu di Mataram, semua kehendakmu, harus terwujud, bagaikan kerbau dan sapi tanpa kandang/rumah, menantang semua barang siapa saja yang berani denganku, manusia buruk membuat masalah.

    (21) Becik nganggo eneng lawan ening, lumakuo sokur lawan rena, wismaa lan pepagere, kebo sapi yen ucul, keluhana dipuncekeli, yen mulih prapteng wisma, kandhangna sedarum,selarae pace- (k.258) lana, tunggonana yen turu kelawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.

    Lebih baik memakai ketenangan dan keheningan, berjalanlah dengan syukur dan tujuan, kerbau dan sapi jika lepas, peganglah kepalanya, jika pulang ke rumah, kandangkanlah di ruang cukup, dikunci pintunya (k.258), tunggulah ketika tidur sampai larut malam, berpasrah kepada Kang Murba (Hyang Menciptakan Hidup).

    (22) Anganggoa andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja,lungguhira lawan ngelmune, istiyarmu diagung, anganggoa sumendhe Widi, sebarang tingkahira, anganggoa sokur, karane dipunprayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracina dadi nata.

    Melakukan memberi dengan memilih, dipantaskan dengan sifat raja, dudukilah dengan ngelmu/ilmu, besarkan ikhtiarmu, berlakulah pasrah pada Hyang Widi, semua tingkahlaku mu, bersyukurlah, pantas diingat-ingat, tingkah laku dan berbicara selalu dijaga.

    (23) Mengko Jebeng ingsun mertikeli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salameta prapta tembe, Jebeng ngambilaranu, aja akeh kebak kang kendhi”, Senapati wotsekar, dhawuh cethi mundhut, tirta ing kendhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi, tirta mungging lantingan.

    Nanti Nak saya tambah petunjuk untuk, usaha kota agar kuat kerajaan, selamat sampai nanti, Nak ambillah air, jangan banyak-banyak memuat di kendhi (tempat air dari periuk tanah)”, Senopati berkata, saya patuh mengambilnya, air di kendhi tanah, yang diperintah segera mengambil dan memberi air dengan alat.

    (24) Nulya linggar wau Sunan Adi, ngasta pandelengan isi tirta, tindak ngideri dhadhahe, Senapati tut pungkur,sarwi mbekta ingkang tetali, ngenthengi ruting tirta, ngandika sang wiku, “Heh ya Jebeng Senapatya,ge turuten saktilase banyu iki, karyanen kuthanira.

    Kemudian Sunan Adilangu berjalan mengelilingi perbatasan dengan membawa kendi bersisi air, Senopati mengikuti di belakang, sambil membawa yang diikat, meringankan air, berbicaralah sang Wiku, “Heh ya Nak Senopati, segera ikuti bekas air ini, buatlah kotamu.

    (25) Jebeng rehne tumitah ngaurip, aja kandheg laku panarima, lan diweruh wewekane, ingo-(k.259) n-ingonmu sagung,uga padha kelawan kasih, yen kurang pangreksanya, temah praja eru, saking datan wruh ing weka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang Murbeng Alam.

    Nak karena dharma perintah hidup, jangan berhenti bersyukur menerima hidup, dan mengerti sifat-sifat semua (k.259) peliharaanmu, juga kepada yang di cintai, jika kurang memeliharanya, kerajaan menjadi ruwet/kacau, dari ketidaktahuan penglihatan, tidak merasa bahwa manusia hanya meminjam dari Kang Murbeng Alam.

    (26) Lawan sira diwespadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakena kabeh tyase, tuhunen ujar ingsun, nuli siram rentaha dasih, awita konen nyithak, wongira Matarum, sakpekolehe nggon karya, becingahen kuthanira dia becik, dadya tila isun wuntat.

    Dan kamu harus berwaspada pada yang gaib, walau kita memerintah kepada rakyat, buatlah semua nyaman di hati, patuhilah nasehatku, sekarang dimulai dengan menyiram dan suruhlah orang-orang Mataram mencetak, bekerjalah dengan nyaman, buatlah kotamu menjadi bagus, akhirnya menjadi peninggalan.

    (27) Jebeng yen ws jumbuh traping urip, sasat sira wus madeg narendra, mengkoni ngrat Jawa kabeh, netepi manungsa nung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mengkoni ngalam padhang, kang kuwasa tuhu, asung sakwarneng gumelar, pan manungsa kang winenang andarbeni, lestari tanpa kara.

    Nak, jika sudah berhasil dengan hidup, sama dengan sudah menjadi Raja, memerintah seluruh tanah Jawa, menjadi manusia unggul, dan Hyang Sukma menciptakan ganti, menguasai alam terang, yang benar berkuasa, membawa semua kebesaran, manusia yang berhak memiliki, lestari (nyaman sentosa) tanpa perkara.

    (28) Lan diweruh kahananing Widi, Jebeng uga nggene kang senyata, pan ya sira saksolahe, nging kesampar kesandhung, dene sira nora ngulati, nggone cedhak asamar, tan ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, gustenira neng ngarsa katon dumeling, anging (k.260) kalingan padhang.

    Dan diperlihatkan suasana Widi, Nak juga tempat yang nyata, dengan semua tingkah mu, jatuh bangun, selalu dekat dengan kehendaknya, Gustimu terlihat di depan ingatanmu, tapi (260) terhalang sinar.

    (29) Senapati wotsekar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging meksih sandeya tyase, de naluri kang tinut,

    Senopati menghaturkan terimakasih, nasehat Sunan Adilangu sudah masuk di dalam hati, tapi masih khawatir hatinya, karena naluri yang diikuti.

    BalasHapus
  49. AGI KUSTRI JUNIAWAN
    2102408050
    ROMBEL 2

    Babad Tanah Jawi (aksara Jawa: ) yang ditulis oleh carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III ini merupakan karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa. Akan tetapi siapapun yang kesengsem memahami Babad Tanah Jawi ini harus bekerja keras menafsirkan setiap data yang dituliskan. Maklum seperti babad lainnya ,selain bahasanya yang jawa kuno ,perihal mitosnya cukup banyak

    Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.

    Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.

    Tidak dapat dipungkiri buku ini menjadi salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.


    [sunting] Banyak versi
    Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

    Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.

    Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

    Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.

    Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.

    Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

    BalasHapus
  50. Agi Kustri Juniawan
    2102408050
    rombel 2

    Babad Banyumas ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangun nang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut - Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken pemerentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang-pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai. Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut - Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Campur darah (perkawinan) kuwe juga berlanjut dong masa Kerajaan Galuh Kawali dadi Kerajaan Galuh Pajajaran sebab akeh perkawinan antara kerabat Keraton Galuh Pajajaran karo kerabat Keraton Majapahit (Jawa), lha keturunan campurane kuwe sing mbentuk Banyumas.

    Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi lewih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedu lan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banyumasan.

    Babad Banyumas juga ora bisa dipisah sekang pribadi Raden Joko Kahiman (putra Raden Banyak Cotro, putu Raden Baribin), sing duwe sifat utawa watek-watek satria.

    Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo babad Kadipaten-Kadipaten lan Kerajaan-Kerajaan nang wilayah Banyumas lan sekitare antarane Kadipaten Pasir Luhur, Kadipaten Wirasaba, Kadipaten Bonjok lan liya-liyane.

    Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo babad Kerajaan-Kerajaan utama nang Jawa Tengah lan Jawa Barat antarane Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Kalingga, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Mataram, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang lyy.

    Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo legenda-legenda lan mitos-mitos Banyumasan antarane: Raden Kamandaka, Wijayakusuma, Ciung Wanara, Goa Jatijajar lan liya-liyane.

    Sedurung ngelanjutaken Babad Banyumas lewih apik paham ndisit karo Makna Kata Banyumas lan Sejarah Kata Banyumas.

    BalasHapus
  51. Agi Kustri Juniawan
    2102408050
    Rombel 2

    Babad Banjarnegara ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangun nang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut - Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken pemerentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang-pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai. Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut - Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Dieng, Jawa Tengah).

    Babad Banjarnegara juga ora bisa dipisah karo sejarah kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi lewih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedu lan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banjarnegara karo Banyumasan umume.

    Babad Banjarnegara juga ora bisa dipisah karo babad Kerajaan-Kerajaan utama nang Jawa Tengah antarane kerajaan Kalingga, Kerajaan Mataram, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang lyy.


    [sunting] Wilayah
    Kabupaten Banjarnegara sedurunge dibagi dadi 5 Kawedanan/Kecamatan: Banjar, Singomerto, Wanayasa, Batur karo Pagentan. Kawedanan-kawedanan liyane kuwe kasil pemekaran sekang 5 Kawedanan kuwe.


    [sunting] Ibukota Banjarnegara
    Ibukota Banjarnegara sedurunge nang desa Banjarkulon, kecamatan Banjarmangu lewih dikenal Banjarwatulembu, terus pindah ming sisi kidul Kali Serayu, sing dipilih yakuwe daerah Banjar (siki Kota Banjarnegara) sing dadi ibukota anyar. Daerah Banjar sing dipilih kuwe jane persawahan sing amba pisan karo lereng-lereng sing curam. Arti kata Banjar yakuwe sawah, negara utawa kota.


    [sunting] Bupati-Bupati
    Jaman perang Diponegoro, wilayah Banjarnegara dipimpin R. Mangun Broto karo Mas Ranudiredja ning bar perang kuwe rampung taun 1830, Sri Susuhunan Pakubuwono VII ngusulna R. Tumenggung Dipoyudo IV sing wektu kuwe esih dadi penguasa nang kadipaten Ayah diangkat dadi bupati Banjarnegara. Kadipaten Ayah dhewek statuse dihapus tur digabung karo wilayah liyane.

    BalasHapus
  52. Agi Kustri Junaiawan
    2102408050
    Rombel 2

    Babad Tegal juga ora bisa dipisah karo sejarah kerajaan-kerajaan jaman mbiyen sing dibangun neng tlatah Sundha karo tlatah Jawa misale kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi lewih separo wilayah Jawa Tengah siki, dadi uga klebu wilayah Tegal karo Banyumasan umume.
    Babad Tegal juga ora bisa dipisah karo babad kerajaan-kerajaan utama nang tlatah Jawa utamane neng Jawa Tengah antarane kerajaan Kalingga, kerajaan Mataram, kasultanan Demak, kasultanan Pajang lan liya-liyane merga wilayah Tegal umume dadi bagian kakuasaan kerajaan-kerajaan kuwe.

    Babad Tegal juga ora bisa dipisah karo sosok Ki Gede Sebayu sing akeh kaitane karo pembentukan Kadipaten Tegal.


    Catetan Sejarah
    Sekitar abad X, Tome Pieres tau mampir nang Tegal. Tom Pieres kuwe penjelajah sekaligus saudagar asal Portugis, dheweke dagang kasil-kasil pertanian juga gula nang pelabuhan Tegal. Miturut catetan Tom Pieres, jaman kuwe perdagangan nang Tegal esih didominasi wong-wong India karo Tionghoa.

    Antara abad X ngantek abad XVI kemungkinan nang wilayah Tegal ana sistem pemerentahan utawa dikuasai kerajaan cilik sebab miturut catetan Rijklof Van Goens karo data nang buku W. Fruin Mees, disebut nek sekitar taun 1575 daerah kuwe termasuk daerah merdeka sing dipimpin Raja cilik utawa Pangeran, kiye juga didukung data nang buku The History of Java (Raffles) nek ana kerajaan cilik sing jenenge kerajaan Mandaraka (ana juga sing nyebut kerajaan Salya) nang sekitar wilayah Tegal, ning catetan kiye mandan meragukan.

    Kerajaan Mataram molai nguasai wilayah Tegal bubar penyerangan pasukan Mataram sing dipimpin Panembahan Sedo Krapyak. Sebagai bagian kerajaan Mataram, wilayah Tegal olih status kadipaten tanggal 18 Mei taun 1601, Ki Gede Sebayu diangkat dadi penguasa, jabatane yakuwe Juru Demang (sederajad karo Tumenggung).

    Jaman perang Diponegoro (1825 – 1830), miturut catetan P.J.F. Louw nang bukune De Java Oorlog Uan, wilayah Tegal dipimpin Residen Uan Den Poet.

    BalasHapus
  53. Agi Kustri Juniawawn
    2102408050
    Rombel 2

    Babad Pemalang ora bisa dipisah karo babad Kerajaan-Kerajaan utama nang Jawa Tengah lan Jawa Barat antarane Kerajaan Galuh Kawali, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Kalingga, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Mataram, Kasultanan Demak, Kasultanan Pajang lyy.

    Babad Pemalang juga ora bisa dipisah karo legenda-legenda lan mitos-mitos Banyumasan antarane: Ciung Wanara lan liya-liyane.

    Babad Pemalang juga ora bisa dipisah karo Pangeran Benawa sing akeh kaitane karo Kabupaten Pemalang.


    Silsilah Pangeran Benawa
    Ken Dedes (Kadipaten Tumapel, Kerajaan Pangjalu Kediri)
    Mahesa Wong Ateleng (Kerajaan Singhasari)
    Mahesa Cempaka/Batara Narasingha 1248-1254 (Kerajaan Singhasari)
    Dyah Lembu Ta/Dyah Singamurti (Kerajaan Singhasari)
    Raden Wijaya/Kertarajasa Jayawardhana 1273-1309 (Kerajaan Majapahit)
    Tri Buwana Tungga Dewi/Bhre Kahuripan II 1328-1360 (Kerajaan Majapahit)
    Bhre Pajang I (Kerajaan Majapahit)
    Wikramawardhana/Hyang Wisesa 1389-1429 (Kerajaan Majapahit)
    Kertawijaya/Bhre Tumapel III 1447-1451 (Kerajaan Majapahit)
    Rajasawardana/Brawijaya II 1451-1456 (Kerajaan Majapahit)
    Raden Purwawisesa/Brawijaya III 1456-1466 (Kerajaan Majapahit)
    Bhre Tunjung/Raden Pandanalas/Brawijaya IV 1466 (Kerajaan Majapahit)
    Kertabumi/R. Alit/Brawijaya V (Kerajaan Majapahit)
    Ratu Pambayun
    Ki Ageng Kebo Kenanga
    Jaka Tingkir/Mas Karebet/Hadiwijaya (Kerajaan Pajang 1503)
    Pangeran Benawa

    Pemalang Jaman Kerajaan-Kerajaan
    Crita sejarah Kerajaan-Kerajaan nang wilayah Pemalang umume dimolai sekang Kerajaan Majapahit (abad XIII) padahal adoh sedurunge sekitar abad VI utawa VII uga ana kerajaan Galuh Kawali sing pengaruh kekuasaane tekan wilayah Pemalang. Kerajaan Galuh kiye ora murni nduwe peradaban Sunda sebab sebagian raja-rajane malah keturunan sekang Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Apamaning ana catetan sejarah sing nyebut nek Kerajaan kiye pindahan sekang lereng gunung Slamet, brarti peradaban sing dianut uga dudu peradaban Sunda sebab Peradaban Sunda kuwe asale sekang Kerajaan Tarumanegara sing dilanjutna Kerajaan Sunda terus Kerajaan Pajajaran.

    Taun 732 M, wangsa Sanjaya tumbuh lan mbangun Kerajaan Mataram Kuna (Mataram Hindu) sing ibukotane nang Medhang Kamulan. Dong masa kiye dibangun candi-candi Siwa nang pegunungan Dieng, Banjarnegara.

    Taun 750 M, wangsa Syailendra (Budha) nguasai Jawa Tengah, akibate pusat-pusat Kerajaan Hindu pindah ming Jawa Timur.

    BalasHapus
  54. assalamualaikum wr, wb.MBAH saya:PAK.DEDI dan SEKELUARGA mengucapkan banyak2
    terimakasih kepada MBAH GUNTUR atas angka togel yang di
    berikan "4D" alhamdulillah ternyata itu benar2 jebol dan berkat
    bantuan MBAH GUNTUR saya bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya yang
    ada di BANK dan bukan hanya itu MBAH alhamdulillah sekarang saya
    sudah bisa bermodal sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya
    sehari2. itu semua berkat bantuan MBAH GUNTUR sekali lagi makasih banyak
    yah MBAH… yang ingin merubah nasib seperti saya hubungi MBAH GUNTUR di
    nomor: (((_085-399-278-797_)))

    dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....







    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


    1"Dikejar-kejar hutang

    2"Selaluh kalah dalam bermain togel

    3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


    4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


    5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
    tapi tidak ada satupun yang berhasil..







    Solusi yang tepat jangan anda putus aza....MBAH GUNTUR akan membantu
    anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
    butuh angka togel 2D_3D_4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin 100% jebol
    Apabila ada waktu
    silahkan Hub: MBAH GUNTUR DI NO: (((_085-399-278-797_)))



    angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/



    angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/



    angka GHOIB; malaysia



    angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/



    angka GHOIB; laos

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sangat berterimah kasih banyak kepada MBAH GINI atas bantuannya saya bisa menang togel,saya benar2 tidak percaya dan hampir pinsang karna anka yang di berikan MBAH 4695 ternyata tembus..!!! awalnya saya cuma coba2 menelpon,saya bilang saya terlantar di propensi sumatra dan tidak ada onkos pulang,mulanya saya ragu tapi dengan penuh pengharapan saya pasangin kali 100 lembar dan ALHAMDULILLAH berhasil,sekali lagi makasih banyak yaa MBAH dan saya tidak akan lupa bantuan dan budi baik MBAH GINI ,bagi anda yang ingin seperti saya silahkan HBG 082 326 326 769 MBAH GINI. Demikian kisah nyata dari saya tanpa rekayasa.INGAT…kesempatan tidak akan datang untuk ke 2 kaliny

      Hapus
    2. Buat saudara punya permasalahan ekonomi:hub aki santoro karna saya sudah membuktikan bantuan aki santoro, dan aki santoro lah suda membantu saya melunasi hutang2 saya, dan, aki santoro suda memberikan angka nya, 4D, dan saya suda memenangkan 150 juta, dan saya sudah melunasi semua hutang2 saya, di, BNI dan, saya sudah usaha kecil kecilan yang berminat hub di no, 0823 1294 9955, atau   KLIK DISINI 100% tembus trima kasi



      Hapus
  55. KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
    beri 4 angka [7035] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI? bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
    insya allah anda bisa seperti saya?menang NOMOR 657 JUTA ,

    PESUGIHAN DANA GAIB

    PESUGIHAN UANG BALIK

    DAN PESUGIHAN TUYUL

    BalasHapus