Senin, 30 Maret 2009

Tugas terstruktur

Kirimkan tulisan anda pada kolom komentar mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
1. Informasi tentang salah satu karya Sastra Jawa Kuna yang belum dibahas dalam blog ini
2. Informasi tentang salah satu karya Sastra Jawa Pertengahan yang belum dibahas dalam blog ini
3. Informasi tentang salah satu karya Sastra Babad di Jawa
4. Informasi tentang salah satu karya Sastra Menak
5. Informasi tentang salah satu karya Sastra Suluk
6. Informasi tentang salah satu karya Sastra Piwulang
7. Informasi tentang salah satu kumpulan Puisi Jawa Modern
8. Informasi tentang salah satu karya Novel Berbahasa Jawa
9. Informasi tentang salah satu karya Drama Berbahasa Jawa
10. Informasi tentang salah satu Pengarang/ Sastrawan Jawa yang produktif beserta karya dan penjelasannya.

Catatan :
Tugas ini merupakan tugas individu yang berbeda antara satu dan lainnya serta wajib dikirimkan oleh setiap mahasiswa peserta kuliah Sejarah Sastra Jawa.

Sumber Bacaan

Sebagian besar informasi dalam blog ini diperoleh dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia

C. Hooykaas, 1955, The Old-Javanese Rāmāyaṇa kakawin, VKI 16, The Hague: Martinus Nijhoff. (Resensi)

C.C. Berg, 1927, ‘Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen’. BKI 83: 1 – 161.
C.C. Berg, 1928, Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundāyana). Soerakarta: De Bliksem.

Dinas Pendidikan Dasar Propinsi DATI Bali, 1987, Kekawin Ramayana. 2 jilid. (Suntingan teks dan terjemahan dalam bahasa Indonesia)
G. Quinn, Novel berbahasa Jawa: berbagai aspek tentang ciri sastra dan sosialnya, (penerjemah dari bahasa Inggris: Raminah Baribin), 1995.
Ganguli, K. Mohan (translator). The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa, Adi Parva (First Parva, or First Book), translated into English Prose from the Original Sanskrit Text [1883-1896]. The Project Gutenberg EBook #7864. April, 2005.
H. Kern & N.J. Krom, Het Oud-Javaansche lofdicht Nāgarakŗtāgama van Prapañca (1365 AD), 1919.
Hendrik Kern, 1900, Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht, ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff. (Suntingan teks saja, menggunakan aksara Jawa)

Ignatius Kuntara Wiryamartana, 1990, Kakawin Arjunawiwaha. Transformasi Teks Jawa Kuna. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

J. G. H. Gunning, 1903, Bhârata-yuddha: Oudjavaansch Heldendicht. ‘s Gravenhage:Martinus Nijhoff. (Suntingan teks saja dalam aksara Jawa).
J.J. Ras, 1986, Hikayat Banjar and Pararaton. A structural comparison of two chronicles. In: C.M.S. Hellwig and S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian letters (Dordrecht, Cinnaminson: Foris VKI 121, pp. 184-203), ISBN 90-6765-206-7

J.J. Ras, 2001, Sacral kingship in Java. In: Marijke J. Klokke and Karel R. van Kooij (eds.), Fruits of inspiration. Studies in honour of Prof. J.G. de Casparis, pp. 373-388. Groningen: Egbert Forsten, 2001. [Gonda Indological Studies 11.] ISBN 90-6980-137-X

J.L.A. Brandes, 1897, Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van Tumapěl en van Majapahit. Uitgegeven en toegelicht. Batavia: Albrecht; 's Hage: Nijhoff. VBG 49.1.

J.L.A. Brandes, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok 1902.
Jan Gonda, 1932, Het Oud-Javaansche Brahmân.d.a-Purân.a. Prozatekst en kakawin, Bandoeng: Nix. Bibliotheca Javanica 5. Suntingan teks.

Jan Gonda, 1933-1936, ‘Agastyaparwa’, diterbitkan, diterjemahkan dan diberi komentar dalam jurnal BKI 90:329-419, 92:389-458 dan 94:223-285.
Kitab Negara Kertagama (terjemahan), dari blog I Made Yanuarta di religi.wordpress.com
N.J. Krom, 1931, Hindu-Javaansche Geschiedenis, Den Haag: Martinus Nijhoff. (halaman 135 yang membahas Candakarana).

Poerbatjaraka, 1952, Kepustakaan Djawa, hal. 24-25, Amsterdam/Djakarta: Djambatan.
Poerbatjaraka,1931 Smaradahana, Bibliotheca Javanica Jilid III. Bandoeng: Nix

R.D.S. Hadiwidjana,1968 Sarwacastra ,Jogyakarta:U.P. Indonesia N.V. (Resensi ,Jilid II, hal.7-9)
S. Supomo, 1993, Bhâratayuddha, New Delhi:International Academy of Indian Culture. ISBN 8185689431
S.O. Robson, Desawarnana (Nagarakrtagama), 1995.

Slametmuljana (dkk.), Prapantja:Nagarakretagama, diperbaharui kedalam bahasa Indonesia, 1953.
Soewito Santoso, 1980, Rāmāyaṇa kakawin, New Delhi: International Academy of Indian Culture. 3 jilid. (Suntingan teks dalam huruf Latin dan terjemahan dalam bahasa Inggris)
Sri Sukesi Adiwimarta, 1999, ‘Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)’, Antologi Sastra Daerah Nusantara, kaca 93-121. Jakarta: Yayasan Obor. ISBN 979-461-333-9

Th. Pigeaud, Java in the Fourteenth Century, 1960-'63.
Widyatmanta, S. Kitab Adiparwa, jilid I. Cabang Bagian Bahasa – Jogyakarta, Jawatan Kebudayaan Kementerian PP dan K. 1958.

Zoetmulder, P.J. Kalangwan, sastra Jawa Kuno selayang pandang. Penerbit Djambatan, Jakarta. 1994.

5. Sastra Jawa Modern

Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentang perjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.
Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
//
Daftar Karya Sastra
Lelampahaning Purwalelana, Raden Mas Purwalelana (jeneng sesinglon) 1875-1880
Rangsang Tuban, Padmasoesastra, 1913
Ratu, Krishna Mihardja, 1995
Tunggak-Tunggak Jati, Esmiet
Lelakone Si lan Man, Suparto Brata, 2004
Pagelaran, J. F. X. Hoery
Banjire Wis Surut, J. F. X. Hoery

4. Sastra Jawa Baru

Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
//
Daftar Cuplikan Karya Sastra Jawa Baru
Masa Islam
Kidung Rumeksa ing Wengi
Kitab Sunan Bonang
Primbon Islam
Suluk Sukarsa
Serat Koja Jajahan
Suluk Wujil
Suluk Malang Sumirang
Serat Nitisruti
Serat Nitipraja
Serat Sewaka
Serat Menak
Serat Yusup
Serat Rengganis
Serat Manik Maya
Serat Ambiya
Serat Kandha
Masa Renaisans dan sesudahnya
Serat Rama Kawi
Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura
Serat Panitisastra
Serat Arjunasasra
Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III
Serat Darmasunya
Serat Dewaruci
Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura
Serat Tajusalatin
Serat Cebolek
Serat Sasanasunu
Serat Wicara Keras
Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita
Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita
Serat Jitapsara
Serat Pustaka Raja
Serat Cemporet
Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871
Serat Darmagandhul
Babad-Babad
Babad Giyanti
Babad Prayut
Babad Pakepung
Babad Tanah Jawi

3. Sastra Jawa Pertengahan


Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.
Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa
Tantu Panggelaran
Calon Arang
Tantri Kamandaka
Korawasrama
Pararaton

Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat penting telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.
Tantu Panggelaran berisi tentang etiologi alam semesta. Tantu Panggelaran ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan etiologis, misalnya, mengapa ada gempa bumi, mengapa ada gerhana matahari, mengapa ada gunung-gunung yang tersebar di pulau Jawa, mengapa ada manusia di pulau Jawa, mengapa ada biji hijau, hitam, putih, tetapi tidak ada biji kuning, mengapa ada bahasa, mengapa manusia membuat rumah, pakaian, dsb. Pertanyaan-pertanyaan etiologis ini dijawab dalam cerita Tantu Panggelaran. Cerita yang menjawab pertanyaan etiologis ini banyak terdapat dalam dunia oriental kuna. Contoh yang paling mudah didapat adalah di dalam kitab suci umat Kristen (Alkitab). Di sana diceritakan juga, bahwa manusia dibuat dari tanah liat dan menurut rupa Tuhan, manusia semula berbahasa satu dan berkumpul bersama di Babel membangun menara (lihat artikel Zikkurat dalam Wiki Inggris), yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru bumi, dan pertanyaan-pertanyaan etiologis banyak dijawab dalam mitos-mitos tersebut.
Selain itu cerita ini mementingkan proses pengaturan alam semesta, dari dunia yang khaos menjadi dunia yang teratur (kosmos). Hal ini juga dapat ditemui dalam cerita-cerita orientalis kuna. Para Dewa sangat menghargai dunia yang teratur. Motif ini dijumpai dari cerita-cerita Yunani kuna sampai cerita-cerita India.
Juga terdapat motif "pembangunan masyarakat beradab" atau cerita etiologis tentang munculnya peradaban manusia. Hal ini juga dapat dibandingkan dengan Kodex Hammurabi di Babilonia yang berisi hukum-hukum bagi keteraturan masyarakat setempat.
Di samping itu terdapat perbedaan teologis antara cerita Jawa Pertengahan ini dengan teologi Hindu di India. Di dalam kisah ini diceritakan bahwa Batara Guru adalah ayah dari dewa-dewa yang lainnya.
Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini juga terdapat dalam dunia teologis orientalis. Ishak dipersembahkan di gunung Moria (Yerusalem). Zarathustra atau Zoroaster ketika berkotbah juga naik ke gunung. Firaun membuat piramida yang juga melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga membuat punden berundak-undak yang juga melambangkan gunung. Dsb.
Kisah Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi beberapa Babak:
1. Awal Keberadaan Pulau Jawa
Pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang (atau Gunung Dieng, lihat artikel tentang Gunung Dieng). Proses pengaturannya berjalan sebagai berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.
2. Penciptaan Manusia
Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Batara Guru ingin membuat manusia sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia. Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling mengasihi.
3. Proses Terjadinya Peradaban Manusia
Pada mulanya manusia telanjang karena tidak dapat membuat pakaian, tidak tinggal di dalam rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Batara Guru untuk "memberi pelajaran" kepada manusia, supaya mereka dapat membuat pakaian, membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para dewa mengajar manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang dikutip dari kitab Tantu Panggelaran untuk Babak ini:
Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru):
Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku.
Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun).
Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa.
Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya engkau menguasai bumi.
Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia.
Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.


Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di "Bijdragen Koninklijke Instituut".
Diceritakan bahwa ia adalah seorang janda pengguna ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit. Calon Arang mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena orang-orang takut pada ibunya.
Karena kesulitan yang dihadapi putrinya, Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas dendam dengan menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa ke sebuah kuil untuk dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya, banjir besar melanda desa tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.
Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu Baradah untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan seorang prajurit bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya menikah besar-besaran dengan pesta yang berlangsung 7 hari 7 malam, dan keadaan pun kembali normal.
Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu Baradah. Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang kalah.
Sejak saat itu, desa tersebut pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.


Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).[1][2] Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.
Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja.[1] Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu.
Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari.

Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi
Kakawin Dewaruci
Kidung Sudamala
Kidung Subrata
Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni
Kidung Sri Tanjung

Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit (baca orang Jawa). Kemudian terjadi perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan di mana orang-orang Sunda mendarat. Dalam peristiwa ini orang Sunda kalah dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.


Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/China) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyonsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara maayt-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip “Siwa dan Buddha” berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka.
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan (Maluku), Tanjungpura (Banjarmasin) dan Sawakung (?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.
Kidung Sri Tanjung adalah merupakan karya orang Banyuwangi. Cerita ini termasuk cerita legenda pendirian kota Banyuwangi. Selain itu, cerita juga terkenal karena bisa dipakai untuk meruwat.
Ceritanya secara pendek adalah sebagai berikut: Adalah seorang ksatria bernama raden Sidapaksa yang pergi dari tempat tinggalnya, lalu mengabdi sang raja di negeri Sinduraja. Lalu, ia menikahi Dewi Sri Tanjung.
Maka suatu hari, raden Sidapaksa sangat marah, mengira istrinya berselingkuh. Lalu Sri Tanjung bersumpah bahwa apabila ia dibunuh, jika yang keluar bukan darah, tetapi air harum, maka dia tak salah.
Maka, benarlah, Sri Tanjung ditikam, tetapi yang keluar bukan darah segar, melainkan air yang berbau wangi. Maka sampai sekarang ibukota bumi Blambangan namanya Banyuwangi.

2. Sastra Jawa Kuna


Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk prosa
Candakarana
Sang Hyang Kamahayanikan
Brahmandapurana
Agastyaparwa
Uttarakanda
Adiparwa
Sabhaparwa
Wirataparwa, 996
Udyogaparwa
Bhismaparwa
Asramawasanaparwa
Mosalaparwa
Prasthanikaparwa
Swargarohanaparwa
Kunjarakarna
Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi. Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir abad ke-8 Masehi.
Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi. Kitab ini isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.
Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan. Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu) Siwa. Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana (caturasrama) dan lain-lain.
Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta. Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke sorga atau jatuh ke neraka.


Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk puisi (kakawin)
Kakawin Tertua Jawa, 856
Kakawin Ramayana ~ 870
Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
Kakawin Kresnayana
Kakawin Sumanasantaka
Kakawin Smaradahana
Kakawin Bhomakawya
Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
Kakawin Hariwangsa
Kakawin Gatotkacasraya
Kakawin Wrettasañcaya
Kakawin Wrettayana
Kakawin Brahmandapurana
Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
Kakawin Parthayajna
Kakawin Nitisastra
Kakawin Nirarthaprakreta
Kakawin Dharmasunya
Kakawin Harisraya
Kakawin Banawa Sekar Tanakung

Kakawin Rāmâyaṇa (aksara Bali: , Jawa: ) adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Jawa Tengah pada akhir abad ke-9 M, sekitar tahun 870, kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali sang kawi kakawin ini adalah Yogiswara (menurut Poerbatjaraka semacam gelar keagamaan).
Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi India mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita agung yang versi awalnya konon digubah oleh Walmiki dalam bahasa Sansekerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana ini merupakan transformasi dari Rawanawada Bhattikawya.
Kakawin Ramayana berkisah tentang Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.
Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.
Di Ayodya Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sansekerta: pâduka) kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.


Relief Sita yang diculik. Relief ini terdapat di Candi Prambanan, Jawa Tengah.
Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.
Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat masih bisa melapor kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.
Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja kera bernama Bali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.

Kakawin Arjunawiwāha (aksara Bali: , Jawa ) adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh mpu Kanwa pada masa pemerintahan prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia dicobai oleh para Dewa, dengan dikiriminya tujuh bidadari. Bidadari ini disuruh menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.

Di bawah ini disajikan ringkasan cerita yang terdapat dalam kakawin Arjunawiwāha. Ringkasan ini berdasarkan ulasan P.J. Zoetmulder (1983:298-302) dan terjemahan Ignasius Kuntara Wiryamartana (1990:124-182).
Niwātakawaca, seorang raksasa (daitya) mempersiapkan diri untuk menyerang dan menghancurkan kahyangan batara Indra. Karena raksasa itu tak dapat dikalahkan, baik oleh seorang dewa maupun oleh seorang raksasa, maka batara Indra memutuskan untuk meminta bantuan dari seorang manusia. Pilihan tidak sukar dan jatuh pada sang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakīla. Namun sebelum Arjuna diminta bantuannya, terlebih dahulu harus diuji ketabahannya dalam melakukan yoga, karena ini juga merupakan jaminan agar bantuannya benar-benar membawa hasil seperti yang diharapkan.
Maka tujuh orang bidadari yang kecantikannya sungguh menakjubkan dipanggil. Kedua bidadari yang terpenting bernama Suprabhā dan Tilottamā, mereka semua diperintahkan untuk mengunjungi Arjuna lalu mempergunakan kecantikan mereka untuk merayunya.
Maka berjalanlah para bidadari melalui keindahan alam di gunung Indrakīla menuju tempat bertapanya sang Arjuna. Mereka beristirahat di sebuah sungai lalu menghias diri dan membicarakan bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka.
Mereka sampai pada gua tempat Arjuna duduk, terserap oleh samadi, lalu memperlihatkan segala kecantikan mereka dan mempergunakan segala akal yang dapat mereka pikirkan guna menggodanya, tetapi sia-sia belaka. Dengan rasa kecewa mereka pulang ke kahyangan dan melapor kepada batara Indra. Namun bagi para dewa kegagalan mereka merupakan suatu sumber kegembiraan, karena dengan demikian terbuktilah kesaktian Arjuna.
Tertinggallah hanya satu hal yang masih disangsikan: apakah tujuan Arjuna dengan mengadakan yoga semata-mata untuk memperoleh kebahagiaan dan kekuasaan bagi dirinya sendiri, sehingga ia tidak menghiraukan keselamatan orang lain? Maka supaya dalam hal yang demikian penting itu dapat diperoleh kepastian, Indra sendiri yang menjenguk Arjuna dengan menyamar sebagai seorang resi tua yang telah pikun dan bungkuk. Sang resi tua ini berpura-pura batuk dan lalu disambut dengan penuh hormat oleh sang Arjuna yang sebentar menghentikan tapanya dan dalam diskusi falsafi yang menyusul terpaparlah suatu uraian mengenai kekuasaan dan kenikmatan dalam makna yang sejati. Dalam segala wujudnya, termasuk kebahagiaan di sorga, kekuasaan dan nikmat termasuk dunia semu dan ilusi; karena hanya bersifat sementara dan tidak mutlak, maka tetap jauh dari Yang Mutlak. Barangsiapa ingin mencapai kesempurnaan dan moksa, harus menerobos dunia wujud dan bayang-bayang yang menyesatkan, jangan sampai terbelenggu olehnya. Hal seperti ini dimengerti oleh Arjuna. Ia menegaskan, bahwa satu-satunya tujuannya dalam melakukan tapa brata ialah memenuhi kewajibannya selaku seorang ksatria serta membantu kakaknya Yudistira untuk merebut kembali kerajaannya demi kesejahteraan seluruh dunia. Indra merasa puas, mengungkapkan siapakah dia sebenarnya dan meramalkan, bahwa batara Siwa akan berkenan kepada Arjuna, lalu pulang. Arjuna meneruskan tapa-bratanya.
Dalam pada itu raja para raksasa telah mendengar berita apa yang terjadi di gunung Indrakila. Ia mengutus seorang raksasa lain yang bernama Mūka untuk membunuh Arjuna. Dalam wujud seekor babi hutan ia mengacaukan hutan-hutan di sekitarnya. Arjuna, terkejut oleh segala hiruk-pikuk, mengangkat senjatanya dan keluar dari guanya. Pada saat yang sama dewa Siwa, yang telah mendengar bagaimana Arjuna melakukan yoga dengan baik sekali tiba dalam wujud seorang pemburu dari salah satu suku terasing, yaitu suku Kirāṭa. Pada saat yang sama masing-masing melepaskan panah dan babi hutan tewas karena lukanya. Kedua anak panah ternyata menjadi satu. Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan orang Kirāṭa itu, siapa yang telah membunuh binatang itu. Perselisihan memuncak menjadi perdebatan sengit. Panah-panah Siwa yang penuh sakti itu semuanya ditanggalkan kekuatannya dan akhirnya busurnya pun dihancurkan. Mereka lalu mulai berkelahi. Arjuna yang hampir kalah, memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu wujud si pemburu lenyap dan Siwa menampakkan diri.
Batara Siwa bersemayam selaku ardhanarīśwara 'setengah pria, setengah wanita' di atas bunga padma. Arjuna memujanya dengan suatu madah pujian dan yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Siwa yang hadir dalam segala sesuatu. Siwa menghadiahkan kepada Arjuna sepucuk panah yang kesaktiannya tak dapat dipatahkan; namanya Pasupati. Sekaligus diberikan kepadanya pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan panah itu. Sesudah itu Siwa lenyap.
Tengah Arjuna memperbincangkan, apakah sebaiknya ia kembali ke sanak saudaranya, datanglah dua apsara 'makhluk setengah dewa setengah manusia', membawa sepucuk surat dari Indra; ia minta agar Arjuna bersedia menghadap, membantu para dewa dalam rencana mereka untuk membunuh Niwatakawaca. Arjuna merasa ragu-ragu, karena ini berarti bahwa ia lebih lama lagi terpisah dari saudara-saudaranya, tetapi akhirnya ia setuju. Ia mengenakan sebuah kemeja ajaib bersama sepasang sandal yang dibawa oleh kedua apsara, dan lewat udara menemai mereka ke kahyangan batara Indra. Ia disambut dengan riang gembira dan para bidadari merasa tergila-gila. Indra menerangkan keadaan yang tidak begitu menguntungkan bagi para dewa akibat niat jahat Niwatakawaca. Raksasa itu hanya dapat ditewaskan oleh seorang manusia, tetapi terlebih dahulu mereka harus menemukan titik lemahnya. Sang bidadari Suprabha yang sudah lama diincar oleh raksasa itu, akan mengunjunginya dan akan berusaha untuk mengatahui rahasianya dengan ditemani oleh Arjuna. Arjuna menerima tugas itu dan mereka turun ke bumi. Suprabha pura-pura malu karena hubungan mereka nampak begitu akrab, akibat tugas yang dibebankan kepada mereka. Dalam kepolosannya Suprabha tidak menghiraukan kata-kata manis Arjuna dan berusaha membelokkan percakapan mereka ke hal-hal lain. Waktu sore hari mereka sampai ke tempat kediaman si raja raksasa; di sana tengah diadakan persiapan-persiapan perang melawan para dewata. Sang Suprabha, sambil membayangkan bagaimana ia akan diperlakukan oleh Niwatakawaca, merasa tidak berani melaksanakan apa yang ditugaskan kepadanya, tetapi ia diberi semangat oleh Arjuna. Ia pasti akan berhasil asal ia mempergunakan segala rayuan seperti yang diperlihatkan ketika Arjuna sedang bertapa di dalam gua, biarpun pada waktu itu tidak membuahkan hasil.
Suprabha menuju sebuah sanggar mestika (balai kristal murni), di tengah-tengah halaman istana. Sementara itu Arjuna menyusul dari dekat. Namun Arjuna memiliki aji supaya ia tidak dapat dilihat orang. Itulah sebabnya mengapa para dayang-dayang yang sedang bercengkerama di bawah sinar bulan purnama, hanya melihat Suprabha. Beberapa dayang-dayang yang dulu diboyong ke mari dari istana Indra, mengenalinya dan menyambutnya dengan gembira sambil menanyakan bagaimana keadaan di kahyangan. Suprabha menceritakan, bagaimana ia meninggalkan kahyangan atas kemauannya sendiri, karena tahu bahwa itu akan dihancurkan; sebelum ia bersama dengan segala barang rampasan ditawan, ia menyeberang ke Niwatakawaca. Dua orang dayang-dayang menghadap raja dan membawa berita yang sudah sekian lama dirindukannya. Seketika ia bangun dan menuju ke taman sari. Niwatakawaca pun menimang dan memangku sang Suprabha. Suprabha menolak segala desakannya yang penuh nafsu birahi dan memohon agar sang raja bersabar sampai fajar menyingsing. Ia merayunya sambil memuji-muji kekuatan raja yang tak terkalahkan itu, lalu bertanya tapa macam apa yang mengakibatkan ia dianugerahi kesaktian yang luar biasa oleh Rudra. Niwatakawaca terjebak oleh bujukan Suprabha dan membeberkan rahasianya. Ujung lidahnya merupakan tempat kesaktiannya. Ketika Arjuna mendengar itu ia meninggalkan tempat persembunyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca terkejut oleh kegaduhan yang dahsyat itu; Suprabha mempergunakan saat itu dan melarikan diri bersama Arjuna.
Meluaplah angkara murka sang raja yang menyadari bahwa ia telah tertipu; ia memerintahkan pasukan-pasukannya agar seketika berangkat dan berbaris melawan para dewa-dewa. Kahyangan diliputi suasana gembira karena Arjuna dan Suprabha telah pulang dengan selamat. Dalam suatu rapat umum oleh para dewa diperbincangkan taktik untuk memukul mundur si musuh, tetapi hanya Indra dan Arjuna yang mengetahui senjata apa telah mereka miliki karena ucapan Niwatakawaca yang kurang hati-hati. Bala tentara para dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan pertempuran di lereng selatan pegunungan Himalaya.
Menyusullah pertempuran sengit yang tidak menentu, sampai Niwatakawaca terjun ke medan pertempuran dan mencerai-beraikan barisan para dewa yang dengan rasa malu terpaksa mundur. Arjuna yang bertempur di belakang barisan tentara yang sedang mundur, berusaha menarik perhatian Niwatakawaca. Pura-pura ia terhanyut oleh tentara yang lari terbirit-birit, tetapi busur telah disiapkannya. Ketika raja para raksasa mulai mengejarnya dan berteriak-teriak dengan amarahnya, Arjuna menarik busurnya, anak panah melesat masuk ke mulut sang raja dan menembus ujung lidahnya. Ia jatuh tersungkur dan mati. Para raksasa melarikan diri atau dibunuh, dan para dewa yang semula mengundurkan diri, kini kembali sebagai pemenang. Mereka yang tewas dihidupkan dengan air amrta dan semua pulang ke sorga. Di sana para istri menunggu kedatangan mereka dengan rasa was-was jangan-jangan suami mereka lebih suka kepada wanita-wanita yang ditawan, ketika mereka merampas harta para musuh. Inilah satu-satunya awan yang meredupkan kegembiraan mereka.
Kini Arjuna menerima penghargaan bagi bantuannya. Selama tujuh hari (menurut perhitungan di sorga, dan ini sama lama dengan tujuh bulan di bumi manusia) ia akan menikmati buah hasil dari kelakuannya yang penuh kejantanan itu: ia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas singgasana Indra. Setelah ia dinobatkan, menyusullah upacara pernikahan sampai tujuh kali dengan ketujuh bidadari. Satu per satu, dengan diantar oleh Menaka, mereka memasuki ruang mempelai. Yang pertama datang ialah Suprabha, sesudah perjalanan mereka yang penuh bahaya, dialah yang mempunyai hak pertama. Kemudian Tilottama lalu ke lima yang lain, satu per satu; nama mereka tidak disebut. Hari berganti hari dan Arjuna mulai menjadi gelisah. Ia rindu akan sanak saudaranya yang ditinggalkannya. Ia mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan perasaannya lewat sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian Menaka dan Tilottama. Yang terakhir ini berdiri di balik sebatang pohon dan mendengar, bagaimana Arjuna menemui kesukaran dalam menggubah baris penutup bait kedua. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris yang lucu. Maka setelah tujuh bulan itu sudah lewat, Arjuna berpamit kepada Indra; ia diantar kembali ke bumi oleh Matali dengan sebuah kereta sorgawi. Kakawin ini ditutup dengan keluh kesah para bidadari yang ditinggalkan di sorga dan sebuah kolofon mpu Kanwa.







Kakawin Bhāratayuddha (aksara Bali: , Jawa: ) di antara karya-karya sastra Jawa Kuna, adalah yang paling termasyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
Menurut candra sangkala yang terdapat pada awal kakawin ini, karya sastra ini ditulis ketika (tahun), sanga-kuda-śuddha-candramā. Sangkala ini memberikan nilai: 1079 Saka atau 1157 Masehi, pada masa pemerintahan prabu Jayabaya. Persisnya kakawin ini selesai ditulis pada tanggal 6 November 1157.
Kakawin ini digubah oleh dua orang yaitu: mpu Sedah dan mpu Panuluh. Bagian permulaan sampai tampilnya prabu Salya ke medan perang adalah karya mpu Sedah, selanjutnya adalah karya mpu Panuluh.
Konon ketika mpu Sedah ingin menuliskan kecantikan Dewi Setyawati, permaisuri prabu Salya, ia membutuhkan contoh supaya dapat berhasil. Maka putri prabu Jayabaya yang diberikan kepadanya. Tetapi mpu Sedah berbuat kurang ajar sehingga ia dihukum dan karyanya harus diberikan kepada orang lain.
Tetapi menurut mpu Panuluh sendiri, setelah hasil karya mpu Sedah hampir sampai kisah sang prabu Salya yang akan berangkat ke medan perang, maka tak sampailah hatinya akan melanjutkannya. Maka mpu Panuluh diminta melanjutkannya. Cerita ini disebutkan pada akhir kakawin Bharatayuddha.

Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya
Ketika Batara Siwa pergi bertapa, dalam inderanya didatangi musuh ,raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Khayangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Khayangan ,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya dilepaskannya panah yaitu :
hasrat mendengar yang merdu
hasrat mengenyam yang lezat
hasrat meraba yang halus
hasrat mencium yang harum
hasrat memandang yang serba indah
Akibat panah pancawisesa tersebut batara Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada ditengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan "bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali ,permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indera dengan gajahnya yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha. Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka Ganesha lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.

1. Alur Kehidupan Sastra Jawa

Sastra Jawa adalah karya sastra yang bermediumkan bahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Pertengahan, maupun bahasa Jawa baru. Secara global sastra Jawa dalam bentuk tulis dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kategori prosa dan kategori puisi, sementara kategori drama lebih banyak dituturkan secara lisan
Kesusastraan Jawa sebagian besar kini masih terdokumentasikan dalam bentuk naskah-naskah kuna. Karya-karya tersebut memiliki muatan yang sarat dengan ajaran moral yang adiluhung, yang sangat berguna bagi pengembangan kepribadian bangsa Indonesia. Banyak sarjana asing dan sarjana Indonesia yang sejak ratusan tahun yang lalu berusaha melakukan penelitian dan mengungkapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam khasanah kesusastraan Jawa tersebut.
Penelitian telah dimulai sejak awal abad ke-19, oleh beberapa sarjana Belanda yakni diawali oleh Friedrich yang menerbitkan Wrettasancaya (1849), Ardjunawiwaha (1850), dan Bomakawya (1852); serta Cohen Stuart yang menerbitkan edisi Bratayuda (1860). Pada tahun-tahun berikutnya diterbitkan juga sebagian teks dalam aksara aslinya seperti Ramayana Kakawin oleh Kern (1900), Primbon oleh Gunning (1881), Mahabarata oleh Juynboll (1893), dan Tantu Panggelaran oleh Pegeaud (1924).

Beberapa peneliti Indonesia yang ikut mewarnai reaktualisasi karya sastra Jawa Kuna diantaranya adalah Poerbatjaraka dengan Arjunawiwaha (1926), Nitisastra (1933), dan Calon Arang (1926), kemudian Priyahutama dengan Nawaruci (1934), dan Priyana dengan Sritanjung (1983).

Pada jaman masuknya pengaruh ajaran Islam, kesusastraan Jawa juga mendapat tempat yang memadai, misalnya Suluk Wujil (1938) oleh Poerbatjaraka, Suluk Malang Sumirang (1927) oleh Drewes, dan lain sebagainya.

Perlu diketahui bahwa kesusatraan Jawa yang aduluhung itu, yang sebagian telah diteliti oleh sarjana-sarjana Barat, ternyata belum cukup banyak diminati oleh sarjana-sarjana Indonesia. Hal ini berkaitan dengan benturan-benturan yang dihadapi oleh para peneliti kita. Salah satu benturan itu adalah penguasaan bahasa yang rumit untuk bahasa Jawa yang lebih tua dari bahasa sekarang (sering disebut sebagai bahasa Jawa Kuna dan Pertengahan) serta klasifikasinya yang bertingkat untuk bahasa yang disebut baru. Kekurang-penguasaan bahasa inilah yang membuat generasi Indonesia enggan menengok kesusastraan Jawa. Bahkan penelitian yang sudah ada pun menjadi belum memuaskan.
Dari pemerian di atas, perlulah kiranya memberikan dorongan dan semangat kepada generasi-generasi penerus untuk selalu peduli pada warisan budaya bangsa, dan memperbaiki iklim pendidikan sekarang dengan penanaman konsep jati diri yang kian matang.




A. Sastra Jawa Berbahasa Jawa Kuna
Kehadiran sastra Jawa tidak dapat dilepaskan dengan kehadiran manusia Jawa. Sejak manusia Jawa dapat menuliskan berbagai masalahnya, terutama yang dapat terlihat adalah jampi dan sesaji yang digunakan dalam upacara, juga rapal doa, maka mulai saat itu sebenarnya sastra Jawa secara tertulis sudah ada. Sebagai bukti autentik tertua yang ditemukan adalah prasasti Harinjing di daerah Sukabumi. Prasasti ini diperkirakan ada sejak abad ke-9 dengan tengara waktu tahun 726 Saka atau 804 Masehi, berbahasa Jawa Kuna, dan berisi uraian singkat tentang upacara keagamaan yang menentukan batas-batas sebidang tanah yang akan bebas dari pajak dan iuran negara.
Selain prasasti, beberapa waktu yang berikutnya ditemukan juga karya sastra yang berupa cerita. Pada dekade kesusastraan Jawa kuna ini, beberapa karya yang hadir dalam bentuk prosa adalah:
- Serat Candra Kirana
- Sang Hyang Kamahayanikan
- Brahmanda Purana
- Agastya Parwa
- Astadasa Parwa
- Kunjarakarna
Sedangkan yang termasuk genre puisi atau dalam kesusastraan Jawa kuna dikenal sebagai kakawin adalah:
- Kakawin Ramayana
- Kakawin Arjuna Wiwaha
- Kakawin Bharatayuddha
- Kakawin Kresnayana
- Kakawin Hariwangsa
- Kakawin Sumanasantaka
- Kakawin Smaradahana
- Kakawin Bhomakawya
- Kakawin Gatotkacasraya
- Kakawin Wrettasancaya
- Kakawin Lubdhaka
- kakawin Brahmandapurana
- kakawin Nagarkretagama
- kakawin Arjunawijaya
- kakawin Sutasoma/ Purusada-santa
dsb.

B. Sastra Jawa Berbahasa Jawa Pertengahan
Pergeseran dalam karya sastra sebagai dinamika untuk dapat melanjutkan kehidupannya merupakan bentuk kelanjutan sastra Jawa. Sastra Jawa Kuna yang dimulai pada masa awal abad IX itu ternyata kemudian tergeser sejalan dengan keadaan masyarakat Jawa yang berganti kerajaan.
Kerajaan Majapahit merupakan tonggak dimulainya pergeseran sastra Jawa dengan munculnya karya-karya sastra yang berlainan bahasa maupun cara pengungkapan ceritanya.
Pergeseran sastra Jawa ini terjadi karena masyarakat Jawa mencoba mengembangkan identitas diri lebih lanjut. Seperti telah diketahui, bahwa bahasa dan sastra Jawa Kuna banyak dipengaruhi oleh bahasa dan budaya Sansekerta, oleh karena itu terlihat sekali dominasi bahasa Sansekerta dalam kehidupan sastra masa Jawa Kuna tersebut. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat Jawa jaman kerajaan Majapahit menciptakan "nafas baru" dengan ciri yang dapat kita kenal sebagai bahasa dan kesusastraan jaman Jawa Pertengahan. Kehidupan bahasa dan sastra Jawa Pertengahan berkembang secara lamban namun pasti sejak abad XII sampai abad XV.
Karya sastra Jawa Pertengahan banyak dinyatakan oleh para ahli sebagai produk asli Jawa atau Indonesia. Isi cerita umumnya memiliki keunikan dengan lebih banyak mengungkapkan masalah kehidupan manusia pada umumnya, baik di kalangan kerajaan maupun rakyat jelata. sangat sedikit karya sastra yang mengaitkan dengan kehidupan dewa-dewi seperti yang lazim dikenal dalam Sastra Jawa Kuna.
Beberapa karya sastra Jawa Pertengahan dalam bentuk prosa antara lain:
- Tantu Panggelaran
- Calon Arang
- Tantri kamandaka
- Korawasrama
- Pararaton
dsb.
Sedang karya sastra Jawa Pertengahan dalam betuk puisi atau yang dikenal sebagai tradisi Kidung antara lain:
- Kidung Dewaruci
- Kidung Sudamala
- Kidung Sri Tanjung
dsb.

C. Sastra Jawa Berbahasa Jawa Baru
Kesusastraan Jaman Jawa Baru diasumsikan pada karya-karya yang menggunakan bahasa Jawa seperti yang masih kita kenal sekarang. Terbagi dalam dua periode yaitu (1)Periode Sastra Jawa Klasik, dan (2)Periode Sastra Jawa Modern.


C1. Sastra Jawa Klasik
Periode sastra Jawa klasik dimulai sejak Jaman kerajaan Demak, kemudian dilanjutkan ke masa kerajaan Mataram Baru dengan pusat kebudayaannya di Surakarta dan di Yogyakarta. Karya sastra pada periode ini bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah tembang
Karya sastra pada jaman kerajaan Demak cenderung bernafaskan ajaran Islam seperti misalnya :
- Het boek van Bonang
- Suluk wujil
- Suluk Malang Sumirang
- beberapa Serat Menak
- beberapa karya sastra Wirid
dsb.
Pada masa Mataram baru (abad XVII) hingga sampai jaman kejayaan kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, karya sastra banyak dihasilkan oleh para pujangga dan pembesar kerajaan. Sebagain besar karya pada masa ini ditulis dalam metrum tembang macapat, seperti misalnya:
- Nitisruti
- Nitipraja
- Sastra Gending
- Wulangreh
- Wedhatama
- Sasana Sunu
- Wulang Putri

- Babad Giyanti
- Babad Tanah Jawi
- Babad Mentawis
- Babad Mangkubumi
- babad Sepei

- Serat Bratayuda Macapat
- Serat Mintaraga
- Serat Rama
- Serat Pustaka Raja Purwa
- Serat Pustaka Raja Madya
- Serat Pustaka Raja Wasana
- Serat Ajipamasa


C2. Sastra Jawa Modern

Pada Jaman Modern karya sastra Jawa banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa. Unsur-unsur penciptaan dan kehidupan sastra yang bersifat istana sentris sedikit demi sedikit tergeser dengan sistem penerbitan dan percetakan. Melalui penerbit Balai Pustaka (1917) karya sastra Jawa banyak dibaca oleh masyarakat luas. Banyak Pengarang Jawa yang menulis karya-karyanya dan diterbitkan oleh lembaga tersebut.
Beberapa Pengarang dan karyanya yang terbit pada masa modern ini adalah:
Ki Padmasusastra dengan Paramabasa, Urapsari, Erang-erang, Warnabasa, Serat Kancil, Durcara-arja, dsb.
M.Ng. Mangunwijaya dengan Jiwandana, Asmara-laya, Kridhasastra, Purwakanthi Gita-gati.
R.M. Sulardi dengan Serat Riyanta
M. Sastratama dengan Tri Jaka Suwala
M. Prawirasudirdja dengan Serat panutan, dsb.

Pada Dekade yang lebih kini, kesusastraan Jawa lebih banyak dikenal sebagai kesusastraan Jawa Modern atau Kesusastraan Jawa Mutakhir, dan terbit secara berkesinambungan dalam majalah-majalah berbahasa Jawa.
Ratusan Pengarang Jawa Modern ikut serta mengambil bagian dalam proses pelangsungan kehidupan sastra ini. Beberapa nama yang dapat disebut adalah: Any Asmara, Hardjawiraga, Esmiet, Tamsir AS, Supato Brata, Subagyo Ilham Notodidjojo, Widi Widayat, Iesmaniasita, dsb.
Demikianlah dinamika kehidupan karya sastra Jawa.