Senin, 30 Maret 2009

2. Sastra Jawa Kuna


Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk prosa
Candakarana
Sang Hyang Kamahayanikan
Brahmandapurana
Agastyaparwa
Uttarakanda
Adiparwa
Sabhaparwa
Wirataparwa, 996
Udyogaparwa
Bhismaparwa
Asramawasanaparwa
Mosalaparwa
Prasthanikaparwa
Swargarohanaparwa
Kunjarakarna
Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi. Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir abad ke-8 Masehi.
Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi. Kitab ini isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.
Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan. Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu) Siwa. Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana (caturasrama) dan lain-lain.
Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta. Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke sorga atau jatuh ke neraka.


Daftar Karya Sastra Jawa Kuna dalam bentuk puisi (kakawin)
Kakawin Tertua Jawa, 856
Kakawin Ramayana ~ 870
Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
Kakawin Kresnayana
Kakawin Sumanasantaka
Kakawin Smaradahana
Kakawin Bhomakawya
Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
Kakawin Hariwangsa
Kakawin Gatotkacasraya
Kakawin Wrettasañcaya
Kakawin Wrettayana
Kakawin Brahmandapurana
Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
Kakawin Parthayajna
Kakawin Nitisastra
Kakawin Nirarthaprakreta
Kakawin Dharmasunya
Kakawin Harisraya
Kakawin Banawa Sekar Tanakung

Kakawin Rāmâyaṇa (aksara Bali: , Jawa: ) adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Jawa Tengah pada akhir abad ke-9 M, sekitar tahun 870, kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali sang kawi kakawin ini adalah Yogiswara (menurut Poerbatjaraka semacam gelar keagamaan).
Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi India mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita agung yang versi awalnya konon digubah oleh Walmiki dalam bahasa Sansekerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana ini merupakan transformasi dari Rawanawada Bhattikawya.
Kakawin Ramayana berkisah tentang Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.
Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.
Di Ayodya Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sansekerta: pâduka) kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.


Relief Sita yang diculik. Relief ini terdapat di Candi Prambanan, Jawa Tengah.
Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.
Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat masih bisa melapor kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.
Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja kera bernama Bali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.

Kakawin Arjunawiwāha (aksara Bali: , Jawa ) adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh mpu Kanwa pada masa pemerintahan prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia dicobai oleh para Dewa, dengan dikiriminya tujuh bidadari. Bidadari ini disuruh menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.

Di bawah ini disajikan ringkasan cerita yang terdapat dalam kakawin Arjunawiwāha. Ringkasan ini berdasarkan ulasan P.J. Zoetmulder (1983:298-302) dan terjemahan Ignasius Kuntara Wiryamartana (1990:124-182).
Niwātakawaca, seorang raksasa (daitya) mempersiapkan diri untuk menyerang dan menghancurkan kahyangan batara Indra. Karena raksasa itu tak dapat dikalahkan, baik oleh seorang dewa maupun oleh seorang raksasa, maka batara Indra memutuskan untuk meminta bantuan dari seorang manusia. Pilihan tidak sukar dan jatuh pada sang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakīla. Namun sebelum Arjuna diminta bantuannya, terlebih dahulu harus diuji ketabahannya dalam melakukan yoga, karena ini juga merupakan jaminan agar bantuannya benar-benar membawa hasil seperti yang diharapkan.
Maka tujuh orang bidadari yang kecantikannya sungguh menakjubkan dipanggil. Kedua bidadari yang terpenting bernama Suprabhā dan Tilottamā, mereka semua diperintahkan untuk mengunjungi Arjuna lalu mempergunakan kecantikan mereka untuk merayunya.
Maka berjalanlah para bidadari melalui keindahan alam di gunung Indrakīla menuju tempat bertapanya sang Arjuna. Mereka beristirahat di sebuah sungai lalu menghias diri dan membicarakan bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka.
Mereka sampai pada gua tempat Arjuna duduk, terserap oleh samadi, lalu memperlihatkan segala kecantikan mereka dan mempergunakan segala akal yang dapat mereka pikirkan guna menggodanya, tetapi sia-sia belaka. Dengan rasa kecewa mereka pulang ke kahyangan dan melapor kepada batara Indra. Namun bagi para dewa kegagalan mereka merupakan suatu sumber kegembiraan, karena dengan demikian terbuktilah kesaktian Arjuna.
Tertinggallah hanya satu hal yang masih disangsikan: apakah tujuan Arjuna dengan mengadakan yoga semata-mata untuk memperoleh kebahagiaan dan kekuasaan bagi dirinya sendiri, sehingga ia tidak menghiraukan keselamatan orang lain? Maka supaya dalam hal yang demikian penting itu dapat diperoleh kepastian, Indra sendiri yang menjenguk Arjuna dengan menyamar sebagai seorang resi tua yang telah pikun dan bungkuk. Sang resi tua ini berpura-pura batuk dan lalu disambut dengan penuh hormat oleh sang Arjuna yang sebentar menghentikan tapanya dan dalam diskusi falsafi yang menyusul terpaparlah suatu uraian mengenai kekuasaan dan kenikmatan dalam makna yang sejati. Dalam segala wujudnya, termasuk kebahagiaan di sorga, kekuasaan dan nikmat termasuk dunia semu dan ilusi; karena hanya bersifat sementara dan tidak mutlak, maka tetap jauh dari Yang Mutlak. Barangsiapa ingin mencapai kesempurnaan dan moksa, harus menerobos dunia wujud dan bayang-bayang yang menyesatkan, jangan sampai terbelenggu olehnya. Hal seperti ini dimengerti oleh Arjuna. Ia menegaskan, bahwa satu-satunya tujuannya dalam melakukan tapa brata ialah memenuhi kewajibannya selaku seorang ksatria serta membantu kakaknya Yudistira untuk merebut kembali kerajaannya demi kesejahteraan seluruh dunia. Indra merasa puas, mengungkapkan siapakah dia sebenarnya dan meramalkan, bahwa batara Siwa akan berkenan kepada Arjuna, lalu pulang. Arjuna meneruskan tapa-bratanya.
Dalam pada itu raja para raksasa telah mendengar berita apa yang terjadi di gunung Indrakila. Ia mengutus seorang raksasa lain yang bernama Mūka untuk membunuh Arjuna. Dalam wujud seekor babi hutan ia mengacaukan hutan-hutan di sekitarnya. Arjuna, terkejut oleh segala hiruk-pikuk, mengangkat senjatanya dan keluar dari guanya. Pada saat yang sama dewa Siwa, yang telah mendengar bagaimana Arjuna melakukan yoga dengan baik sekali tiba dalam wujud seorang pemburu dari salah satu suku terasing, yaitu suku Kirāṭa. Pada saat yang sama masing-masing melepaskan panah dan babi hutan tewas karena lukanya. Kedua anak panah ternyata menjadi satu. Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan orang Kirāṭa itu, siapa yang telah membunuh binatang itu. Perselisihan memuncak menjadi perdebatan sengit. Panah-panah Siwa yang penuh sakti itu semuanya ditanggalkan kekuatannya dan akhirnya busurnya pun dihancurkan. Mereka lalu mulai berkelahi. Arjuna yang hampir kalah, memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu wujud si pemburu lenyap dan Siwa menampakkan diri.
Batara Siwa bersemayam selaku ardhanarīśwara 'setengah pria, setengah wanita' di atas bunga padma. Arjuna memujanya dengan suatu madah pujian dan yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Siwa yang hadir dalam segala sesuatu. Siwa menghadiahkan kepada Arjuna sepucuk panah yang kesaktiannya tak dapat dipatahkan; namanya Pasupati. Sekaligus diberikan kepadanya pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan panah itu. Sesudah itu Siwa lenyap.
Tengah Arjuna memperbincangkan, apakah sebaiknya ia kembali ke sanak saudaranya, datanglah dua apsara 'makhluk setengah dewa setengah manusia', membawa sepucuk surat dari Indra; ia minta agar Arjuna bersedia menghadap, membantu para dewa dalam rencana mereka untuk membunuh Niwatakawaca. Arjuna merasa ragu-ragu, karena ini berarti bahwa ia lebih lama lagi terpisah dari saudara-saudaranya, tetapi akhirnya ia setuju. Ia mengenakan sebuah kemeja ajaib bersama sepasang sandal yang dibawa oleh kedua apsara, dan lewat udara menemai mereka ke kahyangan batara Indra. Ia disambut dengan riang gembira dan para bidadari merasa tergila-gila. Indra menerangkan keadaan yang tidak begitu menguntungkan bagi para dewa akibat niat jahat Niwatakawaca. Raksasa itu hanya dapat ditewaskan oleh seorang manusia, tetapi terlebih dahulu mereka harus menemukan titik lemahnya. Sang bidadari Suprabha yang sudah lama diincar oleh raksasa itu, akan mengunjunginya dan akan berusaha untuk mengatahui rahasianya dengan ditemani oleh Arjuna. Arjuna menerima tugas itu dan mereka turun ke bumi. Suprabha pura-pura malu karena hubungan mereka nampak begitu akrab, akibat tugas yang dibebankan kepada mereka. Dalam kepolosannya Suprabha tidak menghiraukan kata-kata manis Arjuna dan berusaha membelokkan percakapan mereka ke hal-hal lain. Waktu sore hari mereka sampai ke tempat kediaman si raja raksasa; di sana tengah diadakan persiapan-persiapan perang melawan para dewata. Sang Suprabha, sambil membayangkan bagaimana ia akan diperlakukan oleh Niwatakawaca, merasa tidak berani melaksanakan apa yang ditugaskan kepadanya, tetapi ia diberi semangat oleh Arjuna. Ia pasti akan berhasil asal ia mempergunakan segala rayuan seperti yang diperlihatkan ketika Arjuna sedang bertapa di dalam gua, biarpun pada waktu itu tidak membuahkan hasil.
Suprabha menuju sebuah sanggar mestika (balai kristal murni), di tengah-tengah halaman istana. Sementara itu Arjuna menyusul dari dekat. Namun Arjuna memiliki aji supaya ia tidak dapat dilihat orang. Itulah sebabnya mengapa para dayang-dayang yang sedang bercengkerama di bawah sinar bulan purnama, hanya melihat Suprabha. Beberapa dayang-dayang yang dulu diboyong ke mari dari istana Indra, mengenalinya dan menyambutnya dengan gembira sambil menanyakan bagaimana keadaan di kahyangan. Suprabha menceritakan, bagaimana ia meninggalkan kahyangan atas kemauannya sendiri, karena tahu bahwa itu akan dihancurkan; sebelum ia bersama dengan segala barang rampasan ditawan, ia menyeberang ke Niwatakawaca. Dua orang dayang-dayang menghadap raja dan membawa berita yang sudah sekian lama dirindukannya. Seketika ia bangun dan menuju ke taman sari. Niwatakawaca pun menimang dan memangku sang Suprabha. Suprabha menolak segala desakannya yang penuh nafsu birahi dan memohon agar sang raja bersabar sampai fajar menyingsing. Ia merayunya sambil memuji-muji kekuatan raja yang tak terkalahkan itu, lalu bertanya tapa macam apa yang mengakibatkan ia dianugerahi kesaktian yang luar biasa oleh Rudra. Niwatakawaca terjebak oleh bujukan Suprabha dan membeberkan rahasianya. Ujung lidahnya merupakan tempat kesaktiannya. Ketika Arjuna mendengar itu ia meninggalkan tempat persembunyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca terkejut oleh kegaduhan yang dahsyat itu; Suprabha mempergunakan saat itu dan melarikan diri bersama Arjuna.
Meluaplah angkara murka sang raja yang menyadari bahwa ia telah tertipu; ia memerintahkan pasukan-pasukannya agar seketika berangkat dan berbaris melawan para dewa-dewa. Kahyangan diliputi suasana gembira karena Arjuna dan Suprabha telah pulang dengan selamat. Dalam suatu rapat umum oleh para dewa diperbincangkan taktik untuk memukul mundur si musuh, tetapi hanya Indra dan Arjuna yang mengetahui senjata apa telah mereka miliki karena ucapan Niwatakawaca yang kurang hati-hati. Bala tentara para dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan pertempuran di lereng selatan pegunungan Himalaya.
Menyusullah pertempuran sengit yang tidak menentu, sampai Niwatakawaca terjun ke medan pertempuran dan mencerai-beraikan barisan para dewa yang dengan rasa malu terpaksa mundur. Arjuna yang bertempur di belakang barisan tentara yang sedang mundur, berusaha menarik perhatian Niwatakawaca. Pura-pura ia terhanyut oleh tentara yang lari terbirit-birit, tetapi busur telah disiapkannya. Ketika raja para raksasa mulai mengejarnya dan berteriak-teriak dengan amarahnya, Arjuna menarik busurnya, anak panah melesat masuk ke mulut sang raja dan menembus ujung lidahnya. Ia jatuh tersungkur dan mati. Para raksasa melarikan diri atau dibunuh, dan para dewa yang semula mengundurkan diri, kini kembali sebagai pemenang. Mereka yang tewas dihidupkan dengan air amrta dan semua pulang ke sorga. Di sana para istri menunggu kedatangan mereka dengan rasa was-was jangan-jangan suami mereka lebih suka kepada wanita-wanita yang ditawan, ketika mereka merampas harta para musuh. Inilah satu-satunya awan yang meredupkan kegembiraan mereka.
Kini Arjuna menerima penghargaan bagi bantuannya. Selama tujuh hari (menurut perhitungan di sorga, dan ini sama lama dengan tujuh bulan di bumi manusia) ia akan menikmati buah hasil dari kelakuannya yang penuh kejantanan itu: ia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas singgasana Indra. Setelah ia dinobatkan, menyusullah upacara pernikahan sampai tujuh kali dengan ketujuh bidadari. Satu per satu, dengan diantar oleh Menaka, mereka memasuki ruang mempelai. Yang pertama datang ialah Suprabha, sesudah perjalanan mereka yang penuh bahaya, dialah yang mempunyai hak pertama. Kemudian Tilottama lalu ke lima yang lain, satu per satu; nama mereka tidak disebut. Hari berganti hari dan Arjuna mulai menjadi gelisah. Ia rindu akan sanak saudaranya yang ditinggalkannya. Ia mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan perasaannya lewat sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian Menaka dan Tilottama. Yang terakhir ini berdiri di balik sebatang pohon dan mendengar, bagaimana Arjuna menemui kesukaran dalam menggubah baris penutup bait kedua. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris yang lucu. Maka setelah tujuh bulan itu sudah lewat, Arjuna berpamit kepada Indra; ia diantar kembali ke bumi oleh Matali dengan sebuah kereta sorgawi. Kakawin ini ditutup dengan keluh kesah para bidadari yang ditinggalkan di sorga dan sebuah kolofon mpu Kanwa.







Kakawin Bhāratayuddha (aksara Bali: , Jawa: ) di antara karya-karya sastra Jawa Kuna, adalah yang paling termasyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
Menurut candra sangkala yang terdapat pada awal kakawin ini, karya sastra ini ditulis ketika (tahun), sanga-kuda-śuddha-candramā. Sangkala ini memberikan nilai: 1079 Saka atau 1157 Masehi, pada masa pemerintahan prabu Jayabaya. Persisnya kakawin ini selesai ditulis pada tanggal 6 November 1157.
Kakawin ini digubah oleh dua orang yaitu: mpu Sedah dan mpu Panuluh. Bagian permulaan sampai tampilnya prabu Salya ke medan perang adalah karya mpu Sedah, selanjutnya adalah karya mpu Panuluh.
Konon ketika mpu Sedah ingin menuliskan kecantikan Dewi Setyawati, permaisuri prabu Salya, ia membutuhkan contoh supaya dapat berhasil. Maka putri prabu Jayabaya yang diberikan kepadanya. Tetapi mpu Sedah berbuat kurang ajar sehingga ia dihukum dan karyanya harus diberikan kepada orang lain.
Tetapi menurut mpu Panuluh sendiri, setelah hasil karya mpu Sedah hampir sampai kisah sang prabu Salya yang akan berangkat ke medan perang, maka tak sampailah hatinya akan melanjutkannya. Maka mpu Panuluh diminta melanjutkannya. Cerita ini disebutkan pada akhir kakawin Bharatayuddha.

Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya
Ketika Batara Siwa pergi bertapa, dalam inderanya didatangi musuh ,raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Khayangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Khayangan ,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya dilepaskannya panah yaitu :
hasrat mendengar yang merdu
hasrat mengenyam yang lezat
hasrat meraba yang halus
hasrat mencium yang harum
hasrat memandang yang serba indah
Akibat panah pancawisesa tersebut batara Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada ditengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan "bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali ,permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indera dengan gajahnya yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha. Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka Ganesha lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.

37 komentar:

  1. Kakawin Gathotkacâsraya dipunwiwiti déning satunggaling manggala ingkang katur kagem dèwa Késawa saha prabu Jayakreta ingkang kaanggep titisanipun bathara Wisnu.

    Lajeng kakawin puniki anyariyosaken[1] nalika para Pandhawa nglampahi padhendhan ukuman bucalan 12 taun. Kala semanten sang Abimayu tinitipaken wonten ing Dwarawati. Piyambakipun saged ngèngèr saha bekti sanget dhateng ing uwanipun, prabu Kresna. Sang prabu inggih tresna marang piyambakipun.

    Malah saupami sang Abimanyu dhaupa kaliyan déwi Siti Sundari, prabu Kresna inggih rena kémawon. Ananging déwi Siti Sundari sampun kelajeng kapacangaken kaliyan radèn Laksana-Kumara, putra ing Ngastina. Déné sang Abimanyu pancèn inggih mempeng dhateng sang Siti Sundari, sarta kanggé nyamur gandrung, remenanipun mlampah-mlampah wonten ing wana.

    Satunggaling dinten déwi Siti Sundari inggih kagungan kepéngin tindak dhateng wana, kaparingan lilah ingkang rama, lajeng mangkat kaliyan para pandhèrèk èstri. Prabu Kresna piyambak ugi lajeng tedhak lalana dhateng wana.

    Kapinujon salebetipun medal mlampah-mlampah dhateng wana punika sang radèn Abimanyu kepethuk dèwi Siti Sundari ngantos kaping kalih; temtu kémawon bilih ingkang makaten wau andadosaken sampyengipun dèwi Siti Sundari kaliyan radèn Abimanyu.

    Sareng sampun wangsul wonten ing kadhaton, dèwi Siti Sundari kintun serat dhateng sang Abimanyu, pratéla mboten seneng yèn kadhaupna kaliyan sang Laksana-Kumara; serat wau dipun-kanthèni gantèn saha borèh. Radèn Abimanyu lajeng pados akal supados saged papanggihan radi dangu kaliyan sang putri. Sang Abimanyu samadi, kerawuhan bathara Kamajaya sagarwa, maringi sekar, ingkang saged ngreksa kawilujenganipun radèn Abimanyu ing salebeting pepanggihan. Nalika sang hyang Kamajaya badhé muksa malih, punika sang Abimanyu cèwèt mboten ngaturi bekti dhateng dèwi Ratih. Sang dèwi duka, radèn Abimanyu dipun-sapatani, nyuwun ngapunten, inggih lajeng dipunparingi.

    Radèn Abimanyu ing sasampunipun punika saged lumebet ing patamanan kadhaton, kepanggih kaliyan dèwi Siti Sundari. Nanging jebul konangan. Sang Baladéwa mireng duka sanget, radèn Abimanyu dipuntundhung. Lajeng piyambakipun késah kadhèrèkaken pun Jurudyah. Wonten ing satunggaling candhi Siwah sang radèn nyipeng, wasana kedhatengan raksasa kalih. Sang radèn dipun-cepeng badhé dipunaturaken minangka dhaharipun bathari Durga. Danawa kalih kabur ambekta sang radèn saha pun Jurudyah. Dumugi ngarsanipun bathari Durga, sang radèn badhé dipundhahar, nanging mboten saèstu, amergi sang radèn ketingal bekti sanget. Wasana radèn Abimanyu kadhawuhan dhateng ing karaton Purabaya, kadhatonipun radèn Gathotkaca. Sarèhné tebih, sang radèn kaliyan Jurudyah dipun-gendhong danawa kalih wau, kabekta mabur. Dumugi ing Purabaya, sang radèn dipunsèlèhaken wonten ing patamanan. Wonten ing ngriku sang radèn kepanggih kaliyan danawa, juru tamanipun sang Gathotkaca. Danawa nesu, nanging lajeng lilih manahipun, awit dipunpratélani, bilih sang Abimanyu mboten badhé ndamel resah, namung badhé sowan dhateng radèn Gathotkaca, pun Jurudyah ingkang nggelaraken saprelunipun. Sang Gathotkaca sagad badhé mitulungi supados kedumugen karsanipun radèn Abimanyu.

    Sareng sampun mèh tempuking damel, para Korawa ngarak pangantèn dhateng Dwrawati. Sang Siti Sundari sampun bingung, mèh badhé suduk slira, nanging angsal wisiking déwa, yèn badhé saèstu dhaup kaliyan radèn Abimanyu.

    Radèn Gathotkaca saha bala mangkat dhateng Dwarawati, lereb wonten wana sacelaking nagari. Radèn kalih sang Gathotkaca saha sang Abimanyu nitih kréta mabur njujug ing patamanan, kepanggih dèwi Siti Sundari. Ing jawi para tamu sampun sami suka-suka pésta. Sang dèwi kaliyan radèn Abimanyu kadhawuhan nitih kréta mabur, oncat saking kadhaton. Sang Gathotkaca mboten késah saking patamanan, badhé mejahi sang Laksana menawi dhateng. Saoncatipun dèwi Siti Sundari kaliyan radèn Abimanyu, radèn Gathotkaca mindha-mindha sang Siti Sundari.

    Raksasa anama Bajradanta, anakipun raksasa Baka, ingkang dipunpejahi déning sang Bima, badhé males ukum. Akalipun sang Gathotkaca dipunwadulaken dhateng sang Kurupati. Sang Bajradanta lajeng nyuwun lilah mindha-mindha sang Laksana Kumara. Pangantèn jaler palsu dipunarak dhateng panggènaning pangantèn èstri. Sareng panggih lajeng rangkulan, gapyuk; pangantèn jaler ngangkah pejahipun pangantèn èstri, ingkang èstri samanten ugi, nanging menang pangantèn èstri ingkang lajeng badhar dados radèn Gathotkaca, mabur. Para Korawa sami lumajeng.

    Prabu Kurupati angempalaken bala lajeng perang kabantu déning prabu Baladéwa, mengsah santana ing Dwarawati, kabantu radèn Gathotkaca. Sareng para Korawa ketingal keseser, prabu Baladéwa triwikrama nenggalanipun dipunobat-abitaken medal sawarnining danawa, détya, raksasa, sapanunggilanipun.

    Ing nalika punika bagawan Narada tumedhak dhateng dunungipun prabu Kresna, taksih wonten ing wana, dipundhawuhi kondur. Prabu Kresna lajeng ngrerapu ingkang raka. Sasampunipun lilih lajeng mboten wonten prakawis, tur sang Abimanyu saèstu dhaup kaiyan dèwi Siti Sundari.

    Lajeng kakawin puniki tinutup déning satunggaling panutup.

    Nama : Wira arum S.
    NIM : 2102408003
    Rombel : 01

    Sumber : Wikipedia Indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kami sekeluarga ingin megucapkang banyak terimah kasih kepada MBAH RIJI karna angka yang MBAH,berikan kepada saya,alhamdulillah saya udah menang 3 kali berturut turut dan itu semua berkat bantuan MBAH RIJI yang telah memberikan anka jitunya kepada saya dan alhamdulillah ternyata berhasil..,saya sangat percaya sama anka ritual MBAH RIJI karna anka dari MBAH memang sangat tepat dan ini bukang hanya sekedar rekayasa tapi ini meman kenyataan dan saya sudah lihat buktinya sendiri dan kini saya sudah sangat bersyukur melihat kondisi kehidupan keluarga saya yang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya,saya tidak akan melupakan kebaikan MBAH RIJI dan saya berencana untuk berkunjun ke kediaman MBAH bulan ini untuk mengucapkan banyak terimah kasih yang sebesar besarnya karna cuma beliau lah satu satunya para normal yang bisa membantu saya..dan jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH RIJI di 082 388 362 128 ini bukan rekayasa dan yang saya tulis ini tidak ada unsur unsur kebohongan dari saya.
      Yang punya room terimah kasih banyak atas tumpangannya..

      Hapus
  2. NAMA: Susi Kristantri
    NIM : 2102408118

    1. Kakawin Parthayajna
    Kakawin Parthayajna (anonim), berisi cerita perjalanan Arjuna sebelum bertapa di Indrakila. Ringkasan isi ceritanya sebagai berikut:
    Pandhawa beredih hati karena kekalahan Yudhisthira waktu bermain dadu dan penghinaan Dropadi oleh Dusasana. Mereka harus hidup di hutan selama dua-belas tahun. Bhima ingin perang melawan Korawa dan mati di medan perang, tetapi Yudhisthira menahannya. Widura memberi nasihat kepadaYudhisthira dalam mengatasi penderitaan. Domya menasihati para Pandhawa sejak mereka akan pergi ke hutan. Atas permintaan Yudhisthira, Arjuna disuruh bertapa di Indrakila. Arjuna menyanggupi permintaan kakanya, kemudian ia minta diri kepada Ibunda Kunti, kakak dan adik-adiknya serta Dropadi, lalu masuk ke hutan. Perjalanan Arjuna tiba di pertapaan Wanawati yang didirikan oleh Mahayani. Di tempat itu Arjuna ditemui oleh petapi Mahayani dan di wejang tentang hidup dan kehidupan. Sewaktu bermalam seorang petapi datang dan menyatakan cinta kepada Arjuna, tetapi Arjuan menolaknya.
    Arjuna menghadap dewa Kama dan Ratih yang berada di tepi sebuah danau, kemudian menghormatnya. Dewa Kama banyak memberi nasihat kepada Arjuna dalam hal mencari kebahagiaan. Kemudian Kama memberi petunjuk arah Indrakila dan tempat pertapaan Dwaipayana. Kama memberi tahu, bahwa raksasa Nalamala ingin mengadu kesaktian dengan Arjuna. Nalamala adalah anak Durga yang lahir dari ujung lidah sebelum beranak Ganesya. Bila kalah Arjuna supaya bersamadi memuja dewa Siwa. Tak berapa lama kemudian Kama lenyap, Arjuna melanjutkan perjalanan.
    Arjuna dicegat oleh banyak raksasa dan Nalamala. Maka terjadilah perkelahian. Nalamala menampakkan diri dalam wujud Kala, Arjuna bersemadi memuja dewa Siwa. Memancarlah sinar pada dahi Arjuna, Nalamala lari dan berkata, kelak akan menjelma lagi, untuk membunuuh para Pandawa. Arjuna meneruskan perjalanan ke Indrakila. Sampailah ia di Inggitamartapada tempat tinggal Dwaipayana. Arjuna bercerita perilaku para Pandawa dan sikap para Korawa. Kakek Arjuna itu menerangkan, bahwa Arjuna diutus untuk memberantas kejahatan itu. Setelah menerima banyak nasihat dari kakek itu, Arjuna pergi ke Indrakila. Ia bertapa dan memeperoleh anugerah dari dewa Siwa yang menampakan diri sebagai orang Kirata. (Sumber Cerita:Naskah Kirtya No. 665)
    2. Kakawin Arjunawiwaha
    Kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa (Naskah Kirtya Nomor 1092) ditulis pada jaman Kediri. Isi ringkas cerita itu sebagai berikut:
    Niwatakawaca raja Himataka ingin menghancurkan kerajaan Indra, Indra ingin minta bantuan kepada Arjuna yang sedang bertapa di Indrakila. Tujuh bidadari diutus untuk menguji keteguhan tapa Arjuna. Suprabha dan Tilottama memimpin tugas para bidadari itu. Tujuh bidadari menyusuri Indrakila, kemudian tiba di gua tempat Arjuna bertapa. Para bidadari berhias cantik, menggoda dan mencoba menggugurkan tapa Arjuna..usaha meraka tidak berhasil, para bidadari kembali ke kerajaan Indra, lalu melapor hasil tugas mereka kepada Indra.

    Tujuh bidadari yang dipimpin oleh Dewi Suprabha (paling depan)
    dan Dewi Tilottama (atas paling kanan) menggoda tapa Arjuna
    (karya Herjaka HS 2005)
    Indra menyamar dalam wujud orang tua, datang di pertapaan Arjuna. Ia ingin mengethui tujuan tapa Arjuna. Lewat pembicaraan mereka, Indra memperoleh jawaban, bahwa tapa Arjuna bertujuan untuk memenuhi tugasnya sebagai seorang ksatria dan ingin membantu Yudhisthira sewaktu merebut kerajaan dari kekuasaan Duryodhana. Indra sangat senang mendengar penuturan Arjuna, lalu memberi tahu, bahwa dewa Siwa akan memberi anugerah atas tapa Arjuna.
    Niwatakawaca menyuruh Muka untuk datang di Indrakila, dan membunuh Arjuna. Muka dalam wujud babi hutan mengganggu tapa Arjuna. Arjuna melepas tapanya, lalu berusaha membunuh babi hutan itu. babi hutan berhasil dibunuh dengan panah. Tancapan panah di tubuh babi hutan bersama dengan tancapan anak panah seorang pemburu. Arjuna berselisih dengan pemburu orang Kirata itu. terjadilah perkelahian seru. Arjuna hampir terkalahkan, lalu memegang erat kaki pemburu. Pemburu menampakan diri dalam wujud dewa Siwa. Arjuna menghormat dan memujanya. Dewa Siwa menganugerahkan panah Pusupati kepada Arjuna, kemudian lenyap dari hadapan Arjuna.
    Dua bidadari utusan Indra datang menemui Arjuna, minta agar Arjuna bersedia menolong para dewa dengan membunuh Niwatakawaca. Kemudian Arjuna bersama dua bidadari datang di kerajaan Indra.
    Arjuna dan Supraba ditugaskan untuk mengetahui rahasia kesaktian Niwatakawaca. Mereka berdua pergi ke Himataka. Supraba disambut oleh bidadari yang lebih dahulu diserahkan kepada Niwatakawaca. Arjuna mengikutinya, tetapi raksasa tidak dapat melihat karena kesaktian Arjuna. Tipu muslihat Supraba berhasil, ia mengetahui rahasia kesaktian Niwatakawaca. Yang berada di ujung lidah. Setelah mengerti rahasia kesaktian Niwaatakawaca, Arjuna membuat huru-hara, dengan menghancurkan pintu gerbang istana. Suprabha terlepas dari kekuasaan Niwatakawaca, lalu meninggalkan Himataka. Niwatakawaca merasa kena tipu, lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang kerajaan Indra. Para dewa juga bersiap-siap melawan serangan prajurit Niwatakawaca. Maka terjadilah perang besar-besaran. Arjuna menyusup ditengah-tengah barisan, mencari kesempatan baik untuk membunuh Niwatakawaca. Akhirnya anak panah Arjuna berhasil menembus ujung lidah Niwatakawaca. Niwatakawaca mati di medang pertempuran. Perang pun selesai.
    Arjuna memperoleh penghargaan dari para dewa. Ia dinobatkan menjadi raja selama tujuh hari surga, (tujuh bulan dunia) dan memperisteri tujuh bidadari. Mula-mula Arjuna kawin dengan Supraba, kemudian dengan Tilottama, dan selanjutnya lima bidadari lain yang pernah menggoda tapanya. Bidadari Menaka yang mengatur perkawinan mereka. Setelah genap tujuh bulan, Arjuan minta diri kepada dewa Indra untuk kembali ke dunia, menemui saudara-saudaranya.

    BalasHapus
  3. ASRAMAWASAPARWA

    Asramawasaparwa mengisahkan tentang keadaan keluarga Bharata setelah melakukan perang hebat yang menghabiskan korban itu. Setelah semua anaknya gugur dalam pertempuran, Dhrtarastra tinggal sendirian dan menetap di keraton Yudhistira. Rasa hormat dan kedamaian cinta yang diberikan keluarga Pandawa mampu menghilangkan rasa sepi dan ikut bertanggung jawab atas kematian sekian banyak orang dalam pertempuran itu. Yudhistirapun berpesan kepada adik - adiknya agar jangan terlalu pedas membicarakan Duryodhana. Hal ini untuk mengurangi kesedihan hati Dhrtarastra. Walau begitu rasa benci terhadap musuh - musuhnya tetap berkobar dalam hati Wrkodara. Dhrtarastra kini sudah jenuh hidup lagi, hingga ia berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya dengan berpuasa. Namun, keputusan ini ditentang oleh Yudhistira. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengundurjan diri ke hutan. Awalnya keputusan inipun ditentang oleh Yudhistira, namun setelah Byasa datang dan mendesaknya akhirnya permohonan raja dikabulkan. Sebelum berangkat, Dhrtarastra menerangkan kepada Yudhistira tentang kewajiban - kewajiban menjadi seorang raja dan meminta izin untuk melakukan upacara pemakaman bagi mereka yang gugur. Awalnya ditentang oleh Wrkodara tapi upacara inipun tetap dilaksanakan. Dhrtarastra berangkat menuju ke hutan bersama istrinya Gandhari, Widura dan Sanjaya. Kunti juga ikut serta dalam perjalanan itu walau ia telah ditahan oleh tangis anak - anaknya tapi ia tetap melakukan pejalanan bersama Dhrtarastra dan lainnya ke dalam hutan. Mereka menetap di pertapaan Byasa dan menjalani hidup yang berat serta bertapa brata. Surga yang indah juga telah dipersiapkan oleh Narada dan rsi-rsi lainnya ketika mengunjungi mereka dipertapaan Byasa.

    Tahunpun berlalu, kemudian Pandawa dan para istri - istri mereka mengunjungi pertapaan Byasa. Sanjaya mengantar mereka dan melukiskan keadaanya satu persatu. Widura tidak hadir lalu dicari Yudhistira. Akhirnya iapun menemukan keberadaan Widura yang sudah dalam keadaan badan yang sedemikian rupa seolah - olah telah meninggal. Yudhistira mendengar suara illahi yang membisikinya untuk membakar yang dilihatnya itu sebuah mayat. Bersama dengan Byasa, Yudhistira menuju sungai Gangga,dan dengan kekuatan dilihatnya keadaan anak - anak mereka, suami dan saudara mereka telah meninggal dan berada di surgawi yang begitu indahnya. Para Pandawa pulang, dua tahun kemudian Narada muncul memberitahukan kabar bahwa Dhrtarastra, Gandhari, Kunti dan Widura telah meninggal dalam kebakaran hutan dekat sungai Gangga. Jenazah merekapun diupacarakan dan disemayamkan dengan layak.


    oleh:
    Ismi Hayati
    2102408097
    ROMBEL 4

    BalasHapus
  4. Nama ; Yuni astutik
    NIM ; 2102408124
    Rombel ; 4

    Kitab Negarakertagama
    Negarakertagama merupakan kakawin yang menceritakan kisah Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang melakukan pelesiran ke daerah Blambangan dan dalam perjalanan pulang beliau singgah di Singosari. Dalam naskah ini juga dikisahkan peranan patih Gajah Mada sebagai perdana Mentri yang mumpuni. Masih dalam naskah Negarakertagama ini dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk sebagai penguasa yang sangat adil dalam memerintah dan taat menjalankan aturan agama. Sebagai contoh Raja Hayam Wuruk menghukum mati Demung Sora yang merupakan seorang menterinya, karena dianggap bersalah setelah membunuh Mahesa Anabrang yang ternyata tidak berdosa (lempir ke 73). Dengan demikian Demung Sora telah telah melanggar pasal Astadusta dari kitab Undang undang Kitab Kutara Manawadarmasastra itu. Naskah Negarakertagama yang merupakan karya pujangga besar empu Prapanca ini kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dan menjadi salah satu koleksi kebanggaannya.
    Sembah puji dari hamba yang hina ini ke bawah telapak kaki sang pelindung jagat. Raja yang senantiasa tenang tenggelam dalam samadi, raja segala raja, pelindung orang miskin, mengatur segala isi negara. Sang dewa-raja, lebih diagungkan dari yang segala manusia, dewa yang tampak di atas tanah. Merata, serta mengatasi segala rakyatnya, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagi Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
    Demikianlah pujian pujangga sebelum menggubah sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasa Nagara, raja Wilwatikta yang sedang memegang tampuk tahta. Bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa bahkan seluruh nusantara. Pada tahun 1256 Saka, beliau lahir untuk jadi pemimpin dunia. Selama dalam kandungan di Kahuripan telah tampak tanda keluhuran. Bumi gonjang-ganjing, asap mengepul-ngepul, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung Kelud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara. Itulah tanda bahwa Sanghyang Siwa sedang menjelma bagai raja besar. Terbukti, selama bertakhta seluruh tanah Jawa tunduk menadah perintahnya. Wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat takut akan keberanian Sri Nata. Sang Sri Padukapatni yang ternama adalah nenek Sri Paduka. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda. Tahun 1272 kembali beliau ke Budaloka. Ketika Sri Padukapatni pulang ke Jinapada dunia berkabung. Kembali gembira bersembah bakti semenjak Sri Paduka mendaki takhta. Girang ibunda Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi mengemban takhta bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.
    Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Padukapatni. Setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Sri Paduka Prabu ialah Prabu Kerta Wardana. Keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja. Paduka Prabu Kerta Wardana bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara. Mahir mengemudikan perdata bijak dalam segala kerja. Putri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertakhta di Daha, cantik tak bertara, bersandar enam guna. Adalah bibi Sri Paduka, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan rani Jiwana bagai bidadari kembar.
    Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa. Adinda Sri Paduka Prabu di Wilwatikta : Putri jelita bersemayam di Lasem. Putri jelita Daha cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa. Dan lagi putri bungsu Kerta Wardana. Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara. Putri Sri Baginda Jiwana yang mashur. Terkenal sebagai adinda Sri Paduka. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasa Wardana sangat bagus lagi putus dalam daya raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala. Sri Singa Wardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat. Bre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran Wirabumi. Rani Pajang menurunkan Bre Mataram Sri Wikrama Wardana bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
    Putri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana lukisan. Para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Srinata. Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh. Bak matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa. Girang janma utama bagai bunga kalpika, musnah durjana bagai kumuda. Dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai dewa Yama, menimbun harta bagaikan Waruna. Para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu. Menjaga pura sebagai dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para putri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri, keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan Sri Paduka.
    Berputralah beliau putri mahkota Kusuma Wardani, sangat cantik rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikrama Wardana memegang hakim perdata seluruh negara. Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang. Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.
    Di selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
    Dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur. Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama. Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi. Begini keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas. Mahamantri Agung, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua. Di sebelah utara pintu istana di selatan satria dan pujangga. Di bagian barat : beberapa balai memanjang sampai mercudesa.
    Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga. Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai. Tempat tinggal abdi Sri Baginda Paguhan bertugas menghadap. Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias. Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan itulah balai tempat terima tatamu Srinata di Wilwatikta. Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana : Wredamentri, tanda Mahamantri Agung, pasangguhan dengan pengiring Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga. Tumenggung lima priyayi agung yang akrab dengan istana. Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan.
    Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara lima Mahamantri Agung, utama yang mengawal urusan negara. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana. Begitu juga dua darmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan. Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur agak jauh dan pintu pertama. Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana, permaisuri, putra dan putrinya. Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana. Ketiganya bagai kahyangan semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni Cakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang menarik perhatian. Bunga tanjung kesara, campaka dan lain-lainnya terpencar di halaman. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya Mahamantri Agung dan sanak-kadang adiraja.
    Di timur tersekat lapangan menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha, adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung praja. Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Mahamantri Agung wira, bijaksana, setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buda. Terlangkahi rumah para Mahamantri Agung, para arya dan satria. Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
    Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara perlak dan padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
    Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain. Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga Singasagari Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat.
    Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara. Dilarang mengabaikan urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.
    Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun dan Bali, boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan menurut kabaran begawan Empu Barada, serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja, dikirim ke timur ke barat, di mana mereka sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar. Semua negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa. Tapi yang membangkang, melanggar perintah dibinasakan pimpinan angkatan laut yang telah mashur lagi berjasa. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah nusantara. Di Sri Palatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang dan lega. Wipra pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama. Lepas dari segala duka mengenyam hidup penuh segala kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Jenggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari negara tetangga. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Sri Paduka.
    Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima. Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai.
    Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan lingga hingga desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun. Pada tahun 1275 Saka, Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun 1276 ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun 1279, ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman. Tahun 1281 di Badrapada bulan tambah. Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju kota Lumajang. Naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi Mahamantri Agung, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.
    Juga yang menyamar, Empu Prapanca, girang turut mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putra pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Paduka sebagai pembesar kebudaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Buda ramai membicarakan tingkah lakunya dulu. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja berkata, berdamping, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah. Karya kakawin, begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci.
    Ratnapangkaja serta Kuti, Haji, Pangkaja memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongglang serta Jingan. Kuwu, Hanyar letaknya di tepi jalan. Habis berkunjung pada candi pasareyan Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
    Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap mentri lain lambangnya. Rakrian sang Mahamantri Agung Patih Amangkubumi penata kerajaan. Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata paha bergambar Dahakusuma mas mengkilat. Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian. Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah mala. Beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar meran indah. Semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi. Ringkasnya para wanita berkereta merah berjalan paling muka.
    Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang. Jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap. Rapat rampak prajurit pengiring Jenggala Kediri, Panglarang, Sedah Bayangkari gemruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat. Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi kerabat. Larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri Paduka lalu. Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung. Dukuh sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang. Berbeda-beda namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung. Tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya. Puas sang darmadyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
    Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda. Hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam Sri Paduka memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah. Sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat. Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir lemak-lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari. Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Paduka kepada Gajah Mada, teratur rapi. Di situlah Sri Paduka menempati pasanggrahan yang tehias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.
    Sampai di desa Kasogatan, Sri Paduka dijamu makan minum. Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, We, Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap. Begitu pula desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul. Termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa Kasogatan yang berakuwu. Sejak dahulu delapan saja yang menghasilkan bahan makanan. Fajar menyingsing, berangkat lagi Sri Paduka melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan. Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang. Sampai di Kemirahan yang letaknya di pantai lautan.
    Di Dampar dan Patunjungan Sri Paduka bercengkerama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pasisir datar, lembut-limbur dilintasi kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang belum kembali ke asrama. Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan lalu bermalam lagi. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam.
    Malam berganti malam, Sri Paduka pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggal-nya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan. Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, lerus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya. Melalui Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ bermalam, segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang. Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab berlanggar.
    Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan. Dan Bangkong dua desa tanpa cerita terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebucalan menuju Surabasa. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan. Panjang lamun dikisahkan kelakuan para mentri dan abdi. Beramai-ramai Sri Paduka telah sampai di desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Sri Baginda. Semua Mahamantri Agung mancanagara hadir di pakuwuan. Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji Siwa dan Panji Buda faham hukum dan putus sastera. Sang adipati Suradikara memimpin upacara sambutan.
    Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan. Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang ke lautan. Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau. Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak. Itulah buatan sang arya bagai persiapan menyambut raja. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari Sri Paduka mendekati permaisuri seperti dewa-dewi. Para putri laksana apsari turun dari kahyangan. Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran cengang. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng. bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma sedang mengedari dunia. Selama kunjungan di desa Patukangan Para Mahamantri Agung dari Bali dan Madura.
    Dari Balumbung, kepercayaan Sri Paduka Mahamantri Agung seluruh Jawa Timur berkumpul. Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang. Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Sri Paduka keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta membuat gembira rakyat. Hanya pujangga yang menyamar Empu Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Buda Panji Kertayasa. Teman bersuka-ria, ternan karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah arya megah. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta. Melewati Tal Tunggal, Halalang panjang. Pacaran dan Bungatan Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu beralam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.
    Tersebut perjalanan Sri Baginda ke arah barat. Segera sampai Keta dan tinggal di sana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain sehingga puas. Atas perintah sang arya semua Mahamantri Agung menghadap. Wiraprana bagai kepala upapati Siwa-Buda. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan. Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring malah bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan. Sampai di Kalayu Sri Paduka berhenti ingin menyekar. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi pasareyan sanak kadang Sri Paduka Prabu.
    Penyekaran di pasareyan dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat sigi” nama upacara penyekaran itu. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Paduka menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak. Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya berlumba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja. Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, sampai Kambangrawi bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Buda menjulang tinggi, sangat elok bentuknya. Perjamuan Tumenggung Empu Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Sri Baginda bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, Berurang, Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.
    Segera Sri Paduka sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah selatan candi Buda beliau memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanotama para mantri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang. Berangkat dari situ Sri Paduka menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama Sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu. Sang pujangga Empu Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar. Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat.
    Suka cita Empu Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cinta. Di atas tiap atap terpahat ucapan seloka yang disertai nama Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan. Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan Andung, karawira, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah menguntai di sudut mengharu rindu pandangan. Tiada sampailah kata meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan priya, tua muda nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.
    Habis berkeliling asrama, Sri Paduka lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapan. Sri Paduka membalas harta. membuat mereka gembira. Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan Kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang. Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang masih remaja putri sengaja merenung. Batinnya : dewa asmara turun untuk datang menggoda. Sri Paduka berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup mata sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam raga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya. Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan sawah di tepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke utara menuju desa Ganding. Para mentri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Buda.
    Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Sri Paduka dengan mas dan kain. Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Segera Sri Paduka menuju kota Singasari bermalam di balai kota. Empu Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan. Ingin terus melancong menuju asrama. Indarbaru yang letaknya di daerah desa. Hujung Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan Serat Kekancingan pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca. Isi Serat Kekancingan : tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara. Begitupula sebagian Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung Isi Serat Kekancingan membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke Indarbaru. Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Sri Paduka mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.
    Pada subakala Sri Paduka berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada pasareyan batara bersama segala pengiringnya Harta. perlengkapan. makanan. dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera,sdisambut sorak-sorai dari penonton. Habis penyekaran, Baginda keluar dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Buda dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa rahap Sri Paduka bersantap sehingga puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah. Tersebut keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara.
    Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar. Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib. Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru dengan arca Batara Siwa di dalamnya. Karena Girinata putra disembah bagai dewa batara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia. Sebelah selatan candi pasareyan ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya yang masih berdiri, berciri kasogatan lantai di dalam. Hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah. Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpencar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor tanahnya. Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut laksana wanita sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu.
    Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya. Sedih mata yang memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau mashur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagad. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan batara. Tersebut lagi, paginya Sri Paduka berkunjung ke candi Kidal. Sesudah menyembah batara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng. Keindahan Bureng : telaga bergumpal airnya jernih. Kebiru-biruan, di tengahnya candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan. Terlewati keindahannya, berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi.
    Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang. Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana. Pengawas candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi. Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur. Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur. Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsafannya. Tamu diterima dengan girang dan ditegur : “Wahai orang bahagia, pujangga besar pengiring raja, pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?” Maksud kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan, masih selalu dihadap. Ceriterakanlah mulai dengan Batara Kagenengan. Ceriterakan sejarahnya jadi putra Girinata.
    Paduka Empuku menjawab : “Rakawi maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup. Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang tujuh”.
    Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur. Semoga rakawi bersifat pengampun. Di antara kata mungkin terselib salah. Harap percaya kepada orang tua. Kurang atau lebih janganlah dicela. Pada tahun 1104 Saka ada raja perwira yuda Putra Girinata, konon kabarnya lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Sri Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak. Daerah luas sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putra Sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan negara, ibukota negara bernama Kotaraja, penduduknya sangat terganggu. Tahun 1144 Saka, beliau melawan raja Kediri Sang Adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara terpencil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh. Setelah kalah Narpati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Jenggala Kediri di bawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah pulau Jawa. Makin bertambah besar kuasa dan megah putra sang Girinata. Terjamin keselatamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun 1149 Saka beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usana bagai Buda.
    Batara Anusapati putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya. tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun 1170 Saka beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi pasareyan Kidal. Batara Wisnu Wardana, putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah negara Beliau memusnahkan perusuh Linggapati serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau sungguh titisan Siwa di bumi. Tahun 1176 Saka, Batara Wisnu menobatkan putranya. Segenap rakyat Kediri Jenggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia. Prabu Kerta Negara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kotaraja bertambah makmur, berganti nama praja Singasari. Tahun 1192, Raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Buda. Sementara itu Batara Nara Singa Murti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa mahadewa. Tersebut Sri Paduka Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat. Bernama Cayaraja, gugur pada tahun Saka 1192. Tahun 1197 Saka, Sri Paduka menyuruh tundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.
    Tahun 1202 Saka, Sri Paduka Prabu memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh negara. Tahun 1206 Saka, mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Sri Paduka sebagai orang tawanan. Demikianlah dari empat jurusan orang lari berlindung di bawah Sri Paduka. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur di hadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa. Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Sri Paduka waspada, tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Buda. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.
    Menurut kabar sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara. Tahun 1209 Saka, beliau pulang ke Budaloka. Sepeninggalnya datang zaman Kali, dunia murka, timbul huru hara. Hanya batara raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jagad. Itulah sebabnya Sri Paduka teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni. Teguh tawakal memegang Pancasila, laku utama, upacara suci Gelaran Jina beliau yang sangat mashur ialah Sri Jnanabadreswara. Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama. Berlumba-lumba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan. Pertama-tama tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati.
    Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba. Di antara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau. Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama. Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja pelindung. Tahun 1214 Saka, Sri Paduka pulang ke Jinalaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama. Beliau diberi gelaran : Yang Mulia bersemayam di alam Siwa-Buda. Di pasareyan beliau bertegak arca Siwa-Buda terlampau indah permai. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan arca Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan negara Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.
    Tatkala Sri Paduka Kertanagara pulang ke Budabuana. Merata takut, duka, huru hara, laksana zaman Kali kembali. Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat, karena ingin berkuasa di wilayah Kediri. Tahun 1144 Saka, itulah sirnanya raja Kertajaya atas perintah Siwaputra Jayasaba berganti jadi raja. Tahun Saka 1180, Sastrajaya raja Kediri. Tahun 1193, Jayakatwang raja terakhir. Semua raja berbakti kepada cucu putra Girinata. Segenap pulau tunduk kepada kuasa Prabu Kerta Negara. Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata damai tak baka akibat bahaya anak piara Kali. Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar. Lalu ditundukkan putra Sri Paduka, ketenterarnan kembali. Sang menantu Raden Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebur Jayakatwang.
    Sepeninggal Jayakatwang jagad gilang cemerlang kembali. Tahun 1216 Saka, Raden Wijaya menjadi raja. Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh. Bergelar Sri Baginda Kerta Rajasa Jaya Wardana. Selama Kerta Rajasa Jaya Wardana duduk di takhta, seluruh tanah Jawa bersatu padu, tunduk menengadah. Girang memandang pasangan Sri Paduka empat jumlahnya. Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Parameswari Tri Buwana yang sulung, luput dari cela. Lalu parameswari Mahadewi, rupawan tidak bertara Prajnya Paramita Jayendra Dewi, cantik manis menawan hati. Gayatri, yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni. Pernikahan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga. Karena Batara Wisnu dengan Batara Nara Singa Murti. Akrab tingkat pertama, Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Buda. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda. Dalam hidup atut runtut sepakat sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan. Tersebut tahun Saka 1217, Sri Paduka menobatkan putranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putra Indreswari. Bergelar Sri Paduka putra Jayanagara. Tahun Saka 1231, Sang Prabu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama pasareyan beliau. Dan di pasareyan Simping ditegakkan arca Siwa.
    Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan dua orang putri keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani Daha. Tersebut pada tahun Saka 1238, bulan Madu Sri Paduka Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh. Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Paduka. Tahun Saka 1250, beliau berpulang. Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Di Sila Petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah. Di Sukalila terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.
    Tahun Saka 1256, Rani Jiwana Wijaya Tungga Dewi bergilir mendaki takhta Wilwatikta. Didampingi raja putra Singasari atas perintah ibunda Rajapatni. Sumber bahagia dan pangkal kuasa. Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Paduka Wilwatikta. Tahun Saka 1253 sirna musuh di Sadeng, Keta diserang. Selama bertakhta, semua terserah kepada Mahamantri agung bijak, Mada namanya. Tahun Saka 1265, raja Bali yang alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya. Menjauh segala yang jahat, tenteram”.
    Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh dan mengharukan ujar Sang Kaki. Jelas keunggulan Sri Paduka di dunia. Dewa asalnya, titisan Girinata. Barang siapa mendengar kisah raja. Tak puas hatinya, bertambah baktinya. Pasti takut melakukan tindak jahat. Menjauhkan diri dari tindak durhaka.
    Paduka Empu minta maaf berkata : “Hingga sekian kataku, sang rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu. Bagai buahnya, gubahlah puja sastra”.
    Habis jamuan rakawi dengan sopan. Minta diri kembali ke Singasari. Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya berangkat menghadap Sri Paduka. Tersebut Sri Paduka Prabu berangkat berburu. Lengkap dengan senjata, kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Alaspati, rimba belantara rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak. Bala bulat beredar membuat lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit burung ribut beterbangan berebut dulu. Bergabung sorak orang berseru den membakar. Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala menjilat udara. Seperti waktu hutan Alaspati terbakar. Lihat rusa-rusa lari lupa daratan. Bingung berebut dahulu dalam rombongan. Takut miris menyebar, ingin lekas lari. Malah manengah berkumpul tumpuk timbun. Banyaknya bagai banteng di dalam Gobajra Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci. Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya. Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.
    Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa. Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari. Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang? Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat. Kijang menjawab : “Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin”. Kaswari, rusa dan kelinci setuju. Banteng berkata : “Amboi! Celaka kijang, sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati. Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.” Kerbau, lembu serta harimau setuju dengan pendapat ini. Jawab singa : “Usulmu berdua memang pantas diturut, Bung. Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk. Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan. Karena sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda. Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta. Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk. Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati. Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama dari pada terjun ke dalam telaga. Siapa di antara sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh. Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.
    Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak maju berdesak. Prajurit darat yang terlanjur langkahnya. Tertahan tanduk satwa, lari kembali. Tersebutlah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh. Dengan anaknya dirayah tak berdaya. Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah. Buas membekos-bekos, matanya merah. Liar dahsyat, saingnya seruncing golok. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru-menyeru.
    Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya. Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun. Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang. Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak. Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah! Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar, yang terbunuh bertumpuk timbun. Ada pendeta Siwa-Buda yang turut menombak, mengejar. Disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila. Turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
    Tersebut Sri Paduka telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai. Celeng. kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan. Sri Paduka berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai. Mahamantri Agung, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu binatang jatuh terbunuh tertombak, terpotong. tertusuk, tertikam. Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda. Puaslah hati Sri Paduka sambil bersantap dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa. Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan.
    Membawa wanita seperti cengkeraman, di hutan bagai menggempur, negara tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa. Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura. Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan. Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau. Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam Kembal! ke selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut penoton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam. Adanya candi pasareyan tersebut sudah sejak zaman dahulu. Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Sri Paduka Prabu. Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda. Bentuk candi berkaki Siwa berpuncak Buda, sangat tinggi. Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara. Namun telah hilang, memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.
    Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, ada pada Sri Paduka guru besar, mashur. Pada Paduka putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni Telah terbukti bagai mahapendeta terpundi sasantri. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi. Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah. Menimbul-kan iri di dalam hati pengawas candi suci. Ditanya mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa. Pada Paduka menjelaskan sejarah candi pasareyan suci. Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti. Kecewa! tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang. Tahun Saka 1253 itu hilangnya arca. Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam.
    Benarlah kabuan pendeta besar bebas dari prasangka. Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun. Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai. Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga. Di sisinya lukisan putri istana berseri-seri. Sementara Sri Paduka girang cengkerma menyerap pemandangan. Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada. Ke timur arahnya di bawah terik matahari Sri Paduka. Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam. Tersebut dari Jajawa Sri Paduka berangkat ke desa padameyan. Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang. Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
    Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap. Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap. Pukul tiga itulah waktu Sri Paduka bersantap bersama-sama. Paling muka duduk Sri Paduka lalu dua paman berturut tingkat raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan. Di sisi Sri Paduka, terlangkahi berapa lamanya bersantap. Paginya pasukan kereta Sri Paduka berangkat lagi. Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang. Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak. Banasara dan Sangkan Adoh tesah lama dilalui. Pukul dua Sri Paduka telah sampai di perbatasan kota Sepanajng jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati. Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya tidak jauh, berikut Narpati Lasom.
    Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang. Rani Daha, rani Wengker semuanya urut belakang. Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta Sri Paduka serombongan besar. Diiring beberapa ribu perwira dan para mentri. Tersebut orang yang rapat rampak menambak tepi jalan Berjejal ribut menanti kereta Sri Paduka berlintas. Tergopoh-gopoh wanita ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk kainnya. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang. Gemuruh dengung gong menampung Sri Paduka Prabu datang. Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan. Setelah raja lalu berarak pengiring di belakang. Gajah. kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
    Yang berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan bejalan belakang. Lada, kesumba, kapas, buah kelapa. Buah pinang, asam dan wijen terpikul. Di belakangnya pemikul barang berat. Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan. Kanan menuntun kirik dan kiri genjik. Dengan ayam itik di keranjang merunduk. Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung, rebung, seludang, cempaluk. Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk. Gelaknya seperti hujan panah jatuh. Tersebut Sri Paduka telah masuk pura. Semua bubar ke rumah masing-masing. Ramai bercerita tentang hal yang lalu Membuat girang semua sanak kadang. Waktu lalu Sri Paduka tak lama di istana. Tahun Saka 1282, Badra pada. Beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan. Tahun Saka 1283 Waisaka, Sri Paduka Prabu berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menenteramkan cita. Dari Blitar ke selatan jalannya mendaki.
    Pohonnya jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari. Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai. Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping. Ingin memperbaiki candi pasareyan leluhur. Menaranya rusak, dilihat miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur. Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca lagi. Diukur panjang lebarnya, di sebelah timur sudah ada tugu. Asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam. Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara. Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Inyanabadran terus ke timur. Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi Surabawana. Paginya berangkat lagi berhenti di Bekel, sore sampai pura Semua pengiring bersowang-sowang pulang ke rumah masing-masing. Tersebut paginya Sri naranata dihadap para mentri semua. Di muka para arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur.
    Patih amangkubumi Gajah Mada tampil ke muka sambil berkata : “Sri Paduka akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan. Atas Perintah sang rani Sri Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi supaya pesta serada Sri Padukapatni dilangsungkan Sri Paduka. Di istana pada tahun Saka 1284 bulan Badrapada. Semua pembesar dan wreda Mahamantri Agung diharap memberi sumbangan.” Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira. Sri Paduka Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan mentri. Yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan Sri Paduka. Tersebut sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa” di setinggil Ada yang mengetam baki makanan, bokor-bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja membuat persiapan. Ketika saatnya tiba tempat telah teratur sangat rapi. Balai witana terhias indah di hadapan rumah-rumahan.
    Satu di antaranya berkaki batu karang bertiang merah. Indah dipandang semua menghadap ke arah takhta Sri Paduka. Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja. Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk. Para isteri, pembesar, Mahamantri Agung, pujangga. Serta pendeta Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi. Demikian persiapan Sri Paduka memuja Buda Sakti. Semua pendeta Buda berdiri dalam lingkaran bagai saksi. Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka. Tenang, sopan budiman faham tentang sastra tiga tantra. Umurnya melintasi seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus dibantu. Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran. Mudra, mantra dan japa dilakukan tepat menurut aturan. Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surga dengan doa. Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan puja.
    Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara. Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet serta genderang. Didudukkan di atas singasana, besarnya setinggi orang berdiri berderet beruntun-runtun semua pendeta tua muda memuja. Berikut para raja, parameswari dan putra mendekati arca. Lalu para patih dipimpin Gajah Mada maju ke muka berdatang sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat penjuru. Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur. Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap Bersusun timbun seperti pohon, dan sirih bertutup kain sutera Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti lembu. Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan makanan dari nganga mulutnya. raja Wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat Disertai penyebaran harta di lantal balai besar berhambur-hamburan.
    Elok persembahan raja Tumapel berupa wanita cantik manis Dipertunjukkan selama upacara untuk mengharu-rindukan hati. Paling haibat persembahan Sri Paduka berupa gunung besar. Mandara Digerakkan oleh sejumlah dewa dan danawa dahsyat menggusarkan pandang Ikan lambora besar beriembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar Bagaikan sedang mabuk diayun gelombang, di tengah-tengah lautan besar. Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi. Agar para wanita, Mahamantri Agung, pendeta dapat makanan sekenyangnya Tidak terlangkahi para kesatria, arya dan para abdi di pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala tentara. Pada hari keenam pagi Sri Paduka bersiap mempersembahkan persajian. Pun para kesatria dan pembesar mempersembahkan rumah- rumahan yang terpikul.
    Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan. Esoknya patih mangkubumi Gajah Mada sore-sore menghadap sambi menghaturkan. Sajian wanita sedih merintih di bawah nagasari dibelit rajasa. Mahamantri Agung, arya, bupati, pembesar desa pun turut menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan. Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Sri Paduka Prabu pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan, makanan. Luas merata kepada empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan jamuan kepada pembesar, abdi dan niaga mengalir bagai air. Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak. Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta para luhur. Sri Nata menari di balai witana khusus untuk para putri dan para istri. Yang duduk rapat rapi berimpit ada yang ngelamun karena tercengang memandang.
    Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan. Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan gelak-mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita membangkitkan gembira rakyat. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Padukapatni yang sudah mangkat. Semoga beliau melimpahkan barkat kepada Sri Paduka Prabu Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya. Paginya pendeta Buda datang menghormati, memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke Budaloka. Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi. Lodang lega rasa Sri Paduka melihat perayaan langsung lancar. Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun 1274. Dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.
    Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah. Karena cinta Sinuwun Prabu Airlangga kepada dua putranya. Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga. Diam di tengah kuburan lemah Citra, jadi pelindung rakyat. Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Empu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman. Girang beliau menyambut permintaan Airlangga membelah negara. Tapal batas negara ditandai air kendi mancur dari langit. Dari barat ke timur sampai laut, sebelah utara, selatan. Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar. Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan. Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah.
    Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil. Itulah tugu batas gaib, yang tidak akan mereka lalui. Itu pula sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga Sri Paduka serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada. Berjaya dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu. Prajnya Paramita Puri itulah nama candi pasareyan yang dibangun. Arca Sri Padukapatni diberkahi oleh Sang pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu agama, laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Sri Paduka. Di Bayalangu akan dibangun pula candi pasareyan Sri Padukapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang Mahamantri Agung demung. Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun. Candi pasareyan Sri Padukapatni tersohor sebagai tempat keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para Mahamantri Agung dan pendeta. Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja. Itulah suarganya, berkat berputra, bercucu narendra utama.
    Tersebut pada tahun Saka 1285, Sri Paduka menuju Simping demi pemindahan candi makam. Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat. Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara. Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa. Memangku jabatannya semenjak mangkat Kerta Rajasa. Ketika menegakkan menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung, yang diserahi menjaganya. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar AdiMahamantri Agung Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di pulau Bali serta kota Sadeng memusnahkan musuh. Tahun Saka 1253 beliau mulai memikul tanggung jawab. Tahun 1286 Saka beliau mangkat, Sri Paduka gundah, terharu bahkan putus asa.
    Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu. Insaf bahwa hidup ini tidak baka karenanya beramal tiap hari. Sri Paduka segera bermusyawarah dengan kedua rama serta bunda. Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada. Yang layak akan diangkat hanya calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang-menimbang, tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan. Sri Paduka berpegang teguh, AdiMahamantri Agung Gajah Mada tak akan diganti. Bila karenanya timbul keberatan beliau sendiri bertanggung jawab. Mernilih enam Mahamantri Agung yang menyampaikan urusan negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan. Sri Paduka. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih sebagai wredaMahamantri Agung. Karib Sri Paduka bernama Empu Tandi. Penganut karib Sri Baginda. Pahlawan perang bernama Empu Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat.
    Mancanegara bergelar tumenggung. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah menundukkan negara Dompo. Serba ulet menanggulangi musuh. Jumlahnya bertambah dua Mahamantri Agung. Bagai pembantu utama Sri Paduka. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh para upapati. Empu Dami menjadi Mahamantri Agung muda. Selalu ditaati di istana. Empu Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Sri Paduka. Demikian titah Sri Baginda. Puas, taat teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah hari setya baktinya. Karena Sri Paduka yang memerintah. Sri Paduka makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih. Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikut undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil, semua pihak merasa puas. Mashur nama beliau, mampu menembus jaman, sungguhlah titiaan batara. Candi pasareyan serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala. Yang belum siap diselesaikan, dijaga dan dibina dengan saksama.
    Yang belum punya prasasti, disuruh buatkan Serat Kekancingan pada ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah temurun. Jumlah candi pasareyan raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan. Disebut pertama karena tertua : Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Katang Brat dan Jago. Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger. pasareyan rani : Kamal Pandak, Segala, Simping. Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir. Bangunan baru Prajnya Paramita Puri. Di Bayatangu yang baru saja dibangun. Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra. Dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli sastra. Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara.
    Orang utama, yang saksama dan tawakal membina semua candi. Setia kepada Sri Paduka, hanya memikirkan kepentingan bersama Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam. Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Sri Paduka. Darmadyaksa kasewan bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan. Darmadyaksa kasogatan disuruh menjaga biara kebudaan. Mahamantri Agung her-haji bertugas memelihara semua pertapan. Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak : biara relung Kunci, Kapulungan Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna Parhyangan, Kuti Jati, Candi lima, Nilakusuma, Harimandana, Utamasuka Prasada-haji, Sadang, Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika. Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigit Nyudonta, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara Rambut, Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen, Ratimanatasrama, Kula, Kaling, ditambah sebuah lagi Batu Putih.
    Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak : Wipulahara, Kutahaji Janatraya, Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi serta Wadari Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan Pamulang. Baryang, Amretawardani, Wetiwetih. Kawinayan, Patemon serta Kanuruhan Engtal, Wengker. Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Engtal. Wengker, Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Padurungan. Pindatuha, Telang, Suraba, itulah yang terpenting, sebuah lagi. Sukalila Tak disebut perdikan tambahan seperti Pogara. Kulur, Tangkil dan sebagainya. Selanjutnya disebut berturut desa kebudaan Bajradara : Isanabajra, Naditata, Mukuh, Sambang, Tanjung. Amretasaba Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadara Tidak juga terlangkahi Kumuda. Ratna serta Nadinagara. Wungaiaya, Palandi, Tangkil.
    Asahing, Samici serta Acitahen Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng. Pojahan dan Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan. serta Kahuripan Ketaki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala. Badur, Wirun, Wungkilur. Mananggung, Watukura serta Bajrasana Pajambayan. Salanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu Pohaji, Wangkali, Biru. Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudaan Bajradara yang sudah berprasasti. Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.
    Wangjang, Bajrapura. Wanara, Makiduk, Hanten, Guha dan Jiwa Jumpud. Soba, Pamuntaran, dan Baru, perdikan Buda utama. Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagiri, Centing, Wekas Wandira, Wandayan. Gatawang : Kulampayan dan Talu, pertapan resi. Desa perdikan Wisnu berserak di Batwan serta Kamangsian Batu Tanggulian. Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting Sedang, Medang. Hulun Hyan, Parung, langge, Pasajan, Kelut. Andelmat Paradah, Geneng, Panggawan, sudah sejak lama bebas pajak. Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu pula asrama tetap yang bercandi serta yang tidak. Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Sri Paduka Prabu. Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.
    Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang berSerat Kekancingan dipertahankan, yang tidak, segera diperintahkan. Pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja. Segenap desa sudah diteliti menurut perintah raja Wengker raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya. Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Sri Paduka Prabu. Semua tata aturan patuh diturut oleh pulau Bali. Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya Pembesar kebudaan Badahulu. Badaha lo Gajah ditugaskan. Membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya. Perdikan kebudaan Bali seperti berikut, biara Baharu (hanyar). Kadikaranan, Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah enam kebudaan Bajradara, biara kependetaan. Terlangkahi biara dengan bantuan negara seperti Aryadadi. Berikut candi pasareyan di Bukit Sulang lemah lampung, dan Anyawasuda Tatagatapura, Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas Serat Kekancingan. Pada tahun Saka 1260 oleh Sri Paduka Jiwana.
    Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya : upasaka wreda mentri. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri. Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman. Demikianlah tabiat raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga kelak para raja sudi membina semua bangunan suci. Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut. Menenteramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan negara. Besarlah minat Sri Paduka untuk tegaknya tripaksa. Tentang Serat Kekancingan beliau besikap agar tetap diindahkan. Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata gila dan adat-tutur diperhatikan. Itulah sebabnya sang caturdwija mengejar laku utama. Resi, Wipra, pendeta Siwa Buda teguh mengindahkan tutur.
    Catur asrama terutama catur basma tunduk rungkup tekun melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara. Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran. Para Mahamantri Agung dan arya pandai membina urusan negara. Para putri dan satria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan sudra dengan gembira menepati tugas darmanya. Empat kasta yang lahir sesuai dengan keinginan. Hyang Maha Tinggi Konon tunduk rungkup kepada kuasa dan perindah Sri Paduka Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah. Gandara, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacad-cacadnya. Demikianlah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata. Penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat Sri Paduka menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma. Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabu. Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala. Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang.
    Mendirikan perdikan Buda di Rawi, Locanapura, Kapulungan Sri Paduka sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi. Semua Mahamantri Agung mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata. Demikianlah keluhuran Sri Paduka ekanata di Wilwatikta. Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera. Bertambah mashur keluhuran pulau Jawa di seluruh jagad raya. Hanya Jambudwipa dan pulau Jawa yang disebut negara utama Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh jumlahnya Panji Jiwalekan dan Tengara yang meronjol bijak di dalam kerja. Mashurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur.
    Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya Hyang brahmana, sopan, suci, ahli weda menjalankan nam laku utama Batara Wisnu dengan cipta dan mentera membuat sejahtera negara. Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung Dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Karnataka Goda serta Siam mengarungi lautan bersama para pedagang Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang. Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormat di seluruh negara. Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa Hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli, penjual, barang terhampar di dasaran. Berputar keliling gamelan dalam tanduan diarak rakyat ramai Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura Korban api, ucapan mantra dilakukan para pendeta Siwa-Buda. Mulai tanggal delapan bulan petang demi keselamatan Sri Paduka.
    Tersebut pada tanggal empatbelas bulan petang. Sri Paduka berkirap. Selama kirap keliling kota busana. Sri Paduka serba kencana. Ditatatng jempana kencana, panjang berarak beranut runtun. Mahamantri Agung, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam. Mengguntur gaung gong dan salung, disambut terompet meriah sahut-menyahut Bergerak barisan pujangga menampung beliau dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari seluruh Jawa. Tanda bukti Sri Paduka perwira bagai Rama, mulia bagai Sri Kresna. Telah naik Sri Paduka di takhta mutu-manikam, bergebar pancar sinar. Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji astuti. Yang nampak, semua serba mulia, sebab Sri Paduka memang raja agung. Serupa jelmaan. Sang Sudodanaputra dari Jina bawana. Sri nata Pajang dengan sang permaisuri berjalan paling muka. Lepas dari singasana yang diarak pengiring terlalu banyak.
    Mahamantri Agung Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok. Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul. raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya. Lalu raja Kediri dengan permaisuri serta Mahamantri Agung dan tentara. Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para pengiring. Sebagai penutup Sri Paduka dan para pembesar seluruh Jawa. Penuh berdesak sesak para penonton ribut berebut tempat. Di tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap rumah mengibarkan bendera, dan panggung membujur sangat panjang. Penuh sesak wanita tua muda, berjejal berimpit-impitan. Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton. Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil. Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci di dulang berukir. Mahamantri Agung serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama. Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka. Mahamantri Agung, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir.
    Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota. Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama. Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat. Tetapi menganut ajaran raja Kapa Kapa, dibaca tiap Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang. Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat. Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar. Di utara kota terbentang lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi Sri Paduka, naik tandu bersudut Singa. Di arak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang. Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke utara bertemu.tebing sungai. Dikelilingi bangunan Mahamantri Agung di dalam kelompok. Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang. Tiangnya penuh berukir dengan isi dongengan parwa. Dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana.
    Tempat menampung Sri Paduka di panggung pada bulan Caitra. Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat. Bagian utara dan selatan untuk raja dan arya. Para Mahamantri Agung dan dyaksa duduk teratur menghadap timur. Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya. Di situlah Sri Paduka memberi rakyat santapan mata. Pertunjukan perang tanding, perang pukul. desuk-mendesuk Perang keris, adu tinju tarik tambang, menggembirakan. Sampai tiga empat hari lamanya baharu selesai. Seberangkat Sri Paduka. sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala perlombaan bubar, rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan petang Sri Paduka menjgmu para pemenang. Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian. Segenap ketua desa dan wadana tetap tinggal, paginya mereka. Dipimpin Arya Ranadikara menghadap Sri Paduka minta diri di pura Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan. Sri Paduka duduk di atas takhta, dihadap para abdi dan pembesar.
    Berkatalah Sri nata Wengker di hadapan para pembesar dan wedana : “Wahai, tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Sri Paduka Prabu Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya dibina. Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah Perhatikan tanah rakyat jangan sampai jatuh di tangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar. Sri nata Kerta Wardana setuju dengan anjuran memperbesar desa. Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana terutama pelanggar susila.
    Agar bertambah kekayaan Sri Paduka demi kesejahteraan negara. Kemudian bersabda Sri Baginda Wilwatikta memberi anjuran : “Para budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi. Rajakarya terutama bea-cukai, pelawang supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati. Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan. Biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya. Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya “
    Begitu perintah Sri Paduka kepada wadana, yang tunduk mengangguk Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau. Mahamantri Agung upapati serta para pembesar menghadap bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama. Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang. Di tiga ruang para wadana duduk teratur menganut sudut. Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Sri Paduka. Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, Ikan, telur, domba menurut adat agama dari zaman purba. Makanan pantangan : daging anjing, cacing, tikus, keledai dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda. Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba banyak serta serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak. Berderap cepat datang menurut acara. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing. Hanya dihidangkan kepada para penggemar. Karena asalnya dari pelbagai desa.
    Mereka diberi kegemaran, biar puas. Mengalir pelbagai minuman keres segar. Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya. Itulah hidangan yang utama. Wadahnya emas berbentuk aneka ragam. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar. Berisi aneka minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air yang mengelir. Yang gemar minum sampai muntah serta mabuk. Meluap jamuan Sri Paduka dalam pesta. Hidangan mengalir menghampiri tetamu. Dengan sabar segala sikap dizinkan. Penyombong, pemabuk jadi buah gelak tawa. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri Paduka. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.
    Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan. Seolah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain. Disuruh menghadap Sri Paduka, diajak minum bersama. Mahamantri Agung upapati berurut mengelir menyanyi. Nyanyian Menghuri Kandamuhi dapat bersorak pujian. Sri Paduka berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu. Tercengang dan terharu hadirin mendengar suar merdu. Semerebak meriah bagai gelak merak di dahan kayu. Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis. Resap menghalu kalbu bagai desiran buluh perindu. Arya Ranadikara lupa bahwa Sri Paduka berlagu. Bersama Arya Ranadikara mendadak berteriak. Bahwa para pembesar ingin belia menari topeng. “Ya!” jawab beliau, segera masuk untuk persiapan.
    Sri Kerta Wardana tampil kedepan menari panjak. Bergegas lekas panggung di siapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu rindu, tinglahnya memikat hati. Bubar mereka itu ketika Sri Paduka keluar. Lagu rayuan Sri Paduka bergetar menghanyutkan rasa. Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah. Resap meremuk rasa, merasuk tulang sungsum pendengar. Sri Paduka warnawan telah mengenakan tampuk topeng. Delapan pengirignya di belakang, bagus, bergs, pantas. Keturunan Arya, bijak cerdas, sopan tingkah lakunya. Itulah sebabnya benyolannya selalu kena. Tari sembilan orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku. Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu. Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton. Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar meminta diri mencium duli paduka. Katanya :”lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”. Terlangkahi pujian Sri Paduka waktu masuk istana.
    Demikianlah suka mulia Sri Paduka Prabu di pura, tercapai segala cita. Terang Sri Paduka sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Buda. Dengan laku utama beliaumemadamkan api kejahatan durjana. Terus membumbung ke angkasa kemashuran dan keperwiraan Sri Paduka. Sungguh beliau titisan Batara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa. Itulah sebabnya keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad. Semua orang tinggi, sedang, rendah menuturkan kata-kata pujian. Serta berdo’a agar Sri Paduka tetap subur bagai gunung tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.
    Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Sri Paduka. Sang pendeta Budaditya menggubah rangkaian seloka Bogawali. Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa. Brahmana Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian seloka indah. Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra. Bersama-sama merumpaka seloka puja sastra untuk nyanyian. Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma. Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana. Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara. Empu Prapanca bangkit turut memuji Sri Paduka meski tak akan sampai pura.
    Maksud pujiannya, agar Sri Paduka gembira jika mendengar gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan negara, terutama Sri Paduka dan rakyat. Tahun Saka 1287 bulan Aswina hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut Desa Warnana. Dengan maksud, agar Sri Paduka ingat jika membaca hikmat kalimat. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar.
    Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita “Sugataparwa”. Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin. Terdorong cinta bakti kepada Sri Paduka, ikut membuat puja sastra berupa karya kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.
    Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di dusun. Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar manis. Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan. Apa gunanya mengenal ajaran kasih, jika tidak diamalkan? Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal. Buta, tuli, tak nampak sinar memancar dalam kesedihan, kesepian. Seyogyanya ajaran sang Begawan diresapkan bagai sepegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda. Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan. Membuat rumah dan tempat persajian di tempat sepi dan bertapa. Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tinggi-tinggi. Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama dikenal.
    Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu. Pipinya sembab, matanya ngeliyap. Gelaknya terbahak-bahak. Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh, tak menurut ajaran tutur. Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali. Ingin menyamai Empu Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu wang dibagi. Terus bertapa berata. Mendapat pimpinan hidup. Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum selesai. Ingin mencapai nirwana. Jadi pahlawan pertapa.
    Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina orang-orang yang puas dalam ketetnangan dan menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacad dan dicela di dalam pura.[]

    BalasHapus
  5. NAMA : MARETA DWI ARIANI
    NIM : 2102408028

    SERAT DEWARUCI
    Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
    Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
    PENDAHULUAN
    Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).
    Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).
    Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
    Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44;
    Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
    Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
    Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
    Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.
    Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru
    Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.
    Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru
    Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.
    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat
    Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.
    Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.
    Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat
    Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.
    Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).
    Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
    Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).
    Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya
    Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.
    Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).
    Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.
    Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong
    Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
    tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
    Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
    Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.
    Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya
    Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya
    Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
    Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.
    Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya
    Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
    Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.
    Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
    Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan
    Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.
    Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar
    Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).
    Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat
    Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.
    Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).
    Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.
    Nilai Filosofis Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak
    Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
    Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
    Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).
    Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat
    Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
    Nilai Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai
    Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
    Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).
    Nilai Filosofis Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya
    Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
    Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar
    Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
    Kesimpulan
    Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa pun’.
    Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).

    BalasHapus
  6. Nur Amalia F (2102408006)
    Rombel : 1

    Penanggalan Jawa Kuna Wirataparwa

    Peristiwa seperti Wirataparwa Jawa Kuna dengan kata lain ketidakhadirannya dari Adiparwa dan parwa-parwa lainnya seperti mengindikasikan bahwa di Jawa paling tidak ketika penerjemahan Mahabarata diselenggarakan. Wirataparwa dianggap sebagai manggala dari Mahabarata yang paling baik. Meskipun ini lebih menyerupai bahwa parwa dari epos hebat yang diterjemahkan ke dalam Jawa Kuna yang berhubungan daripada sembarangan, kemungkinannya bahwa Wirataparwa Jawa Kuna bukan Adiparwa, bukan terjemahan pertama yang harus dipotong.
    Hal ini menarik bahwa Wirataparwa Jawa Kuna adalah sebuah hasil karya yang unik yang memberikan kepada kita tanggal yang tepat dari permulaan dan penyelesaian dari penyusunan ini. Apa pun alasan yang mendorong penulis dari parwa ini untuk mencatat tanggal ini, poinnya akan didiskusikan secara berani pada akhir artikel, satu hal yang pasti bahwa menuliskan di dalam hasil karyanya dia memberikan kepada kita servis yang baik: tanpa bantuan dari penanggalan ini kita tidak akan dapat menetapkan secara pasti dari terjemahan Mahabarata dan bagian terakhir dari Ramayana (dalam konteks ini Uttarakanda) ke dalam Jawa Kuna.
    Hal ini benar bahwa manggala dari Wirataparwa Jawa Kuna penulis menyebutkan Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama, seorang raja dari kerajaan Jawa Timur, tetapi identitas raja ini tidak akan pernah jelas, jika kita tidak memiliki tanggal penyusunan Wirataparwa.
    Polemik penamaan Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang disebut dalam maggala Adiparwa tahun1877, Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama adalah nama lain dari raja Airlangga. Berita ini sudah dipublikasikan oleh Wirataparwa Jawa Kuna tahun 1912. kesimpulannya harus direvisi: nama Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama pada bab akhir muncul tanggal 996 A.D. Teguh sebenarnya adalan nenek moyang Airlangga.
    Penerjemahan dari tiga parwa (Adiparwa, Wirataparwa, dan Bhismaparwa) dan Uttarakanda merupakan permintaan yang harus dilaksanakan pada rezim Teguh. Ketika Jawa mengalami pralaya akibat perang saudara dengan Wurawari.
    Menurut pendapat Berg epos Mahabarata sama baiknya dengan Ramayana. Keduanya telah diterjemahkan dalam Jawa Kuna pada masa pemerintahan Airlangga.
    Inti dari pendapat Berg yang disebut Doktrin Udayana, menjelaskan secara rinci bahwa Airlangga adalah Wisnu pada masanya yang ayahnya, Udayana adalah keturunan Arjuna, nenekya Mrgawati adalah keturunan Rama. Mahabarata dan Ramayana berfungsi pada masa pemerintahan airlangga. Keduanya diterjemahkan pada masa Airlangga. Berg membantah opini Krom tentang identitas Teguh sebagai mertua dan nenek moyang Airlangga. Pernyataan ini diperkuat dengan argument Berg:
    “argument Kro hanya sedikit nilainya karena tanggal dari Wirataparwa adalah penyisipan terakhir yang disisipi ke dalam sebuah teks secara naïf, dalam jawaban dari pertanyaan raja ketika dia memulai menghubungkan sejarahnya penulis berkata. “ aku telah meyelesakannya dalan 29 hari, dari akhir Asuji sampai akhir dari Kartika.” Satu hal yang tidak menyebut tahun ketika salah seorang mengatakan di bulan Agustus bahwa pekerjaan ini selesai di bulan Juli.
    Tanpa memedulikan pendapat Berg dalam Doktrin Udayana, tidak akan menjauhkan kita dalam lingkup artikel ini. Saya berharap dapat menggugurkan aegumen Berg sebagai saran atas pengahargaan dari penanggalan Wirataparwa. Pesan ini mengandung data yang dianggap Berg sabagai penyisipan: Tuanku, saya teringat akan permulaan tanggal ke-15 saat matahari tenggelam, pada bulan Asuji, pada Tungle, Rabu Kliwon, wuku Pahang, tahun 918 Saka. Dan saat ini Mawulu, Kamis Wage, wuku Madangkungan, tanggal ke-14 dari tenggelamnya bulan Kartika: terselesaikan dalam 29 hari.
    Berg berargumen bahwa penghargaan sebuah penyisipan adalah sesuatu yang naïf dalam tubuh teks. Semenjak ada laporan atas ketidakcocokan data (menurut kalkulasinya, bertepatan pada tanggal 14 oktober 996 A.D dan 12 Novenber 996 A.D berturut-turut), kita yakin bahwa semua data adalah benar. Dengan kata lain: ‘pada akhir Asuji 918 samapi akhir akhir Kartika…, ‘ bahan lain yang dapat menyrinkronkan dengan benar semua data kalender yang dibutuhkan untuk melengkapi pernyataan tanggal Jawa Kuna yang mengakibatkan minggu-minggu pentat, sextat, dan hextat, wuku, bulan lunar, dan tanggal yang berhubungan pada tahun Saka merupakan tahun yang disispi setelah kejadian actual atas saran Berg.
    Jika kita menerima argumen Berg bahwa Wirataparwa adalah sebuah penyisipan, maka kita harus menganggap bahwa penyisip haruslaha ahli dalam perhitungan rumit dalam kalender Jawa. Sampai saat ini ahli Kalender Jawa sepertinya harus menemukan secara sempurna tanggal yang ia tetapkan. Ketika Berg menyatakan bahwa polemic perbedaan penyebutan bulan, mungkin ini benar pada konteks saat ini, tetapi tidaklah penting bagi masyarakat Jawa di masa lampau. Perilaku ini dapat disebut pendekatan tipikal utuk sejarah, sebuah pendapatan yang ditentang Berg.
    Pengumpulan metode atas tanggal dari awal dan akhir penyelesaian tugas yang dikerjakan oleh penulis dari tanggal Wirataparwa bukan sesuatu yang biasa pada masa lampau. Hal ini sama seperti kejadian Prasasti Kedukan Bukit. Bagian Prasasti ynag berhubungan dengan diskusi kita akan dibacakan sebagai berikut: kemakmuran. Keberuntungan. Pada akhir tahun 604 Saka tanggal ke-11 dari minggu kedua yang cerah pada bulan Waisakha (23 April A.D 682) Tuhan kita yang suci memulai ekspedisi sukses. Pada hari ke-7 minggu ke-2 bulan Jyestha (19Mei) Tuhan Maha Agung kita meninggalkan Minanga…
    Akhir dari abad ke-19 Yasadipura masih menggunakan metode yang sama dalam penanggalan salah satu karyanya. Kita dapaty membaca dalam Arjuna Sasrabahu 1.1: Atas perintah putra mahkota Surakarta Jawa penulisan dari puisi yang diawali syair dandanggula telah dimulai pada Kamis Legi. Tanggal 14 Jumadal’ula jam 8. Jimakhir tahun 1746.
    Penulisan puisi Arjuna Sasrabahu telah diselesaikan pada 22 Ramadhan Jimakhir, pada Kamis jam 8 pagi, dalam 12 hari dari bulan pertama tahun yang sama sebagai permulaan.
    Hal ini adalah normal bagi ketiga penulis, Yasadipura dari abad 19 Jawa, penulis dari Wirataparwa Jawa Kuna, penulis dari abad ke-7 prasasti Kedukan Bukit, menulis kalender khusus untuk kita. Tetapi jika penulis dari tanggal terjadinya menemukan cara dati peletakan kalender, bagaimana kta dapat yakin bahwa penulis dari Wirataparawa sendiri tidak menemukan sebuah meotde normal, atau paling tidak obyektif, maka keraguan Berg tentang keaslian pesan tidak dapat diterima. Jika tidak argumen yang menyakinkan dapat diambil, saya menerima pesan yang terdiri atas tanggal-tanggal dari permulaan dan penyelesaian dari Wirataparwa Jawa Kuna sebagai bagian asli dari parwa.
    Tetapi mengapa kita menanyakan apa diri kita sendiri, apakah penulis dari parwa khusus mempertimbangkan untuk merekam tanggal-tanggal dalam karyanya? Menurut fakta bahwa Jawa normalnya tidak akan mereppotkan dirinya sendiri tentang kalender tahun sampai lama belum berselang angka rata-rata Jawa tidak mengetahui tahun kelahiran, kita boleh beranggapan bahwa harus ada alasan khusus untuk kebutuhan ini.
    Dalam hari dimana seorang penulis adalah seorang abdi dari raja, sebuah perintah dari tuannya untuk menerjemahkan buku hebat sebagai Mahabarata ke dalam Jawa, harus memiliki pandangan sebagai penghormatan tertinggi yang dapat dicita-citakan. Hal ini membutuhkan keberanian yang besar untuk memulai sebuah pertanggungjawaban dan tanpa ada jejak dari beberapa penyelesaian, hal ini membutuhkan usaha untuk memenuhinya. Kesuksesasan dari seorang penulis anonim dari Jawa Kuna Wirataparwa untuk menunjukkan tugas yang sulit diatasi harusnya dianggap sebagai persamaan dengan seorang pejuang yang mengalahkan musuhnya. Lazimnya bagi seorang raja Jawa dari masa lalu yang berhasil menaklukan musuh-musuhnya setelah pertempuran sengit, untuk mengabadikan perbuatan mulianya dengan mengisukan sebuah prasasti untuk memuji tindakan yang berani. Bagi beberapa waktu khusus, penulis prasasti akan merekam dengan teliti tanggal dari issu dari prasasti dan waktu penanggalan khusus isu dengan segera. Dan kita adalah saksi mata dari ratusan prasasti Jawa yang dengan normal mengkhawatirkan sedikit untuk penanggalan yang direkam dengan cakap yang mengandung menit data kalender seperti minggu penta, hexa, hepta dan banyak kalkulasi lainnya , astrologi sama baiknya dengan penanggalan dari kalender India. Penanggalan yang terbentuk dalam Wirataparwa Jawa Kuna adalah sama seperti alam.
    Dalam gambaran saran yang memungkinkan sebelumnya yaitu di Jawa, pada saat itu Wirataparwa juga menjadi manggala dari penceritaan Mahabarata. Mungkin hal ini tidak begitu cepat untuk mengajukan penanggalan yang direkam dengan sengaja oleh penulis sendiri untuk mengabadikan prestasi hebat dalam penerjemahan parwa yang pertama ke dalam Jawa Kuna.

    BalasHapus
  7. Nama : Ermiana Dewi M.
    NIM : 2102408108
    Rombel : 04

    KUNJARAKARNA

    Kitab Kunjarakarna menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.
    Pada suatu hari Kunjarakarna bertapa di gunungMahameru supaya pada kelahiran berikutnya ia dilahirkan semula sebagai manusia berparas baik. Kemudian Kunjarakarnapun pergi menghadap Wairocana.
    Maka Kunjarakarna dibenarkan menjenguk keneraka, tempat batara Yama. Di sana Kunjarakarna diberitahu mendapat bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.
    Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta supaya tidak dihukum. Akhirnya ia diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu Purnawijaya kembali ke bumi dan berpamitan dengan isterinya.
    Akhirnya Purnawijaya mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya seratus tahun. Lalu Purnawijaya diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di lereng gunung Mahameru.
    Pengajaran cerita (menurut kepercayaan Buddha): barangsiapa mendengarkan dan tahu akan hukum dharma, maka ia akan diselamatkan.
    Kitab Kunjarakarna
    Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Kunjarakarna terdiri dari dua redaksi, yakni dalam bentuk Kakawin dan dalam bentuk Prosa. Kitab Kunjarakarna hingga saat ini belum diketahui siapa pengarangnya. Kitab ini isinya antara lain menggambar kan hukuman-hukuman yang diberikan di dalam neraka, dan berisi pujian pada Buddha Vairocana dengan menganggapnya sebagai lambang kebijaksanaan yang tertinggi serta sebagai Guru yang termulia.
    Ringkasan narasi dalam Kitab Kunjarakarna sebagaimana telah dikutip, adalah sebagai berikut :
    Dalam keadaan hati yang bimbang, Kunjarakarna pergi menemui Buddha Vairocana untuk menerima pelajaran Dharma dari beliau. Maka pergilah Kunjara karna menuju Bodhicitta, tempat tinggal Vairocana. Namun sesudah menerima Kunjarakarna,Vairocana menolak permintaannya. Dan pada Kunjarakarna, Vairocana menyatakan agar pergi menghadap Yama, Dewa neraka, supaya dapat mengetahui tentang keadaan neraka, setelah mengetahui keadaan di neraka, barulah Vairocana akan memberikan pelajaran tentang Dharma. Kunjarakarna mengikuti nasehat Vairocana, dan pergi menghadap Yama. Sesudahnya bertemu, kemudian menguraikan maksud kedatangannya, Yama kemudian memberikan ilmu-ilmu yang diperlukan.
    Setelah mendengar uraian-uraian Yama, Kunjarakarna melihat sebuah ketel besar yang sedang dipersiapkan untuk menghukum orang. Lalu ia menanyakan pada Yama, untuk siapa ketel tersebut dipersiapkan Jawaban Yama sangat mengejutkan, karena ketel tersebut dipersiapkan untuk Purnawijaya,seorang Widyadhara, yang tak lain adalah temannya sendiri. Sesudah mendapatkan perintah dari Yama, lalu segera kembali menjumpai Buddha Vairocana, setelah itu Kunjarakarna pun meninggalkan dunia neraka.
    Kunjarakarna tidak segera menghadap Vairocana, dan malah pergi menemui temannya, Purnawijaya dengan maksud memberitahukan pada Purnawijaya tentang kejadian apa yang telah dilihatnya di dunia neraka. Setelah memperoleh berita dari Kunjarakarna, Purnawijaya sangat terkejut dan meminta nasehatnya. Lalu Kunjarakarna menjawab, bahwa ia tidak dapat menolong Purnawijaya, karena diri Purnawijayabelum dibersihkan dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Ia kemudian mengajak Purnawijaya untuk bersama-sama menemui Vairocana di Bodhicitta.
    Sesampai di Bodhicitta, Kunjarakarna menyuruh Purnawijaya untuk bersembunyi terlebih dahulu. Sedangkan dirinya menghadap Vairocana lebih dahulu. Setelah memohon pada Vairocana, agar diberikan pelajaran tentang ilmu kesempurnaan hidup untuk dapat mencapai kebahagiaan, sambil menyinggung nyinggung tentang keadaan Purnawijaya. Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, ia pun mohon diri dan kembali ke tempat Purnawijaya menyembunyikan diri.
    Kemudian tibalah giliran Purnawijaya untuk menghadap Vairocana untuk mengajukan permohonan. Oleh Vairocana, Purnawijaya kemudian diberikan pelajaran dan menerima pelajaran tersebut, segeralah lenyap semua nafsu yang melekat pada dirinya yang menyebabkan ia berbuat dosa. Walupun demikian, Purnawijaya belum dapat tertolong dari maut. Oleh karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya, akhirnya Purnawijaya masuk neraka, tetapi tak akan lama di dunia neraka, hanya sepuluh hari saja. Hal itu perlu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, terhiburlah hati Purnawijaya. Kemudian dengan semangatnya Purnawijaya berlatih keras dalam samadhi dan dhyana, sesuai dengan pelajaran yang telah diterima dari Vairocana. Didampingi istrinya, Gandhawati, Purnawijaya lalu berpesan, apabila ajalnya tiba, istrinya yang harus mengurus dan menjaga mayatnya selama sepuluh hari, karena setelah sepuluh hari ia akan bangun kembali.
    Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Jiwa meninggalkan tubuh, diikuti oleh sebuah bayangan yang merupakan akibat dosa yang telah diperbuatnya, pergi ke dunia neraka dan menghadap pada Yama. Sesamp[ainya dineraka, oleh para pengawal neraka, Purnawijaya segera dilemparkan dalam ketel panas itu. Namun sekonyong-konyong ketel tersebut pecah dan hancur lebur. Dan ditempat tersebut muncul sebatang pohon surga, dikelilingi kolam dan bunga teratai yang amat indah. Para pengawal neraka sangat terkejut dan melaporkan kejadian tersebut pada Yama.
    Kemudian bertanyalah Yama pada Purnawjaya tentang kejadian tersebut, setelah mendapatkan penjelasan dari Purnawijaya, yama lalu mengijinkan Purnawijaya untuk kembali ke asal(tubuh)nya. Setelah bangun kembali, Purnawijaya lalu memangggil semua Widyadhara dan Widyadhari untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian ia mengajak mereka semua untuk menghadap Vairocana dan meyampaikan puja dan puji untukNya.
    Pada saat hampir bersamaan,semua dewa, seperti Indra, Waruna dan lain-lainnya mendatangi Yama untuk menanyakan apa yang telah terjadi. Setelah mendapatkan penjelasan dari Yama, para dewa kemudian menghadap Vairocana untuk memohon penjelasan. Dengan suka hati Vairocana lalu menceritakan kisah Kunjarakarna dan Purnawijaya, mengingatkan para dewa pada ilmu kenyataan itu. Setelah mendapatkan penjelasan dari Vairocana, mereka pun kembali ke alam sorga. Setelah mengalami benyak peristiwa dan pelajaran, Kunjarakarna dan Purnawijaya akhirnya bersama-sama melanjutkan samadhi di kaki gunung Mahameru. Setelah bersamadhi selama dua belas tahun, mereka kemudian naik ke sorga Siddha.
    (Dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas)

    BalasHapus
  8. Friska Pratama Dewi
    2102408053
    Rombel o2


    SABHAPARWA

    Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.
    Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa
    Niat licik Duryodana dan Sangkuni
    Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
    Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan".
    Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.
    Pandawa dan Korawa main dadu


    Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu dengan Korawa
    Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
    Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan". Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Ma'af paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?"
    Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
    Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.




    Dropadi dihina di muka umum


    Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
    Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.
    Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
    Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.
    Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, "Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!"
    Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?"
    Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
    Pandawa dibuang ke tengah hutan
    Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan srigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
    Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha".
    Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
    Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.
    Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.
    •Sabhaparwa, ditulis oleh Krishna Dwaipayana Wyasa, buku kedua dari seri Astadasaparwa kitab Mahābhārata.

    BalasHapus
  9. NAMA : DENDY SATRIYO HUTOMO
    NIM : 2102408052
    ROMBEL: 4


    Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakawin yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakawin), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakawin ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan … “Sembah kehadapan Sri Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu” (Sri Airlanggha namastu sang panikelanya tanah anumata).

    Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha), perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakawin.

    Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha), kekuatiran (bhayanaka ) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).

    Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk-hati Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya menjalankan tapa-brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakawin. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun ke-bakti-an dari yang memuja.

    Demikianlah Kakawin Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga-puluh enam pupuh dalam kakawin menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakawin, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).

    Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakawin yang suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala-sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka-panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis … “Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa …” (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh kejayaan di mana-mana.

    Bagian kedua: Pembacaan Kakawin

    (Mukha)/(1.4-1.5): Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga, Kakawin Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang ke-jaya-an Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakawin ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah oleh hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa.

    (Pratimukha)/(1.6-VI.9): Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan-hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan batin yang sempurna. etika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-olokkan dan menggugah rasa ke-ksatria-an Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta-kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).

    (Garbha)/(VII.1-XII.14): Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap waspada, tampak penuh kesiap - siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas serangan senjata Sang Kirata.Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah. Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi (mawirya lawan maguna).

    (Vimarsa)/(XIII.1 - XXI.7): Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka.

    (Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2): Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang- belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).

    Bagian Ketiga: Pemahaman Kakawin

    Adapun tujuan penulisan Kakawin Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakawin yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.

    Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya (dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya.

    Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak apat dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala ). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia ke-sakti-annya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti, sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran.

    Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening-jernih (alilang), bebas-lepas (huwa-huwa), dan bahagia-baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya.

    Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan ke-maya-an itupun dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam ke-maya-an hidup itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu).

    Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu ke-maya-an, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba). Ketujuh bidadari, yaitu daya-sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam samadhi-yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana teratai manikam (padmasana mani).

    Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua-belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati ke-suwung-an (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati … sukha tan pabalik dukha).

    Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran ke-sakti-an di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam-semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah-api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.

    Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma), sebagai sumber ketertiban alam-semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).

    Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung (nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam kakawinnya … “Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan” (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) … “Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra” (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta).

    Sang Pujangga Kawi menggubah kakawin tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakawin, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama … “Itulah kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami” (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakawin melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan … “Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku” (rapwan ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia.

    BalasHapus
  10. Nama: Mareta Dwi Ariani
    NIM: 2102408028
    Rombel: 01
    SASTRA JAWA KUNO

    Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.

    Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.

    Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.

    Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
    Mengenai istilah Jawa Kuno

    Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.
    Tradisi penurunan
    Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada [[Prasasti Siwagreha]] yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.

    Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di [[Jawa Barat]]. Naskah nipah ini memuat teks ''[[Kakawin Arjunawiwaha]]'' yang berasal dari abad ke-11.

    Tinjauan umum

    Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.

    BalasHapus
  11. NAMA : MARLIANA DYAH CAHYANI
    NIM : 2102408075
    ROMBEL : 3


    KEKAWIN KRESNAYANA

    Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara.

    Pupuh 2 (bait 1-8) : Ada suatu kerajaan yang bernama Dwarawati dengan rajanya bernama Kresna. Raja Kresna terkenal di dunia bermusuhan dengan raja Yawana yang bernama Kalayawana yang berbentuk Raksasa. Kresna tidak mau berhadapan di dalam peperangan, tetapi membuat strategi. Ia mencari perlindungan kepada Pendeta Mucukunda yang sedang tidur di gua di lereng Gunung Himawan Kresna. Kemudian, Yawana mengejar ke gua dengan suara keras sehingga Pendeta Mucukunda bangun dan sangat marah, keluar api dari matanya dan membakar kalayawana. Setelah Kresna menang barang rampasan perang dan wanita dari kerajaan Yawana dibawa ke Dwarawati.

    Pupuh 3 (bait 1-10) : Raja Kresna mengadakan upacara penyucian kerajaan. Seorang arsitek dari surga bernama Wiswakarmma dipanggil untuk memperindah istana, Dewa Baruna dipanggil untuk mengundurkan hempasan ombak laut. Dewa kekayaan dipanggil untuk menambah penghasilan rakyatnya. Dewa Bayu diminta untuk memindahkan tempat berkumpul para dewa Dwarawati.

    Pupuh 4 (bait 1-8) : Pupuh ini berisi uraian tentang keindahan istana dan di luar istana. Ada suatu tempat yang sepi dan sejuk yang dipergunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu.

    Pupuh 5 (bait 1-5) : Pupuh ini menceritakan keindahan sekitar tempat pemujaan.

    Pupuh 6 (bait 1-13) : Jarasandha, raja Karawira, akan menikahkan kemenakannya, yaitu Raja Cedi (Suniti) dengan Rukmini, puteri Bismaka, Raja Kundina. Raja Kundina menyetujui rencana Jarasandha.

    Pupuh 7 (bait 1-13) : Dewi Prethukitti, ibu Rukmini, justru tidak menyetujui perkawinan Rukmini dengan Raja Cedi. Ibunya menghendaki Kresna sebagai calon menantunya. Ia lalu mengutus dayang-dayang kepada Kresna. Dalam pesannya ia mengundang agar Kresna segera datang karena hari perkawinan antara Rukmini dan Raja Cedi sudah dekat. Utusan melaksanakan tugasnya untuk menyampaikan pesan Dewi Prethukirtti kepada Kresna.

    Pupuh 8 (bait 1-4) : Pupuh 9 (bait 1-5); Pupuh 10 (bait 1-11); Pupuh 11 (bait 1-4); Pupuh 12 (bait 1-16) : Pupuh-pupuh ini berisi uraian utusan ratu Prethukirtti mengenai kecantikan dewi Rukmini. Dewi Prethukitti menganjurkan cukup perkawinan gandarwa saja.

    Pupuh 13 (bait 1-7) : Kresna berminat terhadap usulan tersebut. Ia akan merencanakan datang ke Kundina secara diam-diam, tetapi akhirnya ia berangkat dengan tentaranya.

    Pupuh 14 (bait 1-10) : Kerajaan Dwarawati dan Kresna mengadakan persiapan- persiapan. Pada malam hari Kresna tidak enak hatinya karena memikirkan Rukmini.

    Pupuh 15 (bait 1-11) : Keesokan hari Kresna memuja Dewa Siwa, kemudian berangkat ke Kundina dengan bala tentaranya. Kresna mengendarai kereta kuda dengan Daruki sebagai sais (kusirnya). Pendeta muda yang bernama Meghadhwaja mengikuti Kresna dalam perjalanan itu. Ia sebagai penasihat Kresna.

    Pupuh 16 (bait 1-8); Pupuh 17 (bait 1-3); Pupuh 18 (bait 1-10); Pupuh 19 (bait 1-6); Pupuh 20 (bait 1-5); Pupuh 21 (bait 1-8); Pupuh-pupuh ini berisi uraian daerah-daerah yang dilalui rombongan Kresna. Pendeta muda Meghadhwaja mengingatkan tujuan perjalanan Kresna.

    Pupuh 22 (bait 1-12) : Dalam perjalanan, rombongan Kresna menyusuri pantai. Akhirnya, sampailah Kresna ke tanah Kundina di desa Dharmmasabha, desa yang indah dan banyak gedung yang besar. Setelah malam tiba, Kresna dijamu terlebih dahulu sebelum beristirahat.

    Pupuh 23 (bait 1-12) : Pupuh ini berisi uraian bala tentara Kresna yang sedang beristirahat.

    Pupuh 24 (bait 1-4) : Keesokan harinya Kresna dan tentaranya melanjutkan perjalanan.

    Pupuh 25 (bait 1-13) : Pupuh ini berisi uraian mengenai daerah yang dilalui. Setiba di Kundina, semua penduduk kota, khususnya para putri keluar rumah untuk melihat Kresna.

    Pupuh 26 (bait 1-7) : Penduduk kota memperhatikan Kresna dan rombongannya.

    Pupuh 27 (bait 1-8) : Kresna diterima di Kundina karena ia sepupu Rukmini. Di samping itu, tersebar kabar bahwa Dewi Prethukirtti lebih senang apabila bermenantukan Kresna. Orang-orang pun menganggap bahwa lebih pantas Kresna yang memperistri Rukmini.

    Pupuh 28 (bait 1-8) : Menjelang malam Raja Cedi dan Jarasandha tiba lebih dulu dan diberi tempat yang lebih dekat ke istana, Kresna dan tentaranya diberi penginapan di luar istana, karena semua rumah sudah penuh. Ia mengutus seorang dayang untuk mengirim surat kepada Rukmini yang sedang berada di taman sendirian.

    Pupuh 29 (bait 1-5) : Rukmini membaca surat cinta Kresna yang panjang dan penuh emosi di kamarnya.

    Pupuh 30 (bait 1-5) : Rukmini membaca surat Kresna. Ia merasa gelisah dan kemudian keluar lagi ke taman. Seorang pelayan yang setia datang mendekat dengan memberikan nasihat dan pudak agar Rukmini menuliskan perasaannya pada pudak.

    Pupuh 31(bait 1-19) : Semalam suntuk dayang-dayang menemani Dewi Rukmini dengan lagu-lagu dan tari-tarian yang mengasyikkan. Keesokan harinya Rukmini bertambah gelisah karena hari pernikahannya telah tiba.

    Pupuh 32 (bait 1-11) : Pagi hari suasana di kota telah ramai. Para istri pembesar dan Pendeta Siwa dan Budha menghadap ke istana. Putri Rukmini telah siap untuk dihadap.

    Pupuh 33 (bait 1-17) : Pupuh ini menguraikan kecantikan dan perhiasan Rukmini. Setelah selesai semua tamu istana pulang . Rukmini hanya tinggal bersama seorang dayang dan seorang pendeta wanita.

    Pupuh 34 (bait 1-11) : Pendeta wanita menghibur Rukmini dengan menceritakan kerajaan Dwarawati.

    Pupuh 35 (bait 1-17) : Pendeta wanita dan dayang-dayang Rukmini membicarakan keindahan perkawinan dan membandingkan Kresna dan Cedi.

    Pupuh 36 (bait 1-6) : Rukmini kelihatan berbahagia mendengar percakapan para pembantunya. Namun saat melihat keadaannya, tiba-tiba ia bersedih hati dan menangis.

    Pupuh 37 (bait 1-6) : Rukmini menyadari keadaannya sehingga menangis terus.

    Pupuh 38 (bait 1-14) : Ketika Rukmini menangis, datanglah utusan dari ibunya agar ia siap-siap melarikan diri karena saatnya telah tiba. Ibunya mengingatkan pula akan bahayanya. Istana dijaga ketat dan di luar Raja Cedi berjaga dengan tentaranya, serta Kresna tidak jauh dengan Raja Cedi. Rukma, kakak Rukmini, justru yang lebih ditakuti, sebab selalu menjaga adiknya dan menjadi teman baik Raja Cedi. Rukma memaksakan Rukmini kawin dengan Raja Cedi.

    Pupuh 39 (bait 1-11) : Dayangnya menyarankan agar Rukmini menyamar sebagai pertapa perempuan. Pada mulanya Rukmini ragu-ragu karena hal itu kurang pantas sebagai ksatria, tetapi akhirnya ia setuju. Ia segera menanggalkan perhiasannya dan meninggalkan istana dengan ditemani oleh seorang pembantu. Ia melalui semua rintangan tanpa mengalami kesulitan. Ia merasa seolah-olah menyeberangi sungai yang dalam dan berbahaya dan kini selamat.

    Pupuh 40 (bait 1-12) : Kresna didatangi dayang-dayang yang memberitahukan kedatangan Rukmini. Setelah Rukmini datang, ia dinaikkan ke atas kereta perang, lalu mereka berangkat pergi. Baladewa menantikan kedatangan raja-raja yang bermaksud mengejar Rukmini dan Kresna. Istana Kundina pun gempar akan hilangnya Rukmini. Raja Bismaka semula tidak percaya kalau Rukmini lari dengan Kresna.

    Pupuh 41 (bait 1-11) : Lalu, diadakan perundingan di istana Kundina.

    Pupuh 42 (bait 1-11) : Pangeran Rukma menghadap Bhismaka. Rukma mencela ayahnya karena ia lalai mencegah penculikan Rukmini dan tidak tahu peranan Prethukirtti yang pantas dicela. Ayahnya menasihati Rukma.

    Pupuh 43 (bait 1-8) : Nasihat Raja Bhismaka kepada Rukma mengenai kebijaksanaan duniawi serta tugas seorang raja.

    Pupuh 44 (bait 1-8) : Nasihat Raja Bhismaka kepada Rukma.

    Pupuh 45 (bait 1-7) : Pangeran Rukma tidak mau mendengarkan nasihat ayahnya. Ia tetap akan membalas perbuatan Kresna.

    Pupuh 46 (bait 1-8) : Pangeran Rukma meninggalkan istana. Di luar istana, bala tentara sudah menantikan kedatangannya, tinggal menunggu perintah. Kemudian, Pangeran Rukma berpakaian perang lapis baja dengan senjata di tangan. Pasukan bergerak dengan suara bergemuruh sambil diiringi musik.

    Pupuh 47 (bait 1-8) : Pangeran bersama Raja Cedi dan Raja Maghada beserta tentara masing-masing berangkat perang. Sementara itu Baladewatelah mengatur posisi para kaum Yadu dan Wresni.

    Pupuh 48 (bait 1-8) : Pupuh ini berisi uraian keadaan tentara yang telah siap untuk bertempur.

    Pupuh 49 (bait 1-11); Pupuh 50 (bait 1-14); Pupuh 51 (bait 1-2) : Pupuh ini berisi uraian mengenai keadaan pertempuran.

    Pupuh 52 (bait 1-11) : Pangeran Rukma mendekati Kresna. Ia marah sekali ketika melihat Rukmini beserta Kresna dan menuduh Kresna berbuat hina. Kresna menolak tuduhan itu. Bagi kesatria berlaku kebiasaan yang umum diterima, yakni calon istri harus diculik. Terdorong oleh masa marahnya, Rukma melepaskan anak panahnya, tetapi semuanya tanpa hasil karena digagalkan oleh yoga Kresna.

    Pupuh 53 (bait 1-14) : Kresna yang semula tidak mau melawan akhirnya mulai menyerang karena ia terus diserang oleh Rukma. Anak panah Kresna mencerai beraikan pasukan Kundina dan menghancurkan kereta Sukma. Pada saat Rukma jatuh dan terbaring tak berdaya di tanah, Rukmini memegang kaki Kresna dan memohon agar kakaknya tidak dibunuh.

    Pupuh 54 (bait 1-9) : Pupuh ini berisi permintaan Rukmini kepada Kresna dan Rukma.

    Pupuh 55 (bait 1-7) : Kresna mengabulkan permintaan rukmini dan membiarkan Rukma pergi. Perang berakhir dan Kresna melanjutkan perjalanan ke Dwarawati.

    Pupuh 56 (bait 1-5) : Kresna dan Rukmini serta tentaranya, yaitu kaum Yadhu dan Wresni, tiba di Dwarawati. Semua kembali kerumah masing-masing. Orang-orang di Dwarawati bangga karena Kresna menang dan memboyong Rukmini.

    Pupuh 57 (bait 1-12) : Kresna dan Rukmini menikmati cinta mereka.

    Pupuh 58 (bait 1-12) : Pupuh ini berisi uraian tentang keindahan tempat Kresna dan Rukmini sedang berada.

    Pupuh 59 (bait 1) : Pupuh ini berisi perkawinan Kresna dan Rukmini yang saling mencintai seperti Arddhanariswara kesatuan Siwa dan Parwati).

    Pupuh 60 (bait 1-3) : Rukmini mempunyai sepuluh anak. Selain Rukmini, Kresna mempunyai isteri sebanyak 10.000 orang dan semuanya cantik.

    Pupuh 61 (bait 1) : Dewi Sri menjelma menjadi 16.000 orang isteri Raja Kresna.

    Pupuh 62 (bait 1) : Cerita ini hasil gubahan Mpu Triguna.

    Pupuh 63 (bait 1) : Dahulu Raja Airlangga mempunyai adikawi Mpu Kanwa, sekarang Raja Warsajaya mempunyai adikawi Mpu Triguna.

    Kolofon A (bait 1-2); Cerita ini terkenal dengan dengan cerita Kresna (Kresnayana) ditulis di Pulau Bali tempat kediaman Pendeta Mpu Suranantha, seorang pendeta dari golongan Siddhanta.

    BalasHapus
  12. Purwa prasetyaningrum7 April 2009 pukul 01.54

    Nama : Purwa prasetyaningrum
    Nim : 2102408093
    Rombel : 3

    Prosa Prastanikaparwa

    Membuka Takbir Wayang Purwa

    Menurut cerita Jawa, awal adanya wayang yaitu pada masa raja Jayabaya di Kediri tahun 1135 Masehi. Pada saat itu raja Jayabaya ingin mengambarkan wajah para leluhurnya dengan lukisan pada daun rontal, meniru wajahpara dewa-dewa maupun manusia purba (purwa) sehinga karya raja Jayabaya itu kemudian disebut wayang purwa.

    Menurut Dr. hazeu, cerita tentang wayang sudah ada sejak jamn raja Erlangga diKahuripan permulaan abad ke sebelas, karena pada masa Erlanga tersebut sudah ada ahli sastra kepercayaan raja Erlangga yakni Mpu Kanwa yang menulis kitab Arjuna Wiwaha. Isi dari kitab Arjuna Wiwaha antara lain menceritakan Arjuna ketika bertapa di dalam goa Witaraga sebagai brahmana dengan nama Ciptaning. Sebagai Pertapa, Arjuna berhasil membinasakan raksasa Niwatakawaca dari kerajaan Manimantaka yang bermaksud melamar bidadari Dewi Supraba. Atas jasanya itu, Arjuna mendapat penghargaan dari dewa Endra berupa sebuah panah lengkap dengan busurnya bernama panah Pasopati.

    Hagema dalam bukunya “Handleiding lot Degechiede denis Van Java” menyebutkan bahwa pertama kali yang membuat wayang kulit adalah Raden Panji Inukertopati sekitar abad ke 13. Seperti kita ketahui, seni sastra Jawa kuna berlangsung pada jaman Kediri yang hasilnya sebagian besar berupa kakawin, misalnya kitab Kresnayana karangan Mpu Triguna, Samanasantaka karya Mpu Meraguna, Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Smaradahana karangan Mpu Dharmaja, Gatutkacasraya karangan Mpu Panuluh dan Wretasancaya karya Mpu Tanakung.

    Seperti juga di Yunani dan India, pertunjukan wayang di Jawa juga berkembang dari upacara keagamaan, yakni untuk menghormati para dewa-dewa atau arwah nenek moyang yang dipandangsebagai para dewa. Sedangkan lakon atau ceritanya diambil dari hasil kesusastraan Jawa kuna yang ditulis pada daun lontar, yakni berupa gancaran (prosa) dan tembang (puisi). Tembang Jawa kuna inilah yang lazim disebut kakawin, sedangkan tembang tengahan dinamakan kidung.

    Ditinjau dari sudut isi, kesusastraan jawa kuna terdiri dari tutur (kitab keagamaan), sastra (kitab hukum), wira carita atau epos seperti Mahabharata dan Ramayana.

    Lakon merupakan gambaran tentang sifat dan karakter manusia di dunia. Karena sifat dan karakter begitu khas, maka banyak yang tersugesti. Oleh karena itu pertunjukan wayang dapat membuat penontonnya menjadi terharu. Pertunjukan yang pada awalnya hanya diceritakan oleh juru tutur dan sangat menyentuh hati, mulai berkembang pada masa Prabu Lembuamiluhur pada tahun 1244. Selanjutnya raja Brawijaya Majapahit mulai membuat wayang beber berwarna, pertunjukan wayang saat itu juga telah menggunakan iringan gamelan slendro.

    Wayang purwa semakin menanjak pada masa perkembangan agama Islam di Jawa. Pada masa itu para wali menggunakan wayang sebagai media dakwah. Sunan Giri kemudian membuat wayang raksasa berbiji mata dua. Raden Patah (raja Demak pertama) membuat gunungan atau kayon. Sedangkan yang menyelenggarakan pertunjukan wayangs ecara lengkap seperti menggunakan kelir, pohon pisang, blencong dan sebagainya adalah Sunan Kalijaga.

    Wayang itu sendiri berasal dari kata ‘wod’ dan ‘yang’ serta merupakan kebudayaan asli Indonesia. ‘Wod’ dan ‘Yang’ berarti bayangan yang bergerak atau bergoyang. Dr.Hazeu berpendapat bahwa perkataan yang berasal dari Hyang, maksudnya adalah leluhur. Hal ini dapat disamakan dengan perkataan Jawa “Eyang”.

    Beberapa pendapat bahwa wayang adalah kebudayaan Nasional Indonesia asli:
    1. Teori yang dikemukakan oleh Dr. J. Brandes dari segi penyelidikan bahasa bahwa semua perabot-perabot/alat-alat pewayangan/pedalangan tidak ada yang bertalian dengan bahasa Sansekerta, berarti tidaka da yang berasal dari India atau kata lain Indonesia asli dan bangsa Indonesia mempunyai corak teater sendiri yang berbeda dengan corak teater India.
    2. Teori yang dikemukakan oleh W.H Ressers dari segi penyelidikan Antropologi Budaya, bahwa yang berasal dari kegiatan upacara Totenisme.
    3. Teori yang dikemukakan oleh Dr. Albert C. Krujit dari segi penyelidikan tradisi Toraja, bahwa wayang berasal dari kegiatan upacara Dukunisme.
    4. Teori yang dikemukakan oleh W.H Stuterheim dari segi penyelidikan sejarah kebudayaan dan teori yang dikemukakan oleh Dr. Hazeu, yang keduannya berpendapat bahwa wayang berasal dari upacara pemujaan arwah nenek moyang.

    Kesenian wayang khususnya wayang kulit purwa, selama lebih dari seribu tahun telah dikenal dan digemari oleh rakyat Indonesia. Sebuah inskripsi dari tahun 907 Masehi pada masa pertengahan raja Dyah Balitung telah menyebutnya dengan tegas dan jelas bahwa berita adanya wayang kulit purwa tertera dalam sebuah kakawin karya Mpu Kanwa dari jama raja Erlanga dari Jawa Timur dalam abad ke 11. Tidak henti-hentinya bentuk seni budaya yang dinamakan wayang ini dalam berbagai gaya dan jenisnya benar-benar menarik perhatian rakyat dari berbagai daerah dan selalu dibicarakan oleh berbagai ahli sosial seni budaya baik dari dalam maupun luar negeri yang menulis tentang seni pewayangan di Indonesia.

    Kesenian wayang yang berkembang dan hidup di Indonesia tersebar di pulau-pulau antara lain: Jawa, Lombok, Kalimantan, Sumatra dan lain-lain, baik yang masih populer maupun yang hampir punah atau dikenal dalam kepustakaan-kepustakaan dan yang terdapat di museum-museum, dan timbulnya beberapa wayang baru akhir-akhir ini seperti wayang Sadar dan wayang Warta dari daerah Klaten dan wayang Sadosa dari STSI Surakarta. Adapun macam dan jenis wayang antara lain:
    1. Wayang Purwa
    2. Wayang Madya
    3. Wayang Gedog
    4. Wayang Kulit Menak
    5. Wayang Wahyu
    6. Wayang Klitik
    7. Wayang Beber
    8. Wayang Jawa
    9. Wayang Dobel
    10. Wayang Jemblung (Jawa)
    11. Wayang Ramayana (Bali)
    12. Wayang Purwa (Bali)
    13. Wayang Gambuh (Bali)
    14. Wayang Cupak (Bali)
    15. Wayang Sasak (Lombok)
    16. Wayang Betawi (Bali)
    17. Wayang Banjar (Kalimantan)
    18. Wayang Golek (Sunda)
    19. Wayang Golek Menak (Jawa)
    20. Wayang Pakuan (Sunda)
    21. Wayang Orang (Jawa)
    22. Wayang Topeng (dari berbagai suku)

    Diantara wayang-wayang tersebut yang paling populer dan tersebar luas dan paling banyak disoroti di dalam maupung di luar negeri adalah wayang purwa, yang sejarah dan perkembangannya telah diketahui paling tidak sejak abad ke 11, yang telah dijadikan objek studi para sarjana daam dan luar negeri selama berabad-abad.

    Untuk mengenal wayang secara mendasar, hal-hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut: a. Unsur Pelaku dan Peralatan. Pelaku terdiri dari Dalang, Niyaga (pengrawit atau penabuh gamelan) dan Pesinden (swarawati atau penyanyi wanita). Perlengkapan/Peralatan terdiri dari wayang kulit, kelir (layar dari katun), blencong (lampu), debog (batang pisang), cempala (pemukul kotak), kotak (kotak kayu), kepyak atau keprak, dan gamelan. b. Unsur Pertunjukan. ang dilihat adalah Sabetan (gerak wayang). Sedangkan yang didengar adalah janturan, catur (ginem, pocapan), carios atau kanda, suluk, tembang, dhodhokan, kepyak atau kaprakan, gending, gerongan, sindhenan.


    Sumber Cerita Wayang Purwa

    Pada jaman prasejarah telah kita ketahui bersama bahwa wayang itu adalah kebudayaan nasional Indonesia asli yang kemudian kena pengaruh kebudayaan Hindu. Adapun cerita Jawa asli yang sampai sekarang masih ada, misalnya cerita Prabu Watugunung yang akhirnya menjadi pawukon dan Prabu Mikukuhan yang menceritakan asal mula adanya padi dan Semar, Gareng, Petruk serta Bagong adalah wayang Indonesia kuno.

    Sumber cerita yang akhirnya berkembang dari tanah Hindu tersebut adalah Ramayana dan Mahabharata. Ada beberapa pendapat cerita Ramayana dikarang oleh pujangga besar dari India bernama Walmiki, sedang Mahabharata oleh Wiyasa. Cerita Ramayana dan Mahabharata dalam dunia sastra sangat terkenal tidak hanya di tanah Jawa saja melainkan sampai di tanah Asia. Demikian besar pengaruh Ramayana dan Mahabharata merupakan pedoman hidup (pepakem) yang berhubungan dengan masalah: agama, filsafat, politik, masyarakat, kepribadian, keluarga, keperwiraan, keutamaan, dsb.

    Pada intisari cerita Ramayana timbulnya peperangan antara Rahwana dan Rama adalah memperebutkan Dewi Shinta, sedangkan intisari dari Mahabharata terjadinya perang Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa yang diperebutkan adalah bumi Hastina. Dengan demikian jelas bahwa tema kedua epos tersebut wanita dan bumi. Tema tersebut juga terdapat pada kehidupan kita yang sifatnya universal. Dalam kehidupan kita ada istilah “Sedumuk bathuk senyari bumi dipun labeti pecahing dhadha wutahing ludira”. Cerita Ramayana dan Mahabharata yang mengandung nilai-nilai luhur tersebut oleh para leluhur kita dianggit disesuaikan dengan kebutuhan bangsa kita seusai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ada yang menyalin Ramayana dan Mahabharata kedalam bahasa Jawa Kuno.

    Ada sementara yang menyebut karangan baru tetapi tetap menggunakan kedua wiracarita tersebut sebagai sumber (babon), dan membuat cerita yang dapat dipergelarkan dalam seni pedalangan wayang purwa. Akhirnya kedua babon kitab tersebut berkembang menjadi pakem lakon wayang purwa. Adapun kitab-kitab yang membuat sumber cerita pedalangan adalah sebagai berikut:
    1. Kitab Ramayana (Jaman Dyah Balitung 900 M)
    2. Utarakandha (menceritakan lahirnya Kusa dan Lawa putera Dewi Sinta dan matinya Dewi Sinta terperosok ke Bumi)
    3. Adiparwa (Jaman Darmawangsa, terdapat cerita Dewi Lara Amis, Bale Segala-gala, Peksi Dewata dan matinya Arimba)
    4. Sabhaparwa (cerita Pandawa Dadu)
    5. Wirataparwa (Para Pandawa mengabdi di Wirata)
    6. Udyogaparwa (Kresna gugah)
    7. Bismaparwa (Bisma Gugur)
    8. Asramawasanaparwa (cerita Drestarasta mati)
    9. maosalaparwa (cerita matinya darah Wresni dan Yadu)
    10. Prastanikaparwa (cerita Pandawa Puterpuja)
    11. Arjunawiwaha (Karya Mpu kanwa jaman raja Erlangga gubahan dari kitab wanaparwa yang akhirnya menjadi cerita Mintaraga atau Begawan Ciptoning)
    12. Kresnayana (Jaman Kediri 1104 M di dalam seni pedalangan menjadi cerita Kresnakembang)
    13. Bomakawya (Matinya Prabu Boma oleh Kresna)
    14. Baratayuda (Karya Mpu Sedah dan Panuluh pada jaman kediri, Prabu Jayabaya)
    15. Gathutkacasraya (Perkawinan Abimanyu dan Siti Sendari)
    16. Arjunawijaya (gubahan dari Utarakandha) cerita perangnya Prabu Dasamuka dengan Danaraja
    17. Korawasrama (cerita Wirataparwa)
    18. Dewaruci (Karya pujangga jawa Empu Ciwamurti)
    19. Sudamala )tergolong cerita ruwatan)
    20. Manikmaya (Yasan jaman Kartasura, setelah orang jawa menganut agam Islam)
    21. Kanda (serat kandha) yasan jaman Kartasura, disini mulai membaur cerita Hindu, Jawi dan Islam.
    22. Bhartayuda yasadipuran jaman Surakarta
    23. Arjunasasra (Lokapala) Yasadipuran II petikan dari kitab Ajuna Wijaya
    24. Arjunasasrabahu (karagan Kyai Sindusastra jaman PB VII, dalam kitab tersebut terdapat ceritera Sugriwa Subali dengan mengambil babon serat Kandha)
    25. Kitab Paramayoga (karya R. Ng. Rangawarsito isinya menceritakan Nabi Adam dan keturunannya sampai jaman Tanah Jawa dihuni oleh manusia)
    26. Pustakarajapurwa (karangan Ki Ng. Rangawarsito memuat cerita wayang).

    Demikianlah beberapa sumber yang menjadi babon pakem cerita dalam seni pedalangan wayang purwa. Lakon-lakon carangan yang berkembang akhir- akhir ini yang dihimpun oleh proyek dokumentasi STSI Surakarta merupakan karya-karya yang menambah kekayaan perbendaharaan cerita wayang.

    Lakon dan Pengaturan Wayang

    Secara garis besar lakon wayang purwa dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
    1. Prasejarah menceritakan tentang ksiah para dewa di Kahyangan, ajaran dewa kepada anak manusia, juga kisah kejahatan raksasa maupun setan yang mengganggu manusia, juga kisah kejahatan raksasa mapun setan yang mengganggu manusia, Sebagian besar cerita dewa-dewa dan raksasa ini diambil dari Mahabharata, tetapi sebagian didasarkan pada dongen tutur tinular yang berkembang di Jawa.
    2. Cerita Arjunasasrabahu yang diawali dari keberadaan negara Maespati sebagai penerus dinasi Purwacarita (penjilmaan dewa Wisnu) hingga tamatnya riwayat Prabu Harjunasasrabahu.
    3. Cerita Rama, isinya diawali dari runtuhnya kerajaan Maespati dilanjutkan petualangan Dasamuka, kisah Rama Sinta dan berakhir pada lakon Rama menjelma (nitis).
    4. Cerita Mahabharata, isinya menceritakan para leluhur Pandawa hingga Pandawa muksa.

    Pengaturan wayang adalah penataan wayang yang akan dipakai untuk pertunjukan sesuai dengan letak maupun posisinya. Jumlah wayang lengkap dalam satu kotak hampir mencapai 500 buah, dand ari sekian banyak wayang tersebut, penataannya terbagi menurut jenisnya, yaitu wayang simpingan, wayang eblekan dan wayang dudahan.

    Wayang simpingan adalah wayang yang dijajar pada lajur kiri maupun lajur kanan, maka disebut simpingan kiri dan simpingan kanan. Wayang simpingan kiri antara lain:
    1. Raksasa raja atau dalam istilah pewayangan disebut buta raton terdiri dari Balasewu, Niwatakawaca, Kumbakarna, Batara Kala, Maesasura dan sebagainya.
    2. Raksasa muda atau buata patihan yang terdiri dari Suratimantra, Prahasta, Lembusura, dll.
    3. Dasamuka terdiri beberapa wanda (wanda iblis, wanda belis, wanda barong, dll
    4. Sugriwa – Subali
    5. Wayang Bapang atau Ratu Sabrang seperti Susarma, Susarman, Manima, Maniman, dll
    6. Wayang Boma tediri dari Bomanarakasura wanda iblis, Jaya Wikata, Bomawikata, Bogadenta, Bomantara, Gardapura, Gardapati, dll
    7. Patih Sabrang antara lain Trikaya, Trinetra, Trisirah, Kangsa, Indrajit, dll
    8. Prabu Duryudana
    9. Raden Kurupati
    10. Prabu Baladewa dengan beberapa wanda.
    11. Raden Kakrasana
    12. Raja Wirata terdiri Basurata, Basukeswara, Basumurti, Basuketi, Matsyapati.
    13. Prabu Salya
    14. Prabu Drupada
    15. Basukarna dengan beberapa wanda.
    16. Wayang sabrang alusan misalnya Dewasrani, Sasramurti, dll
    17. Setyaki dengan beberapa wanda.
    18. Raden Seta, Utara dan Wratsangka
    19. Raden Ugrasena
    20. Yamawidura dan Drestarata
    21. Lesmana Mandrakumara
    22. Narayana dan Narasoma
    23. Samba, Setyaka dan Rukmarata
    24. Wayang bambangan antara lain Priyambada, Irawan, Wisanggeni, Bambang Srambahan, Nakula dan Sadewa.

    Wayang simpangan kanan antara lain:
    1. Prabu Tuguwasesa dengan beberapa wanda.
    2. Raden Werkudara dari beberapa wanda.
    3. Raden Bratasena dari beberapa wanda.
    4. Rama Bargawa
    5. Prabu Suteja
    6. Raden Gatotkaca dari beberapa wanda.
    7. Raden Antareja
    8. Anoman dari beberapa wanda
    9. Batara Guru 10. Durga
    11. WayangRama terdiri Prabu Arjunasasrabahu, Prabu Rama, Parikesit, Jayamurcita.
    12. Prabu kresna dari beberapa wanda.
    13. Prabu Yudistira
    14. Raden Puntadewa
    15. Arjuna dari beberapa wanda
    16. Prabu Pandu
    17. Raden Premadi, Suryatmaja, dan Kumajaya
    18. Bambang Sekutrem
    19. Raden Lesmana
    20. Bambang Palasara
    21. Raden Abimanyu
    22. Wayang putren terdiri dari beberapa putri misalnya Banowati, Subadra, Srikandi.
    23. Wayang putran atau wayang bayi.

    Wayang simpingan yang disebutkan di atas hanya merupakan garis besar saja, jadi masih banyak tokoh-tokoh yang belum disebutkan disini. Wayang eblekan yaitu wayang yang diatur rapi di dalam kotak dan tidak termasuk disimping. Contoh wayang eblekan antara lain wayang dewa, wayang wanara, wayang reksasa, wayang prajurit atau wayang tatagan dan lain-lain. Sedangkan wayang duduhan yaitu wayang yang diatur pada sisi kanan dalang dan atau wayang yang akan digunakan di dalam pakeliaran. Sedangkan yang termasuk wayang dudahan antara lain rampogan, kreta, wayang kewan, pendita, panakawan, limbuk cangik dan lain-lain.

    Jika anda nonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam maupun yang dipergelarkan padat, maka jika direnungkan benar- benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaran-ajaran hidup yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa medium yang lain didalamnya banyak mengandung nilai filosofi. Secara gampang saja baru melihat simpingan wayang, orang telah mempunyai penilaian, bahwa simpingan kanan melambangkan tokoh yang baik, simpingan kiri melambangkan tokoh yang jelek atau buruk. Kalau kita melihat perangnya wayang, wayang yang diletakkan atau diperangkan tangan kiri pasti kalah. Tetapi hal ini tidak semua benar.

    Didalam pdalangan kita kaya nilai-nilai didalamnya. Nilai-nilai didalam pedalangan antara lain: kepahlawan, kesetiaan, keangkara murkaan, kejujuran, dll.
    1. Nilai kepahlawanan ada pada tokoh: Kumbakarna, Adipati Karna.
    2. Nilai kesetiaan terdapat pada tokoh: Dewi Sinta, Raden Sumantri, dll
    3. Nilai keankaramurkaan terdapat pada tokoh: Rahwana, Duryudana, dll.
    4. Nilai kejujuran terdapat pada tokoh: Puntadewa.


    Kayon / Gunungan

    Gunungan atau di dalam pakeliran disebut kayon, pertama diciptakan oleh Raden Patah. Dinamakan gunungan karena bentuknya menyerupai gunung yang memiliki puncak dan terdapat pada setiap pagelaran wayang (wayang purwa, wayang krucil, wayang golek, wayang gedok, wayang suluh, dll).

    Menurut bentuknya, gunungan atau kayon ini dapat dibedakan menjadi dua macam.

    1. Kayon gapuran berbentuk ramping dan pada bagian bawah bergambar gapua yang pada sisi sebelah kiri maupun kanan di jaga oleh raksasa Cingkarabala dan Balaupata. Sedangkan pada bagian belakang terdapat lukisan api merah membara.

    2. kayon blumbangan, bentuknya agak gemuk dan lebih pendek bila dibanding dengan kayon gapuran, Pada bagian bawah terdapat lukisan kolam dengan air yang jernih yang ditengahnya terdapat lukisan sepasang ikan berhadapan. Sedangkan pada bagian belakang berambar lautan atau langit yang berawarna biru gradasi.

    Gunungan secara lengkap biasanya terdapat lukisan teridiri:
    1. Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga dan pada bagian daun pintu rumah dihiasi lukisan Kamajaya berhadapan dengan Dewi Ratih.
    2. Dua raksasa berhadapand engan membawa senjata pedang atau gada lengkap dengan tamengnya.
    3. Duia naga bersayap.
    4. Hutan belantara penuh dengan satwanya.
    5. Gambar harimau berhadapan dengan banteng.
    6. Pohon besar ditengah hutan yang dililit seokar ular.
    7. Kepala makara di tengah pohon.
    8. Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas ranting.
    9. Dua ekor ayam alas sedang bertengger diatas cabang pohon.

    Gambar-gambar yang terdapat pada kayon tersebut menggambarkan alam semesta lengkap dengan isinya. Gunungan di dalam pagelaran wayang kulit mempunyai fungsi yang sangat penting, antara lain:
    1. Sebagai tanda dimulaiya pentas pedalangan, yakni fungsi dengan dicabutnya kayon di tengah kelir kemudian ditancapkan pada posisi sebelah kanan.
    2. Sebagai tanda perubahan adegan atau menggambarkan suasana dengan cara gunungan digerakkan diikuti cerita dalang.
    3. Digunakan untuk tanda pergantian waktu, baik dari patet nem ke patet sanga, atau dari patet swanga ke patet manyura dengan mengubah posisi kayon dari condong ke kanan menjadi tegak lurus dan terakhir kayon condong ke arah kiri.
    4. Untuk menggambarkan sebuah wahyu dari dewa, atau sebagai angin maupun udara dengan menggerakkan gunungan sesuai arah yang dikehendaki.
    5. Untuk menggambarkan api dengan membalik kayon sehingga yang tampak api membara dari kepala makara.
    6. Untuk menandai berakhirnya pertunjukan dengan menancapkan kayon di tengah-tengah, serta digunakan untuk kepentingan pagelaran sesuai dengan kehendak dalang.

    BalasHapus
  13. Nama :Isri Nur Solikhah
    NIM : 2102408117
    Rombel : 04

    Kakawin Kuñjarakarna

    Kakawin Kuñjarakarna Dharmakathana adalah gubahan dalam bentuk syair (kakawin) dari karya sastra prosa; Kuñjarakarna.

    Judul dari kakawin ini adalah Kuñjarakarna Dharmakathana adalah sebuah frasa Sansekerta yang memiliki banyak makna. Jika judul ini dibaca sebagai kata majemuk Sansekerta Kuñjarakarnadharmakathana, maka bisa diartikan sebagai "Cerita mengenai Dharma (hukum) dan hubungannya dengan Kuñjarakarna". Namun bisa pula frasa Dharmakathana ini dibaca secara lepas sebagai konstruksi bahuvrîhi sehingga artinya adalah: "(Sang Buddha) di mana katanya adalah Dharma". Biar bagaimanapun artinya adalah jelas bahwa kakawin ini mengenai dharma
    Penulis kakawin ini menyebut dirinya sebagai "Mpu Dusun". Hal ini mengartikan bahwa kakawin ini berasal dari kalangan pedesaan. Selain itu diperkirakan bahwa kakawin ini ditulis pada abad ke-15 Masehi.
    Kakawin Kuñjarakarna menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kuñjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.
    Kakawin dimulai dengan manggala yang diikuti dengan sebuah deskripsi tentang gunung Mahameru di mana Kuñjarakarna sedang bertapa supaya pada kelahiran berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana.
    Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.
    Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi. Akhirnya ia diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali ke bumi dan berpamitan dengan istrinya, sang Kusumagandawati.
    Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya seratus tahun. Lalu ia diperbolehkan kembali hidup. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di lereng gunung Mahameru

    BalasHapus
  14. NAMA : NOVITA MUSTIKANINGRUM
    NIM : 2102408103
    ROMBEL : 04

    Parasurama
    Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
    Langsung ke: navigasi, cari
    Parasurama

    Lukisan Parasurama, brahmana-ksatria bersenjata kapak dan busur panah

    Awatara Wisnu yang bersenjata kapak
    Dewanagari: परशुराम भार्गव
    Ejaan Sanskerta: Parashurama Bhargava
    Nama lain: Bregupati; Rama Bhargawa
    Golongan: Awatara Wisnu

    Senjata: Kapak dan panah

    Parasurama (Sansekerta: परशुरामभार्गव ; Parashurama Bhargava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Chiranjiwin dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bhrigu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Treta Yuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
    Kisah masa muda
    Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bhrigu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa.
    Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
    Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
    [sunting] Menumpas kaum kesatria


    Lukisan Parasurama yang sedang memotong seribu lengan Raja Arjuna Kartawirya (Arjuna Sahasrabahu).
    Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
    Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa dan Korawa.
    Penyebab khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama Kartawirya Arjuna yang telah merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.
    Bertemu awatara Wisnu lainnya
    Meskipun jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Kerajaan Ayodhya. Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri Rama putra Dasarata. Pada suatu hari ia berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila untuk memperebutkan Sita putri negeri tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka pemberian Siwa. Dari sekian banyak pelamar hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
    Suara gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk menantang Sri Rama yang dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya. Ini merupakan peristiwa bertemunya sesama awatara Wisnu, karena saat itu Wisnu telah menjelma kembali sebagai Sri Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara Wisnu saat itu telah berakhir namun sebagai seorang Chiranjiwin, ia hidup abadi.
    Pada zaman Dwapara Yuga Wisnu terlahir kembali sebagai Sri Kresna putra Basudewa. Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Sri Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana. Setelah mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna, dalam perang di Kurukshetra.
    Parasurama diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara.
    Versi Pewayangan


    Parasurama dalam bentuk wayang kulit digambarkan bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam.
    Parasurama juga ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan. Antara lain di Jawa ia lebih terkenal dengan sebutan Ramabargawa. Selain itu ia juga sering dipanggil Jamadagni, sama dengan nama ayahnya.
    Ciri khas pewayangan Jawa adalah jalinan silsilah yang saling berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah tentang Ramabargawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu antara lain menyebut tokoh ini sebagai keturunan Batara Surya. Ayahnya bernama Jamadagni merupakan sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati. Adapun Kartawirya adalah ayah dari Arjuna Sasrabahu alias Kartawirya Arjuna. Selain itu, Jamadagni juga memiliki sepupu jauh bernama Resi Gotama, ayah dari Subali dan Sugriwa.
    Dalam pewayangan dikisahkan Ramabargawa menghukum mati ibunya sendiri, yaitu Renuka, atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah karena Renuka telah berselingkuh dengan Citrarata raja Kerajaan Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan kemarahan dan rasa benci luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria.
    Setelah menumpas kaum kesatria, Ramabargawa merasa jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan dunia. Atas petunjuk dewata, ia akan mencapai surga apabila mati di tangan titisan Wisnu. Adapun Ramabargwa versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan menitis kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh Ramabargawa.
    Akhirnya, Ramabargawa berhasil menemui Arjuna Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah kehilangan semangat hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri, dan istrinya, yaitu Citrawati, akibat ulah Rahwana raja Kerajaan Alengka yang pernah dikalahkannya. Dalam pertarungan tersebut, justru Ramabargawa yang berhasil menewaskan Arjuna Sasrabahu.
    Ramabargawa kecewa dan menuduh dewata telah berbohong kepadanya. Batara Narada selaku utusan kahyangan menjelaskan bahwa Wisnu telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Sri Rama putra Dasarata. Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama dewasa.
    Beberapa tahun kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Sri Rama yang sedang dalam perjalanan pulang setelah memenangkan sayembara Sinta. Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut, Ramabargawa akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar Batara Ramaparasu.
    Pada zaman berikutnya, Ramaparasu bertemu awatara Wisnu lainnya, yaitu Sri Kresna ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian utusan para Pandawa menuju Kerajaan Hastina. Saat itu Ramaparasu bersama Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna untuk ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan pihak Korawa. Kisah ini terdapat dalam naskah Kakawin Bharatayuddha dari zaman Kerajaan Kadiri.

    BalasHapus
  15. Pangestika Tuhu Kristanti7 April 2009 pukul 03.35

    Pangestika Tuhu Kristanti
    2102408126
    Rombel:4

    Kakawin Kresnayana
    Pupuh 1 (bait 1-5) : Manggala dipersembahkan kepada Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia pada zaman Dwapara.

    Pupuh 2 (bait 1-8) : Ada suatu kerajaan yang bernama Dwarawati dengan rajanya bernama Kresna. Raja Kresna terkenal di dunia bermusuhan dengan raja Yawana yang bernama Kalayawana yang berbentuk Raksasa. Kresna tidak mau berhadapan di dalam peperangan, tetapi membuat strategi. Ia mencari perlindungan kepada Pendeta Mucukunda yang sedang tidur di gua di lereng Gunung Himawan Kresna. Kemudian, Yawana mengejar ke gua dengan suara keras sehingga Pendeta Mucukunda bangun dan sangat marah, keluar api dari matanya dan membakar kalayawana. Setelah Kresna menang barang rampasan perang dan wanita dari kerajaan Yawana dibawa ke Dwarawati.

    Pupuh 3 (bait 1-10) : Raja Kresna mengadakan upacara penyucian kerajaan. Seorang arsitek dari surga bernama Wiswakarmma dipanggil untuk memperindah istana, Dewa Baruna dipanggil untuk mengundurkan hempasan ombak laut. Dewa kekayaan dipanggil untuk menambah penghasilan rakyatnya. Dewa Bayu diminta untuk memindahkan tempat berkumpul para dewa Dwarawati.

    Pupuh 4 (bait 1-8) : Pupuh ini berisi uraian tentang keindahan istana dan di luar istana. Ada suatu tempat yang sepi dan sejuk yang dipergunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu.

    Pupuh 5 (bait 1-5) : Pupuh ini menceritakan keindahan sekitar tempat pemujaan.

    Pupuh 6 (bait 1-13) : Jarasandha, raja Karawira, akan menikahkan kemenakannya, yaitu Raja Cedi (Suniti) dengan Rukmini, puteri Bismaka, Raja Kundina. Raja Kundina menyetujui rencana Jarasandha.

    Pupuh 7 (bait 1-13) : Dewi Prethukitti, ibu Rukmini, justru tidak menyetujui perkawinan Rukmini dengan Raja Cedi. Ibunya menghendaki Kresna sebagai calon menantunya. Ia lalu mengutus dayang-dayang kepada Kresna. Dalam pesannya ia mengundang agar Kresna segera datang karena hari perkawinan antara Rukmini dan Raja Cedi sudah dekat. Utusan melaksanakan tugasnya untuk menyampaikan pesan Dewi Prethukirtti kepada Kresna.

    Pupuh 8 (bait 1-4) : Pupuh 9 (bait 1-5); Pupuh 10 (bait 1-11); Pupuh 11 (bait 1-4); Pupuh 12 (bait 1-16) : Pupuh-pupuh ini berisi uraian utusan ratu Prethukirtti mengenai kecantikan dewi Rukmini. Dewi Prethukitti menganjurkan cukup perkawinan gandarwa saja.

    Pupuh 13 (bait 1-7) : Kresna berminat terhadap usulan tersebut. Ia akan merencanakan datang ke Kundina secara diam-diam, tetapi akhirnya ia berangkat dengan tentaranya.

    Pupuh 14 (bait 1-10) : Kerajaan Dwarawati dan Kresna mengadakan persiapan- persiapan. Pada malam hari Kresna tidak enak hatinya karena memikirkan Rukmini.

    Pupuh 15 (bait 1-11) : Keesokan hari Kresna memuja Dewa Siwa, kemudian berangkat ke Kundina dengan bala tentaranya. Kresna mengendarai kereta kuda dengan Daruki sebagai sais (kusirnya). Pendeta muda yang bernama Meghadhwaja mengikuti Kresna dalam perjalanan itu. Ia sebagai penasihat Kresna.

    Pupuh 16 (bait 1-8); Pupuh 17 (bait 1-3); Pupuh 18 (bait 1-10); Pupuh 19 (bait 1-6); Pupuh 20 (bait 1-5); Pupuh 21 (bait 1-8); Pupuh-pupuh ini berisi uraian daerah-daerah yang dilalui rombongan Kresna. Pendeta muda Meghadhwaja mengingatkan tujuan perjalanan Kresna.

    Pupuh 22 (bait 1-12) : Dalam perjalanan, rombongan Kresna menyusuri pantai. Akhirnya, sampailah Kresna ke tanah Kundina di desa Dharmmasabha, desa yang indah dan banyak gedung yang besar. Setelah malam tiba, Kresna dijamu terlebih dahulu sebelum beristirahat.

    Pupuh 23 (bait 1-12) : Pupuh ini berisi uraian bala tentara Kresna yang sedang beristirahat.

    Pupuh 24 (bait 1-4) : Keesokan harinya Kresna dan tentaranya melanjutkan perjalanan.

    Pupuh 25 (bait 1-13) : Pupuh ini berisi uraian mengenai daerah yang dilalui. Setiba di Kundina, semua penduduk kota, khususnya para putri keluar rumah untuk melihat Kresna.

    Pupuh 26 (bait 1-7) : Penduduk kota memperhatikan Kresna dan rombongannya.

    Pupuh 27 (bait 1-8) : Kresna diterima di Kundina karena ia sepupu Rukmini. Di samping itu, tersebar kabar bahwa Dewi Prethukirtti lebih senang apabila bermenantukan Kresna. Orang-orang pun menganggap bahwa lebih pantas Kresna yang memperistri Rukmini.

    Pupuh 28 (bait 1-8) : Menjelang malam Raja Cedi dan Jarasandha tiba lebih dulu dan diberi tempat yang lebih dekat ke istana, Kresna dan tentaranya diberi penginapan di luar istana, karena semua rumah sudah penuh. Ia mengutus seorang dayang untuk mengirim surat kepada Rukmini yang sedang berada di taman sendirian.

    Pupuh 29 (bait 1-5) : Rukmini membaca surat cinta Kresna yang panjang dan penuh emosi di kamarnya.

    Pupuh 30 (bait 1-5) : Rukmini membaca surat Kresna. Ia merasa gelisah dan kemudian keluar lagi ke taman. Seorang pelayan yang setia datang mendekat dengan memberikan nasihat dan pudak agar Rukmini menuliskan perasaannya pada pudak.

    Pupuh 31(bait 1-19) : Semalam suntuk dayang-dayang menemani Dewi Rukmini dengan lagu-lagu dan tari-tarian yang mengasyikkan. Keesokan harinya Rukmini bertambah gelisah karena hari pernikahannya telah tiba.

    Pupuh 32 (bait 1-11) : Pagi hari suasana di kota telah ramai. Para istri pembesar dan Pendeta Siwa dan Budha menghadap ke istana. Putri Rukmini telah siap untuk dihadap.

    Pupuh 33 (bait 1-17) : Pupuh ini menguraikan kecantikan dan perhiasan Rukmini. Setelah selesai semua tamu istana pulang . Rukmini hanya tinggal bersama seorang dayang dan seorang pendeta wanita.

    Pupuh 34 (bait 1-11) : Pendeta wanita menghibur Rukmini dengan menceritakan kerajaan Dwarawati.

    Pupuh 35 (bait 1-17) : Pendeta wanita dan dayang-dayang Rukmini membicarakan keindahan perkawinan dan membandingkan Kresna dan Cedi.

    Pupuh 36 (bait 1-6) : Rukmini kelihatan berbahagia mendengar percakapan para pembantunya. Namun saat melihat keadaannya, tiba-tiba ia bersedih hati dan menangis.

    Pupuh 37 (bait 1-6) : Rukmini menyadari keadaannya sehingga menangis terus.

    Pupuh 38 (bait 1-14) : Ketika Rukmini menangis, datanglah utusan dari ibunya agar ia siap-siap melarikan diri karena saatnya telah tiba. Ibunya mengingatkan pula akan bahayanya. Istana dijaga ketat dan di luar Raja Cedi berjaga dengan tentaranya, serta Kresna tidak jauh dengan Raja Cedi. Rukma, kakak Rukmini, justru yang lebih ditakuti, sebab selalu menjaga adiknya dan menjadi teman baik Raja Cedi. Rukma memaksakan Rukmini kawin dengan Raja Cedi.

    Pupuh 39 (bait 1-11) : Dayangnya menyarankan agar Rukmini menyamar sebagai pertapa perempuan. Pada mulanya Rukmini ragu-ragu karena hal itu kurang pantas sebagai ksatria, tetapi akhirnya ia setuju. Ia segera menanggalkan perhiasannya dan meninggalkan istana dengan ditemani oleh seorang pembantu. Ia melalui semua rintangan tanpa mengalami kesulitan. Ia merasa seolah-olah menyeberangi sungai yang dalam dan berbahaya dan kini selamat.

    Pupuh 40 (bait 1-12) : Kresna didatangi dayang-dayang yang memberitahukan kedatangan Rukmini. Setelah Rukmini datang, ia dinaikkan ke atas kereta perang, lalu mereka berangkat pergi. Baladewa menantikan kedatangan raja-raja yang bermaksud mengejar Rukmini dan Kresna. Istana Kundina pun gempar akan hilangnya Rukmini. Raja Bismaka semula tidak percaya kalau Rukmini lari dengan Kresna.

    Pupuh 41 (bait 1-11) : Lalu, diadakan perundingan di istana Kundina.

    Pupuh 42 (bait 1-11) : Pangeran Rukma menghadap Bhismaka. Rukma mencela ayahnya karena ia lalai mencegah penculikan Rukmini dan tidak tahu peranan Prethukirtti yang pantas dicela. Ayahnya menasihati Rukma.

    Pupuh 43 (bait 1-8) : Nasihat Raja Bhismaka kepada Rukma mengenai kebijaksanaan duniawi serta tugas seorang raja.

    Pupuh 44 (bait 1-8) : Nasihat Raja Bhismaka kepada Rukma.

    Pupuh 45 (bait 1-7) : Pangeran Rukma tidak mau mendengarkan nasihat ayahnya. Ia tetap akan membalas perbuatan Kresna.

    Pupuh 46 (bait 1-8) : Pangeran Rukma meninggalkan istana. Di luar istana, bala tentara sudah menantikan kedatangannya, tinggal menunggu perintah. Kemudian, Pangeran Rukma berpakaian perang lapis baja dengan senjata di tangan. Pasukan bergerak dengan suara bergemuruh sambil diiringi musik.

    Pupuh 47 (bait 1-8) : Pangeran bersama Raja Cedi dan Raja Maghada beserta tentara masing-masing berangkat perang. Sementara itu Baladewatelah mengatur posisi para kaum Yadu dan Wresni.

    Pupuh 48 (bait 1-8) : Pupuh ini berisi uraian keadaan tentara yang telah siap untuk bertempur.

    Pupuh 49 (bait 1-11); Pupuh 50 (bait 1-14); Pupuh 51 (bait 1-2) : Pupuh ini berisi uraian mengenai keadaan pertempuran.

    Pupuh 52 (bait 1-11) : Pangeran Rukma mendekati Kresna. Ia marah sekali ketika melihat Rukmini beserta Kresna dan menuduh Kresna berbuat hina. Kresna menolak tuduhan itu. Bagi kesatria berlaku kebiasaan yang umum diterima, yakni calon istri harus diculik. Terdorong oleh masa marahnya, Rukma melepaskan anak panahnya, tetapi semuanya tanpa hasil karena digagalkan oleh yoga Kresna.

    Pupuh 53 (bait 1-14) : Kresna yang semula tidak mau melawan akhirnya mulai menyerang karena ia terus diserang oleh Rukma. Anak panah Kresna mencerai beraikan pasukan Kundina dan menghancurkan kereta Sukma. Pada saat Rukma jatuh dan terbaring tak berdaya di tanah, Rukmini memegang kaki Kresna dan memohon agar kakaknya tidak dibunuh.

    Pupuh 54 (bait 1-9) : Pupuh ini berisi permintaan Rukmini kepada Kresna dan Rukma.

    Pupuh 55 (bait 1-7) : Kresna mengabulkan permintaan rukmini dan membiarkan Rukma pergi. Perang berakhir dan Kresna melanjutkan perjalanan ke Dwarawati.

    Pupuh 56 (bait 1-5) : Kresna dan Rukmini serta tentaranya, yaitu kaum Yadhu dan Wresni, tiba di Dwarawati. Semua kembali kerumah masing-masing. Orang-orang di Dwarawati bangga karena Kresna menang dan memboyong Rukmini.

    Pupuh 57 (bait 1-12) : Kresna dan Rukmini menikmati cinta mereka.

    Pupuh 58 (bait 1-12) : Pupuh ini berisi uraian tentang keindahan tempat Kresna dan Rukmini sedang berada.

    Pupuh 59 (bait 1) : Pupuh ini berisi perkawinan Kresna dan Rukmini yang saling mencintai seperti Arddhanariswara kesatuan Siwa dan Parwati).

    Pupuh 60 (bait 1-3) : Rukmini mempunyai sepuluh anak. Selain Rukmini, Kresna mempunyai isteri sebanyak 10.000 orang dan semuanya cantik.

    Pupuh 61 (bait 1) : Dewi Sri menjelma menjadi 16.000 orang isteri Raja Kresna.

    Pupuh 62 (bait 1) : Cerita ini hasil gubahan Mpu Triguna.

    Pupuh 63 (bait 1) : Dahulu Raja Airlangga mempunyai adikawi Mpu Kanwa, sekarang Raja Warsajaya mempunyai adikawi Mpu Triguna.

    Kolofon A (bait 1-2); Cerita ini terkenal dengan dengan cerita Kresna (Kresnayana) ditulis di Pulau Bali tempat kediaman Pendeta Mpu Suranantha, seorang pendeta dari golongan Siddhanta.

    Kolofon B (bait 1-2) : Pupuh ini menyebutkan waktu penyalinan naskah ini tetapi banyak yang tidak terbaca sehingga tidak jelas.

    BalasHapus
  16. NAMA : RETNA ANGGLING ANGGRAENI
    NIM : 2102408035
    ROMBEL : 02

    KRESNA
    Kresna iku sawijining paraga Mahabharata. Nalika isih timur, asmané Narayana. Ing pedhalangan, Kresna kondhang amarga lantip lan pinter micara. Karo Arjuna, Kresna kapilih dadi titisaning Bathara Wisnu. Raja ing kraton Dwarawati iki sawijining turuning Yadhu. Miturut padhalangan Kresna iku anake Prabu Basudewa, nata ing Mandura kang angka loro patutan karo Dewi Mahindra iya Dewaki. Kadange sepuh asmane Raden Kakrasana iya Prabu Baladrewa, dene rayine asmane Dewi Bratajaya iya Wara Sumbadra. Garwa-garwane yaiku Dewi Jembawati, putrine Resi jembawan ing pertapan Gandamadana, peputra Raden Samba Wisnubrata, Dewi Rukminiputrine Prabu Bismaka (Arya Prabu Rukma) ing Kumbina, peputra Dewi Titisari lan Raden Saranadewa (arang dikocapake) lan [[Dewi Setyaboma], atmajane Prabu Setyajid (Ugrasena) ing Lesanpura, peputra Raden Setyaka. Dewi Pratiwi (Pertiwi) putrine Sang Hyang Nagaraja ing kahyangan Sumur Jalatundha, peputra Raden Setija iyaPrabu Bhoma Narakasura, lan Siti Sundari. Miturut padhalangan, Kresna bisa jumeneng nata ing Dwarawati amarga bisa ngasorake yudhane yaksendra, Prabu Yudhakalakresna iya Kunjanakresna, nata Dwarawati kang pungkasan. Ing crita liya, ratu Dwarawati sing dikalahake Narayana iku jejuluke Prabu Narasinga Murti lan senopatine aran Raden Singamulangjaya kang uga banjur dikalahake dening Setyaki. Prabu Narasinga banjur manitis ana anggane Prabu Kresna, dene Singamulangjaya manunggal sajiwa karo Setyaki. Crita iki bisa ditemoni ing lakon wayng Bedahe Dwarawati. Dasanamane miturut padhalangan : Prabu Sri Bathara Kresna, Prabu Harimurti (putrane pak SBY asmane Harimurti),Sasrasumpena,Danardana (Janardana), Sang Padmanaba, Narayana, Giwangkaton,lan Prabu Lengkawamanik

    Ing Bharatayudha, Kresna ora melu cawe-cawe langsung. Kresna mung ngatur sapa kang bakal dadi senopati. Nanging sadurunge perang diwiwiti, Kresna dadi utusan kanggo Pandhawa menyang Kurawa. Kadadeyan iki ana ing lakon Kresna Duta. Dene nalika Arjuna arep tandhing lawan Adhipati Karna, Kresna menehi wejangan marang Arjuna. Arjuna rangu-rangu arep mangkat perang amarga arep tandhing karo sedulure dhewe. Wejangan iki kondhang ing India tinulis ing Bhagawad Gita.

    Pungkasaning crita, Kresna kena pitulahe sepata turuning namgsa Yadhu kang kudu tumpes.

    Gaman:

    * Senjata Cakra : Panah awujud cakra (bunder kaya rodha) lan lancip ing pucuke.
    * Kembang Cangkok Wijaya Kusuma lan Wijayamulya: awujud cangkoking kembang kang bisa ngusadani wong lara utawa mati sadurunge wektune.
    * Kaca Paesan : Kaca kang bisa kanggo meruhi apa kang bakal kelakon.
    * Aji Pameling : kanggo nimbali saka kadohan, umpamane nimbali Resi mayangkara kang ana pertapan Kendhalisada supaya marak sowan.
    * Aji Kesawa kang dayane yen duka bisa malih brahala sagunung anakan (triwikrama) apraceka Ditya Balasrewu.

    Kresna

    [sunting] Liya-liya

    Narayana sakadang nalika isih timur dititipake marang Ki Demang Antyagopa lan Nyai Sagopi ing Kadhemangan Widorokandhang. Iki kanggo nyingidake supaya aja nganthi konganan dening Kangsadewa, putrane kuwalon Prabu Basudewa saka Dewi Maerah kang jumeneng adipati ing Sengkapura kang kepengin nguwasani negara Mandura. Ya nalika ana ing Widharakandang iki, Narayana meguru marang Begawan Padmanaba ing Pertapan Girituba. Dening Sang Begawan pinaringan pusaka cacah loro aran Senjata Cakra Baskara, Kembang Cangkok Wijayakusuma lan kaca Paesan kang bisa kanggo ngawuningani kahanan sing bakal dumadi. Kejaba kuwi uga pinaringan aji "Kesawa" iya aji Balsrewu kang dayane menawa Prabu Kresna lagi duka banjur astane nyenggol bedhore Kesawa bisa triwikrama dadi brahala sagunung anakan sesilih Ditya Balasrewu. Sabanjure Sang begawan Padmanaba iya banjur manitis ana anggane Narayasa.

    Prabu Kresna iku kawentar kadidene titising dewa Bathara Wisnu, dewa kang andhum kabahagyan lan keadilan. Mula ya wicaksana, waskitha, pinter, sekti mandraguna, sidik ing paningal lan yen duka bisa malih buta brahala. Prabu Kresna banget tresnane marang adhine ipe, yaiku Arjuna. Kresna lan Arjuna iku nganthi kerep diibaratake kaya godhong suruh lumah lan kurepe, nadyan beda wujude nanging yen digigit padha rasane. Ratu Dwarawati iki uga kondhang kadidene salah sijine paraga sing pinter (lihai) lan ahli strategi perang sing mumpuni. Nalika dumadine perang Baratayuda, Kresna dadi botohe para Pandhawa.

    Ngarepe dumadine perang, tau minangka duta. Budhale menyang Astina nitih kreta dikusiri rayine, Setyaki. Ing Tegal Kuru lakune ditungka dewa cacah papat, yaiku Sang Hyang Narada, Sang Hyang Kanwa, Sang Hyang Janaka lan Ramaparasu kang ngersakake nyekseni anggone padha pirembugan.

    Sawise Prabu Kresna tekan Astina, maune ditampa kanthi becik dening Prabu Duryudana sakadhang. Prabu Duryudana ya wis saguh mbalekake negara Astina sigar semangka marang para Pandhawa. Nanging nalika para dewa mau wis padha kondhur makayangan, Duryudana njabel kesaguhane. Layang prajanjen kang wis ditapak astani narendra kekarone disebit-sebit. Lan oran mung kuwi wae, ratu Astina kuwi uga banjur paring sasmita marang Patih Sengkuni lan Pandhita Durna supaya dhawuh marang para Kurawa amrih ngrangket lan nyirnakake Prabu Kresna. Kurawa klakon nglarak Prabu Kresna menyang alun-alun nedya disirnakake. Mesthi wae Prabu Kresna banjur duka yayah sinipi, banjur triwikrama malih dadi brahala kang gedhene sagunung anakan. Para Kurawa bubar mawut katrajang pangamuke Ditya Balasrewu. Miturut crita padhalangan gagrak Yogyakarta sing kalumrah kae, pangamuka Balasrewu uiku tundhone nggawa kurban Prabu Dhestharastra lan Dewi Gendari (bapa lan ibune para Kurawa) sedha sarimbit amarga kebrukan Baluwerti (beteng kedhaton)kang juruguk amarga pangamuke Balasrewu. Jugrugane beteng kang ngebruki Prabu Dhestarastra lan Gendari iku kinarya liwat playune para Kurawa kang dibujung brahala. Iki ateges, Prabu Dhstharastra lan Dewi Gendari pada wae diidhak-idhak dening para putrane dhewe, amarga anggone ora bisa ndhidik (nggulawentah) lan mulang-muruk bab kautaman marang para anak-anake.

    Ana ing perang baratayuda, Prabu Kresna ngusiri kretane Arjuna nalika perang-tandhing lumawan Adipati Karna. Arjuna unggul yudhane, Adipati Karna gugur ketaman jemparing Pasopati.

    Ing pakeliran, yen Prabu Baladewa kondhang kadidene ratu sing pakulitane putih mulus alias bule tekan balung sumsum, Prabu Kresna iki pakulitane ireng. Cocok karo asmane, tembung "kresna"werdine pancen ireng. Ireng tekan getih, balung lan sumsume. Pungkasane crita, Kresna sirna saragane amarga kena putulahe sepata turuning bangsa Yadhu kang kudu tumpes.

    BalasHapus
  17. NAMA : ALFI SYAKIRINA
    NIM : 2102408060
    ROMBEL: 02

    MAHABHARATA

    Ilustrasi pada sebuah naskah bersungging mengenai perang Bharatayuddha di Kurusetra.

    Mahabharata (Sansekerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.

    Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.
    Artikel ini adalah bagian dari seri
    Susastra Hindu

    Daftar isi

    * 1 Pengaruh dalam budaya
    * 2 Versi-versi Mahabharata
    * 3 Daftar kitab
    * 4 Suntingan teks
    * 5 Ringkasan cerita
    o 5.1 Latar belakang
    o 5.2 Para Raja India Kuno
    o 5.3 Prabu Santanu dan keturunannya
    o 5.4 Pandawa dan Korawa
    o 5.5 Permainan dadu
    o 5.6 Pertempuran di Kurukshetra
    o 5.7 Penerus Wangsa Kuru
    * 6 Silsilah
    o 6.1 Silsilah keturunan Maharaja Yayati
    o 6.2 Silsilah keluarga Bharata
    * 7 Catatan kaki
    * 8 Bahan bacaan
    * 9 Pranala luar

    [sunting] Pengaruh dalam budaya

    Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.

    Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.

    Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.

    Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.

    Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.

    Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.

    Dalam dunia sastera popular Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.

    [sunting] Versi-versi Mahabharata

    Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.

    [sunting] Daftar kitab

    Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.
    Nama kitab Keterangan
    Adiparwa Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu, seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
    Sabhaparwa Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
    Wanaparwa Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
    Wirataparwa Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai penata rias.
    Udyogaparwa Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi menjadi dua kelompok.
    Bhismaparwa Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
    Dronaparwa Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan Gatotkaca.
    Karnaparwa Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
    Salyaparwa Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
    Sauptikaparwa Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
    Striparwa Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.
    Santiparwa Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
    Anusasanaparwa Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
    Aswamedhikaparwa Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna.
    Asramawasikaparwa Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya sendiri.
    Mosalaparwa Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana.
    Mahaprastanikaparwa Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
    Swargarohanaparwa Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.

    [sunting] Suntingan teks

    Antara tahun 1919 dan 1966, para pakar di Bhandarkar Oriental Research Institute, Pune, membandingkan banyak naskah dari wiracarita ini yang asalnya dari India dan luar India untuk menerbitkan suntingan teks kritis dari Mahabharata. Suntingan teks ini terdiri dari 13.000 halaman yang dibagi menjadi 19 jilid. Lalu suntingan ini diikuti dengan Harivaṃsa dalam 2 jilid dan 6 jilid indeks. Suntingan teks inilah yang biasa dirujuk untuk telaah mengenai Mahabharata.[1]

    [sunting] Ringkasan cerita
    Peta "Bharatawarsha" (India Kuno) atau wilayah kekuasaan Maharaja Bharata

    [sunting] Latar belakang

    Mahabharata merupakan kisah kilas balik yang dituturkan oleh Resi Wesampayana untuk Maharaja Janamejaya yang gagal mengadakan upacara korban ular. Sesuai dengan permohonan Janamejaya, kisah tersebut merupakan kisah raja-raja besar yang berada di garis keturunan Maharaja Yayati, Bharata, dan Kuru, yang tak lain merupakan kakek moyang Maharaja Janamejaya. Kemudian Kuru menurunkan raja-raja Hastinapura yang menjadi tokoh utama Mahabharata. Mereka adalah Santanu, Chitrāngada, Wicitrawirya, Dretarastra, Pandu, Yudistira, Parikesit dan Janamejaya.

    [sunting] Para Raja India Kuno

    Mahabharata banyak memunculkan nama raja-raja besar pada zaman India Kuno seperti Bharata, Kuru, Parikesit (Parikshita), dan Janamejaya. Mahabharata merupakan kisah besar keturunan Bharata, dan Bharata adalah salah satu raja yang menurunkan tokoh-tokoh utama dalam Mahabharata.

    Kisah Sang Bharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata, raja legendaris. Sang Bharata lalu menaklukkan daratan India Kuno. Setelah ditaklukkan, wilayah kekuasaanya disebut Bharatawarsha yang berarti wilayah kekuasaan Maharaja Bharata (konon meliputi Asia Selatan)[2]. Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas yang disebut Kurukshetra (terletak di negara bagian Haryana, India Utara). Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Korawa.

    Kerabat Wangsa Kaurawa (Dinasti Kuru) adalah Wangsa Yadawa, karena kedua Wangsa tersebut berasal dari leluhur yang sama, yakni Maharaja Yayati, seorang kesatria dari Wangsa Chandra atau Dinasti Soma, keturunan Sang Pururawa. Dalam silsilah Wangsa Yadawa, lahirlah Prabu Basudewa, Raja di Kerajaan Surasena, yang kemudian berputera Sang Kresna, yang mendirikan Kerajaan Dwaraka. Sang Kresna dari Wangsa Yadawa bersaudara sepupu dengan Pandawa dan Korawa dari Wangsa Kaurawa.

    [sunting] Prabu Santanu dan keturunannya
    Prabu Santanu dan Dewi Satyawati, leluhur para Pandawa dan Korawa

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Santanu

    Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan anak yang diberi nama Dewabrata atau Bisma. Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda. Beberapa tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran, kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia muda dan belum sempat memiliki keturunan. Atas bantuan Resi Byasa, kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, melahirkan masing-masing seorang putera, nama mereka Pandu (dari Ambalika) dan Dretarastra (dari Ambika).

    Dretarastra terlahir buta, maka tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandu, adiknya. Pandu menikahi Kunti dan memiliki tiga orang putera bernama Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madri, dan memiliki putera kembar bernama Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Dretarastra yang buta menikahi Gandari, dan memiliki seratus orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah Korawa. Pandu dan Dretarastra memiliki saudara bungsu bernama Widura. Widura memiliki seorang anak bernama Sanjaya, yang memiliki mata batin agar mampu melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.

    Keluarga Dretarastra, Pandu, dan Widura membangun jalan cerita Mahabharata.

    [sunting] Pandawa dan Korawa

    Pandawa dan Korawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Korawa (khususnya Duryodana) bersifat licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah para Korawa, yaitu Dretarastra, sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu Sangkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryodana, agar mau mengizinkannya melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa.

    Pada suatu ketika, Duryodana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Di sana mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryodana. Pada malam hari, rumah itu dibakar. Namun para Pandawa diselamatkan oleh Bima sehingga mereka tidak terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan rakshasa Hidimba dan membunuhnya, lalu menikahi adiknya, yaitu rakshasi Hidimbi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.

    Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Panchala. Di sana tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Dropadi. Karna mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Dropadi. Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana. Arjuna mewakili para Pandawa untuk memenangkan sayembara dan ia berhasil melakukannya. Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Tak pelak lagi, Dropadi menikahi kelima Pandawa.

    [sunting] Permainan dadu
    Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sabhaparwa

    Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada Pandawa dan Korawa. Korawa memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan ibukota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah Duryodana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi bahan ejekan bagi Dropadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para Pandawa.

    Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira secara perlahan namun pasti, Duryodana mengundang Yudistira untuk main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Yudistira yang gemar main dadu tidka menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura dengan harapan dapat merebut harta dan istana milik Duryodana. Pada saat permainan dadu, Duryodana diwakili oleh Sangkuni yang memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Satu persatu kekayaan Yudistira jatuh ke tangan Duryodana, termasuk saudara dan istrinya sendiri. Dalam peristiwa tersebut, pakaian Dropadi berusaha ditarik oleh Dursasana karena sudah menjadi harta Duryodana sejak Yudistira kalah main dadu, namun usaha tersebut tidak berhasil berkat pertolongan gaib dari Sri Kresna. Karena istrinya dihina, Bima bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Dretarastra merasa bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan.

    Duryodana yang merasa kecewa karena Dretarastra telah mengembalikan semua harta yang sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus menyerahkan kerajaan dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali lagi ke kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun.

    Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryodana. Namun Duryodana bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna, namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.

    [sunting] Pertempuran di Kurukshetra

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang di Kurukshetra

    Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Kekaya, Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Satyaki, Drestadyumna, Srikandi, Wirata, dan lain-lain ikut memihak Pandawa. Sementara itu Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Korawa dibantu oleh Resi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa yaitu Jayadrata, serta guru Krepa, Kretawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawas, Bahlika, Sangkuni, Karna, dan masih banyak lagi.

    Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang gugur, seperti misalnya Abimanyu, Drona, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Raja Wirata dan puteranya, Bhagadatta, Susharma, Sangkuni, dan masih banyak lagi. Selama 18 hari tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir hari kedelapan belas, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kretawarma.

    [sunting] Penerus Wangsa Kuru

    Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan mencapai surga. Parikesit memerintah Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi Madrawati dan memiliki putera bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi Wapushtama (Bhamustiman) dan memiliki putera bernama Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan keturunannya kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di Hastinapura.

    BalasHapus
  18. Nama: Kurnia Larasati
    NIM: 2102408038
    Rombel: 1 (satu)

    Bhismaparwa

    Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan, pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum Bharatayuddha dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut dengan nama Bhagawad Gita atau "Gita Sang Bagawan", artinya adalah nyanyian seorang suci.
    Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada "tempat tidur panahnya" (saratalpa) sampai perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak sekali sampai ia terjatuh tetapi tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.

    Ringkasan isi Kitab Bhismaparwa
    Janamejaya bertanya, "Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru, Pandawa, dan Somaka, beserta para rajanya yang berasal dari berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk bertempur?"
    Mendengar pertanyaan tersebut, Wesampayana menguraikan dengan detail, kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di medan perang Kurukshetra.

    Suasana di medan perang, Kurukshetra
    Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi daratan Kurukshetra. Para Raja terkemuka pada zaman India Kuno seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja, Bahlika, Salya, Wirata, Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit, Kuntibhoja, dan lain-lain turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran tersebut. Bisma, Sang sesepuh Wangsa Kuru, mengenakan jubah putih dan bendera putih, bersinar, dan tampak seperti gunung putih. Arjuna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dan dikemudikan oleh Kresna, yang mengenakan jubah sutera kuning.
    Pasukan Korawa menghadap ke barat, sedangkan pasukan Pandawa menghadap ke timur. Pasukan Korawa terdiri dari 11 divisi, sedangkan pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi. Pandawa mengatur pasukannya membentuk formasi Bajra, formasi yang konon diciptakan Dewa Indra. Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa, dan formasinya lebih menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh Drona, Bisma, Aswatama, Bahlika, dan Kripa yang semuanya ahli dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh formasi, para Raja merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya. Yudistira sempat gemetar dan cemas melihat formasi yang kelihatannya sulit ditembus tersebut, namun setelah mendapat penjelasan dari Arjuna, rasa percaya dirinya bangkit.

    Turunnya Bhagawad Gita
    Sebelum pertempuran dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet kerangnya yang menggemparkan seluruh medan perang, kemudian disusul oleh para Raja dan ksatria, baik dari pihak Korawa maupun Pandawa. Setelah itu, Arjuna menyuruh Kresna yang menjadi kusir keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya Arjuna bisa melihat siapa yang sudah siap bertarung dan siapa yang harus ia hadapi nanti di medan pertempuran.
    Di tengah medan pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya, teman, saudara, ipar, dan kerabatnya berdiri di medan pertempuran, siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna menjadi lemas setelah melihat keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka semua. Ia ingin mengundurkan diri dari medan pertempuran.
    Arjuna berkata, "Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putera Dretarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Lakshmi Dewi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?"
    Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Kresna mencoba untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang menjadi kusir Arjuna, memberikan wejangan-wejangan suci kepada Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kresna juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna, agar segala keraguan di hatinya sirna, sehingga ia mau melanjutkan pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.
    Wejangan suci yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian disebut Bhagavad Gītā, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi kitab tersendiri dan sangat terkenal di kalangan umat Hindu, karena dianggap merupakan pokok-pokok ajaran Hindu dan intisari ajaran Veda.

    Penghormatan sebelum perang oleh Yudistira
    Setelah Arjuna sadar terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan pertarungan karena sudah mendapat wejangan suci dari Kresna, maka pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat busur panahnya yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita. Pasukan kedua pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan terompet tanduk, memukul tambur dan genderang. Para Dewa, Pitara, Rishi, dan penghuni surga lainnya turut menyaksikan pembantaian besar-besaran tersebut.
    Pada saat-saat menjelang pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira melepaskan baju zirahnya, meletakkan senjatanya, dan turun dari keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke arah pasukan Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para Pandawa mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun Yudistira diam membisu, hanya terus melangkah. Di saat semua pihak terheran-heran, hanya Kresna yang tersenyum karena mengetahui tujuan Yudistira. Pasukan Korawa penasaran dengan tindakan Yudistira. Mereka siap siaga dengan senjata lengkap dan tidak melepaskan pandangan kepada Yudistira. Yudistira berjalan melangkah ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia menjatuhkan dirinya dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya.
    Yudistira berkata, “Hamba datang untuk menghormat kepadamu, O paduka nan gagah tak terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka dalam hal ini, dan kami pun memohon do'a restu paduka”.
    Bisma menjawab, “Apabila engkau, O Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan berlangsung ini engkau tidak datang kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan Bharata, agar menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan dapatkan kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran ini? Pintalah suatu berkah dan restu, O putera Pritha. Pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku itu pastilah, O Maharaja, kekalahan tidak akan menimpa dirimu. Orang dapat menjadi budak kekayaan, namun kekayaan itu bukanlah budak siapa pun juga. Keadaan ini benar-benar terjadi, O putera bangsa Kuru. Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah mengikat diriku...”
    Setelah Yudistira mendapat do'a restu dari Bisma, kemudian ia menyembah Drona, Kripa, dan Salya. Semuanya memberikan do'a restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan mendo'akan agar kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat do'a restu dari mereka semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap untuk memulai pertarungan.

    Yuyutsu memihak Pandawa
    Setelah tiba di tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua pasukan yang saling berhadapan, Yudistira berseru, “Siapa pun juga yang memilih kami, mereka itulah yang kupilih menjadi sekutu kami!”
    Setelah berseru demikian, suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara pasukan Korawa terdengar jawaban yang diserukan oleh Yuyutsu. Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa, Yuyutsu berseru, ”Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan paduka sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun apabila paduka raja berkenan menerima! Demikianlah, O paduka Raja nan suci!”
    Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami lima bersaudara menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa, berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma! Rupanya hanya anda sendirilah yang menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sekaligus melanjutkan pelaksanaan upacara persembahan kepada para leluhur mereka! O putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang juga telah menerima dirimu itu! Duryodana yang kejam dan berpengertian cutak itu segera akan menemui ajalnya!”
    Setelah mendengar jawaban demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan Korawa dan bergabung dengan para Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Yudistira mengenakan kembali baju zirahnya, kemudian berperang.

    Pembantaian Bisma
    Pertempuran dimulai. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut dan menyuruh paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya. Namun usaha para ksatria Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan. Putera Raja Wirata, Uttara dan Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Kekalahan di hari pertama membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.

    Duel Arjuna dengan Bisma
    Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
    Habisnya kesabaran Kresna
    Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin menghabisi Bisma dengan tangannya sendiri, namun dicegah oleh Arjuna
    Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna, namun banyak pasukan Korawa yang tak mampu menandingi kekuatan Arjuna. Abimanyu dan Setyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bisma yang terlibat duel sengit dengan Arjuna, masih bertarung dengan setengah hati. Duryodana memarahi Bisma yang masih segan untuk menghabisi Arjuna. Perkataan Duryodana membuat hati Bisma tersinggung, kemudian ia mengubah perasaanya.
    Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil chakra-nya dan berlari ke arah Bisma. Bisma menyerahkan dirinya kepada Kresna dengan pasrah. Ia merasa beruntung jika gugur di tangan Kresna. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Arjuna memegang kaki Kresna. Pada langkah yang kesepuluh, Kresna berhenti.
    Arjuna berkata, “O junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka tempat kami berlindung. Baiklah, hari ini hamba bersumpah, atas nama dan saudara-saudara hamba, bahwa hamba tidak akan menarik diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik Dewa Indra, atas perintah paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan bangsa Kuru!”
    Mendengar sumpah tersebut, Kresna puas hatinya. Kemarahannya mereda, namun masih tetap memegang senjata chakra. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa.

    Keberanian Bima
    Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana kehilangan banyak saudara-saudaranya.
    Perbantaian terus berlanjut
    Pada hari kelima, pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Setyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas dan kemudian Setyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Setyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.
    Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran berlangsung. Hari keenam merupakan hari pembantaian yang hebat. Drona membantai banyak prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak pecah. Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera Arjuna — Irawan — terbunuh oleh para Korawa.
    Pada hari kesembilan Bisma menyerang pasukan Pandawa dengan membabi buta. Banyak laskar yang tercerai berai karena serangan Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari Bisma, pendekar tua nan sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar berlari ke arah Bisma. Arjuna dan Bisma terlibat dalam pertarungan sengit, namun Arjuna bertarung dengan setengah hati sementara Bisma menyerangnya dengan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali lagi Kresna menjadi marah. Ia ingin mengakhiri riwayat Bisma dengan tangannya sendiri. Ia meloncat turun dari kereta Arjuna, dengan mata merah menyala tanda kemarahan memuncak, bergerak berjalan menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna membidik Bisma. Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun semakin merasa bahagia jika gugur di tangan Kresna. Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.
    Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!...”
    Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi dengan menahan kemarahan ia naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.

    Gugurnya Bisma
    Resi Bisma tidur di "ranjang panah" (saratalpa)
    Para Pandawa tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkan Bisma. Pada malam harinya, Pandawa menyusup ke dalam kemah Bisma. Bisma menyambutnya dengan do'a restu. Pandawa menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu mencari cara untuk mengalahkan Bisma. Kemudian Bisma membeberkan hal-hal yang membuatnya tidak tega untuk berperang. Setelah mendengar penjelasan Bisma, Arjuna berdiskusi dengan Kresna. Ia merasa tidak tega untuk mengakhiri riwayat kakeknya. Kemudian Kresna mencoba menyadarkan Arjuna, tentang mana yang benar dan mana yang salah.
    Pada hari kesepuluh, pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di garis depan. Srikandi menyerang Bisma, namun ia tidak dihiraukan. Bisma hanya tertawa kepada Srikandi, karena ia tidak mau menyerang Srikandi yang berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma menghindari Srikandi, Arjuna memanah Bisma berkali-kali. Puluhan panah menancap di tubuh Bisma. Bisma terjatuh dari keretanya. Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja hari. Kedua belah pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi Bisma yang berbaring tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah. Bisma menyuruh para ksatria untuk memberikannya bantal, namun tidak satu pun bantal yang mau ia terima. Kemudian ia menyuruh Arjuna memberikannya bantal. Arjuna menancapkan tiga anak panah di bawah kepala Bisma sebagai bantal. Bisma merestui tindakan Arjuna, dan ia mengatakan bahwa ia memilih hari kematian ketika garis balik matahari berada di utara.

    BalasHapus
  19. dhita restu putri hapsari8 April 2009 pukul 00.56

    nama:Dhita Restu P.H.
    NIM:2102408043

    Mahabarata
    Mahabarata, cerita ini dianggap memiliki nilai religius di negeri asalnya. India. Kisah kemanusiaan yang disajikan sedemikian luar biasa sehingga kadangkala sulit membayangkan bahwa karya sehebat ini adalah hasil karya manusia.
    Tokoh India Modern Mahatma Gandhi mengatakan bahwa ramayana sudah merupakan bekal yang cukup bagi para pemuda India untuk menjalani kehidupan. Karena didalamnya terkandung ajaran yang lengkap mulai dari estetika, sosiologi, politik hingga seksualitas.

    Pandawa,
    Tokoh protagonis kebaikan pada Mahabarata,mereka terdiri dari saudara kandung Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa. Mereka putra dari Raja Pandu, Hastinapura.

    Kurawa,
    Tokoh Antagonis. Kejahatan sangat terlihat pada jiwa para kurawa. Mereka terlahir dari rahim Ratu Gandari dan Raja Destarata. Kurawa terdiri dari 100 anak. Yang mana anak tertuanya bernama Duryudana.

    Asal Usul kisah MAHABARATA
    Prabu Pandu Dewanata mempunyai dua orang isteri yaitu Dewi Kuntitalibrata dengan Dewi Madrim. Prabu Pandu adalah putra Raden Abiyasa raja dari Astina, sedangkan Dewi Kuntitalibrata adalah putri dari Prabu Kuntibojo raja Mandura, dan Dewi Madrim adalah putri dari Prabu Mandrapati raja Mandraka.
    Dari perkawinan Pandu dengan Kunti menghasilkan 3 putra yaitu: Puntadewa, Bratasena dan Arjuna, sedangkan dari perkawinannya dengan Madrim menghasilkan 2 putra, yaitu: Nakula dan Sadewa, yang dilahirkan kembar. Tetapi kedua anak kembar ini mulai kecil diasuh oleh ibu Kunti karena ditinggal mati ayah dan ibunya (Madrim).
    Ketika mengasuh anak Kunti tidak pernah membedakan antara satu dengan lainnya, atau antara anak tiri dengan anak kandung yang dididik dengan cinta kasih seorang ibu sampai menjadi dewasa. Kunti adalah pencerminan seorang IBU yang patut diteladani.

    Kelima anak Prabu Pandu itulah yang disebut dengan PANDAWA
    PUNTADEWA.
    adalah raja negara Amarta atau Indrapasta. Setelah perang Baratayuda Puntadewa menjadi raja Astina yang bergelar Prabu Kalimataya. Nama lain yang dipakai adalah: Darmawangsa, Darmakusuma, Kantakapura, Gunatalikrama, Yudistira, Sami Aji (sebutan dari Prabu Kresna). Sifatnya: jujur, sabar, hatinya suci, berbudi luhur, suka menolong sesama, mencintai orang tua serta melindungi saudara-saudaranya.
    Pusakanya bernama: Jamus Kalimasada, yang mempunyai kekuatan sebagai perlindungan dan petunjuk pada kebenaran serta kesejahteraan. Mempunyai dua isteri yaitu: Dewi Drupadi dan Dwi Kuntulwilaten.
    BRATASENA.
    Setelah dewasa bernama Werkudara. adalah ksatria Jodipati dan Tunggulpamenang. Pernah menjadi raja di Gilingwesi, dengan gelar Prabu Tuguwasesa. Nama lain yang dipakai adalah: Bima, Bayusutu, Dandun Wacana, Kusuma Waligita. Sifatnya: jujur, tidak sombong, jiwanya suci, sangat patuh kepada guru-gurunya (terutama dengan Dewa Ruci), mencintai ibunya serta menjaga saudara-saudaranya. Bila berperang semboyannya adalah menang, bila kalah berarti mati. Bratasena adalah merupakan suri tauladan kehidupan dengan sifat yang jujur dan jiwanya suci.
    Pusakanya adalah: Kuku Pancanaka di tangan kanan dan kiri sangat ampuh, sangat kuat dan tajam. Selain kuku pancanaka Werkudara juga mempunyai kekuatan angin (lima kekuatan angin), serta dapat membongkar gunung. Mempunyai dua permaisuri yaitu: Arimbi dan Nagagini. Dengan Arimbi mendapatkan putra bernama Gatotkaca, yang dapat terbang tanpa sayap. Dari perkawinannya dengan Nagagini memperoleh putra bernama Antasena yang dapat masuk ke dalam bumi dan menguasai samodra. Bratasena pada waktu lahir dalam keadaan bungkus. Yang menyobek bungkus tersebut adalah Gajah Situ Seno. Pada waktu itu Gajah Situ Seno masuk ke dalam tubuh Bratasena, sehingga mempunyai kekuatan luar biasa dan bisa menyobek bungkus tersebut.
    ARJUNA.
    adalah ksatria Madukara, juga menjadi raja di Tinjomoya. Nama lain yang dipakai sangat banyak, antara lain: Janaka, Parta, Panduputra, Kumbawali, Margana, Kuntadi, Indratanaya, Prabu Kariti, Palgunadi, Dananjaya. Sifatnya: Suka menolong sesama, gemar bertapa, cerdik dan pandai, ahli dibidang kebudayaan dan kesenian.
    Arjuna adalah ksatria yang sakti mandraguna, kekasih para Dewa, ia adalah titisan Dewa Wisnu. Istri Arjuna banyak sekali, ia dijuluki lelananging jagad, parasnya sangat tampan dan tidak ada tandingannya. Permaisurinya di arcapada adalah Wara Sumbadra dan Wara Srikandi. Selain itu masih banyak lagi istri-istrinya antara lain: Rarasati, Sulastri, Gandawati, Ulupi, Maeswara, dsbnya.
    Permaisuri di kahyangan antara lain Dewi Supraba, Dewi Dersanala pada bidadari di Tinjomaya. Arjuna berjiwa ksatria, berjiwa luhur, suka menolong, serta kesayangan para Dewa. Tetapi ada kelemahan yang tidak boleh diteladani dan ditrapkan pada jaman sekarang yaitu beristri banyak.
    NAKULA.
    adalah anak ke empat Prabu Pandu Dewanata dengan Dewi Madrim yang lahir kembar dengan Sadewa. Ayah dan ibunya (Madrim) meninggal pada waktu si kembar masih kecil, oleh karena itu sejak kecil mereka diasuh oleh ibu Kunti dengan tidak membedakan antara satu dengan lainnya.
    Setelah perang Bratajuda Nakula dan Sadewa menjadi raja di Mandraka dengan Sadewa. Nama lain adalah Raden Pinten. Nakula adalah ahli dalam bidang Pertanian. Pada waktu perang Baratayuda, Nakula dan Sadewa yang bisa meluluhkan hati Prabu Salya (dari pi- hak Kurawa). Sebab Prabu Salya adalah saudara Dewi Madrim, selain itu sebenarnya dalam hatinya memihak pada kebenaran yaitu Pandawa. Akhirnya Prabu Salya memberitahukan kepada Nakula dan Sadewa bahwa yang bisa mengalahkannya hanyalah Puntadewa, karena Puntadewa berdarah putih.
    SADEWA.
    adalah anak kelima Prabu Pandu dengan Madrim, dilahirkan kembar dengan Nakula. Setelah perang Baratayuda Sadewa menjadi raja dengan Nakula di Mandraka. Nama kecil Sadewa adalah raden Tangsen. Sadewa adalah ahli dalam bidang peternakan.
    Ia kawin dengan Endang Sadarmi, anak Bagawan Tembangpetra dari Pertapaan Parangalas, dan mempunyai putra bernama Sabekti.

    Dengan adanya sifat-sifat Pandawa yang seperti tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Pandawa, kerajaan Amarta menjadi kerajaan yang kuat, aman, adil dan makmur. Hal ini dapat dibuktikan selain dengan sifat-sifat mereka yang jujur, membela kebenaran dan sebagainya, juga berkat kemampuan disegala bidang. Puntadewa adalah ahli dalam bidang kerohanian, ahli dalam hal bertapa, ia berdarah putih, tokoh ini mementingkan perdamaian, persatuan, kesejahteraan bersama.
    Werkudara adalah tokoh yang menguasai keamanan, kekuatannya tidak tertanding, apalagi dengan kehadiran kedua putranya dimana Gatotkaca menguasai keamanan samodra (laut) dan darat. Arjuna adalah tokoh yang sakti, pemanah yang ulung, suka menolong sesama, rasa kemanusiaannya tinggi, tutur katanya lembut, ahli dalam bidang kebudayaan dan kesenian, ahli dalam bidang bertapa. Tetapi ada satu hal kelemahannya yaitu terlalu banyak istri. Pada jaman dulu istri merupakan lambang kehormatan, bisa juga sebagai upeti waktu memenangkan perang, berbeda halnya dengan sekarang apalagi dengan adanya PP. 10 th. 1983 yang mengatur tentang perkawinan.
    Si Kembar Nakula dan Sadewa adalah tokoh yang mencerminkan tingkah laku untuk mencapai kesejahteraan/kemakmuran hidup, karena Nakula adalah ahli dan tekun dalam bidang pertanian, sedangkan Sadewa ahli dan tekun dalam bidang peternakan.
    Sebenarnya Pandawa masih mempunyai saudara tua yang bernama Adipati Karno, semasa kecil dinamakan Suryatmaja. Suryatmaja adalah putra Dewi Kunti dengan Dewa Surya sebelum menikah dengan Pandu. Ini disebabkan adanya perbuatan serong Dewa Surya yang bisa mengakibatkan Kunti menjadi hamil. Akhirnya Dewa Surya ber tanggung jawab atas perbuatannya itu dengan jalan, pada waktu melahirkan bayi (Suryatmaja) keluar lewat telinga, dengan demikian maka Kunti dianggap masih suci.
    Bayi yang diberi nama Suryatmaja kemudian dilarung (dihanyutkan) disungai Yamuna yang kemudian diketemukan oleh Prabu Radeya di Petapralaya (dibawah kokuasaan Astian). Karena merasa dibesarkan dan mukti wibawa di Astina, maka pada waktu perang Baratayuda Adipati Karna berjuang dengan gagah berani untuk membela negaranya. Ia menjadi senapati perang di pihak Astina, tetapi akhirnya karna gugur oleh adiknya sendiri yaitu Arjuna.
    Adipati Karna adalah suri tauladan sebagai pahlawan yang gigih membela negara, meskipun rajanya (Astina) dipihak yang salah tetapi bagaimanapun juga negaranya harus dibela dari kehancuran, yang dibuktikan sampai titik darah penghabisan.

    Sejarah Kurawa dan Pandawa secara lengkap, yang kemudian dilanjutkan terjadinya perang Baratayudha antara kedua pihak, sampai perang itu usai dan muncul Parikesit, raja baru.

    BalasHapus
  20. nama:dhita restu putri
    nim:2102408043

    sastra jawa kuno
    1. Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi.

    Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir abad ke-8 Masehi.
    2. Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.
    Kitab ini isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.
    3. Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan.

    Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu) Siwa.

    Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana (caturasrama) dan lain-lain.
    4. Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta.

    Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke sorga atau jatuh ke neraka.
    5. Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan. Kitab Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh.
    Isi

    * Cerita Rahwana
    o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau Rawana
    o Cerita Serat Arjunasasrabahu

    * Cerita Dewi Sita
    o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi Rama
    o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
    o "Kematian" Sita
    6. Adiparwa (Sansekerta आदिपर्व)adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata.
    7. Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.
    8. Wirataparwa, 996 menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun setelah mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan di Wanaparwa.

    Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di sana sang Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Sang Werkodara menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu sang Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi. Sang Nakula menjadi seorang penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala sapi. Lalu Dewi Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.

    Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka ketahuan.

    Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari negeri Astina. Para Pandawa berperang melawan mereka, membela Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan. Tetapi mereka sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.
    9. Udyogaparwa >>Dalam Udyogaparwa, buku kelima Mahabharata ini sang Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil dan akhirnya akan menjadi perang Bharatayuddha.
    10. Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini mengandung kitab Bhagawad Gita
    11. Asramawasanaparwa adalah nama dalam bahasa Jawa kuna untuk menyebut kitab Asramawasikaparwa. Dalam naskah-naskah manuskrip Jawa, buku ini biasanya digabung dengan Mosalaparwa, Prasthanikaparwa dan Swargarohanaparwa menjadi Caturasramawasaparwa.
    12. Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata
    13. Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas
    14. Swargarohanaparwa buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke sorga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi.

    Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

    Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa
    15. Kunjarakarna adalah sebuah teks prosa Jawa Kuna yang menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.

    Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)

    1. Kakawin Tertua Jawa, 856
    2. Kakawin Ramayana ~ 870 (aksara Bali: , Jawa: ) adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana.
    3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030 (aksara Bali: ; Jawa: ) adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur.
    4. Kakawin Kresnayana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna yang menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini
    5. Kakawin Sumanasantaka
    6. Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya
    7. Kakawin Bhomakawya atau juga disebut sebagai Kakawin Bhomakawya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna.
    Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuna, panjangnya mencapai 1.492 bait.
    8. Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157 (aksara Bali: , Jawa: ) di antara karya-karya sastra Jawa Kuna, adalah yang paling termasyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
    9. Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
    10. Kakawin Gatotkacasraya
    11. Kakawin Wrettasañcaya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya ialah pelajaran mengenai metrum kakawin. Pada kakawin ini diberikan contoh tidak kurang dari 94 macam metrum kakawin dan mengandung secara total 112 bait kakawin. Pelajaran ini diikat sedemikian rupa berbentuk cerita yang cukup menarik meski agak berkesan artifisial.
    12. Kakawin Wrettayana
    13. Kakawin Brahmandapurana
    14. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun" Kakawin Kuñjarakarna Dharmakathana adalah gubahan dalam bentuk syair (kakawin) dari karya sastra prosa; Kuñjarakarna.
    15. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365 (Nāgarakṛtâgama) (aksara Bali: ) atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana (Deśawarṇana) (aksara Bali: ) bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuna yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.
    16. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
    17. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).
    Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.
    18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka adalah sebuah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
    19. Kakawin Parthayajna adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini menceritakan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, mirip seperti dalam Kakawin Arjunawiwâha. Namun ceritanya dalam kakawin ini lebih bersifat falsafi dan sangat sulit dipahami. Kakawin yang sulit ini belum diterbitkan.
    20. Kakawin Nitisastra yang tak dikenal penggubahnya ini, merupakan kakawin moralistis-didaktis. Kakawin ini jaman dahulu sangat termasyhur di pulau Jawa dan sekarangpun masih di Bali. Pada abad ke-18 M ada versi dalam Bahasa Jawa Baru, digubah dengan judul Serat Panitisastra.
    Di India kuna, kitab-kitab Niti-Sastra adalah kitab-kitab yang mengandung kebijaksanaan hidup dan pelajaran secara umum. Nama ini dengan kata lain adalah nama umum atau generik. Dalam bahasa Jawa kuna, pengertiannya juga mirip. Jika seseorang membicarakan Niti-Sastra, belum tentu merujuk pada kakawin ini.
    Poerbatjaraka menunjukkan bahwa kakawin ini ternyata terjemahan daripada seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta. Menurut beliau, kakawin ini digubah pada abad ke-15.
    21. Kakawin Nirarthaprakreta
    22. Kakawin Dharmasunya merupakan sebuah kakawin didaktis dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin itu diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke 15 Masehi.
    23. Kakawin Harisraya
    24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung Kakawin pendek Banawa Sĕkar (Bahtera Bunga) adalah karangan mpu Tanakung.

    Kakawin ini melukiskan: "upacara pesta srāddha yang diadakan oleh Jīwanendrādhipa 'maharaja Jīwana', khususnya persembahan-persembahan yang dihaturkan oleh berbagai raja: śrī nātheng Kŗtabhūmi, naranātha ring Mataram, sang nŗpati Pamotan, śrī parameśwareng Lasĕm, dan naranātha ring Kahuripan.

    Persembahan-persembahan itu berbentuk indah aneka warna dan bergaya seni serta berupa ilustrasi mengenai gita dan kidung yang digubah oleh raja-raja sendiri.

    Rupanya sajak-sajak itu dipersembahkan pada waktu yang sama, tertulis di atas karas (papan tulis) atau daun-daun lontar.

    Persembahan yang paling indah ialah persembahan yang dibawa oleh raja yang menghaturkan sraddha berbentuk sebuah perahu yang dibuat dari bunga-bunga.

    Upacara sraddha ialah upacara untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal.

    BalasHapus
  21. nana....2102408056
    kakawin bharatayudha...

    Kakawin Bharata Yudha, buah karya Pujangga Besar Empu Sedah dan Empu Panuluh, yang diselesaikan pada tahun 1157 Masehi pada Zaman Jayabaya di Kediri itu, hingga sekarang masih tetap menjadi pusat perhatian kaum cerdik cendikiawan dan para sarjana dari luar maupun dalam negeri yang ingin memperdalam bahasa serta kesusasteraan Jawa
    Isi kakawin tersebut, menceritakan perangnya keluarga Pandawa melawan Kurawa.

    Karena kedua belah pihak masih darah daging, yaitu rumpun Bharata Yudha. Kakawin tersebut termasuk kitab Jawa Kuna disusun dengan sekar ( puisi ) dan ( digubah berdasarkan kitab Maha Bharata ) yang dikalangan masyarakat Jawa juga dikenal sebagai kitab “ Astadasa Parwa “ ( 18 ) terdiri dari 18 parwa atau bagian.

    Karena buku itu memuat cerita perang, maka isinya untuk sebagian besar adalah soal pertempuran, dengan korban-korban berguguran. Kecuali Kakawin Bharata Yudha sendiri , juga kitab Jawa yang bernama “ Adi Parwa “ menyebutkan, bahwa perang besar itu hanyalh berlangsung 18 malam saja. Meskipun demikian menurut cerita itu , korban yang jatuh bukan main besarnya, yaitu 9.539.050 jiwa belum termasuk para panglima perang ( senapati ) serta korban yang berujud binatang-binatang pembantu perang seperti gajah, kuda dan sebagainya, menurut kata-kata aslinya jumlah itu ialah : Sangang yuta limang keti, tigang leksa sangan ewu langkung seket.

    Pertempuran yang terlam 10 hari, yang tersingkat setengah hari saja. Tadi telah disebutkan, bahwa Kakawin itu menggubah parwa-parwa atau bagian.

    Adapun yang dipetik oleh Kakawin itu ialah :
    1. Udyoga – parwa, babakan ini menceritakan ketika prabu Kresna, penasehat agung Pandawa, melaksanakan tugasnya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk menyodorkan “ Claim “ atas negara Astina kepada sang Kurupati benggol Kurawa yang menduduki negara tersebut.
    2. Bhisma – Parwa, menceritakan ketika Resi ( Pandita ) Bhisma maju memimpin peperangan sebagai panglima besar dari tentara Kurawa. Babakan perang ini berlangsung 10 hari ( jadi lebih dari separo lamanya dari perang Bharata Yudha itu sendiri ). Akhirnya pandita tersebut gugur karena panah Srikandi, seorang perwira wanita.
    3. Drona – parwa, mennceritakan waktu Pandita Drona, penasehat Kurawa memimpin pertempuran sebagai panglima tentara Kurawa. Ia gugur pula, putus lehernya oleh Sang Drestadyumna. Lamanya pertempuran ini 5 hari.
    4. Karna – Parwa, menceritakan waktu Sang Karna, panglima perang tertinggi tentara Kurawa maju perang meminpin dan memegang sendiri komando pertempuran. Lama pertempuran hanya 2 hari saja dengan berakhir gugurnya sang Karna karena kesaktian Sang Arjuna.
    5. Salya – Parwa, menceritakan ketika Sang Salya, sesepuh Kurawa meminpin pertempuran. Pertempuran hanya berlangsung setengah hari saja dengan berakhir gugurnya sang Salya oleh Puntadewa dengan ajimat Kalimahosadhanya.
    6. Gada – Parwa, mengkisahkan waktu Sang Duryudana bertempur melawan Sang Bima. Duryudana menemui kekalahannya karena kena pukul pada betisnya oleh Bima dengan gada yang dinamakan Lohitamuka. Gada ini beratnya bukan alang kepalang karena berkepalakan besi massif. Dalam cerita wayang gada ini sangat terkenal yang oleh Ki Dalang disebut gada “ Rujak Polo “ ( polo artinya otak ). Meskipun Duryudana telah remuk dan cacad, tetapi ia tidak juga mati. Ia telah bersumpah, sebelum mati akan membersihkan telapak kakinya pada kepala-kepala para Pandwa ( kesed )
    7. Sauptika – parwa, mengkisahkan ketika Aswatama bersama resi Krepa dan Kartamarma sebagai orang-orang Kurawa yang telah kehilangan akal, melakukan serangan pembalasan secara pengecut dengan meninggalkan aturan umum pertempuran. Dengan muslihatnya yang licik itu pada suatu malam mereka telah merunduk ke perkemahan Pandawa dan berhasil membunuh dengan cara yang tidak ksatria perwira-perwira Pandawa serta kelima putra Yudhistira sesepuh Pandawa. Sebagaimana diketahui, malam itu para Pandawa bersam Kresna sedang melakukan anjangsana kedesa-desa. Mereka meninggalkan perkemahan dengan hati yang resah karena memikirkan sumpah Duryudana tadi.

    Bharata Yudha dianggap keramat di Jawa.
    Pertunjukan ( wayang ) dengan cerita Bharata Yudha yang mengasyikkan itubuat masyarakat di Jawa pada umumnya masih dianggap keramat dan tidak boleh dipertunjukkan di sembarang tempat dan waktu. Menurut kepercayaan yang masih tetap berlaku, kalau dilanggar bisa menimbulkan bencana yang tidak diduga-duga. Biasanya lakon Bharata Yudha hanya dipertunjukkan pada saat-saat upacara “ bersih desa “ yang hanya berlangsung setahun sekali di desa-desa. Dan pertunjukkan ( wayang ) itu dilakukan ditengah sawah.
    “ bersih Dusun “ atau merti dusun ( asal kata Jawa kuno “ Pitro “ berarti metathesis. Dengan merti dusun penduduk memberi sesaji kepada roh-roh leluhur, dan adat tata cara merti dusun itu kini tidak lagi terdapat di kota-kota. Dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertunjukan wayang, dengan lakon Bharata Yudha itu hampir tidak pernah dilakukan dikota. ( sekarang sudah banyak dipentaskan oleh wayang orang dan disiarkan oleh radio – red )
    Bharata Yudah di Bali.

    Berlainan dengan di Jawam maka Bharata Yudha di Bali tidaklah dianggap keramat dan luar biasa. Disana kitab atau cerita yang dianggap tidak baik akibatnya ialah Serat Kidung Rangga Lawe, yang mengkisahkan memberontaknya Ki Rangga Lawe dari Tuban terhadap keprabuan Majapahit, disamping itu jugs kitab-kitab lain seperti cerita Jayaprana, suatu cerita yang hampir mirip dengan cerita Pranacitra untuk masyarakat Jawa. Di Bali kitab Bharata Yudha menjadi bacaan umum, terutama bagi mereka yang memperdalam kesusasteraan.

    Masyarakat Bali umumnya hafal diluar kepala, kebanyakan bait-bait yang tersurat dalam kitab tersebut, dan oleh karenanya banyak disitir dalam pelbagai percakapan.

    Salah satu bait yang sangat populer dari Kakawin itu, ialah bait ke I Sekar Puspatagra, yang diucapkan dengan intonasi khusus pada waktu mereka berjalan mengiring jenazah yang akan diperabukan. Bunyinya bait itu adalah sebagai berikut :
    “ Ri pati sang Abimanyu ring ranangga, Tenuh araras kadi sewaleng tahan mas, Hanan angaraga kalaning pajang lek, cinacah alindi sahantimun genenten “

    Terjemahannya Ke I sebagai berikut :
    Gugurnya Sang Abimanyu dimedan perang, Hancur remuk tetapi malahan nampak indah, bak lumut laut di atas piring kencana ukiran. Sebentar ( luka Itu ) nampak seperti lubang, keranjang kena sinar rembulan purnama, Terkeping-keping halus bak timu dicacah.
    Itulah bait yang sedikit banyak menggambarkan peperangan dengan korbannya dan watak-watak pelakunya. Sebagai tambahan, dibawah ini di kutip lagi bait yang melukiskan keindahan malam serta pemujaan atas seorang wanita. Bagian ini terdapat pada Sekar Sardulawikridita bait ke I :
    “ Leng leng ramya nikang sasangka kumenyar mangrongga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas Iwir murub ring langit. Tekwan sarwwa manik tawingnya sinawang saksat sekar ning suji, Unggawa Bhanumati yanamron alngo mwang natha Duryudana “

    Adapun maknanya Ke. I adalah sebagau berikut :
    Menggairahkan keindahan bulan purnama raya, menambah indah sinarnya puri, Kian tanpa tanding indahnya wism kencana, bak nyala dilangit. Dan bertahtakan Zamrud memancar laksana untaian kembang, Diditulah sang Ratna Banuwati biasa bercengkarama bersama Sang Duryudana.

    Itulah petikan dari Kakawin Bharata Yudha, yang banyak difahami dan diperdalam oleh masyarakat Bali disamping pementasan lakon-lakon dari Bharata Yudha itu sendiri.

    BalasHapus
  22. Nama : Kurnia Larasati
    NIM : 2102408038
    Rombel : 1 (satu)

    Kakawin Pārthayajña punika satunggaling kakawin ing basa Jawi Kina. Sanadyan mboten mawi titi-mangsa utawi mboten nyebat naminipun satunggaling ratu, nanging kedah dipun-papanaken wonten ing ngriki; awit tetembunganipun ketawis bilih barakan kaliyan serat kakawin Arjunawiwaha saha kakawin Sutasoma.
    Makaten ugi falsafahipun inggih terang manawi kakawin Parthayajña punika tumut grupipun serat jaman Majapait tengahan dumugi pungkasan. Menggah ingkang dipuncariyosaken, lelampahipun para Pandhawa ing sasampunipun kawon main dhadhu.

    Isi
    Sareng para Pandhawa kawon anggènipun main dhadhu kaliyan para Korawa. Sang Dropadi dipun-wudani déning sang Sakuni, dipun-jambak kalarak wonten ing ngajengipun para ratu ingkang sami pasamuwan wonten ing kadhaton Ngastina. Para Pandhawa lajeng kedah nglampahi ukum bucal wonten satengahing wana laminipun 12 taun.
    Prabu Yudhisthira rembagan pundi ingkang dipundunungi. Sang Bima usul, prayogi ngamuk kémawon; pejah gesang sampun kantenan, mboten amemanjang wirang. Kepanggihing rembag, sang Arjuna kadhawuhan tapa. Sang Arjuna mangkat dhateng ing redi Indrakila, mampir ing patanipun bagawan Mahayani ing wana Wanawati. Sareng sampun lumampah malih, sang Arjuna wonten ing Wana kapanggih déwi Sri wahyuning karaton Indraprastha, késah saking kadhaton awit saking tindhakipun prabu Yudhisthira kirang prayogi. Sang bathari Sri sagah wangsul dhateng kadhaton anggeripun dipunreksa ingkang saé. Déwi Sri sasampunipun maringi pitedhah, lajeng muksa. Sang Arjuna lajeng kepanggihan kaliyan bathara Kamajaya. Sang Arjuna dipunparingi wulang saha dipunngandikani bilih badhé manggih pakéwed saking danawa nama pun Nalamala, sirahipun tiga; satunggal sirah gajah, satunggal sirah danawa, ingkang satunggal malih sirah garudha. Sang Kamajaya sasampunipun dawuh lajeng musna.
    Dumugi sapinggiring talaga ageng sang Arjuna saestu kapanggih danawa pun Nalamala. Pun danawa ngancap sang Arjuna samadi, lajeng katingal kagungan slira bathara. Pun danawa dados ajrih, lumajeng, nanging mawi ngancam bilih badhé medal malih mbènjing yèn sampun jaman Kaliyuga.
    Sang Arjuna nglajengaken lampah dumugi patapanipun bagawan Wyasa (Abiyasa); ing sasampunipun matur yèn kautus ingkang raka prabu Yudhisthira tapa dhateng Indrakila, bagawan Wyasa maringi piwulang saha pitedhah prenahipun redi Indrakila. Sang Arjuna lajeng mbangun tapa wonten ing ngriku.

    Manggala
    Kakawin Parthayajña uga wonten manggalanipun. Ing ngandhap punika manggala saha jarwanipun.
    Manggala
    1. 1 a. Om Rudrāks.a namo 'stu te mara panembaha ra putu bhat.āra nityaça
    1 b. sang munggw ing teleng ing hid.ep sang atiçūnya tuhu-tuhu jagatpramodhita
    1 c. mwang sakwèhnira pan.d.itādhika wiwéka rinacananiki swarastuti
    1 d. sang wijñâtmaka ring langö kawi wenang tuladana saguritnirêng sabhā
    2 a. mèweh ngwang mucapê kadarçitani sarwagatanira hanêng jagaddhita
    2 b. ndan sūks.mān sumilib ring an.d.ajana kokiranira n atirūpa wīryawān
    2 c. sang twasning lara rāga sārining unang sang amisani rarasning angrengö
    2 d. sang sāks.āt pinakêsining manah akung rahina wengi lanângudang lulut
    3. a. yêkîng ambek angèl çumakti ri wiyoganing alara kenêng smarânala
    3 b. pangdéning lara rāga yêki tumuwuh ri hati mamunah anggeseng manah
    3 c. tres.n.âgöng sumaput peteng temahan ing rahina pati-gagap-gagap tutur
    3 d. kāmârtha pwa ya hétuning mapeningan mamulanguni ri sang huwus licin
    4 a.yângdé rañca ri citta mangkin alengö tekaping alara çoka kāsyasih
    4 b. nghing wikwā juga ng enakânusupa ring wana tumulusa tan kabañcana
    4 c. çaktyângungsira siddhaning manemu sandhi kalepasani patyaning tiga
    4 d. nghing têkā palakun ri pādanira sang yatiwara malesâwakâjñana
    2.1 a.Hana tâs.t.alingga ya winastu lewih pinakopajīwaning atīrtha hayu pagaway halâhayu ya wastu hilang ri wekasni sandhining amuks.a hati
    Jarwa
    1. 1 a. Hong sang hyang Rudra puji kawula, putu sang hyang bathara nitya manembah
    1 b. ingkang wonten ing pusating manah, ingkang awor ing kasunyatan, saèstu ingkang ... jagat
    1 c. kaliyan sadaya tiyang pinter ...
    1 d. sang sampun putus ing kasaénanipun kidung saged dipuntiru kikidunganipun déning tiyang kathah
    2 a.
    2 b.
    2 c.
    2 d. sang prasasat isining kalbu asih ing dinten dalu, nityasa angasih-asih
    3 a.
    3 b
    3 c.
    3 d.
    4 a.
    4 b
    4 c
    4 d.
    2. 1 a.
    1 b.
    1 c.

    BalasHapus
  23. Nama :Dewi Larasati
    Nim :2102408087
    Rombel:03

    MOSALAPARWA
    Mosalaparwa adalah buku ke 16 Mahabharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni dan Yadu, sebuah kaum dalam Negara Madura-Dwarawati tempat sang raja Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya raja Kresna dan saudaranya, raja Baladewa.

    Pada suatu hari sang Dewa Narada beserta beberapa pandita berkunjung ke Dwarawati. Waktu itu seseorang yang bernama sang Samba diberi busana wanita dan dikatakan permaisuri sang Babhru, raja Dwarawati,Kemudian mereka bertanya kepada sang pandita apabila sudah tiba saatnya melahirkan, apa yang keluar (maksudnya laki-laki atau perempuan). Sang pandita yang tahu sedang dipermainkan marah dan berkata: “Kelak ia akan melahirkan gada yang memusnahkan kamu semua” (mosala = gada).

    Ternyata ucapannya benar dan sang raja melahirkan gada besi yang kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk dan serbuknya dibuang ke laut. Lalu sang Baladewa dan sang Kresna melarang orang minum arak.

    Kemudian datanglah Dewa Kala, Dewa Maut dan ini adalah pertanda buruk. Lalu para Wresni disuruh membuat selamatan di pinggir pantai. Tetapi mereka minum arak dan mabuk. Lalu bertengkar ramai. Kemudian setiap orang mengambil gelagah yang berubah menjadi gada besi dan saling memukul sesama. Akhirnya para Wresni tewas semua.

    Pada waktu Baladewa meninggal dunia, keluar naga dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut dan bergabung dengan naga-naga lainnya. Sedangkan Kresna wafat ketika beliau bertapa dengan berbaring di atas dahan pohon dan seorang pemburu (secara tidak sengaja) membunuhnya. Lalu Dwarawati mulai ditinggalkan penduduknya.

    Sumber: "Kepustakaan Jawa" oleh Poerbatjaraka 1952

    BalasHapus
  24. NAMA : ALFI SYAKIRINA
    NIM : 2102408060
    ROMBEL: 02


    Karya Sastra Jawa Kuno 10

    DARMAGANDHUL

    Darmagandhul, karya sastra Jawa klasik, berbahasa Jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi, waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Amanat ajaran dalam teks dituangkan dalam bentuk dialaog antara Ki Kalamwadi dengan Darmagandhul, isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.

    Ki Kalamwadi berguru kepada Reden Budi, sementara Raden Budi mempunyai murid bernama Darmagandhul. Darmagandhul menanyakan kepada gurunya mengenai kapan agama Islam itu datang di pulau Jawa. Ki Kalamwadi menjawab bahwa pada zaman Majapahit saat pemerintahan Prabu Brawijaya, permaisuri Prabu Brawijaya membujuk agar beliau beralaih ke agama Islam. Sayid Rahmat atau Sunan Bonang, kemenakan permaisuri Prabu Brawijaya yang berasal dari Campa, diberi tanah di Tuban dan diizinkan untuk menyebarkan agama Islam. Daerah penyebarannya sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Blambangan sampai Banten. Kemudian datanglah Raden Patah, yakni putra Prabu Brawijaya yang lahir di tanah Palembang, yang diberi tanah Demak dan sebagai adipati, juga diizinkan menyebarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Bonang di daerah Kediri mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya penguasa di daerah tersebut. Kemudian Sunan Bonang menuju ke desa Bogem, dan merusak arca kuda berkepala dua karya Prabu Jayabaya. Perusakan arca tersebut mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya yang mendesak agar Sunan Bonang pergi dari daerah itu. Patih Gajah Mada menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa tanah Kertasana rusak akibat perbuatan Sunan Bonang. Akhirnya, Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengusir kaum Islam dari daerah Majapahit, kecuali kaum muslimin yang tinggal di Ngampelgading dan Demak, Sunan Bonang dan Sunan Giri menyingkir ke Tuban dan berlindung ke Demak.

    Perlawanan antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan Demak , dalam pertempuran sengit itu tentara Majapahit hancur, Gajah Mada gugur di medan laga. Kemudian orang-orang Majapahit yang takluk kepada Demak diperintahkan masuk agama Islam. Akhirnya Sultan Patah yang didukung oleh para wali pergi ke Ngampeldenta untuk menghadap neneknya. Neneknya Nyai Ngampeldenta sangat menyesal perbuatan yang dilakukan oleh Sultan Patah dalam melawan ayahnya.

    Ia mempermasalahkan Sultan Patah beserta para wali yang tidak baik misalnya budi kepada Prabu Brawijaya. Ia memberikan beberapa contoh yang tidak baik misalnya kejadian di Mesir yang dialami Nabi Daud, perebutan kekuasaan yang dilakukan Prabu Dewatacengkar terhadap ayahnya, Prabu Sindhula dan peristiwa Prabu Danapati raja Lokapala melawan ayahnya, Sang resi Wisrawa.

    Contoh-contoh tersebut merupakan permusuhan antara anak melawan ayahnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Sultan Patah terhadap Prabu Brawijaya. Dengan adanya penjelasan dari neneknya tadi, maka Sultan Patah sangat sedih dan menyesal atas segala perbuatannya. Ahkirnya Sunan Kalijaga diutus untuk mencari Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia kembali menjadi raja Majapahit. Sekembalinya Sultan Patah ke Demak di sambut dengan gembira. Ia menceritakan hal itu kepada Sunan Bonang, akhirnya Sunan Bonang memberikan penjelasan secara panjang lebar bahwa perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak berdosa, karena ayahnya seorang kafir.

    Sunan Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya. Karena kepandaian Sunan Kalijaga maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang. Bahkan ia bermaksud untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin.

    Penyebaran agama Islam terhadap punakawan Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan Nayagenggong, yang berakhir dengan penolakan ( tidak berhasil ) Sabdapalon menilai bahwa Prabu Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan agama Budha. Sunan Kalijaga berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya utuk bahwa ajaran agama Islam itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi, dan terjadilah demikian. Setelah selama seminggu dalam perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabalingga akhirnya sampailah di Ngampeldenta.

    Jatuhnya Kerajaan Majapahit atas serangan Demak yang dilukiskan secara simbolis. Darmagandhul juga minta penjelasan tentang agama Nasrani yang kemudian dijelaskan oleh Kalamwadi. Disebutkan bahwa agama Nasrani itu dibawa oleh Nabi Ngisa, Putra Tuhan. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya. Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak. Darmagandhul menguraikan tentang sebab-sebab Nabi Adam dan Ibu Kawa turun dari surga terkena marah Tuhan. Darmagandhul tidak mengetahui bagaimana pandangan kitab Jawa tentang Nabi Adam itu. Ki Kalamwadi menjelaskan bahwa orang Jawa tidak mempunyai kitab yang menceritakan tentang pengusiran Tuhan terhadap Nabi Adam dan Ibu Kawa itu. Kitab yang menjadi pegangan raja hanyalah Manikmaya. Darmagandhul juga menguraikan pendapatnya bahwa baginda, baik agama itu harus konsekuen mengerjakan peraturan yang ada di dalamnya. Namun, yang paling baik bagi orang Jawa adalah agama Budi, sebab agama Budi telah dianut sejak dahulu kala.

    Perbedaan agama Islam, Nasrani, Cina dan Jawa. Ki Kalamwadi mencela orang yang naik haji ke Mekah dengan mengharapkan kelak masuk surga. Konon ada anggapan bahwa yang datang naik haji ke Mekah dan mencium kakbah akan terhapus dosanya dan nantinya masuk surga. Hal itu itu tidaklah benar. Orang akan masuk surga apabila dirinya bersih. Perbedaan adanya utusan dan kitab yang menjadi pegangan itu berbeda. Kalamwadi menjawab bahwa itulah kebebasan yang diberikan Tuhan agar manusia memilih agama yang menjadi kesenangannya. Meskipun demikian, agama Budi bagi orang Jawa tetap lebih tinggi dan sesuai.

    Kalamwadi membentangkan ajaran itu kepada istrinya, Perjiwati, mengenai hal keutamaan dalam hidup dan mengenai ajaran perkawinan. Bekal perkawinan itu bukannya rupa dan harta akan tetapi hati. Perkawinan diibaratkan sebagai galah dan kemudi, yang masing-masing harus sejalan. Diuraikan pula mengenai 4 kemuliaan, yaitu: (1) kemuliaan yang lahir dari diri sendiri, (2) yang lahir dari harta benda pemilik, (3) kemuliaan karena kepandaiannya, (4) kemuliaan karena pengetahuannya. Generasi sekarang tidak boleh meremehkan generasi pendahulunya (orang kuna).

    Menurut Ki Kalamwadi disebutkan bahwa bekas kerajaan Prabu Brawijaya tidak terletak di Kediri, akan tetapi terletak di Daha. Akhir kehidupannya, Prabu Jayabaya muksa diiringkan oleh Patih Tunggulwulung dan Nimas Ratu pagedhongan. Tunggulwulung diperintahkan menjaga Gunung Kelud sedangkan Nimas ratu Pegendhongan menjadi raja jin penguasa laut selatan dengan gelar Ratu Angin-Angin.


    Ditulis dalam nY@stRa

    BalasHapus
  25. Nama : Riska Alviani
    NIM : 2102408111
    Rombel 4

    Mpu Tantular dan Karyanya

    DARI segala macam ungkapan dan kalimat yang tersimpan di dalam khazanah sastra yang berkembang di Bumi Indonesia selama sekurang-kurangnya satu milenium-baik sastra daerah maupun sastra nasional, sastra lama maupun sastra modern-rasanya tak ada yang dewasa ini lebih terkenal daripada bhinneka tunggal ika. Hal itu karena kira-kira lima setengah abad setelah karya yang memuat kalimat itu diciptakan, para pendiri Republik sepakat untuk mengangkat kalimat itu dari kegelapan sejarah dan memilihnya sebagai semboyan yang layak untuk dicantumkan di dalam lambang negara kita.

    Sejak itu, kalimat singkat itu tidak hanya dapat kita lihat setiap saat dalam Burung Garuda yang menghiasi dinding setiap kantor pemerintah dan juga di banyak rumah pribadi, tetapi juga menjadi kutipan yang paling sering kita baca dan kita dengar dalam berbagai pidato, terlebih-lebih jika sedang terjadi peristiwa genting yang dianggap dapat mengancam kelangsungan persatuan bangsa dan kesatuan negara kita.

    Tulisan ini bermaksud mengungkapkan diri penyair yang telah menciptakan kalimat bhinneka tunggal ika tersebut dan juga sedikit membicarakan peninggalan kedua karyanya yang selamat sampai kepada kita.

    Sastra kakawin

    Dari sejumlah kira-kira 170 kakawin yang naskah-naskahnya masih tersimpan di berbagai perpustakaan, hanya kira-kira 20 kakawin yang dapat kita pastikan berasal dari Jawa purba. Apabila kita ingat bahwa syair Jawa Kuna berbentuk kakawin yang tertua terdapat di dalam prasasti tahun 825 M, dan kakawin terbesar yang sampai pada kita-Ramayana-barangkali ditulis tak lama sesudah itu, maka dapatlah diperkirakan bahwa 20 kakawin tersebut pasti hanya merupakan sebagian kecil dari semua kakawin yang pernah dihasilkan di Jawa purba. Dugaan ini diperkuat oleh kesaksian Mpu Prapanca, yang mengatakan bahwa selain Nagarakertagama dia juga telah menulis beberapa karya lain. Ternyata hanya Nagarakertagama saja yang selamat sampai kepada kita.

    Dari sekitar 20 kakawin yang berasal dari Jawa tersebut, hanya tujuh buah yang masih dikenal di Jawa. Lainnya hanya terdapat di Bali, pulau yang telah berperan sebagai "cagar alam" untuk sastra Jawa Kuna, sejak Majapahit mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap dari panggung sejarah pada permulaan abad ke-16. Dengan demikian, sastra Jawa Kuna, khususnya sastra kakawin, dapat bertahan di Bali dan bahkan kemudian memberikan inspirasi kepada penyair Bali untuk terus mengembangkan jenis sastra tersebut.

    Meskipun banyak kakawin yang dihasilkan di Bali, ternyata sampai sekarang kakawin dari Jawa itu tetap dipandang tinggi kedudukannya. Lima di antaranya bahkan dianggap yang paling terkemuka di antara semua kakawin yang ada, yaitu kakawin Ramayana, Arjunawiwaha, Bharatayuddha, Bhomakawya, dan Sutasoma. Ini terlihat dari kenyataan bahwa di dalam acara mabasan atau pembacaan kakawin yang sampai sekarang masih sering dilakukan di Bali, kelima kakawin itulah yang masih paling sering dibaca.

    Dari lima kakawin tersebut, dua di antaranya, yaitu Bhomakawya dan Sutasoma, agaknya sejak lama telah hilang dari peredaran di dalam lingkungan masyarakat Jawa. Dan justru di dalam kakawin Sutasoma itulah terdapat kalimat bhinneka tunggal ika.

    Salah satu konvensi penulisan kakawin yang agaknya telah lazim sejak Mpu Kanwa menulis Arjunawiwaha (sekitar 1030 M) ialah bahwa penyair (kawi) memulai kakawinnya dengan beberapa bait kata pengantar yang biasanya disebut manggala-barangkali ini salah kaprah-dan mengakhirinya dengan semacam epilog atau kata penutup. Di dalam manggala itu biasanya kita dapati tiga unsur. Pertama adalah permohonan penyair agar tugas menulis kakawin yang akan dilaksanakan mendapat rida dari istadewata, yaitu Dewa yang dipilih sebagai dewa pelindung; kedua, pemujaan kepada raja yang telah berkenan menjadi pelindung atau patron (yang di dalam teks sering disebut manggala); dan ketiga semacam perkenalan oleh penyair dengan menyebutkan nama dirinya. Nama penulis itu sering juga kita dapati di dalam epilog, di mana dia mengungkapkan rasa syukur karena telah bisa menyelesaikan tugasnya serta mohon maaf kepada semua pihak atas segala kekurangan, baik yang terdapat di dalam karyanya maupun yang melekat pada pribadinya. Dengan demikian, dalam bait-bait pengantar dan penutup kakawin itu sering kita jumpai data sejarah (nama raja, nama kerajaan, bahkan tahun penulisan) yang dapat diandalkan, sehingga merupakan sumber yang penting untuk penulisan sejarah sastra dan sejarah pada umumnya.

    Kakawin "Sutasoma": penulis dan waktu penulisannya

    Penulis kakawin Sutasoma dengan saksama telah mengikuti konvensi tersebut. Untuk sekadar mengetahui bagaimana caranya seorang kawi memperkenalkan dirinya, di bawah ini saya kutipkan terjemahan bait 147.1 dari kakawin Sutasoma:

    "Demikianlah akhir gubahan kisah Boddhacarita yang istimewa ini / Diuntai menjadi kakawin yang indah oleh kawi yang ber-parab Mpu Tantular/ Dan termashur dengan judul Purusadasanta yang akan selalu diingat orang/ Dirgahayulah yang sudi mendengarkannya, membaca dan menyalinnya."

    Jelaslah dari baris kedua dari bait di atas bahwa penyair itu menyebut dirinya Tantular. Kecuali di dalam Sutasoma, nama Tantular juga terdapat di dalam sebuah kakawin lain yang berjudul Arjunawijaya (73.1), yang terjemahannya sebagai berikut:

    "Demikianlah akhir gubahan kisah yang berawalkan cerita Dasamuka / Berjudul Arjunawijaya, termashur, senantiasa dikisahkan orang / Diuntai menjadi kakawin yang indah oleh yang ber-parab Tantular/ 'Yang tak tergoncangkan'- karena meskipun tak faham kepelikan sastra toh ikut mencipta puisi."

    Bahwa kedua kakawin itu ditulis oleh penyair yang sama, tidak hanya terlihat dari nama penulisnya yang sama, tetapi juga dari nama pelindungnya, yaitu Sri Ranamanggala, dan pilihan kata serta gaya bahasa kedua karya tersebut. Seperti yang berkenaan dengan kebanyakan penulis dari zaman dahulu, sesungguhnya sedikit sekali yang kita ketahui mengenai diri penulis kedua kakawin tersebut. Bahkan "Tantular" itu sendiri barangkali bukan nama diri penyair itu yang sesungguhnya. Di dalam kedua kakawin tersebut, dia menggunakan kata sang aparab atau " yang ber-parab," yang dalam bahasa Jawa Kuna sering digunakan dalam arti "nama samaran." Barangkali "nama samaran" itu dipilih sendiri oleh penulis karena dianggap sesuai dengan watak atau kepribadiannya.

    Demikianlah di dalam kutipan Arjunawijaya di atas kita lihat bahwa nama Tantular itu kemudian diikuti dengan baris yang menjelaskan maknanya, yaitu "Dia yang tak tergoncangkan (hatinya)" (ndatan tular ika) - bahkan diberikan pula alasannya: "karena meskipun tidak paham akan kepelikan ilmu sastra toh dia telah memberanikan diri untuk ikut-ikutan menulis kakawin."

    Bahwa di dalam Arjunawijaya kita dapati penjelasan arti parab yang dipilihnya, sedangkan keterangan seperti itu tidak terdapat di dalam Sutasoma, barangkali menunjukkan bahwa Arjunawijaya adalah kakawin pertama yang ditulis oleh Tantular. Hal serupa juga kita lihat pada penyebutan nama patron kedua karya itu. Di dalam Sutasoma, nama Sri Ranamanggala, terdapat di dalam baris terakhir (148.4d), sedikit pun tanpa penjelasan, sedangkan di dalam Arjunawijaya, penyebutan nama itu diikuti dengan keterangan bahwa "Beliau adalah kemenakan (bhratratmaja) Sang Hyang Wekas ing Suka / Lagi pula, beliau juga menjadi menantu adik bungsu Sri Baginda Maharaja." (Arjunawijaya 1.3d-4b)

    Dari keterangan itu dapatlah dipastikan bahwa Arjunawijaya ditulis sesudah tahun 1367, karena dari Prasasti Bungur kita ketahui bahwa perkawinan Ranamanggala dengan putri adik bungsu Sang Hyang Wekas ing Suka-raja Majapahit yang juga terkenal dengan nama Rajasanagara atau Hayamwuruk-baru berlangsung sekitar 1367. Berapa lama Tantular menciptakan Arjunawijaya (yang panjangnya kira-kira 580 bait) dan kapan dia mulai menulis Sutasoma (yang panjangnya lebih dari 1.220 bait) tidak kita ketahui dengan pasti. Yang dapat dipastikan ialah bahwa Sutasoma sudah selesai ditulis pada tahun 1389, karena pada tahun itu Rajasanagara telah mangkat. Dengan demikian dapatlah dikatakan dengan pasti bahwa semboyan negara kita bhinneka tunggal ika pada waktu ini telah berusia lebih dari 600 tahun.

    Kedua karya Tantular tersebut kini telah disunting dan diterjemahkan (sayang, ke dalam bahasa Inggris): Sutasoma oleh Dr Soewito Santoso (Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana, New Delhi 1975) dan Arjunawijaya oleh penulis sendiri (S Supomo: Arjunawijaya, A Kakawin of Mpu Tantular, The Hague 1977).

    Isi naratif "Arjunawijaya" dan "Sutasoma"

    Mengenai isi kedua kakawin tersebut, dapatlah dengan singkat dikatakan bahwa seperti yang tersirat dari judulnya, kakawin Arjunawijaya, yang artinya "kejayaan Arjuna," mengisahkan kemenangan Arjuna atas diri Raja Dasamuka. Barangkali perlu disebutkan di sini, bahwa Arjuna di dalam kakawin ini bukan Arjuna tokoh Pandawa yang terkenal di dalam wiracarita Mahabharata, melainkan Arjuna Sahasrabahu, raja Kerajaan Mahispati.

    Seperti yang ternyata dari kutipan dari Arjunawijaya di atas, kakawin ini dimulai dengan kisah Dasamuka atau Rawana, mulai dari kelahirannya sampai menjadi Raja Langka yang disegani oleh lawan-lawannya. Bagian kedua menceritakan perjalanan Arjuna dengan permaisurinya mengelilingi kerajaan untuk bersenang-senang sambil memeriksa keadaan rakyat dan kerajaannya - seperti yang, menurut Nagarakertagama, biasa dilakukan oleh raja-raja Majapahit. Dalam perjalanan itu Arjuna bertemu dengan Dasamuka di Sungai Narmada, dan kemudian terjadi pertempuran, yang berakhir dengan kekalahan Dasamuka. Penelitian yang terperinci menunjukkan bahwa kakawin ini bersumber pada Uttarakanda versi Jawa Kuna, yaitu bagian ketujuh atau terakhir dari epos India Ramayana, yang telah dijawakan dalam bentuk prosa (parwa) sekitar akhir abad kesepuluh.

    Isi kakawin Sutasoma juga terbayang dalam judul sebenarnya yang disebutkan di dalam kakawin itu, yaitu Purusadasanta, yang berarti "Peruwatan Kanibal". Kakawin ini juga bisa dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama dimulai dengan kelahiran Sutasoma sebagai penjelmaan Buddha di kerajaan Hastina, kemudian perjalanannya dengan meninggalkan keraton secara diam-diam untuk bertapa di Gunung Sumeru, perkawinannya dengan Candrawati, dan penobatannya menjadi Raja Hastina. Bagian kedua menceritakan seorang raja raksasa pemakan daging manusia (karena itu terkenal dengan nama Purusada atau Porusada) yang berjanji akan mempersembahkan korban seratus orang raja kepada Betara Kala. Dia telah berhasil mengumpulkan seratus raja, tetapi Kala minta tambahan seorang lagi, yaitu Sutasoma. Dalam pertempuran yang kemudian terjadi antara Porusada dan Sutasoma, Porusada menunjukkan dirinya sebagai penjelmaan Siwa, sedangkan Sutasoma menunjukkan jati-dirinya sebagai Buddha. Akhirnya, dengan sukarela Sutasoma menyerahkan dirinya untuk diserahkan kepada Kala. Ini menyebabkan hati Porusada mengalami perubahan total, keganasannya sebagai raksasa lenyap diganti dengan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk. Bahkan Betara Kala sendiri akhirnya juga berubah, hatinya dipenuhi dengan rasa kasih sayang, dan minta menjadi murid Sutasoma.

    Betapapun pentingnya, cerita hanyalah satu unsur dari suatu kakawin. Di dalam kakawin kita dapati juga satuan-satuan yang lain untuk memenuhi
    kaidah penulisan kakawin:
    lukisan keindahan alam, seperti pegunungan dan lautan, taman dan pedesaan, fajar dan senjakala; lukisan keperwiraan, seperti pengiriman utusan, perundingan, keberangkatan pasukan, pertempuran dan kemenangan sang pahlawan; lukisan kesenangan, seperti bermain-main di taman, berenang-renang di laut, dan adegan percintaan, terutama lukisan rasa asmara yang meliputi rasa duka karena penolakan atau perpisahan maupun rasa nikmat yang diperoleh dari puncak sanggama; dan di tengah-tengah semuanya itu selalu kita dapati juga pembicaraan tentang dharma dan masalah kerohanian.

    Pandangan keagamaan Mpu Tantular

    Dari satuan naratif yang beraneka ragam itu jelas bahwa kakawin menyandang berbagai fungsi: sebagai gambaran keadaan setempat atau sindiran pada peristiwa yang benar-benar terjadi, sebagai hiburan, sebagai sarana pendidikan, dan sebagai perwujudan gagasan keagamaan. Dan dari banyaknya bait yang berisi ajaran dan pesan keagamaan di dalam Sutasoma, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa fungsi spiritual itulah yang agaknya dianggap sangat penting oleh Tantular.

    Di dalam manggala Sutasoma (1.3) Tantular mengatakan bahwa kakawinnya digubah dari boddhakawya. Walaupun sampai sekarang para peneliti belum berhasil menemukan sumbernya yang asli, tetapi dari nama sumber serta isi cerita pada umumnya, dan khususnya dari pembicaraan mengenai dharma yang terdapat di dalam kakawin Sutasoma, tak dapat dihindarkan kesan bahwa Mpu Tantular adalah seorang boddha atau pengikut ajaran Buddha. Ini diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa istadewata yang dipuja di dalam bait pengantar (1.1a) adalah Sri Bajrajnana, yang di tempat lain juga dikenal dengan sebutan Adi-Buddha.

    Akan tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Seperti yang telah kita lihat di atas, kakawin Tantular yang lain, Arjunawijaya, bersumber pada Uttarakanda, yaitu bagian dari Ramayana, sebuah wiracarita India yang jelas merupakan pemujaan kepada Dewa Wisnu. Masalahnya menjadi lebih rumit lagi, karena istadewata yang dipuja oleh Tantular di dalam manggala Arjunawijaya adalah Sri Parwatarajadewa yang berarti "Dewa Raja Gunung". Dewa itu, dengan sedikit perubahan-yaitu Parwatanatha-juga dipuja oleh Prapanca di dalam bait pengantar Nagarakertagama (1.1).

    Jadi, siapakah Dewa Raja Gunung yang dipuja di dalam manggala itu? Di dalam sastra India, dan juga di dalam sastra Jawa Kuna pada umumnya, nama diri yang berarti "raja gunung" itu biasanya menunjuk ke Himalaya, atau kadang-kadang kepada Dewa Siwa, yang menurut mitologi India adalah menantu Himalaya. Akan tetapi, seperti yang telah pernah saya jelaskan di tempat lain (buku Arjunawijaya, hal. 69-82) pemujaan kepada "Raja Gunung" yang disebutkan di dalam berbagai karya abad ke-14 itu agaknya menunjuk pada tradisi pemujaan Gunung Keramat yang ada di Jawa, suatu kepercayaan pada kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang yang terdapat di Asia Tenggara pada umumnya sejak lama sebelum kedatangan agama Hindu dan Buddha di sekitar permulaan abad pertama dari milenium pertama.

    Dewa tertinggi yang disebut dengan nama "Raja Gunung" itu pada mulanya barangkali hanya dewa setempat yang dipuja oleh penguasa dan penduduk setempat, tetapi kemudian meningkat menjadi dewa nasional atau dewa yang secara resmi dipuja sebagai Dewa Kerajaan, setelah penguasa setempat tersebut dinobatkan sebagai raja karena berhasil menyatukan kawasan di sekitarnya di bawah kekuasaannya. Dengan kedatangan agama dari India tersebut, kepercayaan lama itu mungkin agak pudar, tetapi tidak pernah hilang sama sekali, dan agaknya mencuat kembali dalam abad-abad ke-14 dan selanjutnya.

    Demikianlah, Dewa "Raja Gunung" yang disebut di dalam berbagai karya abad ke-14 itu agaknya dewa resmi Kerajaan Majapahit. Dia bukan Siwa, bukan pula Buddha, tetapi, seperti yang dijabarkan oleh Prapanca di Nagarakertagama (1.1), adalah Siwa-Buddha, Pelindung dari Yang Mutlak (natha ning anatha), Raja dari segala Raja Dunia (pati ning jagatpati) dan Dewa dari semua istadewata (sang hyang ning hyang inisti). Di dalam pantheon kerajaan itu, Sang Hyang Buddha dan Siwa dianggap sama. Ini diuraikan juga oleh Tantular di dalam Arjunawijaya, lewat ucapan seorang pendeta kepada Arjuna Sahasrabahu ketika raja itu berkunjung ke sebuah kompleks percandian agama Buddha dan Hindu. Setelah menjelaskan bahwa dewa-dewa tertinggi dan di dalam pantheon agama Buddha berpadanan dengan dewa-dewa tertinggi dalam agama Hindu (misalnya, Wairocana berpadanan dengan Siwasada, Amoghasiddhi dengan Wisnu, dan sebagainya), maka sang pendeta menyimpulkan bahwa.

    ... tan hana bheda sang hyang / hyang Buddha rakwa kalawan Siwa rajadewa / kalih sameka sira pinakesthi-dharma. (Arjunawijaya 27.2)

    "... tak ada perbedaan antara Dewa-Dewa tersebut/ Hyang Buddha sama dengan Siwa, raja segala dewa / keduanya itu sama, keduanya merupakan tujuan dharma."

    Perpadanan antara Buddha dan para Jina lainnya dengan Siwa dan para dewa lain seperti yang diuraikan di Arjunawijaya tersebut kita dapati juga di dalam kakawin Sutasoma, dalam rumusan yang lebih sempurna, baik dari segi irama maupun segi makna. Ini terdapat di dalam episode pertempuran antara Porusada dengan Sutasoma. Porusada, yang telah berubah menjadi Maharudra atau Siwa, karena marahnya kemudian menampakkan dirinya sebagai api Kala yang akan membakar seluruh dunia. Khawatir bahwa dunia benar-benar akan binasa sebelum waktunya, para dewa turun ke dunia untuk melerai pertempuran itu. Untuk menenangkan Siwa, para dewa mengatakan bahwa tidak mungkin dia (Siwa) dapat mengalahkan Sutasoma-yang adalah penjelmaan Buddha-karena, walaupun Buddha dan Siwa adalah dua substansi (anekadhatu) yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya dipisahkan. Dan kemudian ditegaskan oleh para dewa itu bahwa

    ... Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal / bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Sutasoma 139.5c-d).

    "pada hakekatnya yang paling dalam Buddha dan Siwa adalah satu / [Keduanya] itu berbeda, [tetapi] itu satu, tak ada dharma yang mendua."

    Di bagian lain dari kakawin Sutasoma (38.1-42.6) Mpu Tantular, kini lewat mulut Sutasoma, memberikan uraian panjang lebar tentang dua macam yoga yang masing-masing dilakukan oleh pengikut Siwa dan pengikut Buddha. Ditegaskannya, bahwa ajaran apa pun yang diikuti, orang harus mengetahui kedua jalan itu. Pendeta Buddha, kata Sutasoma, akan gagal (tiwas) jika tidak mengetahui jalan kesiwaan (Siwatattwamarga), demikian pula sebaliknya, pendeta Siwa akan gagal jika tidak tahu hakikat Buddha (Jinatwa). Di tempat lain lagi, Tantular menyatakan bahwa jalan yang harus dilalui untuk menyembah Yang Maha Agung adalah seperti jalan menuju ke gunung - orang dapat mencapai puncak gunung itu dari segenap penjuru, dari timur, barat, utara dan selatan. (Sutasoma 53.5c). Perumpamaan seperti itu juga sudah terdapat di dalam kakawin Sumanasantaka, yang ditulis di Kadiri pada tahun 1200-an, di mana kita baca bahwa "tak hanya satu saja jalan yang menuju ke kesempurnaan hidup - seperti halnya jalan menuju ke puncak gunung." (Sumanasantaka 128.1d: tan tunggal marga ning kadyan asemu hawan ing munggah ing parwatagra).

    Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa Mpu Tantular mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Maka apakah dia adalah seorang boddha-seperti yang dikatakan di dalam suatu tradisi Bali-barangkali tidak penting benar. Di dalam kedua karyanya dia sendiri tidak pernah menyebut dirinya seorang boddha, tetapi seorang kawi, penyair. Dan seperti yang telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Profesor Zoetmulder di dalam bukunya Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, (hal. 203-237) seorang kawi pada dasarnya adalah seorang mango, yaitu pemuja keindahan dalam artinya yang luas. Bagi seorang kawi, siapa pun yang dipuja sebagai istadewata, dewa itu disembah pertama-tama sebagai manifestasi dari Dewa Keindahan, perwujudan dari Yang Mutlak. Untuk sang kawi penciptaan kakawin itu merupakan suatu yoga, yaitu laku untuk mencapai kemanunggalan dengan Yang Mutlak agar dengan demikian dapat mencapai pembebasan terakhir (moksa). Dan karena yoga yang dilakukan oleh sang kawi ini menyangkut penulisan sastra, jenis yoga ini bisa disebut sebagai "yogasastra." Bagi penyair, menata kata-kata menjadi kakawin di mana Dewa Keindahan akan bersemayam dan dipuja, sepadan dengan pembangun candi menyusun batu-batu menjadi candi di mana Dewa Yang Maha Agung bersemayam dan dipuja. Karena itulah kakawin sering disebut sebagai "candi bahasa" atau "candi pustaka." Ini dapat kita lihat, misalnya, di dalam bait pertama Arjunawijaya. Setelah memuja istadewata, Mpu Tantular melanjutkan dengan kata-kata sebagai berikut:

    "Tujuanku memuja duli Batara tersebut ialah agar Dia sudi mempedulikan persembahan penyair ini / Semoga berhasillah usahaku mendirikan candi bahasa di papan-tulis (karas) ini - inilah permohonanku."

    Makna baru untuk "bhinneka tunggal ika"

    Seperti dikatakan dalam permulaan tulisan ini, kalimat bhinneka tunggal ika itu telah diangkat dari kegelapan sejarah dan dipilih menjadi semboyan yang dicantumkan pada lambang negara. Bagaimana jalannya proses pemilihan semboyan itu tidak saya ketahui dengan pasti. Sesungguhnya saya pernah membaca sebuah tulisan Mr Muhammad Yamin yang barangkali dapat memberi keterangan sedikit mengenai proses pemilihan semboyan itu, tetapi sayang buku yang judulnya saya sudah lupa itu tidak bisa saya dapatkan di tempat saya bermukim sekarang.

    Menurut ingatan saya, di dalam buku itu Yamin menceritakan bahwa ketika dia sedang merenung-renung dan mengucapkan kata-kata "bhinneka tunggal ika" sendirian, seorang pendeta (?) dari Bali kebetulan mendengarnya dan dengan spontan menyambungnya dengan ucapan "tan hana dharma mangrwa." Ini memberi keyakinan kepada Yamin, bahwa ucapan itu masih dikenal di lingkungan masyarakat Bali, dan karena itu dianggapnya sangat tepat untuk dijadikan semboyan, walaupun tentu saja dengan pemberian makna baru yang disesuaikan dengan kebutuhan baru, yaitu pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia.

    Dalam hubungan ini, saya ingat pendapat Deliar Noer yang dimuat di dalam buku Anthony Reid and David Marr (eds.) Perception of the Past in Southeast Asia, (p. 259) mengenai penggunaan kata "Pancasila". Dalam pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan bahwa nama "Pancasila" untuk menyebut dasar negara yang diusulkannya adalah berdasarkan "petunjuk seorang teman kita ahli bahasa." Menurut Deliar Noer, yang disebut "teman kita" oleh Bung Karno itu mungkin sekali adalah Muhammad Yamin.

    Seperti halnya kalimat bhinneka tunggal ika, kata pancasila itu juga terdapat di dalam kakawin Sutasoma (4.5; 145.2).

    Arti baru yang diberikan oleh Muhamad Yamin pada kalimat bhinneka tunggal ika itu dapat kita baca di dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (jilid II, hal. 77-81). Perubahan mendasar yang diterapkan pada kalimat itu ialah ruang lingkup yang dicakupnya. Seperti yang diuraikan di atas, di dalam kakawin Sutasoma, Mpu Tantular menggunakan ungkapan itu khusus untuk merumuskan perpadanan antara Buddha dan Siwa yang berlaku di Majapahit abad keempat-belas. Dalam pengertian baru ruang lingkupnya diperluas sehingga meliputi apa yang oleh Yamin disebut segala macam "aliran"-agama, alam pikiran, kebudayaan dan politik-yang pada waktu itu "memang banyak" terdapat di Majapahit. Maka oleh Yamin kalimat itu selengkapnya diartikan "Berbedalah itu, satulah mereka itu; dan di dalam peraturan undang-undang tidak adalah diskriminasi atau dualisme. "Kalimat filsafah itu," tulis Yamin selanjutnya "berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam negara keprabuan Majapahit di zaman emas."

    BalasHapus
  26. Ketut Intan Mayangsari Yetina10 April 2009 pukul 21.08

    Nama : Ketut Intan Mayangsari Yetina
    NIM : 2102408089
    Rombel : 3

    KAKAWIN RAMAYANA

    Kakawin Rāmâyaṇa adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali, Kakawin Ramayana ini dipercaya ditulis oleh seorang bernama Yogiswara. Hal ini ditolak oleh Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Menurutnya, Yogiswara memang tercantum pada baris terakhir Ramayana versi Jawa ini, tetapi hal itu bukan merupakan identitas penulis, tetapi kalimat penutup yang berbunnyi :

    Sang Yogiswara çista, sang sujana suddha menahira huwus matje sira

    kalimat tersebut jika diterjemahkan demikian :

    Sang Yogi (pendeta/begawan) semakin bertambah pandai, Para sujana (cendekia/bijak) semakin bersih hatinya setelah membaca cerita ini.

    Jadi jelas bahwa Yogiswara bukan merupakan nama penulis Ramayana Jawa ini.

    Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita agung yang versi awalnya digubah di India oleh Walmiki dalam bahasa Sansekerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana versi Jawa ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada Ramayana versi Walmiki, akan tetapi mengacu ini merupakan transformasi dari kitab [[Rawanawadha]] yang ditulis oleh pujangga India kuno bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan oleh Manomohan Ghosh, seorang peneliti sastra dari India yang menemukan beberapa bait Ramayana Jawa yang sama dengan bait bait dalam Rawanawadha.

    Dari segi alur cerita, Kekawin Ramayana juga memiliki perbedaan dengan Ramayana Walmiki. Pada akhir cerita, sekembalinya Rama dan Sita ke Ayodya, mereka berpisah kembali, jadi Rama dna Sita tidak hidup bersama, demikian versi Walmiki. Sedang dalam versi Jawa, Rama dan Sita hidup bersama di Ayodya.

    Ringkasan

    Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.

    Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.

    Di Ayodya Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sansekerta: pâduka) kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.
    Relief Sita yang diculik. Relief ini terdapat di Candi Prambanan, Jawa Tengah.

    Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.

    Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat masih bisa melapor kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.

    Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja kera bernama Bali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.

    Contoh teks

    Oleh para pakar dan sastrawan, kakawin Ramayana dianggap sebuah syair yang sangat indah dalam bahasa Jawa Kuna seperti sudah disinggung di atas. Di bawah disajikan beberapa cuplikan dari teks ini beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

    Kiasan


    Jawa Kuna Terjemahan
    Kadi mégha manghudanaken, Seolah-olah awan yang menghujani,
    pad.anira yar wéhaken ikang dâna, begitu persamaannya apabila memberi sumbangan,
    dînândha krepan.a ya winéh, orang hina-dina dan cacat juga diberi,
    nguni-nguni d.ang hyang d.ang âcârya. apalagi para pandita dan orang suci.

    Aliterasi


    Jawa Kuna Terjemahan
    Molah wwaining tasik ghûrnnitatara gumuruh dényangin sang Hanûmân, Air laut berombang-ambing dengan dahsyat dan bergemuruh karena angin sang Hanuman.
    kagyat sésînikang sâgara kadi ginugah nâga kolâh alâwû, Terkejutlah seluruh isi laut, seakan-akan naga dikocok dan menjerit terbangun.
    lunghâ tang bâyu madres kayu-kayu ya katûb kampitékang Mahéndra, Berlalulah angin ribut dan pohon-pohon kayu jatuh bertumbangan, seakan-akan gunung Mahendra bergetar.
    sakwéhning wânarâ nghér kaburu kabarasat sangshayé shatru shakti. Semua kera yang berdiam di sana terbirit-birit lari ketakutan seakan-akan dikejar oleh musuh yang sakti.

    Lukisan alam

    Hanuman dalam bentuk boneka wayang kulit dari Yogyakarta.

    Bhramara Wilasita

    Jawa Kuna Terjemahan
    Jahnî yâhning talaga kadi langit, Air telaga jernih bagaikan langit,
    mambang tang pâs wulan upamanikâ, Seekor kura-kura yang mengambang seolah-olah bulan,
    wintang tulya ng kusuma ya sumawur, Bintang-bintangnya adalah bunga-bunga yang tersebar,
    lumrâ pwêkang sari kadi jalada. Menyebarlah sari-sarinya, seakan-akan awan.

    Hubungan dengan teks-teks lain

    Kakawin Ramayana setelah diteliti oleh para pakar ternyata secara detail tidak mirip dengan versi-versi Ramayana di Nusantara lainnya, seperti Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, Serat Rama Keling dalam bahasa Jawa Baru dan juga relief-relief Ramayana yang terdapatkan di Candi Prambanan.

    Setelah diteliti ternyata sebagian besar kakawin Ramayana berdasarkan sebuah syair dalam bahasa Sansekerta dari India yang berjudul Rāvaṇavadha yang ditulis oleh pujangga bernama Bhaṭṭikāvya dari abad ke-6 sampai 7.

    Dalam sastra Jawa Baru, kakawin Ramayana digubah ulang oleh kyai Yasadipura menjadi Serat Rama.

    BalasHapus
  27. Atikhoh Hoeriyah Septiani
    NIM 2102408032
    Rombel 2

    Kakawin Sumanasantaka

    Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu maupun Buddha. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasan­taka berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam memimpin rakyatnya.Dalam suatu bagian panjang dari Sumanasantaka ada sebuah contoh yang paling menonjol bagaimana kepandaian dalam hal puisi dianggap sebagai suatu bakat alamiah bagi seorang pangeran. Dalam syair ini seperti juga dalam Raghuvamsa, karangan Kalidasa yang menyajikan kisah yang sama, swayambara (pengantin putri memilih calon suaminya) yang diadakan oleh Indumati menduduki tempat sentral. Sesudah semua raja dan pangeran yang akan ikutdalam swayambara duduk dalam sebuah lingkaran besar, sang putri masuk dan memulai rondenya; ia didampingi oleh seorang dayang-dayang dan teman terpercaya, Sunanda. Satu demi satu ia tatap muka dengan para pangeran sedangkan Sunanda menerangkan kepadanya siapakah mereka itu masing-masing sambil menyebut dan memuji sifat-sifatnya; demikianlah Sunanda berusaha meyakinkan Indumati, bahwa pangeran itulah seorang jodoh yang sangat cocok. Tetapi segala usahanya sia-sia belaka. Hati sang putri telah direbut oleh pangeran yang urutannya paling belakang; ia tidak terpengaruh dan meneruskan pemeriksaannya ; para pelamar yang gagal ditinggalkannya dalam keadaan bingung dan goncang karena cinta mereka tidak ditanggapi. Sampai disini syair India dan Jawa berjalan paralel, tetapi yang tidak disebutdalam versi India,ialah reaksi khas para pelamar yang ditolak.Raja Angga mencoba mencari pelipur laradalam sebuah palambang terdiri atas dua baityang ditulisnya pada pegangan takhtanya. Di sampingnya Raja Awanti menyatakan cintanya kepada sang putri dengan menunujukan "cintanya terhadap papan tulis dan kepandaiannya dalam menggerakan tanah yang lancip".Ia dapat mengungkapkan cintanyadalam syair-syair yang demikian sempurna, sehingga sesuai dengan sebuah lambang. Tetapi ketika dia pun ditolak, ia menyatakan rasa putus asanya dalam sebuah bhasayang mengharukan, itu ditulisnya pada sarung kerisnya. Raja Patripa yang telah menyapa sang putri dengan kata-kata yang bunyinya "seolah-olah diambil dari sebuah bhasa dan palambang", mencatat tiga bait dari sebuah kakawin di atas sebuah pudak, sekedar untuk menyalurkan rasa malunya ketika sang putri lewat tanpa bergerak sedikitpun. Demikianlah para raja gugur satu demi satu, sampai sang outri beserta temannyabertatap muka dengan pangeran Aja; ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk membuktikan kepandaiannyasebagai seorang penyair,sekalipun dalam bidang ini ia tidak kalah dengan para pelamar lainnya. Indumati meletakkan kalung bunga pada leher sang pangeransebagai tanda bahwa dialah yang dipilihnya. Lalu untuk saat itu semua kakawin bungkam.( Di kutip dari Kalangwan sastra jawa kuno selayang pandang karangan P.J Zoetmulder )

    BalasHapus
  28. nama : ragil margi rahayu
    nim : 2102408069
    rombel : 3

    Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa

    1. Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi.

    Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir abad ke-8 Masehi.
    2. Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.
    Kitab ini isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.
    3. Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan.

    Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu) Siwa.

    Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana (caturasrama) dan lain-lain.
    4. Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta.

    Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke sorga atau jatuh ke neraka.
    5. Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan. Kitab Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh.
    Isi

    * Cerita Rahwana
    o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau Rawana
    o Cerita Serat Arjunasasrabahu

    * Cerita Dewi Sita
    o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi Rama
    o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
    o "Kematian" Sita
    6. Adiparwa (Sansekerta आदिपर्व)adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata.
    7. Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.
    8. Wirataparwa, 996 menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun setelah mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan di Wanaparwa.

    Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di sana sang Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Sang Werkodara menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu sang Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi. Sang Nakula menjadi seorang penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala sapi. Lalu Dewi Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.

    Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka ketahuan.

    Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari negeri Astina. Para Pandawa berperang melawan mereka, membela Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan. Tetapi mereka sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.
    9. Udyogaparwa >>Dalam Udyogaparwa, buku kelima Mahabharata ini sang Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil dan akhirnya akan menjadi perang Bharatayuddha.
    10. Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini mengandung kitab Bhagawad Gita
    11. Asramawasanaparwa adalah nama dalam bahasa Jawa kuna untuk menyebut kitab Asramawasikaparwa. Dalam naskah-naskah manuskrip Jawa, buku ini biasanya digabung dengan Mosalaparwa, Prasthanikaparwa dan Swargarohanaparwa menjadi Caturasramawasaparwa.
    12. Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata
    13. Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas
    14. Swargarohanaparwa buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke sorga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi.

    Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

    Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa
    15. Kunjarakarna adalah sebuah teks prosa Jawa Kuna yang menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.

    BalasHapus
  29. nama : nurul khafifah
    nim : 2102408115
    rombel : 4


    Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)

    1. Kakawin Tertua Jawa, 856
    2. Kakawin Ramayana ~ 870 (aksara Bali: , Jawa: ) adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana.
    3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030 (aksara Bali: ; Jawa: ) adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur.
    4. Kakawin Kresnayana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna yang menceritakan pernikahan prabu Kresna dan penculikan calonnya yaitu Rukmini
    5. Kakawin Sumanasantaka
    6. Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya
    7. Kakawin Bhomakawya atau juga disebut sebagai Kakawin Bhomakawya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna.
    Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuna, panjangnya mencapai 1.492 bait.
    8. Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157 (aksara Bali: , Jawa: ) di antara karya-karya sastra Jawa Kuna, adalah yang paling termasyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
    9. Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
    10. Kakawin Gatotkacasraya
    11. Kakawin Wrettasañcaya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya ialah pelajaran mengenai metrum kakawin. Pada kakawin ini diberikan contoh tidak kurang dari 94 macam metrum kakawin dan mengandung secara total 112 bait kakawin. Pelajaran ini diikat sedemikian rupa berbentuk cerita yang cukup menarik meski agak berkesan artifisial.
    12. Kakawin Wrettayana
    13. Kakawin Brahmandapurana
    14. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun" Kakawin Kuñjarakarna Dharmakathana adalah gubahan dalam bentuk syair (kakawin) dari karya sastra prosa; Kuñjarakarna.
    15. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365 (Nāgarakṛtâgama) (aksara Bali: ) atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana (Deśawarṇana) (aksara Bali: ) bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuna yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.
    16. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
    17. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).
    Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.
    18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka adalah sebuah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
    19. Kakawin Parthayajna adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini menceritakan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, mirip seperti dalam Kakawin Arjunawiwâha. Namun ceritanya dalam kakawin ini lebih bersifat falsafi dan sangat sulit dipahami. Kakawin yang sulit ini belum diterbitkan.
    20. Kakawin Nitisastra yang tak dikenal penggubahnya ini, merupakan kakawin moralistis-didaktis. Kakawin ini jaman dahulu sangat termasyhur di pulau Jawa dan sekarangpun masih di Bali. Pada abad ke-18 M ada versi dalam Bahasa Jawa Baru, digubah dengan judul Serat Panitisastra.
    Di India kuna, kitab-kitab Niti-Sastra adalah kitab-kitab yang mengandung kebijaksanaan hidup dan pelajaran secara umum. Nama ini dengan kata lain adalah nama umum atau generik. Dalam bahasa Jawa kuna, pengertiannya juga mirip. Jika seseorang membicarakan Niti-Sastra, belum tentu merujuk pada kakawin ini.
    Poerbatjaraka menunjukkan bahwa kakawin ini ternyata terjemahan daripada seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta. Menurut beliau, kakawin ini digubah pada abad ke-15.
    21. Kakawin Nirarthaprakreta
    22. Kakawin Dharmasunya merupakan sebuah kakawin didaktis dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin itu diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke 15 Masehi.
    23. Kakawin Harisraya
    24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung Kakawin pendek Banawa Sĕkar (Bahtera Bunga) adalah karangan mpu Tanakung.

    Kakawin ini melukiskan: "upacara pesta srāddha yang diadakan oleh Jīwanendrādhipa 'maharaja Jīwana', khususnya persembahan-persembahan yang dihaturkan oleh berbagai raja: śrī nātheng Kŗtabhūmi, naranātha ring Mataram, sang nŗpati Pamotan, śrī parameśwareng Lasĕm, dan naranātha ring Kahuripan.

    Persembahan-persembahan itu berbentuk indah aneka warna dan bergaya seni serta berupa ilustrasi mengenai gita dan kidung yang digubah oleh raja-raja sendiri.

    Rupanya sajak-sajak itu dipersembahkan pada waktu yang sama, tertulis di atas karas (papan tulis) atau daun-daun lontar.

    Persembahan yang paling indah ialah persembahan yang dibawa oleh raja yang menghaturkan sraddha berbentuk sebuah perahu yang dibuat dari bunga-bunga.

    Upacara sraddha ialah upacara untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal.

    BalasHapus
  30. Latifah Nur Hasanah14 April 2009 pukul 17.07

    Nama :Latifah Nur Hasanah
    NIM :2102408125
    Rombel :4



    == Karya –karya Sastra kuno Zaman Kerajaan Kadiri.

    Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 ''[[Kakawin Bharatayuddha] ]'' ditulis oleh [[Mpu Sedah]] dan diselesaikan [[Mpu Panuluh]]. Kitab ini bersumber dari [[Mahabharata] ] yang berisi kemenangan [[Pandawa]] atas [[Korawa]], sebagai kiasan kemenangan peperangan [[Sri Jayabhaya]] atas kerajaan saudaranya, [[Janggala]] .

    Selain itu, [[Mpu Panuluh]] juga menulis ''[[Kakawin Hariwangsa]] '' dan ''[[Ghatotkachasray a]]''.

    Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan [[Sri Kameswara]] bernama [[Mpu Dharmaja]] yang menulis ''[[Kakawin Smaradahana] ]''.

    Kemudian pada zaman pemerintahan [[Kertajaya] ] terdapat pujangga bernama [[Mpu Monaguna]] yang menulis ''[[Sumanasantaka] ]''
    dan [[Mpu Triguna]] yang menulis ''[[Kresnayana] ]''.

    MAHABHARATA DAN BHARATAYUDHA

    Ilustrasi pada sebuah naskah bersungging mengenai perang Bharatayuddha di Kurusetra.
    Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
    Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
    Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha ( Kediri ) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri .
    Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri , dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
    Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
    Dalam dunia sastera popular Indonesia , cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.

    2. Versi-versi Mahabharata
    Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua. == Karya –karya Sastra kuno Zaman Kerajaan Kadiri ==


    Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 ''[[Kakawin Bharatayuddha] ]'' ditulis oleh [[Mpu Sedah]] dan diselesaikan [[Mpu Panuluh]]. Kitab ini bersumber dari [[Mahabharata] ] yang berisi kemenangan [[Pandawa]] atas [[Korawa]], sebagai kiasan kemenangan peperangan [[Sri Jayabhaya]] atas kerajaan saudaranya, [[Janggala]] .

    Selain itu, [[Mpu Panuluh]] juga menulis ''[[Kakawin Hariwangsa]] '' dan ''[[Ghatotkachasray a]]''.

    Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan [[Sri Kameswara]] bernama [[Mpu Dharmaja]] yang menulis ''[[Kakawin Smaradahana] ]''.

    Kemudian pada zaman pemerintahan [[Kertajaya] ] terdapat pujangga bernama [[Mpu Monaguna]] yang menulis ''[[Sumanasantaka] ]''
    dan [[Mpu Triguna]] yang menulis ''[[Kresnayana] ]''.

    MAHABHARATA DAN BHARATAYUDHA

    Ilustrasi pada sebuah naskah bersungging mengenai perang Bharatayuddha di Kurusetra.
    Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
    Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
    Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha ( Kediri ) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri .
    Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri , dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
    Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
    Dalam dunia sastera popular Indonesia , cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.

    2. Versi-versi Mahabharata
    Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.

    BalasHapus
  31. Latifah Nur Hasanah14 April 2009 pukul 17.21

    Nama :Latifah Nur Hasanah
    NIM :2102408125
    Rombel :4



    == Karya –karya Sastra kuno Zaman Kerajaan Kadiri.

    Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 ''[[Kakawin Bharatayuddha] ]'' ditulis oleh [[Mpu Sedah]] dan diselesaikan [[Mpu Panuluh]]. Kitab ini bersumber dari [[Mahabharata] ] yang berisi kemenangan [[Pandawa]] atas [[Korawa]], sebagai kiasan kemenangan peperangan [[Sri Jayabhaya]] atas kerajaan saudaranya, [[Janggala]] .

    Selain itu, [[Mpu Panuluh]] juga menulis ''[[Kakawin Hariwangsa]] '' dan ''[[Ghatotkachasray a]]''.

    Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan [[Sri Kameswara]] bernama [[Mpu Dharmaja]] yang menulis ''[[Kakawin Smaradahana] ]''.

    Kemudian pada zaman pemerintahan [[Kertajaya] ] terdapat pujangga bernama [[Mpu Monaguna]] yang menulis ''[[Sumanasantaka] ]''
    dan [[Mpu Triguna]] yang menulis ''[[Kresnayana] ]''.

    MAHABHARATA DAN BHARATAYUDHA

    Ilustrasi pada sebuah naskah bersungging mengenai perang Bharatayuddha di Kurusetra.
    Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
    Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
    Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha ( Kediri ) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri .
    Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri , dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
    Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
    Dalam dunia sastera popular Indonesia , cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.

    2. Versi-versi Mahabharata
    Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua. == Karya –karya Sastra kuno Zaman Kerajaan Kadiri ==


    Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 ''[[Kakawin Bharatayuddha] ]'' ditulis oleh [[Mpu Sedah]] dan diselesaikan [[Mpu Panuluh]]. Kitab ini bersumber dari [[Mahabharata] ] yang berisi kemenangan [[Pandawa]] atas [[Korawa]], sebagai kiasan kemenangan peperangan [[Sri Jayabhaya]] atas kerajaan saudaranya, [[Janggala]] .

    Selain itu, [[Mpu Panuluh]] juga menulis ''[[Kakawin Hariwangsa]] '' dan ''[[Ghatotkachasray a]]''.

    Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan [[Sri Kameswara]] bernama [[Mpu Dharmaja]] yang menulis ''[[Kakawin Smaradahana] ]''.

    Kemudian pada zaman pemerintahan [[Kertajaya] ] terdapat pujangga bernama [[Mpu Monaguna]] yang menulis ''[[Sumanasantaka] ]''
    dan [[Mpu Triguna]] yang menulis ''[[Kresnayana] ]''.

    MAHABHARATA DAN BHARATAYUDHA

    Ilustrasi pada sebuah naskah bersungging mengenai perang Bharatayuddha di Kurusetra.
    Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
    Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
    Karya sastra lain yang juga terkenal adalah kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha ( Kediri ) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin Hariwangśa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri .
    Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri , dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.
    Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18.
    Dalam dunia sastera popular Indonesia , cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih.

    2. Versi-versi Mahabharata
    Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan". Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.

    BalasHapus
  32. Rizki Norfitriana15 April 2009 pukul 05.08

    Nama : Rizki Norfitriana
    NIM : 2102408059
    Rombel: 2

    Swargarohanaparwa

    Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenarnya, yaitu Dewa Dharma.Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke sorga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi.

    Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

    Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa

    BalasHapus
  33. DEBIY ERYANA MAHARDHIKA23 April 2009 pukul 03.44

    NAMA : DEBIY ERYANA MAHARDHIKA
    NIM : 2102408048
    ROMBEL : 03

    KAKAWIN SUTASOMA

    Kakawin Sutasoma punika salah satunggaling kakawin ingkang mboten namung misuwur, nanging uga wigati dipuntepangi. Awit sepalih pada saking kakawin punika dados motto nasional Républik Indonésia: Bhinneka Tunggal Ika (Pupuh 139.5).
    Motto Indonésia punika mboten tanpa alesan dipunpendhet saking serat kakawin puniki. Serat puniki nyukani piwulang saé prekawis toleransi antar agami, utaminipun antar agami Hindu-Siwah saha Buddha.
    Kakawin punika dipunripta déning mpu Tantular.



    Isi
    Sang hyang Buddha nitis dhateng putranipun prabu Mahakétu, ratu ing Ngastina, nama radèn Sutasoma. Sang radèn, sareng sampun ageng, ngibadah sanget, remen dhateng agami Buddha (Mahâyana). Badhé dipunkramakaken saha dipunjumenengaken ratu, mboten karsa.
    Ing wanci dalu sang radèn lolos saking nagari.: konten-konten ingkang dipunkancingi, sami menga piyambak-piyambak kanggé langkung sang radèn. Sareng lolosipun sang radèn kasumerepan, ing kedhaton gègèr, sang prabu saha sang paramèswari sami susah, dipunrarapu ing akathah.
    Dumugi ing wana sang radèn mumuja wonten salebeting candhi; bathari Widyutkarali rawuh, pratéla bilih sembahyangipun sang radèn sampun katarimah. Ing salajengipun sang radèn minggah ing redi Himalaya, kadèrèkaken para pandhita sawatawis. Dumugi satunggaling patapan, sang radèn dipunaturi uninga yèn wonten ratu, titising ratu danawa, damelipun nedha tiyang, nama prabu Porusada utawi Kalmasapada. Cariyosipun ratu punika makaten: ing satunggaling wekdal, ulam sadhiyan badhé dhaharipun sang prabu, ical dipuntedha ing segawon saha babi. Juru masak bingung, kesesa pados ulam kanggé lintunipun, mboten angsal, lajeng dhateng pasaréyan ngiris ulam pupuning tiyang pejah ingkang taksih énggalan, lajeng dipunmasak. Sang prabu dhahar kraos éca sanget, labet titising danawa wau; ndangu dhateng juru masak, ulam punapa ingkang dipunaturaken punika wau. Aturipun juru masak, ulam tiyang, sabab pun juru masak dipunagar-agari badhé kapejahan yèn mboten matur saleresipun. Sang prabu tuman dhahar ulam tiyang; tiyang ing nagari telas, saking sampun sami dipundhahar utawi ngungsi késah dhateng sanès nagari. Sang prabu lajeng ndilalah gerah tatu sukunipun, mboten saged mantun; malah lajeng dados danawa, dudunung wonten ing wana dados pangagening wana.
    Ing satunggaling wekdal sang prabu kaul, bilih saged mantun gerahipun, badhé nyaosi dhahar dhateng bathara Kala, ratu satus.
    Sang Sutasoma dipunaturi déning para pandhita supados mejahi sang ratu punika, nanging mboten karsa. Bathari Pretiwi medal saking dhasaring siti, tumut ngaturi sang radèn supados mejahi sang Kalmasa-pada, nanging sang radèn meksa mboten kersa. Malah anglajengaken tindakipun badhé tapa.
    Wonten ing margi kepanggih danawa asirah gajah anama Gajamukha, damelipun ugi nedha tiyang. Sang radèn badhé dipuntedha; sareng kagelut, danawa dhumawah ing ngandhap, ketindhihan sang radèn, awratipun kados katindhihan ing redi. Danawa sirah gajah kawon, lajeng dipunwulang agami Buddha; mboten kénging amemejahi; danawa sirah gajah miturut lajeng dados siswa. Salebetipun anglajengaken lampah, kepanggih naga, ingkang badhé ngancap dhateng sang radèn. Danawa sirah gajah ngadhangaken badanipun, kapulet ing naga; sareng sampun, naga lajeng ngalumpruk dhawah ing siti, sebab kénging prabawanipun sang radèn. Sang naga inggih lajeng dados siswa. Dumugi satunggaling jurang sang radèn kepanggih sima èstri badhé nedha anakipun. Sang radèn ngendhak kajengipun; sima-biyung wangsulanipun, luwé sanget sampun mboten saged angsal kidang menjangan, amila badhé nedha anakipun piyambak. Sang radèn lajeng ngandika: "Aku waé panganen, anakmu mesakaké". Sima èstri lajeng anggemprong sang radèn katubruk, dipuncakot jajanipun, kasesep rahipun, kraos mak cles kados ngombé toya panggesangan, wasana pun sima èstri kéngetan dhateng pandamelipun awon, manahipun getun sanget, nangis wonten daganing layonipun sang radèn, naming badhé sumedya pejah thok.
    Bathara Indra rawuh, sang radèn dipungesangaken malih. Sang radèn nutuh dhateng bathara Indra déné sampun sekéca teka dipungesangaken malih. Wangsulanipun bathara Indra, yèn sang radèn mboten sugeng malih, mangka pun sima èstri kalajeng pejah, punika anggènipun sang radèn welas mitulingi dhateng anak sima wau mboten wonten tegesipun, awit sima alit inggih mboten wandé pejah dipuntilar biyungipun, mboten wonten ingkang nusoni. Bathara Indra muksa, sang radèn lajeng paring piwulang.
    Ing sasampunipun punika sang radèn lajeng tapa piyambak wonten ing guwa, kagodha (pangaruh saking Kakawin Arjunawiwaha), mboten kéngguh bathara Indra tindak piyambak mindha-mindha putri ayu, meksa mboten kèngguh, malah sang radèn badhar dados bathara Buddha Wairocana. Para déwa nyungga-nyungga. Sareng sampun arupa sang Sutasoma malih, lajeng kondur.
    Sang prabu Dasabahu, nak-sanakipun sang radèn, perang kaliyan danawa balanipun prabu Kalmasapada. Danawa kawon lumajeng ngungsi dhateng sang radèn. Prabu Dasabahu nututi, ngancap dhateng dhateng sang radèn, wasana uninga bilih nak-sanakipun piyambak, lajeng dipunjak kondur dhateng nagarinipun sang Dasabahu kapendhet ipé. Bibar temu sang radèn kondur dhateng nagari Ngastina; sareng sampun kagungan putra sang radèn lajeng kajumenengaken ratu nama prabu Sutasoma. Kocapa, sang prabu Porusada (Kalmasapada), anggènipun pados ratu satus sampun angsal 99 sami dipunpenjara. Namung kirang satunggal; sang Kalmasapada nglurug dhateng Ngalengka, nanging ratunipun mboten kacepeng awit séda wonten ing paprangan.
    Prabu Porusada lajeng mindha-mindha pandhita, ngemis dhateng ratu Widarba (nyèngkok nalika sang Dasamuka mindha-mindha pandhita badhé ambradhat déwi Sita saking Kakawin Ramayana). Ratu Widarba kènging kapikut. Sareng sampun jangkep satus, para ratu lajeng dipuncaosaken dhateng bathara Kala, nanging sang bathara mboten karsa dhahar sabab, kirang miraos; kepéngin dhahar ratu Ngastina, prabu Sutasoma. Sang Purusada nglurug dhateng Ngastina; para putranipun ratu ingkang sami ngungsi dhateng Ngastina, sami prang kaliyan balanipun prabu Porusada. Wasana sang Sutasoma prang tandhing kaliyan sang Porusada. Dangu-dangu, rèhné naming dipuntandhingi sabar, ratu Ngastina kènging kabekta dhateng ngarsanipun bathara Kala. Sareng badhé dipundhahar, aturipun sandika, anggeripun para ratu 100 sanèsipun sami dipunluwari. Mireng ingkang makaten punika, bathara Kala rena sanget panggalihipun; sang Porusada trenyuh manahipun déning lila-legawanipun prabu Sutasoma, lajeng tobat, mantun nedha ulam tiyang, tur para ratu ingkang 100 sami dipunluwari sadaya.
    Bathara Kala saha Porusada lajeng dados siswa sang Sutasoma. Kakalihipun agesang ing wana kados wiku. Déning sang Sutasoma kakalihipun lajeng dipunajari dharma saha yoga. Bathara Kala dipuntinggal awit kedah tobat. Para sadaya wangsul ing Ngastina. Ing riku para titiyang ingkang pejah dipun-gesangi malih déning bathara Indra. Satunggaling pésta dipunwontenaken. Purusada mboten wangsul dhateng Ratnakanda nanging késah dhateng redi Mandara kaliyan para danawa sanèsipun badhé mbangun tapa.
    Ingkang donya dados aman, tentrem, lan reja malih. Sasampunipun pinten wekdal sang Sutasoma kaliyan garwanipun séda wangsul dhateng ing swarga sang Jina (Buddha). Ing riku sang Porusada uga angsal ganjaran anggènipun mbangun tapa. Bathara Kala dados Pasupati. Putranipun prabu Sutasoma, Ardhana dipunjumenengaken dados ratu Ngastina.
    Pangripta
    Serat Sutasoma punika ugi kadamel kala salebeting jumenengipun prabu Hayam Wuruk ing Majapait. Kaliyan kakawin Nagarakretagama inggih sepuh kakawin Nagarakretagama.
    Menggah babonipun serat Sutasoma punika wonten ing tanah Indhia misuwur sanget. Ing salebeting Ramayana saha Mahabharata inggih wonten cariyos punika. Makaten ugi ing salebeting kapustakan agami Buddha ing kapustakan jataka mawi basa Sangaskreta utawi basa Pali. Sang hyang Buddha nitis dhateng putranipun prabu Mahakétu, ratu ing Ngastina, nama radèn Sutasoma. Sang radèn, sareng sampun ageng, ngibadah sanget, remen dhateng agami Buddha (Mahâyana). Badhé dipunkramakaken saha dipunjumenengaken ratu, mboten karsa.
    Ing wanci dalu sang radèn lolos saking nagari.: konten-konten ingkang dipunkancingi, sami menga piyambak-piyambak kanggé langkung sang radèn. Sareng lolosipun sang radèn kasumerepan, ing kedhaton gègèr, sang prabu saha sang paramèswari sami susah, dipunrarapu ing akathah.
    Dumugi ing wana sang radèn mumuja wonten salebeting candhi; bathari Widyutkarali rawuh, pratéla bilih sembahyangipun sang radèn sampun katarimah. Ing salajengipun sang radèn minggah ing redi Himalaya, kadèrèkaken para pandhita sawatawis. Dumugi satunggaling patapan, sang radèn dipunaturi uninga yèn wonten ratu, titising ratu danawa, damelipun nedha tiyang, nama prabu Porusada utawi Kalmasapada. Cariyosipun ratu punika makaten: ing satunggaling wekdal, ulam sadhiyan badhé dhaharipun sang prabu, ical dipuntedha ing segawon saha babi. Juru masak bingung, kesesa pados ulam kanggé lintunipun, mboten angsal, lajeng dhateng pasaréyan ngiris ulam pupuning tiyang pejah ingkang taksih énggalan, lajeng dipunmasak. Sang prabu dhahar kraos éca sanget, labet titising danawa wau; ndangu dhateng juru masak, ulam punapa ingkang dipunaturaken punika wau. Aturipun juru masak, ulam tiyang, sabab pun juru masak dipunagar-agari badhé kapejahan yèn mboten matur saleresipun. Sang prabu tuman dhahar ulam tiyang; tiyang ing nagari telas, saking sampun sami dipundhahar utawi ngungsi késah dhateng sanès nagari. Sang prabu lajeng ndilalah gerah tatu sukunipun, mboten saged mantun; malah lajeng dados danawa, dudunung wonten ing wana dados pangagening wana.
    Ing satunggaling wekdal sang prabu kaul, bilih saged mantun gerahipun, badhé nyaosi dhahar dhateng bathara Kala, ratu satus.
    Sang Sutasoma dipunaturi déning para pandhita supados mejahi sang ratu punika, nanging mboten karsa. Bathari Pretiwi medal saking dhasaring siti, tumut ngaturi sang radèn supados mejahi sang Kalmasa-pada, nanging sang radèn meksa mboten kersa. Malah anglajengaken tindakipun badhé tapa.
    Wonten ing margi kepanggih danawa asirah gajah anama Gajamukha, damelipun ugi nedha tiyang. Sang radèn badhé dipuntedha; sareng kagelut, danawa dhumawah ing ngandhap, ketindhihan sang radèn, awratipun kados katindhihan ing redi. Danawa sirah gajah kawon, lajeng dipunwulang agami Buddha; mboten kénging amemejahi; danawa sirah gajah miturut lajeng dados siswa. Salebetipun anglajengaken lampah, kepanggih naga, ingkang badhé ngancap dhateng sang radèn. Danawa sirah gajah ngadhangaken badanipun, kapulet ing naga; sareng sampun, naga lajeng ngalumpruk dhawah ing siti, sebab kénging prabawanipun sang radèn. Sang naga inggih lajeng dados siswa. Dumugi satunggaling jurang sang radèn kepanggih sima èstri badhé nedha anakipun. Sang radèn ngendhak kajengipun; sima-biyung wangsulanipun, luwé sanget sampun mboten saged angsal kidang menjangan, amila badhé nedha anakipun piyambak. Sang radèn lajeng ngandika: "Aku waé panganen, anakmu mesakaké". Sima èstri lajeng anggemprong sang radèn katubruk, dipuncakot jajanipun, kasesep rahipun, kraos mak cles kados ngombé toya panggesangan, wasana pun sima èstri kéngetan dhateng pandamelipun awon, manahipun getun sanget, nangis wonten daganing layonipun sang radèn, naming badhé sumedya pejah thok.
    Bathara Indra rawuh, sang radèn dipungesangaken malih. Sang radèn nutuh dhateng bathara Indra déné sampun sekéca teka dipungesangaken malih. Wangsulanipun bathara Indra, yèn sang radèn mboten sugeng malih, mangka pun sima èstri kalajeng pejah, punika anggènipun sang radèn welas mitulingi dhateng anak sima wau mboten wonten tegesipun, awit sima alit inggih mboten wandé pejah dipuntilar biyungipun, mboten wonten ingkang nusoni. Bathara Indra muksa, sang radèn lajeng paring piwulang.
    Ing sasampunipun punika sang radèn lajeng tapa piyambak wonten ing guwa, kagodha (pangaruh saking Kakawin Arjunawiwaha), mboten kéngguh bathara Indra tindak piyambak mindha-mindha putri ayu, meksa mboten kèngguh, malah sang radèn badhar dados bathara Buddha Wairocana. Para déwa nyungga-nyungga. Sareng sampun arupa sang Sutasoma malih, lajeng kondur.
    Sang prabu Dasabahu, nak-sanakipun sang radèn, perang kaliyan danawa balanipun prabu Kalmasapada. Danawa kawon lumajeng ngungsi dhateng sang radèn. Prabu Dasabahu nututi, ngancap dhateng dhateng sang radèn, wasana uninga bilih nak-sanakipun piyambak, lajeng dipunjak kondur dhateng nagarinipun sang Dasabahu kapendhet ipé. Bibar temu sang radèn kondur dhateng nagari Ngastina; sareng sampun kagungan putra sang radèn lajeng kajumenengaken ratu nama prabu Sutasoma. Kocapa, sang prabu Porusada (Kalmasapada), anggènipun pados ratu satus sampun angsal 99 sami dipunpenjara. Namung kirang satunggal; sang Kalmasapada nglurug dhateng Ngalengka, nanging ratunipun mboten kacepeng awit séda wonten ing paprangan.
    Prabu Porusada lajeng mindha-mindha pandhita, ngemis dhateng ratu Widarba (nyèngkok nalika sang Dasamuka mindha-mindha pandhita badhé ambradhat déwi Sita saking Kakawin Ramayana). Ratu Widarba kènging kapikut. Sareng sampun jangkep satus, para ratu lajeng dipuncaosaken dhateng bathara Kala, nanging sang bathara mboten karsa dhahar sabab, kirang miraos; kepéngin dhahar ratu Ngastina, prabu Sutasoma. Sang Purusada nglurug dhateng Ngastina; para putranipun ratu ingkang sami ngungsi dhateng Ngastina, sami prang kaliyan balanipun prabu Porusada. Wasana sang Sutasoma prang tandhing kaliyan sang Porusada. Dangu-dangu, rèhné naming dipuntandhingi sabar, ratu Ngastina kènging kabekta dhateng ngarsanipun bathara Kala. Sareng badhé dipundhahar, aturipun sandika, anggeripun para ratu 100 sanèsipun sami dipunluwari. Mireng ingkang makaten punika, bathara Kala rena sanget panggalihipun; sang Porusada trenyuh manahipun déning lila-legawanipun prabu Sutasoma, lajeng tobat, mantun nedha ulam tiyang, tur para ratu ingkang 100 sami dipunluwari sadaya.
    Bathara Kala saha Porusada lajeng dados siswa sang Sutasoma. Kakalihipun agesang ing wana kados wiku. Déning sang Sutasoma kakalihipun lajeng dipunajari dharma saha yoga. Bathara Kala dipuntinggal awit kedah tobat. Para sadaya wangsul ing Ngastina. Ing riku para titiyang ingkang pejah dipun-gesangi malih déning bathara Indra. Satunggaling pésta dipunwontenaken. Purusada mboten wangsul dhateng Ratnakanda nanging késah dhateng redi Mandara kaliyan para danawa sanèsipun badhé mbangun tapa.
    Ingkang donya dados aman, tentrem, lan reja malih. Sasampunipun pinten wekdal sang Sutasoma kaliyan garwanipun séda wangsul dhateng ing swarga sang Jina (Buddha). Ing riku sang Porusada uga angsal ganjaran anggènipun mbangun tapa. Bathara Kala dados Pasupati. Putranipun prabu Sutasoma, Ardhana dipunjumenengaken dados ratu Ngastina.
    Popularitas kakawin Sutasoma
    Ing pulo Bali, ing pinten-pinten kalangan, kakawin puniki ngantos sapunika taksih populèr sanget. Prekawis punika mbokbilih déning sifat dhidhaktisipun. Prekawis piwulang mistik ingkang dipunajaraken déning sang Sutasoma ing para siswa ingkang dipunwor kaliyan lukisan gesang manifèstasi sang Buddha ing donya, serta usahanipun kanggé nylametaken umat manungsa singgih saé sanget.
    Pethikan saking kakawin
    Ing ngandhap punika dipunaturaken pinten-pinten pethikan saking kakawin saha jarwanipun ing basa Jawi ngoko menawi saged. Ingkang dipunaturaken inggih manggalanipun, panutup saha satunggaling pethikan ingkang wigati.
    Manggala
    Ing Kakawin Sutasoma wonten manggalanipun. Manggala puniki mamuja Sri Bajrajñana ingkang intisarinipun punika kasunyatan. Menawi panjenengipun nedahaken sliranipun, mila medal sang semèdi sang Boddhicitta lan mungguh ing galih. Sasampunipun pinten-pinten yuga ing pundi Bathara Brahma, Wisnu kaliyan Siwah ngreksa ingkang dharma, inggih sapunika wonten ing Kaliyuga, sang Buddha mandhap kagem nyirnakaken kuwasa ala.
    1. 1 a. Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçes.a 1 b. lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka 1 c. ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a 1 d. sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta
    2 a. Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhat.âra 2 b. Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa 2 c. Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi 2 d. Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa
    3 a. Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi 3 b. Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan 3 c. Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra 3 d. Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha
    4 a. Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya 4 b. Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraks.a 4 c. Tan lèn hyang Brahma Wis.n.wîçwara sira matemah bhûpati martyaloka 4 d. Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha
    Sri Bajrajñana, titisaning Kasunyatan iku sing paling utama ing donya Tentrem, murni lan teguh ing ati digdaya kadi kahyangan sing agung Panjenengané iku titisaning Pangayom tunggal sing paring urip ing tri buwana – bumi, langit lan swarga – sarwa kabèh wujud lan rupa. Prasasat sunaring wulan lan srengéngé sifaté ing metuné saka ing idhepé wong sing wis sadar.
    Pancèn yèn sang rajané yogi unggul pungkasané sing manunggal lan sang Bathara. Pawujudaning sarwa ngèlmu kasunyatan, kasar utawa alus, lan ingucap ing puja sembahyang sing kusyuk. Cekaké iku golèkana lan bongkarana ing ati dhèwèké sing tekun ing yoga lan semèdi. Pancèn kaya wong sing nandhang brangta mangrasa riwa-riwané kamurnèn Sing Rupané Tan Bisa Inidhep.
    Mengkana yaiku katentreman sing dituju déning sang dituruti wong wis sida ing ngèlmu kayogan. Pujanen mawa ngèlmu murni lan bekti linuwih sarananing angiket sekar éndah. Mustakil aku bisa suksèsa ancoba manggurit kakawin, amarga aku ora weruh ing pranataning sastra. Nanging, kisinan lan bingung aku déning pikiran sang pujangga linuwih ing negara.
    Purwané prastawa parwaracana sing digelar saka kawya sang Buddha. Mbiyèn ing dwapara-, treta- lan kretayuga panjenengané kabèh titisaning sarwa darma. Ora liya sang hyang Brahma, Wisnu lan Siwah. Kabèh dadi ratu ing donyaning wong. Saiki wis teka ing Kaliyuga, Sri Jinapati medhun ing kéné amatèni ing kala murka.
    Bhinnéka Tunggal Ika
    Kutipan puniki saking pupuh 139, pada 5. Pada punika jangkepipun kados mekaten:
    Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
    Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
    Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
    Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
    Jarwanipun:
    Tiyang sanjang menawi Buddha kaliyan Siwah punika kalih dat ingkang bènten.
    Panci bènten, ananging kados pundi ta saged dipun-mangertèni?
    Awit kaleresan Jina (Buddha) kaliyan Siwah punika tunggal
    Ajur-pecah punika, anging ugi tunggal. Mboten saged darma kaleresan punika kalih.

    BalasHapus
  34. ahmad faizal burhan23 April 2009 pukul 03.57

    NAMA : AHMAD FAIZAL BURHAN
    NIM : 2102408013
    ROMBEL : 01

    KAKAWIN GATOTKACA SRAYA


    Kakawin Ghaṭotkacâśraya utawi Kakawin Gathotkacasraya punika satunggaling kakawin ing basa Jawi Kina. Kakawin puniki dipunserat ing abad kaping 12 Masèhi déning mpu Panuluh nalika jumenengipun prabu Jayakreta ing Kedhiri. Kakawin puniki nyariyosaken lelampahipun radèn Abimanyu lan dhaupipun kaliyan Siti Sundari nalika para Pandhawa dipunbucal ing wana 12 taun. Kakawin puniki amot 50 pupuh.



    Isi
    Kakawin Gathotkacâsraya dipunwiwiti déning satunggaling manggala ingkang katur kagem dèwa Késawa saha prabu Jayakreta ingkang kaanggep titisanipun bathara Wisnu.
    Lajeng kakawin puniki anyariyosaken[1] nalika para Pandhawa nglampahi padhendhan ukuman bucalan 12 taun. Kala semanten sang Abimayu tinitipaken wonten ing Dwarawati. Piyambakipun saged ngèngèr saha bekti sanget dhateng ing uwanipun, prabu Kresna. Sang prabu inggih tresna marang piyambakipun.
    Malah saupami sang Abimanyu dhaupa kaliyan déwi Siti Sundari, prabu Kresna inggih rena kémawon. Ananging déwi Siti Sundari sampun kelajeng kapacangaken kaliyan radèn Laksana-Kumara, putra ing Ngastina. Déné sang Abimanyu pancèn inggih mempeng dhateng sang Siti Sundari, sarta kanggé nyamur gandrung, remenanipun mlampah-mlampah wonten ing wana.
    Satunggaling dinten déwi Siti Sundari inggih kagungan kepéngin tindak dhateng wana, kaparingan lilah ingkang rama, lajeng mangkat kaliyan para pandhèrèk èstri. Prabu Kresna piyambak ugi lajeng tedhak lalana dhateng wana.
    Kapinujon salebetipun medal mlampah-mlampah dhateng wana punika sang radèn Abimanyu kepethuk dèwi Siti Sundari ngantos kaping kalih; temtu kémawon bilih ingkang makaten wau andadosaken sampyengipun dèwi Siti Sundari kaliyan radèn Abimanyu.
    Sareng sampun wangsul wonten ing kadhaton, dèwi Siti Sundari kintun serat dhateng sang Abimanyu, pratéla mboten seneng yèn kadhaupna kaliyan sang Laksana-Kumara; serat wau dipun-kanthèni gantèn saha borèh. Radèn Abimanyu lajeng pados akal supados saged papanggihan radi dangu kaliyan sang putri. Sang Abimanyu samadi, kerawuhan bathara Kamajaya sagarwa, maringi sekar, ingkang saged ngreksa kawilujenganipun radèn Abimanyu ing salebeting pepanggihan. Nalika sang hyang Kamajaya badhé muksa malih, punika sang Abimanyu cèwèt mboten ngaturi bekti dhateng dèwi Ratih. Sang dèwi duka, radèn Abimanyu dipun-sapatani, nyuwun ngapunten, inggih lajeng dipunparingi.
    Radèn Abimanyu ing sasampunipun punika saged lumebet ing patamanan kadhaton, kepanggih kaliyan dèwi Siti Sundari. Nanging jebul konangan. Sang Baladéwa mireng duka sanget, radèn Abimanyu dipuntundhung. Lajeng piyambakipun késah kadhèrèkaken pun Jurudyah. Wonten ing satunggaling candhi Siwah sang radèn nyipeng, wasana kedhatengan raksasa kalih. Sang radèn dipun-cepeng badhé dipunaturaken minangka dhaharipun bathari Durga. Danawa kalih kabur ambekta sang radèn saha pun Jurudyah. Dumugi ngarsanipun bathari Durga, sang radèn badhé dipundhahar, nanging mboten saèstu, amergi sang radèn ketingal bekti sanget. Wasana radèn Abimanyu kadhawuhan dhateng ing karaton Purabaya, kadhatonipun radèn Gathotkaca. Sarèhné tebih, sang radèn kaliyan Jurudyah dipun-gendhong danawa kalih wau, kabekta mabur. Dumugi ing Purabaya, sang radèn dipunsèlèhaken wonten ing patamanan. Wonten ing ngriku sang radèn kepanggih kaliyan danawa, juru tamanipun sang Gathotkaca. Danawa nesu, nanging lajeng lilih manahipun, awit dipunpratélani, bilih sang Abimanyu mboten badhé ndamel resah, namung badhé sowan dhateng radèn Gathotkaca, pun Jurudyah ingkang nggelaraken saprelunipun. Sang Gathotkaca sagad badhé mitulungi supados kedumugen karsanipun radèn Abimanyu.
    Sareng sampun mèh tempuking damel, para Korawa ngarak pangantèn dhateng Dwrawati. Sang Siti Sundari sampun bingung, mèh badhé suduk slira, nanging angsal wisiking déwa, yèn badhé saèstu dhaup kaliyan radèn Abimanyu.
    Radèn Gathotkaca saha bala mangkat dhateng Dwarawati, lereb wonten wana sacelaking nagari. Radèn kalih sang Gathotkaca saha sang Abimanyu nitih kréta mabur njujug ing patamanan, kepanggih dèwi Siti Sundari. Ing jawi para tamu sampun sami suka-suka pésta. Sang dèwi kaliyan radèn Abimanyu kadhawuhan nitih kréta mabur, oncat saking kadhaton. Sang Gathotkaca mboten késah saking patamanan, badhé mejahi sang Laksana menawi dhateng. Saoncatipun dèwi Siti Sundari kaliyan radèn Abimanyu, radèn Gathotkaca mindha-mindha sang Siti Sundari.
    Raksasa anama Bajradanta, anakipun raksasa Baka, ingkang dipunpejahi déning sang Bima, badhé males ukum. Akalipun sang Gathotkaca dipunwadulaken dhateng sang Kurupati. Sang Bajradanta lajeng nyuwun lilah mindha-mindha sang Laksana Kumara. Pangantèn jaler palsu dipunarak dhateng panggènaning pangantèn èstri. Sareng panggih lajeng rangkulan, gapyuk; pangantèn jaler ngangkah pejahipun pangantèn èstri, ingkang èstri samanten ugi, nanging menang pangantèn èstri ingkang lajeng badhar dados radèn Gathotkaca, mabur. Para Korawa sami lumajeng.
    Prabu Kurupati angempalaken bala lajeng perang kabantu déning prabu Baladéwa, mengsah santana ing Dwarawati, kabantu radèn Gathotkaca. Sareng para Korawa ketingal keseser, prabu Baladéwa triwikrama nenggalanipun dipunobat-abitaken medal sawarnining danawa, détya, raksasa, sapanunggilanipun.
    Ing nalika punika bagawan Narada tumedhak dhateng dunungipun prabu Kresna, taksih wonten ing wana, dipundhawuhi kondur. Prabu Kresna lajeng ngrerapu ingkang raka. Sasampunipun lilih lajeng mboten wonten prakawis, tur sang Abimanyu saèstu dhaup kaiyan dèwi Siti Sundari.
    Lajeng kakawin puniki tinutup déning satunggaling panutup.
    Prekawis judhul
    Kakawin puniki dipunarani Gathotkacasraya amergi radèn Gathotkaca awèh sraya utawi pitulung marang Abimanyu. Kakawin puniki ugi gadhah judhul alternatif Ghaṭotkacaśaraṇa.
    Analisis
    Manggala lan épilog
    Mpu Panuluh anggènipun nyerat kakawin Gatotkacasraya sampun sepuh lan miturut Poerbatjaraka sampun sawetawis kesel agesang ing donya.[2] Poerbatjaraka andhedhasaraken idhepipun ing manggala lan épilogipun kakawin puniki. Manggala saha épilogipun mekaten:
    Tèks Jawa Kina
    Jarwa
    1 a. Tunggal mūlani tattwaning kalĕngĕngan sinamaya paramārtha durlabha
    1 b. Lumrā sedran anūkṣma ring daśadigantara tinuduh i lĕnglĕng ing hiḍĕp
    1 c. Lot pinrākṛta ring karas rinacana stuti kakawin amūrti ng akṣara
    1 d. Manggĕh sādhana sang kawīśwaran asādhya kalĕpasani sandhining mangö
    1 a. ...
    1 d. Pantes dados pirantosipun sang Kawiswara anggènipun sumedya ngudari gagandhènganing seneng
    2 a. Milwâbhyāsa mara ngwang amrih amutĕr tanah ataki-taki pralāpta
    2 b. Dening jñāna kĕdö jugâmalar anĕmwakĕna rasa rahaṣyaning mango
    2 c. Nāhan kāraṇani nghulun cumaṭakā manam-anama kathârjunâtmaja
    2 d. Mon sĕnggan apa denya donika silunglunganing umulihêng Smarālaya
    2 a. ...
    2 d. Menawi dipunwada, inggih badhé punapa malih; prelunipun namung kanggé sangu mantuk dhateng ing kahyangan bathara Asmara
    3 a. Śrī bhūpāla Jayakṛta prabhu wiśeṣa tuhu-tuhu bhaṭāra Keśawa
    3 b. Khyāti n Kṛṣṇa sirêki ngūni muwah angdadi pinakasurakṣaning jagat
    3 c. Wetning duhkha ri śīrṇaning bhuwana tan hana phalani gawe Prajāpati
    3 d. Hyang Rudrâmralayākĕn ing kapana yan tan aradina ya tan sirâsiha
    3 a. Sri Bupala Prabu Jayakreta ingkang kumawasa pancèn leres titisaning déwa Késawa
    3 b. Misuwur kados Kresna rumiyin malahan ugi dados pangraksaning jagat
    ...
    4 a. Wyaktinya ng kalanârurĕk paḍa silih tĕwĕk arĕbut ulah kaduṣkṛtan
    4 b. Nāhan marma bhaṭāra Wiṣṇu mangadĕg ratu rumawasikang durātmaka
    4 c. Manggĕh kīrtinira n mapañji Madaharṣa maluyakĕn ikang jagatkṛta
    4 d. Yajña mwang yaśa dāna śāstra winiweka muwah awungu sang hyang āgama
    4 a. ...
    5 a. Towi pwa n sama len Wṛhaspati pangajyanira nipuṇa śāstrapāraga
    5 b. sūkṣmâtīndriya dūra dady anupameng guṇa paramawidagdha nītiman
    5 c. nāhan kāraṇaning jagat praṇata bhakti ri haji musuh awri sāk hilang
    5 d. āpan śakti narendra sāgni dinulurning angin i hana sang yatiśwara
    5 a. ...
    6 a. Nora pwānukĕra ng manah narapati n huwus sinawungirêng pralāpita
    6 b. Ngwang sinwī kinĕdönira wruha matangyak angikĕti kathârjunātmaja
    6 c. Ndah śrī Kṛṣṇa ta tūtĕn ing carita tulya haji gati gatinirâdimanggala
    [...]

    BalasHapus
  35. Nama:Galih Sekar Ananti
    NIM:2102408004



    Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).

    Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.

    ringkasan:
    Buddha berreinkarnasi dan menitis kepada putra raja Hastina, prabu Mahaketu. Putranya ini bernama Sutasoma. Maka setelah dewasa Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.

    Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.

    Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.

    Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena beliau memang reinkarnasi raksasa. Kemudian beliau bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu beliaupun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.

    Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika beliau bisa sembuh dari penyakitnya ini.

    Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.

    Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.

    Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.

    Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis, menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.

    Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.

    Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka beliau berhasil ditangkap.

    Setelah itu beliau dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Purusada menjadi terharu mendengarkannya dan iapun bertobat. Semua raja dilepaskan.

    BalasHapus
  36. mohon maaf sebelumnya mau bertanya mohon diartikan kalau martyaloka mengandung makna apa terimakasih, bisa bales sms ke 085320070500

    BalasHapus