Sastra Jawa Pertengahan muncul di
Kerajaan Majapahit, mulai dari
abad ke-13 sampai kira-kira
abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di
Bali menjadi
Sastra Jawa-Bali.
Pada masa ini muncul karya-karya
puisi yang berdasarkan
metrum Jawa atau
Indonesia asli. Karya-karya ini disebut
kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan
prosaTantu PanggelaranCalon ArangTantri KamandakaKorawasramaPararatonTantu Panggelaran adalah sebuah teks
prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau
Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat penting telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th.
Pigeaud.
Tantu Panggelaran berisi tentang
etiologi alam semesta. Tantu Panggelaran ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan etiologis, misalnya, mengapa ada gempa bumi, mengapa ada gerhana matahari, mengapa ada gunung-gunung yang tersebar di pulau Jawa, mengapa ada manusia di pulau Jawa, mengapa ada biji hijau, hitam, putih, tetapi tidak ada biji kuning, mengapa ada bahasa, mengapa manusia membuat rumah, pakaian, dsb. Pertanyaan-pertanyaan etiologis ini dijawab dalam cerita Tantu Panggelaran. Cerita yang menjawab pertanyaan etiologis ini banyak terdapat dalam dunia oriental kuna. Contoh yang paling mudah didapat adalah di dalam kitab suci umat
Kristen (
Alkitab). Di sana diceritakan juga, bahwa manusia dibuat dari tanah liat dan menurut rupa Tuhan, manusia semula berbahasa satu dan berkumpul bersama di
Babel membangun menara (
lihat artikel Zikkurat dalam Wiki Inggris), yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru bumi, dan pertanyaan-pertanyaan etiologis banyak dijawab dalam
mitos-mitos tersebut.
Selain itu cerita ini mementingkan proses pengaturan alam semesta, dari dunia yang khaos menjadi dunia yang teratur (kosmos). Hal ini juga dapat ditemui dalam cerita-cerita
orientalis kuna. Para Dewa sangat menghargai dunia yang teratur. Motif ini dijumpai dari cerita-cerita Yunani kuna sampai cerita-cerita India.
Juga terdapat motif "pembangunan masyarakat beradab" atau cerita etiologis tentang munculnya peradaban manusia. Hal ini juga dapat dibandingkan dengan Kodex
Hammurabi di
Babilonia yang berisi hukum-hukum bagi keteraturan masyarakat setempat.
Di samping itu terdapat perbedaan teologis antara cerita Jawa Pertengahan ini dengan teologi Hindu di India. Di dalam kisah ini diceritakan bahwa Batara Guru adalah ayah dari dewa-dewa yang lainnya.
Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini juga terdapat dalam dunia teologis orientalis.
Ishak dipersembahkan di gunung
Moria (Yerusalem).
Zarathustra atau
Zoroaster ketika berkotbah juga naik ke gunung.
Firaun membuat
piramida yang juga melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga membuat punden berundak-undak yang juga melambangkan gunung. Dsb.
Kisah Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi beberapa Babak:
1. Awal Keberadaan Pulau Jawa
Pada mulanya pulau
Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang lagi. Gunung tempat
Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang (atau Gunung Dieng, lihat artikel tentang Gunung
Dieng). Proses pengaturannya berjalan sebagai berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung
Mahameru (Gunung
Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung
Lawu,
Wilis,
Kelut,
Kawi,
Arjuna,
Kumukus dan pada akhirnya
Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.
2. Penciptaan Manusia
Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang,
Batara Guru ingin membuat manusia sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Batara
Brahma dan Batara
Wisnu menciptakan manusia. Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling mengasihi.
3. Proses Terjadinya Peradaban Manusia
Pada mulanya manusia telanjang karena tidak dapat membuat pakaian, tidak tinggal di dalam rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Batara Guru untuk "memberi pelajaran" kepada manusia, supaya mereka dapat membuat pakaian, membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para dewa mengajar manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang dikutip dari kitab Tantu Panggelaran untuk Babak ini:
Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru):
Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku.
Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun).
Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa.
Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya engkau menguasai bumi.
Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia.
Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.
Calon Arang adalah seorang tokoh dalam
cerita rakyat Jawa dan
Bali dari
abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di
Belanda, yaitu di "
Bijdragen Koninklijke Instituut".
Diceritakan bahwa ia adalah seorang
janda pengguna
ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para
petani dan menyebabkan datangnya
penyakit. Calon Arang mempunyai seorang putri bernama
Ratna Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena orang-orang takut pada ibunya.
Karena kesulitan yang dihadapi putrinya, Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas dendam dengan menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa ke sebuah kuil untuk dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya,
banjir besar melanda desa tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.
Raja
Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya,
Empu Baradah untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan seorang prajurit bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya menikah besar-besaran dengan pesta yang berlangsung 7 hari 7 malam, dan keadaan pun kembali normal.
Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu Baradah. Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang kalah.
Sejak saat itu, desa tersebut pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.
Serat Pararaton, atau Pararaton saja (
bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab naskah
Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja
Singhasari dan
Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam
bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi
Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).
[1][2] Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat
mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai
silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran
naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.
Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja.
[1] Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (
bahasa Sanskerta:
yadnya) bagi
Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga
Wisnu.
Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh
Brahma melalui seorang wanita
dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah
kuburan ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam
perjudian,
perampokan dan
pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan
Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok dengan
Lohgawe, seorang
Brahmana yang datang dari
India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui
Tunggul Ametung, yaitu penguasa
Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu
Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan
puisiKakawin DewaruciKidung SudamalaKidung SubrataKidung SundaKidung Panji AngreniKidung Sri TanjungKidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam
bahasa Jawa Pertengahan berbentuk
tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu
Hayam Wuruk dari
Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih
Gajah Mada tidak suka karena
orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit (baca
orang Jawa). Kemudian terjadi
perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan di mana orang-orang Sunda mendarat. Dalam peristiwa ini orang Sunda kalah dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja
Kahuripan dan raja
Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “
jung Tatar (
Mongolia/
China) seperti banyak dipakai semenjak perang
Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyonsong seorang raja berstatus raja
vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya
vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara maayt-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan
yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (
moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (
niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip “
Siwa dan
Buddha” berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan
orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca
terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti
kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan
Dyah Pitaloka.
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara
Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang
Palembang, orang
Tumasik (
Singapura),
Madura,
Bali, Koci (?), Wandan (
Maluku), Tanjungpura (
Banjarmasin) dan Sawakung (?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.
Kidung Sri Tanjung adalah merupakan karya orang
Banyuwangi. Cerita ini termasuk cerita legenda pendirian kota Banyuwangi. Selain itu, cerita juga terkenal karena bisa dipakai untuk meruwat.
Ceritanya secara pendek adalah sebagai berikut: Adalah seorang ksatria bernama raden Sidapaksa yang pergi dari tempat tinggalnya, lalu mengabdi sang raja di negeri Sinduraja. Lalu, ia menikahi Dewi Sri Tanjung.
Maka suatu hari, raden Sidapaksa sangat marah, mengira istrinya berselingkuh. Lalu Sri Tanjung bersumpah bahwa apabila ia dibunuh, jika yang keluar bukan darah, tetapi air harum, maka dia tak salah.
Maka, benarlah, Sri Tanjung ditikam, tetapi yang keluar bukan darah segar, melainkan air yang berbau wangi. Maka sampai sekarang
ibukota bumi
Blambangan namanya
Banyuwangi.