Senin, 30 Maret 2009

1. Alur Kehidupan Sastra Jawa

Sastra Jawa adalah karya sastra yang bermediumkan bahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Pertengahan, maupun bahasa Jawa baru. Secara global sastra Jawa dalam bentuk tulis dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kategori prosa dan kategori puisi, sementara kategori drama lebih banyak dituturkan secara lisan
Kesusastraan Jawa sebagian besar kini masih terdokumentasikan dalam bentuk naskah-naskah kuna. Karya-karya tersebut memiliki muatan yang sarat dengan ajaran moral yang adiluhung, yang sangat berguna bagi pengembangan kepribadian bangsa Indonesia. Banyak sarjana asing dan sarjana Indonesia yang sejak ratusan tahun yang lalu berusaha melakukan penelitian dan mengungkapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam khasanah kesusastraan Jawa tersebut.
Penelitian telah dimulai sejak awal abad ke-19, oleh beberapa sarjana Belanda yakni diawali oleh Friedrich yang menerbitkan Wrettasancaya (1849), Ardjunawiwaha (1850), dan Bomakawya (1852); serta Cohen Stuart yang menerbitkan edisi Bratayuda (1860). Pada tahun-tahun berikutnya diterbitkan juga sebagian teks dalam aksara aslinya seperti Ramayana Kakawin oleh Kern (1900), Primbon oleh Gunning (1881), Mahabarata oleh Juynboll (1893), dan Tantu Panggelaran oleh Pegeaud (1924).

Beberapa peneliti Indonesia yang ikut mewarnai reaktualisasi karya sastra Jawa Kuna diantaranya adalah Poerbatjaraka dengan Arjunawiwaha (1926), Nitisastra (1933), dan Calon Arang (1926), kemudian Priyahutama dengan Nawaruci (1934), dan Priyana dengan Sritanjung (1983).

Pada jaman masuknya pengaruh ajaran Islam, kesusastraan Jawa juga mendapat tempat yang memadai, misalnya Suluk Wujil (1938) oleh Poerbatjaraka, Suluk Malang Sumirang (1927) oleh Drewes, dan lain sebagainya.

Perlu diketahui bahwa kesusatraan Jawa yang aduluhung itu, yang sebagian telah diteliti oleh sarjana-sarjana Barat, ternyata belum cukup banyak diminati oleh sarjana-sarjana Indonesia. Hal ini berkaitan dengan benturan-benturan yang dihadapi oleh para peneliti kita. Salah satu benturan itu adalah penguasaan bahasa yang rumit untuk bahasa Jawa yang lebih tua dari bahasa sekarang (sering disebut sebagai bahasa Jawa Kuna dan Pertengahan) serta klasifikasinya yang bertingkat untuk bahasa yang disebut baru. Kekurang-penguasaan bahasa inilah yang membuat generasi Indonesia enggan menengok kesusastraan Jawa. Bahkan penelitian yang sudah ada pun menjadi belum memuaskan.
Dari pemerian di atas, perlulah kiranya memberikan dorongan dan semangat kepada generasi-generasi penerus untuk selalu peduli pada warisan budaya bangsa, dan memperbaiki iklim pendidikan sekarang dengan penanaman konsep jati diri yang kian matang.




A. Sastra Jawa Berbahasa Jawa Kuna
Kehadiran sastra Jawa tidak dapat dilepaskan dengan kehadiran manusia Jawa. Sejak manusia Jawa dapat menuliskan berbagai masalahnya, terutama yang dapat terlihat adalah jampi dan sesaji yang digunakan dalam upacara, juga rapal doa, maka mulai saat itu sebenarnya sastra Jawa secara tertulis sudah ada. Sebagai bukti autentik tertua yang ditemukan adalah prasasti Harinjing di daerah Sukabumi. Prasasti ini diperkirakan ada sejak abad ke-9 dengan tengara waktu tahun 726 Saka atau 804 Masehi, berbahasa Jawa Kuna, dan berisi uraian singkat tentang upacara keagamaan yang menentukan batas-batas sebidang tanah yang akan bebas dari pajak dan iuran negara.
Selain prasasti, beberapa waktu yang berikutnya ditemukan juga karya sastra yang berupa cerita. Pada dekade kesusastraan Jawa kuna ini, beberapa karya yang hadir dalam bentuk prosa adalah:
- Serat Candra Kirana
- Sang Hyang Kamahayanikan
- Brahmanda Purana
- Agastya Parwa
- Astadasa Parwa
- Kunjarakarna
Sedangkan yang termasuk genre puisi atau dalam kesusastraan Jawa kuna dikenal sebagai kakawin adalah:
- Kakawin Ramayana
- Kakawin Arjuna Wiwaha
- Kakawin Bharatayuddha
- Kakawin Kresnayana
- Kakawin Hariwangsa
- Kakawin Sumanasantaka
- Kakawin Smaradahana
- Kakawin Bhomakawya
- Kakawin Gatotkacasraya
- Kakawin Wrettasancaya
- Kakawin Lubdhaka
- kakawin Brahmandapurana
- kakawin Nagarkretagama
- kakawin Arjunawijaya
- kakawin Sutasoma/ Purusada-santa
dsb.

B. Sastra Jawa Berbahasa Jawa Pertengahan
Pergeseran dalam karya sastra sebagai dinamika untuk dapat melanjutkan kehidupannya merupakan bentuk kelanjutan sastra Jawa. Sastra Jawa Kuna yang dimulai pada masa awal abad IX itu ternyata kemudian tergeser sejalan dengan keadaan masyarakat Jawa yang berganti kerajaan.
Kerajaan Majapahit merupakan tonggak dimulainya pergeseran sastra Jawa dengan munculnya karya-karya sastra yang berlainan bahasa maupun cara pengungkapan ceritanya.
Pergeseran sastra Jawa ini terjadi karena masyarakat Jawa mencoba mengembangkan identitas diri lebih lanjut. Seperti telah diketahui, bahwa bahasa dan sastra Jawa Kuna banyak dipengaruhi oleh bahasa dan budaya Sansekerta, oleh karena itu terlihat sekali dominasi bahasa Sansekerta dalam kehidupan sastra masa Jawa Kuna tersebut. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat Jawa jaman kerajaan Majapahit menciptakan "nafas baru" dengan ciri yang dapat kita kenal sebagai bahasa dan kesusastraan jaman Jawa Pertengahan. Kehidupan bahasa dan sastra Jawa Pertengahan berkembang secara lamban namun pasti sejak abad XII sampai abad XV.
Karya sastra Jawa Pertengahan banyak dinyatakan oleh para ahli sebagai produk asli Jawa atau Indonesia. Isi cerita umumnya memiliki keunikan dengan lebih banyak mengungkapkan masalah kehidupan manusia pada umumnya, baik di kalangan kerajaan maupun rakyat jelata. sangat sedikit karya sastra yang mengaitkan dengan kehidupan dewa-dewi seperti yang lazim dikenal dalam Sastra Jawa Kuna.
Beberapa karya sastra Jawa Pertengahan dalam bentuk prosa antara lain:
- Tantu Panggelaran
- Calon Arang
- Tantri kamandaka
- Korawasrama
- Pararaton
dsb.
Sedang karya sastra Jawa Pertengahan dalam betuk puisi atau yang dikenal sebagai tradisi Kidung antara lain:
- Kidung Dewaruci
- Kidung Sudamala
- Kidung Sri Tanjung
dsb.

C. Sastra Jawa Berbahasa Jawa Baru
Kesusastraan Jaman Jawa Baru diasumsikan pada karya-karya yang menggunakan bahasa Jawa seperti yang masih kita kenal sekarang. Terbagi dalam dua periode yaitu (1)Periode Sastra Jawa Klasik, dan (2)Periode Sastra Jawa Modern.


C1. Sastra Jawa Klasik
Periode sastra Jawa klasik dimulai sejak Jaman kerajaan Demak, kemudian dilanjutkan ke masa kerajaan Mataram Baru dengan pusat kebudayaannya di Surakarta dan di Yogyakarta. Karya sastra pada periode ini bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah tembang
Karya sastra pada jaman kerajaan Demak cenderung bernafaskan ajaran Islam seperti misalnya :
- Het boek van Bonang
- Suluk wujil
- Suluk Malang Sumirang
- beberapa Serat Menak
- beberapa karya sastra Wirid
dsb.
Pada masa Mataram baru (abad XVII) hingga sampai jaman kejayaan kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, karya sastra banyak dihasilkan oleh para pujangga dan pembesar kerajaan. Sebagain besar karya pada masa ini ditulis dalam metrum tembang macapat, seperti misalnya:
- Nitisruti
- Nitipraja
- Sastra Gending
- Wulangreh
- Wedhatama
- Sasana Sunu
- Wulang Putri

- Babad Giyanti
- Babad Tanah Jawi
- Babad Mentawis
- Babad Mangkubumi
- babad Sepei

- Serat Bratayuda Macapat
- Serat Mintaraga
- Serat Rama
- Serat Pustaka Raja Purwa
- Serat Pustaka Raja Madya
- Serat Pustaka Raja Wasana
- Serat Ajipamasa


C2. Sastra Jawa Modern

Pada Jaman Modern karya sastra Jawa banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa. Unsur-unsur penciptaan dan kehidupan sastra yang bersifat istana sentris sedikit demi sedikit tergeser dengan sistem penerbitan dan percetakan. Melalui penerbit Balai Pustaka (1917) karya sastra Jawa banyak dibaca oleh masyarakat luas. Banyak Pengarang Jawa yang menulis karya-karyanya dan diterbitkan oleh lembaga tersebut.
Beberapa Pengarang dan karyanya yang terbit pada masa modern ini adalah:
Ki Padmasusastra dengan Paramabasa, Urapsari, Erang-erang, Warnabasa, Serat Kancil, Durcara-arja, dsb.
M.Ng. Mangunwijaya dengan Jiwandana, Asmara-laya, Kridhasastra, Purwakanthi Gita-gati.
R.M. Sulardi dengan Serat Riyanta
M. Sastratama dengan Tri Jaka Suwala
M. Prawirasudirdja dengan Serat panutan, dsb.

Pada Dekade yang lebih kini, kesusastraan Jawa lebih banyak dikenal sebagai kesusastraan Jawa Modern atau Kesusastraan Jawa Mutakhir, dan terbit secara berkesinambungan dalam majalah-majalah berbahasa Jawa.
Ratusan Pengarang Jawa Modern ikut serta mengambil bagian dalam proses pelangsungan kehidupan sastra ini. Beberapa nama yang dapat disebut adalah: Any Asmara, Hardjawiraga, Esmiet, Tamsir AS, Supato Brata, Subagyo Ilham Notodidjojo, Widi Widayat, Iesmaniasita, dsb.
Demikianlah dinamika kehidupan karya sastra Jawa.

8 komentar:

  1. GERLIN ESTININGSIH
    2102408109

    Wedhatama - Mangkunegoro IV
    (source "heritage of java")

    Secara semantik, Serat Wedhatama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: serat, wedha dan tama. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, wedha artinya pengetahuan atau ajaran, dan tama berasal dari kata utama yang artinya baik, tinggi atau luhur. Dengan demikian maka Serat Wedhatama memiliki pengertian: sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan dan keluhuran hidup dan kehidupan umat manusia.Serat Wedhatama yang memuat filsafat Jawa ini ditulis oleh Kangjeng Gusti Pangeran Arya (KGPA) Mangkunegara IV yang terlahir dengan nama Raden Mas Sudira pada hari Senin Paing, tanggal 8 Sapar, tahun Jimakir, windu Sancaya, tahun Jawa 1738, atau tahun Masehi 3 Maret 1811.

    Semasa hidupnya, beliau memerintah Kasunanan Mangunegaran selama 25 tahun sejak 24 Maret 1853 dengan catatan prestasi di antaranya: di bidang pemerintahan, beliau mempertegas batas wilayah batas Kasunanan Mangunegaran; di bidang pertahan dan militer, beliau menerapkan kewajiban mengikuti pendidikan selama 6-9 bulan bagi para kerabat dewasa, yang kemudian harus menjadi pegawai negara dalam berbagai bidang. Di bidang ekonomi, beliau berhasil membangun pusat-pusat kegiatan ekonomi yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat, seperti pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu, pabrik bungkil di Polokarto, pabrik genteng dan perkebunan karet di beberapa tempat dan lain sebagainya. Sedang di bidang sosial budaya, menghasilkan karya sastra, tarian jawa, pembaharuan dalam musik gamelan Jawa dan sebagainya.

    Sri Mangkunegara wafat pada hari Jumat tanggal 8 September 1881 pada usia 70 tahun. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Namun seiring dengan perjalanan waktu, nilai budaya luhur yang ditinggalkannya secara pelan dan pasti semakin tergerus budaya asing dalam perjalanan waktu. Hal ini terjadi karena generasi muda penerus budaya dan kehidupan bangsa ini lebih pada kenyataannya banyak yang budaya manca dalam berbagai bentuknya, yang kebanyakan justru menjauhi esensi hidup dan kehidupan umat manusia dan alam semesta.

    Agar Serat Wedhatama ini lebih mudah dipelajari dan dipahami berbagai lapisan masyarakat, disini disajikan naskah dalam versi Bahasa Jawa dan versi Bahasa Indonesia.



    TEMBANG PANGKUR



    ? Mingkar mingkuring angkara
    ? Akarana karenan mardi siwi
    ? Sinawung resmining kidung
    ? Sinuba sinukarta
    ? Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
    ? Kang tumrap neng tanah Jawa
    ? Agama ageming aji



    ? Jinejer neng Wedhatama
    ? Mrih tan kemba kembenganing pambudi
    ? Mangka nadyan tuwa pikun
    ? Yen tan mikani rasa
    ? Yekti sepi asepa lir sepah samun
    ? Samangsane pakumpulan
    ? Gonyak-ganyik nglilingsemi



    ? Nggugu karsane priyangga
    ? Nora nganggo paparah lamung angling
    ? Lumuh ingaran balilu
    ? Uger guru aleman
    ? Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
    ? Sinamun ing samudana
    ? Sesadon ingadu manis
    ?

    ? Si pengung ora nglegewa
    ? Sangsayarda denira cacariwis
    ? Ngandhar-andhar angendhukur
    ? Kandhane nora kaprah
    ? Saya elok alangka longkanganipun
    ? Si wasis waskitha ngalah
    ? Ngalingi marang si pingging



    ? Mangkono ngelmu kang nyata
    ? Sanyatane mung weh reseping ati
    ? Bungah ingaran cubluk
    ? Sukeng tyas yen den ina
    ? Nora kaya si punggu anggung gumunggung
    ? Agungan sadina-dina
    ? Aja mangkono wong urip



    ? Uripe sapisan rusak
    ? Nora mulur nalare ting saluwir
    ? Kadi ta guwa kang sirung
    ? Sinerang ing maruta
    ? Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung
    ? Pindha padhane si mudha
    ? Prandene paksa kumaki



    ? Kikisane mung sapala
    ? Palayune ngendelken yayah-wibi
    ? Bangkit tur bangsaning luhur
    ? Lah iya ingkang rama
    ? Balik sira sasrawungan bae durung
    ? Mring atining tata krama
    ? Ngon-anggo agama suci



    ? Socaning jiwangganira
    ? Jer katara lamun pocapan pasthi
    ? Lumuh asor kudu unggul
    ? Sumengah sosongaran
    ? Yen mangkono kena ingaran katungkul
    ? Karem ing reh kaprawiran
    ? Nora enak iku kaki



    ? Kekerane ngelmu karang
    ? Kakarangan saking bangsaning gaib
    ? Iku boreh paminipun
    ? Tan rumasuk ing jasad
    ? Amung aneng sajabaning daging kulup
    ? Yen kapengkok pancabaya
    ? Ubayane mbalenjani



    ? Marma ing sabisa-bisa
    ? Babasane muriha tyas basuki
    ? Puruita kang patut
    ? Lan traping angganira
    ? Ana uga angger-ugering keprabun
    ? Abon-aboning panembah
    ? Kang kambah ing siyang ratri



    ? Iku kaki takokena
    ? Marang para sarjana kang martapi
    ? Mring tapaking tepa tulus
    ? Kawawa naheb hawa
    ? Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
    ? Tan mesthi neng janma wredha
    ? Tuwin muda sudra kaki



    ? Sapa ntuk wahyuning Allah
    ? Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit
    ? Bangkit mikat reh mangukut
    ? Kukutaning jiwangga
    ? Yen mangkono kena sinebut wong sepuh
    ? Liring sepuh sepi hawa
    ? Awas roroning atunggal



    ? Tan samar pamoring sukma
    ? Sinukmanya winahya ing ngasepi
    ? Sinimpen telenging kalbu
    ? Pambukaning wanara
    ? Tarlen saking liyep layaping ngaluyup
    ? Pindha sesating supena
    ? Sumusiping rasa jati



    ? Sajatine kang mangkana
    ? Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi
    ? Bali alaming asuwung
    ? Tan karem karameyan
    ? Ingkang sipat wisesa-winisesa wus
    ? Milih mula-mula ira
    ? Mulane wong anom sami.



    ? Menghindarkan diri dari angkara
    ? Bila akan mendidik putra
    ? Dikemas dalam keindahan syair
    ? Dihias agar tampak indah
    ? Agar tujuan ilmu luhur ini tercapai
    ? Kenyataannya, di tanah Jawa
    ? Agama dianut raja



    ? Diuraikan dalam Wedhatama
    ? Agar tidak mengendurkan budi daya
    ? Pada hal meski tua renta
    ? Bila tak memahami perasaan
    ? Sama sekali tak berguna
    ? Misalnya dalam pertemuan
    ? Canggung memalukan



    ? Menuruti keinginan pribadi
    ? Bila berbicara tanpa dipikir lebih dahulu
    ? Tak mau disebut bodoh
    ? Asal dipuji dan disanjung
    ? Tetapi manusia telah paham akan pertanda
    ? Yang ditutupi dengan kepura-puraan
    ? Ditampilkan dengan manis



    ? Si bodoh tidak menyadari
    ? Bicaranya semakin menjadi-jadi
    ? Melantur-lantur semakin jauh
    ? Ucapannya tidak masuk akal
    ? Semakin aneh dan jauh dari kenyataan
    ? Si pandai dan waspada mengalah
    ? Menutupi kekurangan si bodoh



    ? Begitulah ilmu yang nyata
    ? Sesungguhnya hanya memberi kesejukan
    ? Bangga dikatakan bodoh
    ? Senang hatinya bila dihina
    ? Tidak seperti si bodoh yang besar kepala
    ? Minta dipuji setiap hari
    ? Orang hidup jangan begitulah



    ? Hidupnya semakin rusak
    ? Nalarnya tidak berkembang dancompang-camping
    ? Seperti gua yang gelap
    ? Diterpa angin badai
    ? Menggeram, mengaung, gemuruh
    ? Sama siperti si muda
    ? Meski begitu ia tetap sombong



    ? Kemampuannya sangat kecil
    ? Geraknya bergantung kepada ayah-ibu
    ? Terpandang dan tingkat luhur
    ? Itulah orang tuanya
    ? Sedangkan belum mengenal
    ? Artinya sopan-santun
    ? Yang merupakan ajaran agama



    ? Sifat-sifat dirimu
    ? Tampak dalam tutur-bicara
    ? Tak mau mengalah, harus selalu menang
    ? Congkak penuh kesombongan
    ? Sikap seperti itu salah
    ? Gila kemenangan
    ? Itu tak baik, anakku



    ? Yang termasuk ilmu takhayul
    ? Pesona yang berasal dari hal-hal gaib
    ? Ibarat bedak
    ? Tidak meresap ke dalam tubuh
    ? Hanya ada berada di luar daging, anakku
    ? Jika tertimpa mara bahaya
    ? Pasti akan mengingkari



    ? Maka sedapat mungkin
    ? Usahakan berhati baik
    ? Mengabdilah dengan baik
    ? Sesuai dengan kemampuanmu
    ? Juga tata-cara kenegaraan
    ? Tata-cara berbakti

    ? Yang berlaku sepanjang waktu



    ? Bertanyalah anakku
    ? Kepada para pendeta yang bertiraka
    ? Kepada segala teladan yang baik
    ? Mampu menahan hawa nafsu
    ? Pengetahuanmu akan kenyataan ilmu
    ? Tidak hanya terhadap orang tua-tua
    ? Dan orang muda dan hina anakkku



    ? Barangsiapa mendapat wahyu Tuhan
    ? Akan cepat menguasai ilmu
    ? Bangkit merebut kekuasaan
    ? Atas kesempurnaan dirinya
    ? Bila demikian, ia dapat disebut orang tua
    ? Artinya sepi dari kemurkaan
    ? Memahami dwi-tunggal



    ? Tidak bingung kepada perpaduan sukma
    ? Diresapkan dan dihayati di kala sepi
    ? Disimpan di dalam hati
    ? Pembika tirai itu
    ? Tak lain antar sadar dan tidak
    ? Bagai kilasan mimpi
    ? Merakna rasa yang sejati
    ? Sesungguhnya yang demikian itu
    ? Telah mendapat anugerah Tuhan
    ? Kembali ke alam kosong
    ? Tak suka pada keramaian
    ? Yang bersifat kuasa-menguasai
    ? Telah memilih kembali ke asal
    ? Demikianlah, anak muda

    BalasHapus
  2. adeng fatah bintoro5 April 2009 pukul 04.48

    Nama : Adeng fatah bintoro
    NIM : 2102408080
    Rombel : 3


    Kakawin Sutasoma punika salah satunggaling kakawin ingkang mboten namung misuwur, nanging uga wigati dipuntepangi. Awit sepalih pada saking kakawin punika dados motto nasional Républik Indonésia: Bhinneka Tunggal Ika (Pupuh 139.5).
    Motto Indonésia punika mboten tanpa alesan dipunpendhet saking serat kakawin puniki. Serat puniki nyukani piwulang saé prekawis toleransi antar agami, utaminipun antar agami Hindu-Siwah saha Buddha.
    Sang hyang Buddha nitis dhateng putranipun prabu Mahakétu, ratu ing Ngastina, nama radèn Sutasoma. Sang radèn, sareng sampun ageng, ngibadah sanget, remen dhateng agami Buddha (Mahâyana). Badhé dipunkramakaken saha dipunjumenengaken ratu, mboten karsa.
    Ing wanci dalu sang radèn lolos saking nagari.: konten-konten ingkang dipunkancingi, sami menga piyambak-piyambak kanggé langkung sang radèn. Sareng lolosipun sang radèn kasumerepan, ing kedhaton gègèr, sang prabu saha sang paramèswari sami susah, dipunrarapu ing akathah.
    Dumugi ing wana sang radèn mumuja wonten salebeting candhi; bathari Widyutkarali rawuh, pratéla bilih sembahyangipun sang radèn sampun katarimah. Ing salajengipun sang radèn minggah ing redi Himalaya, kadèrèkaken para pandhita sawatawis. Dumugi satunggaling patapan, sang radèn dipunaturi uninga yèn wonten ratu, titising ratu danawa, damelipun nedha tiyang, nama prabu Porusada utawi Kalmasapada. Cariyosipun ratu punika makaten: ing satunggaling wekdal, ulam sadhiyan badhé dhaharipun sang prabu, ical dipuntedha ing segawon saha babi. Juru masak bingung, kesesa pados ulam kanggé lintunipun, mboten angsal, lajeng dhateng pasaréyan ngiris ulam pupuning tiyang pejah ingkang taksih énggalan, lajeng dipunmasak. Sang prabu dhahar kraos éca sanget, labet titising danawa wau; ndangu dhateng juru masak, ulam punapa ingkang dipunaturaken punika wau. Aturipun juru masak, ulam tiyang, sabab pun juru masak dipunagar-agari badhé kapejahan yèn mboten matur saleresipun. Sang prabu tuman dhahar ulam tiyang; tiyang ing nagari telas, saking sampun sami dipundhahar utawi ngungsi késah dhateng sanès nagari. Sang prabu lajeng ndilalah gerah tatu sukunipun, mboten saged mantun; malah lajeng dados danawa, dudunung wonten ing wana dados pangagening wana.
    Ing satunggaling wekdal sang prabu kaul, bilih saged mantun gerahipun, badhé nyaosi dhahar dhateng bathara Kala, ratu satus.
    Sang Sutasoma dipunaturi déning para pandhita supados mejahi sang ratu punika, nanging mboten karsa. Bathari Pretiwi medal saking dhasaring siti, tumut ngaturi sang radèn supados mejahi sang Kalmasa-pada, nanging sang radèn meksa mboten kersa. Malah anglajengaken tindakipun badhé tapa.
    Wonten ing margi kepanggih danawa asirah gajah anama Gajamukha, damelipun ugi nedha tiyang. Sang radèn badhé dipuntedha; sareng kagelut, danawa dhumawah ing ngandhap, ketindhihan sang radèn, awratipun kados katindhihan ing redi. Danawa sirah gajah kawon, lajeng dipunwulang agami Buddha; mboten kénging amemejahi; danawa sirah gajah miturut lajeng dados siswa. Salebetipun anglajengaken lampah, kepanggih naga, ingkang badhé ngancap dhateng sang radèn. Danawa sirah gajah ngadhangaken badanipun, kapulet ing naga; sareng sampun, naga lajeng ngalumpruk dhawah ing siti, sebab kénging prabawanipun sang radèn. Sang naga inggih lajeng dados siswa. Dumugi satunggaling jurang sang radèn kepanggih sima èstri badhé nedha anakipun. Sang radèn ngendhak kajengipun; sima-biyung wangsulanipun, luwé sanget sampun mboten saged angsal kidang menjangan, amila badhé nedha anakipun piyambak. Sang radèn lajeng ngandika: "Aku waé panganen, anakmu mesakaké". Sima èstri lajeng anggemprong sang radèn katubruk, dipuncakot jajanipun, kasesep rahipun, kraos mak cles kados ngombé toya panggesangan, wasana pun sima èstri kéngetan dhateng pandamelipun awon, manahipun getun sanget, nangis wonten daganing layonipun sang radèn, naming badhé sumedya pejah thok.
    Bathara Indra rawuh, sang radèn dipungesangaken malih. Sang radèn nutuh dhateng bathara Indra déné sampun sekéca teka dipungesangaken malih. Wangsulanipun bathara Indra, yèn sang radèn mboten sugeng malih, mangka pun sima èstri kalajeng pejah, punika anggènipun sang radèn welas mitulingi dhateng anak sima wau mboten wonten tegesipun, awit sima alit inggih mboten wandé pejah dipuntilar biyungipun, mboten wonten ingkang nusoni. Bathara Indra muksa, sang radèn lajeng paring piwulang.
    Ing sasampunipun punika sang radèn lajeng tapa piyambak wonten ing guwa, kagodha (pangaruh saking Kakawin Arjunawiwaha), mboten kéngguh bathara Indra tindak piyambak mindha-mindha putri ayu, meksa mboten kèngguh, malah sang radèn badhar dados bathara Buddha Wairocana. Para déwa nyungga-nyungga. Sareng sampun arupa sang Sutasoma malih, lajeng kondur.
    Sang prabu Dasabahu, nak-sanakipun sang radèn, perang kaliyan danawa balanipun prabu Kalmasapada. Danawa kawon lumajeng ngungsi dhateng sang radèn. Prabu Dasabahu nututi, ngancap dhateng dhateng sang radèn, wasana uninga bilih nak-sanakipun piyambak, lajeng dipunjak kondur dhateng nagarinipun sang Dasabahu kapendhet ipé. Bibar temu sang radèn kondur dhateng nagari Ngastina; sareng sampun kagungan putra sang radèn lajeng kajumenengaken ratu nama prabu Sutasoma. Kocapa, sang prabu Porusada (Kalmasapada), anggènipun pados ratu satus sampun angsal 99 sami dipunpenjara. Namung kirang satunggal; sang Kalmasapada nglurug dhateng Ngalengka, nanging ratunipun mboten kacepeng awit séda wonten ing paprangan.
    Prabu Porusada lajeng mindha-mindha pandhita, ngemis dhateng ratu Widarba (nyèngkok nalika sang Dasamuka mindha-mindha pandhita badhé ambradhat déwi Sita saking Kakawin Ramayana). Ratu Widarba kènging kapikut. Sareng sampun jangkep satus, para ratu lajeng dipuncaosaken dhateng bathara Kala, nanging sang bathara mboten karsa dhahar sabab, kirang miraos; kepéngin dhahar ratu Ngastina, prabu Sutasoma. Sang Purusada nglurug dhateng Ngastina; para putranipun ratu ingkang sami ngungsi dhateng Ngastina, sami prang kaliyan balanipun prabu Porusada. Wasana sang Sutasoma prang tandhing kaliyan sang Porusada. Dangu-dangu, rèhné naming dipuntandhingi sabar, ratu Ngastina kènging kabekta dhateng ngarsanipun bathara Kala. Sareng badhé dipundhahar, aturipun sandika, anggeripun para ratu 100 sanèsipun sami dipunluwari. Mireng ingkang makaten punika, bathara Kala rena sanget panggalihipun; sang Porusada trenyuh manahipun déning lila-legawanipun prabu Sutasoma, lajeng tobat, mantun nedha ulam tiyang, tur para ratu ingkang 100 sami dipunluwari sadaya.
    Bathara Kala saha Porusada lajeng dados siswa sang Sutasoma. Kakalihipun agesang ing wana kados wiku. Déning sang Sutasoma kakalihipun lajeng dipunajari dharma saha yoga. Bathara Kala dipuntinggal awit kedah tobat. Para sadaya wangsul ing Ngastina. Ing riku para titiyang ingkang pejah dipun-gesangi malih déning bathara Indra. Satunggaling pésta dipunwontenaken. Purusada mboten wangsul dhateng Ratnakanda nanging késah dhateng redi Mandara kaliyan para danawa sanèsipun badhé mbangun tapa.
    Ingkang donya dados aman, tentrem, lan reja malih. Sasampunipun pinten wekdal sang Sutasoma kaliyan garwanipun séda wangsul dhateng ing swarga sang Jina (Buddha). Ing riku sang Porusada uga angsal ganjaran anggènipun mbangun tapa. Bathara Kala dados Pasupati. Putranipun prabu Sutasoma, Ardhana dipunjumenengaken dados ratu Ngastina.
    [sunting] Pangripta
    Serat Sutasoma punika ugi kadamel kala salebeting jumenengipun prabu Hayam Wuruk ing Majapait. Kaliyan kakawin Nagarakretagama inggih sepuh kakawin Nagarakretagama.
    Menggah babonipun serat Sutasoma punika wonten ing tanah Indhia misuwur sanget. Ing salebeting Ramayana saha Mahabharata inggih wonten cariyos punika. Makaten ugi ing salebeting kapustakan agami Buddha ing kapustakan jataka mawi basa Sangaskreta utawi basa Pali. Sang hyang Buddha nitis dhateng putranipun prabu Mahakétu, ratu ing Ngastina, nama radèn Sutasoma. Sang radèn, sareng sampun ageng, ngibadah sanget, remen dhateng agami Buddha (Mahâyana). Badhé dipunkramakaken saha dipunjumenengaken ratu, mboten karsa.
    Ing wanci dalu sang radèn lolos saking nagari.: konten-konten ingkang dipunkancingi, sami menga piyambak-piyambak kanggé langkung sang radèn. Sareng lolosipun sang radèn kasumerepan, ing kedhaton gègèr, sang prabu saha sang paramèswari sami susah, dipunrarapu ing akathah.
    Dumugi ing wana sang radèn mumuja wonten salebeting candhi; bathari Widyutkarali rawuh, pratéla bilih sembahyangipun sang radèn sampun katarimah. Ing salajengipun sang radèn minggah ing redi Himalaya, kadèrèkaken para pandhita sawatawis. Dumugi satunggaling patapan, sang radèn dipunaturi uninga yèn wonten ratu, titising ratu danawa, damelipun nedha tiyang, nama prabu Porusada utawi Kalmasapada. Cariyosipun ratu punika makaten: ing satunggaling wekdal, ulam sadhiyan badhé dhaharipun sang prabu, ical dipuntedha ing segawon saha babi. Juru masak bingung, kesesa pados ulam kanggé lintunipun, mboten angsal, lajeng dhateng pasaréyan ngiris ulam pupuning tiyang pejah ingkang taksih énggalan, lajeng dipunmasak. Sang prabu dhahar kraos éca sanget, labet titising danawa wau; ndangu dhateng juru masak, ulam punapa ingkang dipunaturaken punika wau. Aturipun juru masak, ulam tiyang, sabab pun juru masak dipunagar-agari badhé kapejahan yèn mboten matur saleresipun. Sang prabu tuman dhahar ulam tiyang; tiyang ing nagari telas, saking sampun sami dipundhahar utawi ngungsi késah dhateng sanès nagari. Sang prabu lajeng ndilalah gerah tatu sukunipun, mboten saged mantun; malah lajeng dados danawa, dudunung wonten ing wana dados pangagening wana.
    Ing satunggaling wekdal sang prabu kaul, bilih saged mantun gerahipun, badhé nyaosi dhahar dhateng bathara Kala, ratu satus.
    Sang Sutasoma dipunaturi déning para pandhita supados mejahi sang ratu punika, nanging mboten karsa. Bathari Pretiwi medal saking dhasaring siti, tumut ngaturi sang radèn supados mejahi sang Kalmasa-pada, nanging sang radèn meksa mboten kersa. Malah anglajengaken tindakipun badhé tapa.
    Wonten ing margi kepanggih danawa asirah gajah anama Gajamukha, damelipun ugi nedha tiyang. Sang radèn badhé dipuntedha; sareng kagelut, danawa dhumawah ing ngandhap, ketindhihan sang radèn, awratipun kados katindhihan ing redi. Danawa sirah gajah kawon, lajeng dipunwulang agami Buddha; mboten kénging amemejahi; danawa sirah gajah miturut lajeng dados siswa. Salebetipun anglajengaken lampah, kepanggih naga, ingkang badhé ngancap dhateng sang radèn. Danawa sirah gajah ngadhangaken badanipun, kapulet ing naga; sareng sampun, naga lajeng ngalumpruk dhawah ing siti, sebab kénging prabawanipun sang radèn. Sang naga inggih lajeng dados siswa. Dumugi satunggaling jurang sang radèn kepanggih sima èstri badhé nedha anakipun. Sang radèn ngendhak kajengipun; sima-biyung wangsulanipun, luwé sanget sampun mboten saged angsal kidang menjangan, amila badhé nedha anakipun piyambak. Sang radèn lajeng ngandika: "Aku waé panganen, anakmu mesakaké". Sima èstri lajeng anggemprong sang radèn katubruk, dipuncakot jajanipun, kasesep rahipun, kraos mak cles kados ngombé toya panggesangan, wasana pun sima èstri kéngetan dhateng pandamelipun awon, manahipun getun sanget, nangis wonten daganing layonipun sang radèn, naming badhé sumedya pejah thok.
    Bathara Indra rawuh, sang radèn dipungesangaken malih. Sang radèn nutuh dhateng bathara Indra déné sampun sekéca teka dipungesangaken malih. Wangsulanipun bathara Indra, yèn sang radèn mboten sugeng malih, mangka pun sima èstri kalajeng pejah, punika anggènipun sang radèn welas mitulingi dhateng anak sima wau mboten wonten tegesipun, awit sima alit inggih mboten wandé pejah dipuntilar biyungipun, mboten wonten ingkang nusoni. Bathara Indra muksa, sang radèn lajeng paring piwulang.
    Ing sasampunipun punika sang radèn lajeng tapa piyambak wonten ing guwa, kagodha (pangaruh saking Kakawin Arjunawiwaha), mboten kéngguh bathara Indra tindak piyambak mindha-mindha putri ayu, meksa mboten kèngguh, malah sang radèn badhar dados bathara Buddha Wairocana. Para déwa nyungga-nyungga. Sareng sampun arupa sang Sutasoma malih, lajeng kondur.
    Sang prabu Dasabahu, nak-sanakipun sang radèn, perang kaliyan danawa balanipun prabu Kalmasapada. Danawa kawon lumajeng ngungsi dhateng sang radèn. Prabu Dasabahu nututi, ngancap dhateng dhateng sang radèn, wasana uninga bilih nak-sanakipun piyambak, lajeng dipunjak kondur dhateng nagarinipun sang Dasabahu kapendhet ipé. Bibar temu sang radèn kondur dhateng nagari Ngastina; sareng sampun kagungan putra sang radèn lajeng kajumenengaken ratu nama prabu Sutasoma. Kocapa, sang prabu Porusada (Kalmasapada), anggènipun pados ratu satus sampun angsal 99 sami dipunpenjara. Namung kirang satunggal; sang Kalmasapada nglurug dhateng Ngalengka, nanging ratunipun mboten kacepeng awit séda wonten ing paprangan.
    Prabu Porusada lajeng mindha-mindha pandhita, ngemis dhateng ratu Widarba (nyèngkok nalika sang Dasamuka mindha-mindha pandhita badhé ambradhat déwi Sita saking Kakawin Ramayana). Ratu Widarba kènging kapikut. Sareng sampun jangkep satus, para ratu lajeng dipuncaosaken dhateng bathara Kala, nanging sang bathara mboten karsa dhahar sabab, kirang miraos; kepéngin dhahar ratu Ngastina, prabu Sutasoma. Sang Purusada nglurug dhateng Ngastina; para putranipun ratu ingkang sami ngungsi dhateng Ngastina, sami prang kaliyan balanipun prabu Porusada. Wasana sang Sutasoma prang tandhing kaliyan sang Porusada. Dangu-dangu, rèhné naming dipuntandhingi sabar, ratu Ngastina kènging kabekta dhateng ngarsanipun bathara Kala. Sareng badhé dipundhahar, aturipun sandika, anggeripun para ratu 100 sanèsipun sami dipunluwari. Mireng ingkang makaten punika, bathara Kala rena sanget panggalihipun; sang Porusada trenyuh manahipun déning lila-legawanipun prabu Sutasoma, lajeng tobat, mantun nedha ulam tiyang, tur para ratu ingkang 100 sami dipunluwari sadaya.
    Bathara Kala saha Porusada lajeng dados siswa sang Sutasoma. Kakalihipun agesang ing wana kados wiku. Déning sang Sutasoma kakalihipun lajeng dipunajari dharma saha yoga. Bathara Kala dipuntinggal awit kedah tobat. Para sadaya wangsul ing Ngastina. Ing riku para titiyang ingkang pejah dipun-gesangi malih déning bathara Indra. Satunggaling pésta dipunwontenaken. Purusada mboten wangsul dhateng Ratnakanda nanging késah dhateng redi Mandara kaliyan para danawa sanèsipun badhé mbangun tapa.
    Ingkang donya dados aman, tentrem, lan reja malih. Sasampunipun pinten wekdal sang Sutasoma kaliyan garwanipun séda wangsul dhateng ing swarga sang Jina (Buddha). Ing riku sang Porusada uga angsal ganjaran anggènipun mbangun tapa. Bathara Kala dados Pasupati. Putranipun prabu Sutasoma, Ardhana dipunjumenengaken dados ratu Ngastina.
    Popularitas kakawin Sutasoma
    Ing pulo Bali, ing pinten-pinten kalangan, kakawin puniki ngantos sapunika taksih populèr sanget. Prekawis punika mbokbilih déning sifat dhidhaktisipun. Prekawis piwulang mistik ingkang dipunajaraken déning sang Sutasoma ing para siswa ingkang dipunwor kaliyan lukisan gesang manifèstasi sang Buddha ing donya, serta usahanipun kanggé nylametaken umat manungsa singgih saé sanget.

    BalasHapus
  3. NAMA:NURLAELI
    NIM :2102408007
    ROMBEL:1


    SERAT RAMA



    Ajaran SRI RAMA berdasarkan “Serat Rama” atau Ramayana Kakawin, yang disadur oleh pujangga Yasadipura I dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Kamajaya.

    BARATA BERTAKHTA SEBAGAI RAJA AYODYANEGARAMELAKSANAKAN AMANAT DAN
    AJARAN SANG BIJAKSANA RAMAWIJAYA

    “Ketahuilah adinda, bahwa raja yang memimpin negara adalah pemimpin masyarakat dan sekaligus rakyatnya. Raja berkewajiban pula menjaga seluruh dunia.
    Pedoman sebagai pegangan raja menjalankan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:
    1. Perhatikan dan ikutilah ajaran-ajaran kesatriaan. Peganglah sebagai pedoman kitab-kitab suci dan ikutilah perintah dalam kitab-kitab agama. Dengan berbuat demikian, niscaya akan datang kebahagiaan kepadamu.

    2. Peliharalah rumah-rumah Dewa (agama), yang suci, rumah-rumah sakit dan tanah milik bangunan suci.

    3. Peliharalah biara-biara dan perhatikanlah tempat-tempat suci dan rumah pedewaan. Jalan, pasanggrahan, air mancur, telaga, empang, tambak, pasar, jembatan dan segala apapun juga yang dapat membawa kesejahteraan rakyat, itu wajib adinda selenggarakan.

    4. Pertanian wajib dikerjakan oleh raja dengan penuh perhatian terus-menerus. Dari pertanian ini datanglah segala macam bahan pangan yang sangat penting untuk negara.

    5. Perbesarlah jumlah emas (harta) untuk biaya yang menuju kearah terjaminnya kebahagiaan. Adinda dapat mengeluarkan emas dan harta sesuka hatimu, asal saja untuk kebahagiaan rakyatmu. Ini berarti, bahwa dengan menjalankan darma (amal perbuatan), adinda juga membawa kebahagiaan untuk orang lain agar mengecap kenikmatan bersama.

    6. Raja yang dihormati rakyat ialah raja yang tahu suka duka rakyatnya dengan sempurna dan terus menerus, begitu pula usahanya untuk mendengarkan kesusahan yang diderita oleh seluruh rakyat di negaranya. Sebab inilah kewajiban abadi seorang raja.

    7. Tolonglah setiap orang diantara rakyatmu yang mengajukan keluh kesahnya dan janganlah diam. Adinda tidak boleh menghina siapapun juga, bahkan terhadap seseorang yang rendah sekalipun. Jangan menghina mereka yang minta pertolongan.
    8. Cobalah untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintahan yang baik, wahai adinda. Pertajamlah hatimu dan jadikanlah hal ini sebagian dari kebijaksanaanmu.

    9. Susunlah rencanamu untuk waktu yang akan datang guna memelihara dunia dan menjamin berlangsungnya keamanan dan ketertiban.

    10. Periksalah angkatan perangmu dan berilah latihan kepada tentaramu dan perhatikantah tentang kemahirannya. Siapa diantara mereka yang memperlihatkan kecakapan yang lebih dari yang lain, ia wajib dinaikkan pangkatnya. Sebaliknya yang memperlihatkan kekurangannya, wajib dilatih lebih mendalam.

    11. Latihlah gajah, kereta perang, begitu pula kuda dan siapkanlah itu untuk menyerang.

    12. Masukkanlah musuhmu dalam perangkap dan binasakanlah mereka itu dengan tali pemukulmu, sehingga mereka itu binasa seperti air yang mengering. Seranglah musuhmu dengan segala jalan dan segala perhitungan. Janganlah kamu tunda pembasmian orang-orang jahat.

    13. Pahlawan yang dikatakan tidak ada bandingannya ialah apabila ia memiliki kekuatan seperti singa yang ditakuti dan apabila ia membunuh musuh dengan tepat.

    14. Jauhkanlah dirimu dari orang-orang yang mempunyai perangai jahat, karena mereka itu menimbulkan kerusakan dan menyebabkan negara menjadi mundur. Bila adinda bersama mereka, maka pegawai yang baik menjauhimu, sedangkan teman-temanmu makin jauh dan musuhmulah yang dekat kepadamu.

    15. Seorang pegawai itu buruk apabila ia acuh. Dengan demikian ia tak tahu hormat dan melanggar sopan santun. Ia dapat diumpamakan sebagai kambing yang takut dan hormat kepada pohon yang miring, ia dengan gembira memanjatnya dan dengan seenaknya serta tidak ragu-ragu berlari-lari diatas batangnya.
    Pegawai jahat niscaya akan kelihatan dan jangan menaruh kepercayaan kepadanya.

    16. Perhatikanlah gerak-genik mereka yang mengabdi kepadamu sebagai pegawal. Selidikilah tentang kepandaiannya dan kesetiaan mereka terhadap kamu. Apabila ia bertabiat baik dan memiliki sifat-sifat baik, ia harus kamu hargai, sekalipun ia masuk keturunan rendah. Lebih utama apabila kamu terima seorang dan keturunan baik-baik.

    17. Perhatikan dan selidikilah sikap segala pegawaimu apakah mereka itu berpengetahuan dan tahu tentang kenegaraan dan pemerintahan, patuh dan berkelakuan baik, apakah tidak bohong dan berbakti serta taat dalam pengabdiannya kepadamu, kepada negara, dan apakah mereka tidak jahat?. Dalam hal ini adinda harus mengetahui apa yang buruk dan apa yang baik. Adinda dapat mencegah mereka dari perbuatan yang menyesatkan.

    18. Setiap orang pegawal wajib tahu tentang kepegawaiannya dan ia harus setia kepada pemerintahnya. Begitu pula ia harus tahu tentang pekerjaannya dan tidak segan untuk membuat pekerjaan baik.

    19. Janganlah lekas-lekas memberi hadiah kepada pegawai, sebelum adinda menyelidikinya. Apabila adinda memberi sesuatu kepadanya, berikanlah kepadanya lebih dahulu suatu tugas, sehingga mencapai hasil. Jika terbukti, bahwa ia tetap pendiriannya untuk mengabdikan dirinya kepadamu, ini berarti bahwa adinda disegani dan rakyatmu mencintaimu sebagai manikam yang sakti dan membawa kebahagiaan.

    20. Apabila adinda tahu sungguh-sungguh yang adinda kerjakan, dapat dikatakan adinda memiliki pepengetahuan yang sempurna seperti Dewa-dewa. Siapa yang tahu tentang kepandaian, ialah yang disebut serba tahu.

    21. Bebaskanlah diri dari hawa nafsu dan kedengkian. Jauhkanlah darimu dari kecemburuan dan bersihkanlah dirimu. Dengan jalan itu adinda akan di segani. Ketahuilah, bahwa raja yang memperlihatkan keangkuhan akan kehilangan kewibawaannya karena ditinggalkan oleh wahyunya.

    22. Angkara murka wajib diberantas; demikian pula perbuatan tercela haus dibasmi.

    23. Kekayaan lahiriah, harta, benda dan pangkat tidak boleh menimbulkan kemabukan lupa daratan. Semua itu boleh mendatangkan kesenangan yang terbatas.

    24. Ajaran kitab-kitab Sastra harus dijalankan dengan tidak henti-hentinya. Sekalipun itu sukar dilaksanakan, namun setiap orang harus mentaatinya. Bilamana banyak orang taat dan tahu akan ajaran kitab-kitab suci serta berpegang kepadanya, maka mereka akan melahirkan pedoman kebenaran.

    25. Tunjukkanlah keikhlasan hatimu apabila memberi hadiah kepada orang-orang brahmana dan pendeta yang terkemuka.

    26. Cobalah selalu tenang dan berbelas kasihan dan janganlah menunjukkan ketakutan kepada apa dan siapa yang adinda takuti.

    27. Jangan berdusta, sebab dusta menyebabkan kejahatan. Dengan demikian adinda akan menghadapi malapetaka dan akan dicela.

    28. Apabila adinda mencela seseorang, kerjakan sendiri yang tepat dan janganlah adinda terlalu dikuasai oleh hawa nafsu. Sabda raja harus sesuai dengan perbuatannya. Perjudian dan perbuatan hina jangan adinda kerjakan.

    29. Basmilah kemabukan pikiran yang angkuh; hilangkanlah itu dari hatimu, sebab keangkuhan itu mencemarkan dan menyuramkan penglihatan.

    30. Kesaktian dan kepandaian menyebabkan kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk memiliki kedua hal itu bukanlah ringan. Orang-orang baik yang berpengetahuan dan faham tentang kitab-kitab ini patut adinda hargai. Apabila adinda memiliki beberapa macam kepandaian, pastilah rakyat mencintaimu.
    Jauhilah perbuatan mengadu domba dan pujian yang menyesatkan.

    31. Apabila sesuatu kejahatan telah jelas bentuknya, bertindaklah apabila perbuatan itu memang salah, Binasakanlah orang yang berdosa. Akan tetapi selidikilah hal ini dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya apabila ia berjasa, berikan kepadanya hadiah dan kepuasan. Inilah hak raja untuk memberi anugerah atau memberi hukuman.

    32. Ada lima macam bahaya yang sungguh mengancam ialah:
    1. Apabila ada pegawai yang dalam menunaikan tugas di daerah menderita karena terik matahari.
    2. Adanya sejumlah banyak pencuri;
    3. Apabila kekacauan dan kejahatan merajalela;
    4. Adanya orang-orang yang menjadi dan dijadikan “anak emas” pembesar.
    Kejadian seperti itu dapat dianggap sebagai kejahatan; dan
    5. Keangkara-murkaan raja.
    Lima macam bahaya itu harus dibasmi atau dicegah sebelum timbul dan merajalela

    33. Ketahuilah adinda Barata, bahwa raja dapat diumpamakan batara Surya yang memanasi dunia oleh sifatnya. Demikianlah halnya dengan seorang raja yang membinasakan orang jahat. Bulan memberikan rasa cinta dan disegani oleh seluruh dunia Begitulah juga hendaknya perbuatan raja dalam memperhatikan dan memelihara rakyatnya.

    34. Sebagai raja adinda dapat disamakan dengan sebuah bukit, sedangkan rakyatmu diumpamakan pohon-pohonan yang tumbuh di lerengnya. Pohon-pohon itu hidup dan dijamin hidupnya oleh bukit.

    35. Adindaku Barata yang tercinta, itulah sesama kewajiban adinda sebagai raja yang berusaha menjaga keselamatan dunia yang bahagia. Adinda wajib mempertinggi perhatian kepada orang lain dan menaruh belas kasihan kepada rakyatmu, dan seluruh kesukaran duniapun harus adinda perhatikan.
    Demikianlah nasihat wejangan sang bijaksana Ramabadra kepada adinda Barata yang direstuinya duduk di atas takhta Ayodyanegara sebagai raja memimpin tampuk pemerintahan, memimpin masyarakat dan rakyatnya.

    Setelah bersembah sujud dengan khidmat kepada Rama dan Sinta, dan setelah satria Laksmana menyembah Barata, maka dengan ijin dan restu serta puji jaya-jaya dan kakandanya sang Ramawijaya, Barata dengan segenap pengiringnya turun dan bukit Citrakuta, kemudian berangkatlah meninggalkan hutan menuju ke ibukota Ayodya.

    Kewajiban sebagai raja telah menantinya. Dengan merayakan “terompah sang Rama” dan menerapkan ajaran sang bijaksana, maka aman sentosa sejahteralah Ayodyanegara dibawah pemerintahan raja Barata.

    BalasHapus
  4. Nama : Nurul khafifah
    NIM : 2102408115
    Rombel : 4



    SASTRA JAWA DALAM PERJALANAN SEJARAH

    Perjalanan sejarah sastra Jawa dapat ditelusuri dengan melihat koleksi naskah Jawa yang terdapat dalam pelbagai museum, terutama di museum Yogyakarta, Surakarta, Jakarta dan diluar negri yang banyak terdapat di Negeri Belanda. Dari pelbagai naskah itu kita akamenjumpai naskah yang berupa Babad, Serat-serat, sastra pewayangan, sastra suluk.

    Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokuhnya, Serat berisi tentang ajaran ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya pada kisah Mahabrata dan Ramayana, suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dll.

    Jenis sastra Jawa yang paling tua adalah Ramayana Kakawin dan kitab-kitab parwa yang menceritakan nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Meskipun kisah Ramayana dan Mahabarata berasal dari India, tetapi isinya yang diambil oleh masyarakat Jawa adalah pertentangan antara yang baik dan yang buruk , yang berakhir dengan kemenangan yang baik. Ada 8 parwa yag dikenal, yaitu : Adiparwa, Wiathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Asramasaparwa, Mosalaparwa, Prathanikaparwa dan Swargarohanaparwa, yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada jaman raja Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur pada kahir abad ke 10.

    Sastra yang dipengaruhi India itu mendominasi dunia sastra Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kirab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil. Kalau pada jaman sebelum Majapahit tokoh-tokoh didalam karya-karya sastra yang ditonjolkan berupa tokoh mitologis, terutama tokoh yang diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana, maka pada jaman Majapahit tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah tokoh-tokoh sejarah. Baik tokoh yang hidup dan digambarkan secara riil maupun tokoh sejarah yang hidupnya telah diolah sebagai mitos, misalnya tokoh-tokoh dalam serat-serat Panji dan kitab Pararaton.

    Pada jaman Majapahit karya sastra mulai menggarap tokoh-tokoh sejarah yang pola kelakuannya bisa diteladani, seperti Ken Arik, Hayam Wuruk, Rati Tribuwana, Jayakatwang, Sora, Nambil dan sebagainya.
    Sastra piwulang

    Disamping karya sastra sejarah, pada jaman Majaphit muncul pula karya sastra piwulang yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab Nitisastra dan Dharmasunya. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan salah satu pembaharuan di bidang sastra Jawa. Pandangan masyarakat telah bergeser, bukan lagi terpusat pada individu sebagai elemen “jagad gedhe”, melainkan individu secara mandiri telah dihargai sebagai “jagad cilik”. Ajaran moral yang tercantum dalam kedua kitab diatas pada dasarnya menuntun individu agar bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri.

    Setelah Islam masuk, muncullah kitab suluk, kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab suluk mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi..

    Pada jaman Islam ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitab-kitab yang berii mitologi Islam seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitabRengganis dan kitab Ambiya. Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak ke belakang. Lahir pula karya sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat Nitipraja, dan serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah.

    Metrum macapat

    Ketika stabilitas politik terjadi pada jaman Surakarta, para pujangga aktif dengan karya-karya sastranya, dan yang sangat menonjol adalah karya-karya dalam bentuk metrum macapat atau puisi macapat. Karya-karya Jawa Kuna seperti serat Batarayuda, Ramayana, Lokapala, Arjunasasrabau, Wiwahajarwa dirubah dalam bentuk puisi macapat. Demikian pula sastra piwulang, juga dibentuk dalam puisi macapat seperti serat Wicarakeras, Sanasusnu oleh Yasadipura II, Wulang Reh dan Wulang Sunu oleh Sri Sunan Paku Buwana IV, Wedhatama oleh Sri Mangkunegoro IV, serat Centhini oleh Sri Susuhunan Paku Buwono V. Bentuk metrum macapat ini juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti. Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya.

    Pada jaman Surakarta ini juga muncul karya sastra yeng bersifat futuristik (ramalan) yang banyak digubah oleh pujangga Ranggawarsita, yang terkenal karena ramalannya dalam Serat Kalatidha.

    Pengaruh penjajahan Belanda juga terlihat pada karya-karya sastra pada masanya, terutama setelah berdirinya Balai Pustaka yang menerima naskah sastra Jawa. Ciri khusus dari sastra yang diterbitkan Balai Pustaka ialah tidak lagi mengambil peran tokoh-tokoh wayang, bukan pula tokoh raja-raja, melainkan dari tokoh imaginer dari masyarakat konkret.Pemecahan masalah tidak lagi dicari di alam kayangan atau wasiat adikodrati melainkan ditekankan pada masalah pendidikan,yang waktu itu telah dirintis oleh Pemerintah Hindia Belanda.

    BalasHapus
  5. Rizki Norfitriana15 April 2009 pukul 04.41

    Nama : Rizki Norfitriana
    NIM : 2102408059
    Rombel : 2

    Serat Wulangrèh

    Serat Wulang Rèh, kuwi karya Jawa klasik tinggalan Paku Buwana IV( 1768 – 1820 ), arupa puisi tembang macapat, jroning basa Jawa anyar kang tinulis ing taun 1768 nganti taun 1820 ing Kraton Kasunanan Surakarta. Isi teks bab ajaran ètika manungsa idéal kang ditujokaké marang kulawarga raja, kaum bangsawan lan hamba ing kraton Surakarta. Ajaran ètika kang ana ing njeroné minangka ètika kang idéal, kang dianggep minangka paugeran urip masarakat Jawa, utamané ing lingkungan Kraton Surakarta. Miturut Serat Wulangrèh, hubungan sosial isih ngugemi sipat tradhisional kanthi urutan miturut umur, pangkat, bandha, lan awu ’tali kekerabatan’. Konflik tinarbuka sak bisa-bisané diendhani. Donya lair kang ideal yakuwi donya kang saimbang lan selaras, kaya déné kasaimbangan lan kaselarasan lair lan batin. Urip ora bakal nandang cacat yèn batiné tetep waspada. Kawaspadan batin kang terus terusan iku bakal nyegah tingkah laku, wicara lan celathu sing kurang patut. Ngurangi mangan lan turu iku minangka latihan kang utama kanggo ngéntukaké kawaspadan batin. Saliyané kawaspadan batin uga diendhani watak sing ora apik, yaiku watak adigang, adigung lan adiguna. Suwaliké kudu miara watak “ rèh “, sabar lan “ ririh “ , ora kesusu lan ati-ati. Kalakuan kang nguntungaké awaké dhéwé lan ngrugèkaké liyan kudu diendhani, ngapusi (dora), nyengit lan sawenang-wenang kudu diadohi. Yèn batiné wis waspada, tingkah lakuné kudu sopan, tingkah laku sopan yakuwi tingkah laku kang :
    • Deduga, ditimbang kanthi premana sadurungé njangkah
    • Prayoga, ditimbang apik alané
    • Watara, dipikir mateng sakdurungé mènèhi kaputusan
    • Reringa, sakdurungé yakin tenan tumrap kaputusané iku
    Ana limang perkara kang kudu lan wajib dikurmati yaiku : bapa lan ibu, maratuwa lanang - wadon, sedulur lanang kang paling tuwa, guru lan raja. Pesen lan pitutur marang anak putu:
    1. Patuh lair lan batin marang wong tuwa
    2. Aja gampang mongkog (puas) marang nasib kang ditampa
    3. Takon marang alim ulama bab agama lan Al Qur'an
    4. Takon marang sarjana utawa wong pinter ngenani suba sita lan tata basa.
    5. Sregeb maca kitab-kitab lawas kang isi tuladha lan crita-crita kang becik.
    6. Takon marang wong-wong tuwa bab cara mbédakaké tingkah laku kang apik lan ala, kang nistha lan kang pinuji, kang cendhèk lan kang dhuwur.
    Serat Macapat Dandanggula [1]:
    1. Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
    2. Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
    3. Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
    4. Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
    5. Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
    6. Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
    7. Angel temen ing jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
    8. Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.

    BalasHapus
  6. Nurul Khofiyanida15 April 2009 pukul 05.02

    Nama :Nurul Khofiyanida
    NIM :2102408104
    Rombel :4

    Kakawin Bhomântaka

    Kakawin Bhomântaka atau juga disebut sebagai Kakawin Bhomakawya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuna, panjangnya mencapai 1.492 bait. Isinya ialah kisah cerita peperangan antara Prabu Kresna dan sang raksasa
    Bhoma.Kakawin dimulai dengan manggala sang penyair. Prabu Kresna dan saudaranya; Baladewa diperkenalkan. Lukisan ibu kota Dwārawati diberikan; sebuah adegan audiensi dan datangnya tamu dari sorga dilukiskan, di mana mereka meminta perlindungan dari Naraka, sang raksasa.Diceritakanlah bagaima sang Naraka dilahirkan sebagai putra batara Wisnu dan batari Pertiwi, oleh karena itu Naraka memiliki nama Bhoma. Bhoma artinya adalah “Putra Bumi”. Lalu ia menjadi raja dan batara Brahma bertitah bahwa ia akan memerintah tiga dunia. Kresna memutuskan bahwa Samba, putra tertuanya akan dikirimkan untuk melindungi para tapa di Himālaya. Kresna mengajarkan Sāmba kewajiban atau dharmanya sebagai seorang anak lelaki.Sāmba bertemu dengan ibunya Jambawatī dan lalu berangkat dari istana. Sang raja memberinya wejangan mengenai dharma seorang ksatria; lalu iapun dan pengikutnya berangkat ke daerah pedesaan.Lalu lukisan daerah pedesaan diberikan; mereka bermalam di sebuah pertapaan dan diterima di sana. Para balatentara bercakap-cakap dan bercengkerama. Pertapaan dan daerah pedesaan sampai gunung Himalaya dilukiskan lebih lanjut.Pertapaan-pertapaan yang dirusak oleh bala Naraka dilukiskan; para raksasa mencium keberadaan mereka dan menyerang pada malam hari. Terjadilah pertempuran sengit; kaum raksasa berhasil dipukul mundur.Samba lalu berlawat pada sebuah pertapaan terpencil dan bercengkerama di sana. Sebuah pertapaan dilukiskan. Sisa-sisa kaum raksasa menyerang kembali; mereka berhasil dipukul mundur oleh para tapa dan Samba. Perjalanan lalu dilanjutkan ke tempat larangan Wiśwamitra; Sāmba disambut di sana.Seorang siswa Wiśwamitra, Guņadewa, menceritakan tentang komunitas di pegunungan, termasuk yang sekarang telah ditinggalkan dan sebelumnya dihuni oleh putra batara Wisnu, Dharmadewa yang merupakan kekasih Yajñawatī.Sāmba teringat bahwa ia pernah terlahirkan sebagai Dharmadewa dan bagaimana ia meninggalkan Yajñawatī. Ia lalu berusaha keras untuk menemukannya, dan Guņadewa memberinya pelajaran akan anitya. Semetara itu Tilottamā, seorang bidadari datang. Sāmba mengenalnya sebagai dayang Yajñawatī.Tilottamā memberi tahu bahwa Yajñawatī telah lahir kembali sebagai seorang putri, namun sekarang ia dicekal oleh Naraka. Tilottamā tahu ia dicekal di mana dan berjanji akan mengantar Sāmba.Lalu kecantikan sang putri diperikan; Saharşā berkata bahwa ia sudah datang. Sang putri lalu menyiapkan diri.Sāmba dan Tillottamā datang; Tilottamā yang pertama masuk dan mendatangi sang putri yang mengharapkan kekasihnya. Sāmba masuk, namun sang putri kelihatannya enggan menjumpainya.Sāmba berusaha keras untuk melayu sang putri dan mengingatkan bahwa mereka pada kehidupan sebelumnya merupakan kekasih. Mereka dipersatukan. Tilottamā merasa cemas, namun Sāmba berkata bahwa ia ingin memerangi para raksasa. Para dayang-dayang masuk dan melihat pasangan ini sedang bermain cinta.
    Dāruki, seorang kusir, masuk dan memperingatkan pangeran Sāmba bahwa mereka dalam keadaan bahaya: para raksasa telah datang. Sāmba meninggalkan sang putri dan pertempuran mulai.Para wanita menjadi panik dan para dayang-dayang lalu mengungsikan sang putri ke istana Bhoma, Prāgjyotişa. Para raksasa terusir kembali, dan Sāmba lalu mencari kekasihnya lagi.Ia berusaha mengejarnya, namun dihalangi oleh Nārada dan menyuruhnya untuk pulang. Pada perjalanan pulang, ia berjumpa dengan Tilottamā dan meminta untuk menyampaikan rasa rindunya kepada sang putri.Sang pangeran kembali, namun Krĕsna mencemaskannya. Dāruki berusaha memberi tahu apakah yang telah terjadi. Prabu Citraratha diterima di balai audiensi, dikirim oleh Indra, karena para Dewata terdesak berperang melawan Naraka.Sang raja berjanji akan memberikan bantuan dan meminta saran Uddhawa kebijakan apa yang harus diambil. Uddhawa memberi jawaban dengan bicara panjang lebar mengenai kewajiban seorang raja dan bagaimana harus memerangi para raksasa.Maka sang prabu memberi perintah untuk bersiap. Dalam waktu tiga hari balatentara Yadu berangkat. Mereka mencapai lereng Himālaya dan membuat sebuah perkemahan di luar pemukiman musuh. Yajñawatī mendengar bagaimana Sāmba telah datang dan mengirimkan Puşpawatī dengan sebuah pesan.Yajñawatī lalu bercerita akan cinta sang putri dan meminta Sāmba untuk mengambilnya. Hari selanjutnya kaum Yadu menyerang; sesudah sebuah pertempuran sengit, para raksasa melarikan diri.Si raksasa Mura menyerang kembali, namun dibunuh dan kaum Yadu memasuki istana. Sāmba hadir dan menemukan Yajñawatī; kaum Yadu lalu pergi.Kaum Yadu sungguh lelah dan mereka berkemah untuk bermalam di daerah Magadha. Prabu Jarāsandha mendengar dan menyerang dibantu oleh selimut kegelapan. Sāmba terluka namun bisa melarikan diri dengan sang putri di dalam keretanya; setelah jauh roda kereta patah. Sang pangeran lalu jatuh terpingsan.Yajñawatī menangis; seorang biku lewat dan merasa iba. Ia merasa kasihan atas keduanya dan memandikan sang pangeran dengan air yang dibawa sebagai bekal.Sang pangeran siuman dan diurusi di dalam pertapaan. Sāmba bermimpi bahwa Batara Wisnu memberinya jiwa-Nya. Dāruki datang dan bercerita apa yang terjadi terhadapnya, lalu Sāmba kembali ke Dwārawatī dengan Yajñawatī.Prabu Druma telah terusir dari negerinya dan sekarang meminta perlindungan Krĕsna. Druma berbicara dengan sebuah dewan penghulu dan Basudewa memberikan sokongannya yang lalu diterimanya. Ia lalu menjelaskan siapa saja yang berada di sisi Bhoma.Kaum Yadu menyatakan dukungan mereka dan lalu pergi bercengkerama di gunung Rewataka.Seorang gadis, bernama Kokajā, jatuh cinta dan bercerita kepada sahabatnya bahwa ia menggandrungi putra Prabu Druma, Suratha. Lalu sahabatnya pergi mencarinya..Isi sebuah surat cinta dilukiskan. Selain itu ada pula lukisan alam. Para selir membicarakan kewajiban mereka.Kaum Yadu bercengkerama di gunung Rewataka dan kembali ke negeri.Bhoma sungguh murka atas apa yang terjadi dan kembali dari sorga. Ia bercerita kepada Mahodara bahwa ia berencana untuk memerangi Dwārawatī. Ia dibantu oleh Cedi, Awangga, Magadha, dan Kalingga. Bhoma bermusyawarah harus mengambil kebijakan apa. Ia lalu mengirimkan Śatruntapa dan sebagai duta ke Krĕsna untuk mencari tahu apakah ia ingin menyerah atau berperang.Para duta datang dan diterima. Śatruntapa berbicara kepada Baladewa dan Kresna, menyampaikan pesan Bhoma. Gada menjawab dan menyangkal semua argumennya. Āhuka (Ugrasena) berbicara dengan damai. Śatruntapa murka dan Mahodara berbicara, diikuti oleh Wabhru. Mereka saling menghina dan para duta pergi menuju sang Bhoma.Bhoma menyatakan perang dan mengambil posisi di gunung Rewataka dengan bala tentara raksasanya. Kaum Yadu dan sekutu mereka berkumpul dan mendiskusikan rencana yang harus mereka ambil. Kresna memberikan perintahnya dan para hulubalang telah siap. Malam itu sebuah pesta diberikan.Keesokan harinya, pagi-pagi Prabu Kresna didatangi oleh Dewi Ganggā yang telah dikirim oleh para Dewata untuk membawa air dan memandikannya. Kresna lalu berangkat dengan para putranya.Bala tentara yang telah berkumpul kelihatan. Tiba-tiba sang resi Durwaśa datang untuk menjumpai Kresna, dan memintanya untuk menyiapkan makanan untuknya. Kresna lalu pergi dan menyerahkan kepemimpinan kepada Arjuna dan Rukma.Ketika melihat gunung Rewataka, kedua bala tentara berjumpa. Bhoma memerintahkan Cedi, Karna dan Magadha untuk menantang kaum Yadu. Bhoma memiliki tentara berjumlah lima divisi sedangkan kaum Yadu memiliki tiga.Para prajurit Bhoma menyerang bala tentara Prabu Bāhlika; bala tentara Cedi menyerang Prabu Drupada; Somadatta bertanding dengan Karna; Windu dan Anuwinda dengan Yawana. Kegelapan menimpa medan pertempuran.Pertempuran sengit berlangsung. Maka Suratha terluka parah dan tewas. Prabu Śiśupāla (Cedi) tewas. Karna tewas dibunuh Sāmba. Hiraņya terbunuh. Prabu Magadha yang maju tewas dibunuh Gada. Para raksasa ditahan oleh kaum Yadu.Rukma dibunuh oleh Mahodara; Sāmba dan Dāruki dibunuh oleh Bhoma. Arjuna dan Bhoma bertanding; Arjuna sekarat sementara Bhoma bisa sadar.Kresna segera diberi tahu yang lalu datang dengan sang Baladewa untuk memerangi para raksasa.Dāruki bercerita kepada Krĕsna mengenai rahasia bunga Wijaya Bhoma.Arjuna akhirnya tewas. Sang resi Durwaśa datang dan memberi anugerah untuk mengembalikan seorang yang telah tewas; Kresna memilih Prabu Druma. Durwaśa memberikan ajaran kepada Krĕsna dan menghilang. Pertempuran sementara tetap berlangsung. Nisunda dan Pañcajana tewas. Hayagrīwa dan Tāra juga tewas.Bhoma dan Kresna berperang; kereta Maņipuşpaka dihancurkan. Kresna mengambil wujudnya sebagai Wisnu, diiringi oleh Garuda, wahananya yang merebut bunga. Bhoma dibunuh oleh Kresna.Para raksasa melarikan diri. Baladewa menemukan sebuah gunung permata di angkasa dan mengambilnya. Brahmā datang dan memberikan sembah kepada Kresna sebagai raja utama.Dewa-dewa lain datang dan Wisnu memberi ajaran mereka atas dharma atau kewajiban masing-masing. Batara Śakra (Indra) memberi anugerah, sehingga Krĕsna meminta supaya semua raja yang telah tewas dan kaum Yadu dihidupkan kembali, dan tidak melupakan musuh-musuhnya Cedi, Karna dan Jarāsandha.Setelah dihidupkan kembali, mereka mengira perang masih berlangsung; Kresna meladeni mantan musuh-musuhnya.Kresna berpulang ke Dwārawatī dan asmanya yang termasyhur dikenal kembali.Para ksatria diberi penghargaan dan hadiah. Para pangeran diberi anugerah pula; Sāmba juga diberi hadiah dan Suratha diberi seorang tuan putri untuk diperistri. Keberanian Kresna dikenal seluruh dunia. Ia lalu bersanggama dengan empat putri pada waktu yang bersamaan sebagai Wisnu. Semua kasta melaksanakan kewajiban mereka.

    BalasHapus
  7. NAMA : SWADAYANI NURLEKHA
    NIM : 2102408051
    ROMBEL: 2



    Kakawin Hariwangsa
    (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

    Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.


    Arti judul

    Hariwangsa secara harafiah berarti silsilah atau garis keturunan sang Hari atau Wisnu. Di India Harivam.ça dalam bahasa Sansekerta memang sebuah karya sastra mengenai Wisnu dan garis keturunannya di mana cerita pernikahan Kresna dan Rukmini adalah sebuah bagian kecil daripadanya. Namun untuk kasus kita ini, sebenarnya nama ini kurang cocok karena kakawin ini hanya mencakup sebuah bagian kecil saja.


    Penulis

    Kakawin Kresnâyana ditulis oleh mpu Panuluh pada saat prabu Jayabaya memerintah di Kediri dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi.


    Tema

    Tema yang dibahas dalam kakawin Kresnâyana ini mirip dengan tema yang dibahas dalam kakawin Hariwangsa. Para pakar sastra Jawa Kuna berpendapat bahwa kakawin Hariwangsa lebih berhasil dalam menggarap tema yang sama ini. Kakawin Hariwangsa lebih muda daripada Kresnâyana jadi kemungkinan mpu Panuluh menggubah ulang sebuah cerita yang sudah ada entah alasan apa. Ada kemungkinan ia diperintah oleh prabu Jayabaya atau memang karena hasrat jiwanya sendiri. Di dalam kakawinnya sendiri tertulis bahwa mpu Panuluh menulisnya karena: “tambenya pangiketkw apét laleh”, atau maksudnya: “alasannya menggubah syair ialah mencari capai.” Hal ini oleh para pakar ditafsirkan bahwa kakawin ini hanyalah bahan coba-cobaan saja. Mpu Panuluh juga terkenal dengan kakawin Bharatayuddhanya yang ia karang bersama mpu Sedah.
    Kemudian ada hal yang sekaligus menarik dan janggal terjadi dalam kakawin ini, yaitu bagaimana para Pandawa bisa-bisanya yang dilukiskan memerangi prabu Kresna, sekutu mereka yang paling setia bersama-sama dengan para Korawa yang merupakan musuh bebuyutan para Pandawa. Namun semuanya berakhir dengan baik bagi segala pihak. Hal seperti ini tidak muncul dalam sastra epis (wiracarita) di India dan ini menunjukkan sifat Indonesiawi dari kakawin ini. Bahkan ada pakar yang menduga bahwa kakawin ini sebenarnya adalah sebuah naskah lakon yang maksudnya dipentaskan untuk pertunjukan wayang.

    Latar Belakang

    Kakawin Hariwangsa ditulis oleh Mpu Panuluh pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, tahun 1135-1157. Cerita ini beraroma khas Nusantara, karena banyak hal yang berbeda dengan kisah aslinya di India. Ada maksud tertentu mengapa Pandawa bisa memerangi Prabu Kresna, mengapa musuh bebuyutan Prabu Kresna bisa berdamai dan semuanya berakhir baik. Ada pakar yang berpendapat, kakawin Hariwangsa ini dimaksudkan sebagai naskah sutradara dalam pementasan teater wayang orang. Imaginasi dalam skenario pementasan teater wayang orang memang sangat berani, bahkan sampai sekarang pun pementasan wayang orang di Gedung Wayang Orang Sriwedari Solo yang dilakukan setiap malam penuh dengan skenario ‘surprise’, penuh kejutan. Bagaimana pun suasana batin Nusantara yang memerlukan perdamaian dari semua pihak memang dirasakan perlu dari zaman ke zaman. Hariwangsa sendiri bermakna wangsa Hari, Garis Keturunan Tuhan, akan tetapi Kakawin Hariwangsa hanya berupa petikan tentang perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini.
    Beberapa uraian dalam tulisan ini tidak berasal dari Kakawin Hariwangsa. Dasar utamanya adalah pemahaman spiritual yang diperoleh dari Guru, ditambah masukan dari jelajah internet dan ‘kembangan’ pribadi, agar enak dibaca dan memperkaya skenario, walau inti cerita yang sudah pakem tidak berubah.

    BalasHapus
  8. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
























    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    BalasHapus